Terusan adbm



Yüklə 283,82 Kb.
səhifə2/7
tarix07.01.2019
ölçüsü283,82 Kb.
#91452
1   2   3   4   5   6   7

Untuk beberapa saat keduanya berdiam diri, mencoba memusatkan nalar dan budi untuk mempertajam panca indra mereka, terutama sapta pandulu dan sapta pangrungu. Namun sejauh itu tidak ada suara ataupun gerak yang dapat dijadikan landasan bagi mereka untuk meyakini bahwa apa yang baru saja mereka alami itu adalah benar-benar nyata dan terjadi.

Akhirnya perlahan lahan Glagah Putih pun mengurai pemusatan nalar dan budinya diikuti oleh Rara Wulan. Mereka yakin bahwa apa yang baru saja mereka alami mungkin adalah kesalahan penafsiran terhadap apa yang terjadi atas alam sekelilingnya.

“Marilah,” ajak Glagah Putih pada Rara Wulan, “Sebelum fajar kita harus sudah sampai di tempat Ki Madyasta, kita perlu membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan kita kerjakan dimasa masa datang setelah pertemuan kita dengan Pangeran Ranapati.”

Rara Wulan pun mengangguk anggukan kepalanya, sambil berjalan naik ke tepian sungai, ditariknya nafas dalam-dalam seolah olah ingin dipenuhinya seluruh rongga dadanya dengan udara pagi yang masih segar. Seolah ingin dilepaskannya ketegangan yang selama ini mencengkam jantungnya sejak dia menyamar menjadi pembantu di rumah yang dijadikan persembunyian oleh Pangeran Ranapati dan pengikutnya.

Sejenak kemudian mereka pun sudah mencapai tepian sungai yang tidak seberapa lebar dan dalam itu. Namun alangkah terkejutnya mereka ketika baru saja mereka mulai akan mendaki tebing , terdengar suara seseorang bergumam justru hanya beberapa langkah saja di belakang mereka.

Bagaikan sepasang singa yang ditarik ekornya, keduanya pun segera membalikkan badan dengan cepat sambil bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Rasa rasanya jantung keduanya hampir pecah oleh ketegangan yang memuncak ketika tampak di depan mereka dalam keremangan malam menjelang pagi, seseorang berdiri hanya beberapa langkah saja dihadapan mereka dengan kaki rengang dan tangan bersilang di dada.

“Gila,” umpat Glagah Putih didalam hatinya, “Bagaimana mungkin orang ini bisa lolos dari pengamatanku dan Rara Wulan?”

Namun ternyata itulah yang telah terjadi, seseorang dengan ikat kepala yang digunakan untuk menutupi sebagian wajahnya telah berdiri dihadapan mereka berdua dengan kaki renggang dan tangan bersilang di dada.

Terdengar orang itu tertawa tertahan tahan. Sikapnya itu saja sudah cukup membuat Glagah Putih dan Rara Wulan harus menahan gejolak amarah yang tiada taranya. Apalagi ketika kemudian dengan tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa, orang itu mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada dan melangkah berlalu menjauhi Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Ki sanak, tunggu dulu,” teriak Glagah Putih dan Rara Wulan hampir bersamaan.

Langkah orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itupun terhenti sejenak, sambil berpaling orang itu menyahut, suaranya terdengar melengking tinggi menyakitkan telinga, “Ada apa Ki sanak? Apakah kita mempunyai urusan yang harus diselesaikan?”

Dengan dada yang berdebaran Glagah Putih mencoba mengamati sosok orang yang berdiri di depannya ini. Ada satu kesimpulan yang dapat dijadikan pedoman bagi Glagah Putih, orang ini mencoba menyembunyikan jati dirinya baik dengan menutup sebagian wajahnya dengan ikat kepala maupun dengan cara menyamarkan suaranya. Semua itu dilakukan pasti dengan suatu tujuan agar dapat mengaburkan pengamatan Glagah Putih dan Rara Wulan atas jati diri orang ini yang sebenarnya.

Glagah Putih mempunyai keyakinan bahwa jika orang ini berhadapan dengan mereka berdua dalam keadaan yang sewajarnya, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka berdua mengenal orang ini dengan baik atau setidak tidaknya pernah bertemu sehingga akan dapat membangkitkan suatu ingatan tentang keberadaan orang tersebut.

“Ki Sanak,” kata glagah Putih setelah debar didadanya agak mereda, “Ki sanak tidak bisa pergi begitu saja tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatan Ki sanak.”

“Aku..?” tanya orang tersebut keheran-heranan, “Apa yang telah aku perbuat terhadap Ki sanak berdua sehingga aku harus mempertanggung jawabkan?”

Untuk sejenak Glagah Putih kebingungan, ditatapnya wajah Rara Wulan yang berdiri termangu mangu disampingnya. Namun Glagah putih tidak segera dapat menangkap kesan yang ada di wajah Rara Wulan selain kerut merut yang semakin dalam.

“Nah,” kata orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu, nada suaranya tetap tinggi melengking lengking menyakitkan telinga, “Apakah memang sudah menjadi kebiasaan Ki sanak untuk memancing persoalan dengan setiap orang yang Ki sanak jumpai di perjalanan?”

“Gila,” geram Glagah Putih, “Engkau jangan memutar balikan kenyataan, siapakah sebenarnya yang memulai membuat persoalan?”

“Ya,” Rara Wulan pun ikut mendukung pernyataan Glagah Putih, “Ki sanak telah mengikuti perjalanan kami selama ini. Kenyataan bahwa Ki sanak telah mengikuti kami secara diam-diam dan kemudian menyembunyikan jati diri Ki sanak adalah pertanda bahwa Ki sanak mempunyai maksud yang tidak sewajarnya dan sengaja mencari persoalan dengan kami.”

“He,” orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu pun bergeser setapak maju, “Aku tidak merasa mengikuti perjalanan siapapun. Adalah kebetulan sekali bahwa perjalanan kita adalah searah. Justru kalianlah yang melakukan kesalahan itu, kalian mencoba untuk mengetahui arah dimana aku berada. Itu adalah kesalahan kalian yang seharusnya sudah cukup sebagai alasan bagiku untuk membuat perhitungan.”

“Silahkan,” sahut Rara Wulan tak kalah serunya, ternyata justru Rara Wulan lah yang tidak bisa menahan diri lagi, “Ki sanak tidak usah mencari alasan yang berputar putar hanya sekedar sebagai dalih untuk membuat persoalan dengan kami.”

“Baiklah,” jawab orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu sambil tertawa terkekeh-kekeh menyakitkan telinga, “Marilah kita selesaikan persoalan ini dengan cara kita, cara orang-orang di dunia olah kanuragan, kita mencari tempat yang lebih lapang di tepian sungai ini, aku tidak berkeberatan jika kalian maju bersama sama, bagiku sama saja, semakin cepat aku menyelesaikan persoalan ini, semakin cepat pula aku meneruskan perjalananku.”

Hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan menggeretakkan giginya, kemarahan mereka seakan akan telah mencapai ubun-ubun, kelihatannya orang ini dengan sengaja ingin membuat keributan dengan mereka berdua, namun demikian mereka pun mengikuti saja langkah orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu menuju ke tepian sungai yang berpasir dan agak luas.

Mula-mula terbersit dugaan di hati Glagah Putih bahwa orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu adalah Ki Darma Tanda, yang menurut Madyasta mempunyai kemampuan yang tiada taranya. Namun dugaan itu segera dibantahnya sendiri menilik ujud lahiriahnya mereka berbeda, Ki Darma Tanda berperawakan agak gemuk, sedangkan orang ini berbadan ramping tetapi tegap dan tampak kokoh.

Sedangkan Rara Wulan hanya mempunyai satu pemikiran, yaitu ingin segera menghajar orang yang mempermainkan mereka berdua dan segera tahu siapa sejatinya orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu dan tujuan dibalik sikapnya yang aneh-aneh.

Ketika kemudian mereka bertiga telah sampai di tempat yang cukup lapang dan luas di tepian sungai tidak jauh dari pohon Lo yang besar dan berdaun rimbun, maka orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itupun berhenti kemudian dengan tenang membalikkan badannya menghadap ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Sebentar Ki sanak,” Glagah Putih mencoba mencairkan suasana, “Apakah tidak ada jalan lain yang lebih baik untuk menyelesaikan persoalan kita ini?”

“O,” tiba-tiba orang itu tertawa, “Apakah kalian menyerah?”

“Diam,” bentak Rara Wulan, lalu katanya kepada Glagah Putih, “Kakang, kita tidak usah berbelas kasihan kepada orang gila ini, masih banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan, orang ini hanya mengulur waktu saja, mungkin dia sengaja menunggu kehadiran teman temannya yang lain untuk mendapatkan bantuan.”

“Ah,” desah orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu, “Apakah untuk menyelesaikan kalian berdua diperlukan pasukan segelar sepapan?”

“Jangan sombong Ki sanak,” geram Rara Wulan sambil melangkah mendekat, “Cukup aku sendiri saja yang akan meladeni Ki sanak, biarlah Kakang Glagah Putih menjadi saksi atas hancurnya kesombongan Ki sanak.”

Selesai berkata demikian, Rara Wulan segera mengambil sikap. Kedua kakinya merenggang selebar bahu dengan kaki kiri di depan, sementara kedua telapak tangannya yang terbuka dengan jari-jari merapat dan menghadap kedepan, perlahan lahan diangkat menyilang di depan dada sejajar dengan pundak, sikap yang mendebarkan dari puncak sebuah ilmu yang mereka sebut dengan nama Aji Namaskara.

Glagah Putih terkejut melihat sikap permulaan dari serangan Rara Wulan itu. Dengan sekali loncat dia sudah berada disamping Rara Wulan sambil menahan pundak Rara Wulan.

“Wulan, jangan..!” cegahnya sambil terus berusaha menekan pundak Rara Wulan agar dia tidak jadi memusatkan nalar budi untuk melontarkan sebuah Aji yang nggegirisi, Aji Namaskara.

“Kakang, mengapa kakang mencegahku untuk menghancurkan orang yang sombong ini?” tanya Rara Wulan sambil mengendorkan getaran urat-urat nadinya yang tadinya sudah siap menghimpun tenaga untuk menyalurkan sebuah aji yang dahsyat tiada taranya.

“Itu tidak perlu Wulan, sedahsyat apapun aji yang akan engkau trapkan pada orang itu, aku yakin itu tidak akan berpengaruh banyak, karena di dalam dirinya tersimpan segala macam ilmu yang tak terbatas.”

“Engkau salah,” potong orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu, justru dengan nada suara yang sewajarnya sehingga Rara Wulan menjadi berdebar debar, seolah suara itu sudah dikenalnya dengan baik, kemudian lanjutnya, “Segala sesuatu itu pasti ada batasnya, hanya Yang Maha Agung lah yang memiliki kekuasaan tak terbatas atas seluruh jagad raya ini”

Selesai berkata demikian, orang itu merenggut kain ikat kepala yang menutupi sebagian wajahnya. Seberkas cahaya pagi yang mulai mengusir kegelapan dibawah bayangan pohon Lo itu sekilas menerangi wajahnya, sehingga tampaklah sebuah wajah yang mulai merambat ke usia tua, wajah yang sangat dikenal oleh mereka berdua.

“Kakang Agung Sedayu..!” pekik Rara Wulan.

Sementara Glagah Putih pun menarik nafas dalam-dalam. Panggraitanya yang tajam dan pengenalannya bertahun tahun atas diri kakak sepupunya yang sekaligus gurunya ini tidak bisa dikelabui dengan hanya sekedar menutup selembar kain ikat kepala di wajah dan mengubah nada suaranya.

Sambil membungkuk hormat Glagah Putih pun menyalami orang yang ternyata memang Ki Rangga Agung Sedayu, “Selamat datang di bumi Panaraga, Kakang.”

“Terima kasih Glagah Putih,” Jawab Ki Rangga Agung Sedayu kemudian katanya kepada Rara Wulan, “Marilah Rara, ada beberapa berita yang akan aku sampaikan kepada kalian sehubungan dengan tugas yang kalian emban.”

Mereka bertiga pun kemudian berjalan beriringan diatas pasir tepian sungai menjauhi pohon Lo yang tumbuh hampir tumbang menjorok dari sisi tepian satu ke sisi tepian yang lainnya. Ketika mereka telah sampai di tempat yang terdapat bebatuan yang berserakan di tepian sungai itu, mereka pun segera memilih tempat untuk beristirahat sambil berbincang menanyakan keselamatan masing-masing.

“Kakang, kepergian Kakang ke timur ini apakah ada sesuatu yang penting untuk kepentingan Mataram ataukah Kakang mempunyai rencana tersendiri?” tanya Glagah Putih setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing dan keluarga yang di tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.

“Ketahuilah Glagah Putih,” Jawab Ki Rangga Agung Sedayu, “Kepergianku ke timur ini atas perintah Ki Patih Mandaraka. Beliau telah memanggilku untuk menghadap ke istana kepatihan sehubungan dengan adanya perkembangan berita dari para telik sandi Mataram yang mengamati padepokan yang di tinggalkan oleh Pangeran Ranapati.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun saling berpandangan sejenak. Menurut pengamatan mereka berdua selama membuntuti gerak gerik Pangeran Ranapati, di padepokan yang terletak di sebelah timur lereng Merapi itu tidak ada kekuatan yang mendebarkan kecuali Pangeran Ranapati itu sendiri. Para Putut, Jejanggan, Manguyu dan cantrik yang ada kemampuannya sangat terpaut jauh dengan orang yang menyebut dirinya keturunan dari Panembahan Senopati itu, bahkan mereka telah membuktikannya sendiri.

“Kakang,” setelah sejenak berdiam diri Glagah Putih pun menyahut, “menurut pengamatan kami berdua, bahkan kami sudah pernah terlibat langsung dengan para cantrik padepokan Pangeran Ranapati, di padepokan itu tidak ada kekuatan yang patut diperhitungkan sepeninggal Pangeran Ranapati.”

“Engkau benar Glagah Putih, namun dalam perkembangannya, ternyata sepeninggal Pangeran Ranapati yang berangkat menuju ke Panaraga, telah datang di padepokan itu seseorang yang sangat berpengaruh dan dihormati oleh Pangeran Ranapati, yaitu Guru Pangeran Ranapati itu sendiri.”

“Guru Pangeran Ranapati?” hampir berbareng Glagah putih dan Rara Wulan berseru.

“Ya, para cantrik padepokan menyebutnya Ki Singa Wana Sepuh.”

“O..” desis Glagah Putih sambil mengangguk anggukan kepalanya, “Karena itulah agaknya Pangeran Ranapati dalam pengembaraannya kadang menyebut dirinya Ki Singa Wana.”

“Ya,” tambah Ki Rangga Agung Sedayu, “Bahkan berita terakhir dari para telik sandi Mataram, setelah mengetahui bahwa Pangeran Ranapati telah pergi ke timur, Ki Singa Wana Sepuh itu pun telah menyusulnya kemari.”

“Dan untuk itulah agaknya Ki Patih Mandaraka mengirim Ki Rangga Agung Sedayu jauh-jauh dari Tanah Perdikan Menoreh sekedar untuk membuat perimbangan dengan kehadiran guru Pangeran Ranapati itu.” Kata Glagah Putih sambil tersenyum dan memandang penuh arti ke arah Rara Wulan.

“Ah..” desis Ki Rangga Agung Sedayu, “Itu adalah anggapan yang berlebih-lebihan, sebenarnyalah tugasku hanya untuk mengingatkan kalian berdua karena yang akan kalian hadapi bukan hanya Pangeran Ranapati seorang, tapi juga sekaligus gurunya.”

“Tapi mengapa kalau hanya untuk memberitahukan kehadiran guru Pangeran Ranapati harus dikirim seorang Rangga yang pilih tanding, bukannya seorang prajurit telik sandi yang dapat menyamar menjadi siapa saja tanpa menarik perhatian?” tanya Rara Wulan yang sedari tadi hanya berdiam diri.

Glagah Putih yang mendengar pertanyaan Rara Wulan itupun tertawa tergelak, sahutnya, “ Wulan, apakah engkau belum mengenal pribadi Ki rangga Agung Sedayu ini? Apakah engkau mengharapkan Ki rangga Agung sedayu menjawab sambil menengadahkan dadanya, “Pangeran Ranapati itu urusan kalian berdua, biarlah gurunya menjadi urusanku , murid bertemu murid, guru bertemu guru.”

“Ah sudahlah,” Ki Rangga Agung Sedayu mencoba mengalihkan arah pembicaraan, “Sebenarnyalah perkembangan hubungan Mataram dengan Panaraga semakin mengkhawatirkan. Sudah tiga bulan ini Adipati Panaraga Pangeran Jayaraga tidak mengirimkan utusan ke Mataram sebagai tanda bakti seorang Adipati kepada Rajanya, dan kelihatannya suasana ini akan dimanfaatkan oleh Pangeran Ranapati yang sekarang sudah resmi diangkat menjadi senapati di Kadipaten Panaraga.”

Glagah Putih pun menarik nafas dalam-dalam. Terbayang kembali dalam ingatannya peperangan demi peperangan serta pertumpahan darah yang seharusnya tidak usah terjadi justru karena pertikaian itu terjadi diantara keluarga sendiri. Bukankah adipati Panaraga Pangeran Jayaraga itu masih terhitung saudara Panembahan Hanyakra Kusuma di Mataram?

“Panaraga justru akan semakin yakin dalam membangun kekuatannya dengan terpilihnya Pangeran Ranapati sebagai senopati serta kehadiran gurunya Ki singa Wana Sepuh.” Desis Glagah Putih perlahan lahan tanpa disadarinya.

“Demikianlah agaknya menurut perhitungan Ki Patih Mandaraka pada waktu aku menghadap beliau di Kepatihan.” Sahut Ki Rangga Agung Sedayu.

“Kakang,” tiba-tiba Rara Wulan menyela, “ Mengapa kakang tidak mengajak mbokayu Sekar Mirah untuk ikut pergi ke Panaraga? Alangkah senangnya aku bisa mempunyai kawan dalam pengembaraan ini.”

Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu sejenak. Dilemparkan pandangan matanya jauh ke hulu sungai yang tampak bekelok-kelok. Sinar matahari yang mulai menerangi tebing-tebing sungai tampak berkilat kilat menimpa dedaunan yang masih basah oleh titik-titik embun semalam. Kilauan butiran embun yang tertimpa sinar matahari itu bagaikan butiran permata yang bertebaran di atas dedaunan dan rerumputan di sela-sela batu padas di tebing sebelah menyebelah sungai.

Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu sejenak. Dilemparkan pandangan matanya jauh ke hulu sungai yang tampak bekelok kelok. Sinar matahari yang mulai menerangi tebing tebing sungai tampak berkilat kilat menimpa dedaunan yang masih basah oleh titik titik embun semalam. Kilauan butiran embun yang tertimpa sinar matahari itu bagaikan butiran permata yang bertebaran di atas dedaunan dan rerumputan disela sela batu padas di tebing sebelah menyebelah sungai.

“Rara,” pelan Ki Ranga Agung Sedayu berkata sambil memandang ke arah Rara` Wulan yang termangu mangu, “Sudah waktunya Mbokayumu untuk beristirahat, tidak melibatkan diri lagi terhadap perkembangan keadaan yang ada di sekitarnya. Selain itu, perkembangan kesehatannya akhir akhir ini menuntut Mbokayumu untuk lebih memperhatikan dirinya sendiri melebihi dari hari hari biasanya.”

Rara Wulan tertegun sejenak. Menurut pengamatannya selama bergaul dengan Sekar Mirah, jarang sekali Mbokayunya itu menderita sakit, bahkan dalam sebuah benturan olah kanuragan yang sangat berat pun Mbokayunya itu jarang mengalami luka yang parah sehingga mengganggu keseimbangan kesehatannya.

“Apakah Mbokayu Sekar Mirah sedang sakit?” dengan penuh keraguan akhirnya pertanyaan itu pun terlontar dari mulut Rara Wulan.

“Tidak dalam arti yang sebenarnya, namun Mbokayumu memang memerlukan waktu khusus untuk lebih mengenal perubahan perubahan yang sedang terjadi di dalam dirinya.”

Rara Wulan semakin tidak mengerti dengan penjelasan penjelasan dari Ki Rangga Agung Sedayu yang berbelit belit, bahkan Glagah Putih yang duduk disebelahnya pun mempunyai tanggapan yang berbeda atas penjelasan Ki Rangga Agung Sedayu.

“Kakang,” berkata Glagah Putih setelah beberapa saat tidak bisa menahan diri untuk mengetahui keadaan Sekar Mirah, “Apakah Mbokayu Sekar Mirah sedang menjalani suatu laku untuk peningkatan ilmunya?”

“O.. tidak Glagah Putih,” dengan cepat Ki Rangga Agung Sedayu menyahut sambil tersenyum, “Tidak ada usaha dalam peningkatan ilmu sama sekali, Mbokayumu hanya perlu lebih banyak meluangkan waktu untuk mengurusi dirinya sendirinya sehubungan dengan karunia yang telah kami terima dari Yang Maha Agung.”

Selesai berkata demikian tampak senyum dibibir Ki Rangga Agung Sedayu semakin lebar yang membuat Glagah putih dan Rara Wulan semakin tidak mengerti arah pembicaraan dari Ki Rangga Agung Sedayu.

Namun tampaknya Ki Rangga Agung Sedayu tidak sampai hati berlama lama membiarkan Glagah Putih dan Rara Wulan dalam kebingungan, maka katanya kemudian, “Kami sekeluarga sangat bersyukur atas karunia yang telah diberikan oleh Yang Maha Agung sehingga kami diberi kepercayaan untuk mengemban amanahNya. Semoga kebahagian itu segera terwujud bersama hari hari penuh harap dari Mbokayumu, atas ijin dan perkenanNya untuk menjadi wanita yang sempurna, bukan hanya seorang istri, tapi juga seorang ibu.”

“Jadi..jadi..Mbokayu mengandung..?” jerit Rara Wulan kegirangan sambil meloncat berdiri dari tempat duduknya disamping Glagah Putih. Kalau saja Glagah Putih tidak dengan segera meraih tangannya dan menariknya kembali ke tempat duduknya, niscaya Rara Wulan sudah melonjak lonjak kegirangan sambil menari nari seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan sebuah mainan.

“Tenanglah wulan,” bisik Glagah putih mencoba menenangkan Rara Wulan yang mulai terisak isak, mencoba menahan keharuan hatinya yang membuncah di dalam dadanya.

Dengan perlahan Rara Wulan pun kemudian mengambil tempat duduk kembali disamping Glagah Putih. Kedua tangannya sibuk mengusap air mata yang berderai-derai membasahi kedua pipinya tanpa dapat dikuasainya oleh hentakan perasaan yang sangat mengejutkan sekaligus mengharukan hatinya.

Dia sudah sering mendengar cerita Glagah Putih tentang keluarga kakak sepupunya itu. Betapa mereka berdua sangat mengharapkan hadirnya buah hati yang dapat dijadikan tautan kasih sayang diantara mereka. Anak adalah ibarat perekat kasih sayang diantara sepasang suami istri. Seandainya terjadi suatu perbedaan pendapat atau kepentingan bahkan mungkin dapat berujung pada sebuah pertengkaran, hendaknyalah masing masing dapat menahan diri dan melihat kepentingan yang lebih besar dalam keluarga itu. Keberadaan anak anak diantara mereka akan dapat dijadikan suatu pertimbangan tentang apa yang seharusnya mereka perbuat, mengingat diantara mereka ada suatu tanggung jawab bersama untuk memberikan yang terbaik bagi anak anaknya, baik berupa kebutuhan lahir maupun batin serta segala sesuatu yang berhubungan dengan tatanan kehidupan ini.

Sejenak kemudian kesunyian terasa mencekam keberadaan mereka bertiga. Hanya suara gemericik air yang mengalir disela-sela bebatuan dan kicaun burung-burung di dahan dahan menyambut sang surya yang mulai menampakkan sinarnya menerangi jagad raya ini.

Seekor burung pemangsa ikan yang berparuh besar tampak terbang rendah berputar-putar diatas pohon Lo yang tumbuh condong hampir roboh dari seberang sungai ke seberang lainnya. Sejenak burung pemangsa ikan itu hinggap didahan yang rendah. Sambil mengawasi ikan ikan yang berenang dengan riang gembira diantara ceruk ceruk bebatuan dibawah pohon Lo, tubuhnya yang besar itu pun terayun-ayun oleh lenturnya dahan kecil yang menjadi tempatnya berpijak.

Glagah Putih menarik nafas dalam dalam, tak terasa sudah hampir enam bulan ditinggalkannya tanah Perdikan Menoreh, tentu sudah banyak perubahan-perubahan yang terjadi sepeninggal mereka berdua.

“Kakang,” kata Glagah Putih mencoba memecahkan kebekuan yang terjadi diantara mereka, “Apakah mbokayu Sekar Mirah tidak akan menemui kesulitan sehubungan dengan kepergian Kakang ke timur ini?”

“Tidak Glagah Putih, sebelum berangkat ke timur, mbokayumu telah aku titipkan untuk tinggal sementara di kediaman Ki Gede Menoreh, disana banyak perempuan pembantu ki Argapati yang dapat dijadikan teman mbokayumu dan membantu segala sesuatu apabila ada kesulitan dari mbokayumu.”

“Apakah Ki Jayaraga ikut tinggal di kediaman Ki Gede?” tanya Glagah Putih kemudian

“Tidak Glagah Putih, Ki Jayaraga menunggui rumah kita sendirian.”

“Sendirian?” terkejut Glagah Putih bergeser setapak dari tempak duduknya, lalu dengan penuh keheranan dia pun melanjutkan,”Kemanakah anak bengal itu? Apakah dia masih sering kesungai setiap malam dan membiarkan Ki Jayaraga sendirian menunggui rumah?”

Ki Rangga Agung Sedayu tidak segera menjawab pertanyaan Glagah Putih. Dilemparkan pandangan matanya kearah pohon Lo yang tumbuh besar dan condong dari seberang sungai ke seberang lainnya. Tampak di dahan yang rendah berayun ayun seekor burung pemangsa ikan sedang mengintai mangsanya. Burung itu mencoba mengambil ancang ancang dengan merendahkan tubuhnya. Sepasang cakarnya yang kuat itu pun semakin dalam mencengkeram dahan yang dipijaknya, sementara kedua sayapnya dikembangkannya lebar lebar siap untuk memberikan kekuatan ayunan pada luncurannya untuk menukik menerkam mangsanya.

Ki Rangga Agung Sedayu menghela nafas panjang ketika kemudian dilihatnya burung pemangsa ikan itu dengan derasnya meluncur turun dari dahan yang dipijaknya untuk kemudian menerkam mangsanya, seekor ikan yang cukup besar segera saja menggelepar gelepar diantara kuku tajam burung itu. Hanya dengan sebuah ayunan kepakan sayapnya saja, burung pemangsa ikan itupun segera bertengger kembali diatas dahan yang rendah dari pohon Lo yang tumbuh menjelujur hampir melingkupi dari tepian sungai ke tepian yang lain. Dengan paruhnya yan besar dan kuat segera saja ikan itu tidak berdaya dalam kerakusan burung pemangsa ikan yang kelaparan itu.

Ketika kemudian burung pemangsa ikan itu memperdengarkan suaranya yang keras diantara kesibukannya melahap mangsanya, barulah Ki Rangga Agung sedayu tersadar dari lamunanya bahwa dia harus manjawab pertanyaan dari Glagah Putih.


Yüklə 283,82 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin