Terusan adbm



Yüklə 283,82 Kb.
səhifə3/7
tarix07.01.2019
ölçüsü283,82 Kb.
#91452
1   2   3   4   5   6   7

Dengan perlahan Ki Rangga Agung Sedayu pun memutar kepalanya ke arah Glagah Putih. Dilihatnya kerut-merut yang dalam dikening Glagah Putih, sedangkan Rara Wulan yang duduk di sebelahnya tampak sudah bisa menguasai dirinya. Tidak terdengar lagi isak tangisnya walaupun terlihat betapa Rara Wulan berusaha menahan gejolak di dadanya sehingga tubuhnya tampak bergetar menahan hentakan hentakan yang masih tersisa di dalam hatinya.

“Glagah Putih dan kau juga Rara,” perlahan Ki Rangga Agung Sedayu menjawab pertanyaan Glagah Putih, “Sepeninggal kalian berdua, banyak peristiwa yang terjadi dan semua itu diluar kuasa kita sebagai manusia. Tidak ada seorang pun yang bisa mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi dengan dirinya dan keadaan di sekelilingnya. Semua itu adalah kuasa yang Maha Agung. Kita hanya wajib berusaha, sedangkan apa yang terjadi kemudian adalah wajib bagi kita untuk meyakininya, bahwa dibalik semua peristiwa itu pasti ada sesuatu yang tersembunyi yang menjadi rencana dari Yang Maha Agung.”

Glagah putih dan Rara Wulan termangu mangu, mereka mencoba menebak arah pembicaraan dari Ki Rangga Agung Sedayu, walaupun seperti yasng terdahulu, mereka masih belum mengetahui kemana sebenarnya arah pembicaraan itu.

“Ketahuilah oleh kalian berdua, bahwa sepeninggal kalian berdua mengemban tugas dari Mataram untuk melawat ke timur, di suatu senja sepulang dari barak pasukan khusus, Sukra telah menemui aku di dekat kandang kuda. Kelihatannya dia sudah bersiap siap untuk berangkat turun ke sungai malam itu menilik dari peralatan yang telah di bawanya. Aku benar benar tidak menduga bahwa keberadaanya di dekat kandang kuda itu justru karena suatu persoalan yang akan di sampaikannya kepadaku.”

Demikianlah yang sebenarnya telah terjadi pada waktu itu, Ki Rangga Agung Sedayu yang baru saja pulang dari barak pasukan khusus telah menjumpai Sukra sedang berdiri termangu mangu disamping kandang kuda.

Tidak ada kecurigaan apapun terhadap Sukra ketika Ki Rangga Agung Sedayu yang telah selesai mengandangkan kudanya kemudian melangkah keluar menuju pakiwan. Ki Rangga Agung Sedayu hanya melempar senyum tipis sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ketika dia lewat beberapa langkah didepan Sukra yang masih saja berdiri termangu mangu disamping kandang kuda.

Namun dada Ki Rangga Agung Sedayu terasa berdesir sekejap justru ketika dia melangkah keluar dari pakiwan dilihatnya Sukra masih tetap berdiri termangu mangu di samping kandang kuda. Matanya tak pernah lepas mengawasi setiap gerak dan langkah dari Ki Rangga Agung Sedayu.

“Ada apa Sukra?” justru Ki Rangga Agung Sedayu lah yang mendahului menyapanya ketika dia sudah berada beberapa langkah saja didepan Sukra yang masih berdiri mematung.

“O..tidak ada apa apa Ki Sedayu,” tergagap Sukra menjawab, namun Ki Rangga Agung Sedayu melihat sepercik keragu-raguan didalam sorot mata anak muda itu.

Sambil mengangguk anggukan kepalanya Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian tersenyum, lalu katanya sambil melanjutkan langkahnya menuju dapur, “Hari masih terlalu sore, apakah engkau akan turun ke sungai? Bisanya menjelang sirep bocah orang orang yang akan memasang rumpon itu baru akan turun ke sungai, kemudian menjelang dini hari mereka akan turun kembali untuk melihat hasilnya.”

“Tetapi kadang-kadang ada orang yang memasang rumpon sampai dua kali semalam, untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak, tentu saja.” sahut Sukra sambil mengikuti langkah Ki Rangga Agung Sedayu menuju dapur.

“He..,” seru Ki Rangga Agung Sedayu, “ Jadi itukah maksudnya mengapa engkau mau turun ke sungai padahal hari baru akan menjelang sore?”

“Kakang..” tiba tiba terdengar suara Sekar Mirah dari dalam dapur, “Apakah kakang berbicara dengan Sukra? Tolong suruh anak itu untuk membeli minyak klentik di kedai Nyai Imah, aku akan menggoreng ikan wader untuk lauk makan malam kita nanti.”

Langkah Ki Rangga Agung Sedayu pun terhenti sejenak, sambil berpaling ke arah Sukra dia berkata, “Kau dengar perintah Nyi Sekar Mirah?”

Sukra menganggukkan kepalanya dalam dalam, namun kemudian hampir tak terdengar dia berdesis perlahan lahan kepada Ki Rangga Agung Sedayu, “Tetapi aku mempunyai sebuah persoalan yang ingin kusampaikan hanya kepada Ki Sedayu.”

Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya dalam dalam, dipandanginya Sukra dengan tajamnya, seolah olah baru kali ini dia bertemu dengan anak muda itu.

Sukra yang merasa dirinya dipandang dengan tajam oleh Ki Rangga Agung Sadayu menjadi salah tingkah, dicobanya untuk menenangkan gejolak perasaannya namun tidak sepenuhnya berhasil sehingga tubuhnya ternyata telah menjadi gemetar.

“Sukra..,” kembali terdengar suara Sekar Mirah memanggil dari dalam dapur yang kali ini ditujukan kepada Sukra, “Segeralah berangkat sebelum hari benar benar gelap, nanti keburu kedai Nyai Imah tutup.”

Sukra menarik nafas dalam-dalam, sekilas dipandangnya Ki Rangga Agung Sedayu, namun yang sekilas itu sudah cukup bagi Ki Rangga Agung Sedayu untuk mengetahui isi hati anak muda itu.

“Berangkatlah,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Kita dapat membicarakan persoalanmu itu nanti setelah selesai makan malam. “

Sukra hanya dapat menundukkan kepalanya dalam dalam, sambil melangkah menuju dapur untuk menerima uang dari Sekar Mirah dia berdesis perlahan, “Terima kasih Ki Sedayu.”

Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya saja langkah kaki Sukra menuju dapur. Anak muda itu telah memberikan kesan tersendiri baginya. Diusianya yang masih sangat muda, dia sudah berani turun ke sungai sendiri di malam malam yang gelap dan dingin. Seolah tidak pernah dihiraukannya cerita tentang segala macam hantu, genderuwo, jerangkong, ilu ilu banaspati dan sebangsanya. Di usia yang sama, dirinya tidak lebih dari seorang anak muda penakut yang selalu berlindung di balik punggung ibunya.

Sejenak kemudian, setelah meletakkan terlebih dahulu segala peralatan untuk memasang rumpon disamping kiri pintu dapur sebelah luar, Sukra pun melangkah masuk kedalam dapur. Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu pun melanjutkan langkahnya menuju longkangan disamping kanan dapur yang mengarah ke pintu butulan di ruang tengah.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang memperhatikan dengan seksama cerita Ki Rangga Agung Sedayu itu pun menjadi berdebar debar, katanya kemudian, “Apakah Sukra terlibat pertengkaran lagi dengan anak anak muda dari padukuhan sebelah?”

“Ah.., tidak,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu, “Bukankah peristiwa itu sudah berlalu cukup lama? Jarang anak anak muda sebaya Sukra yang masih menekuni rumpon dan sejenisnya. Biasanya begitu beranjak ke usia dewasa mereka segera mengalihkan perhatiannya pada hal hal yang lebih menarik sesuai dengan usia mereka.”

“Jadi.., sebenarnya, persoalan apakah yang sedang dialami Sukra?” bertanya Glagah Putih kemudian setelah dia merasa tidak mampu menduga kejadian sebenarnya yang dialami oleh Sukra.

Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum melihat kegelisahan Glagah Putih, sementara Rara Wulan yang tidak banyak bergaul dengan Sukra ketika dia tinggal di rumah Ki Rangga Agung Sedayu untuk belajar olah kanuragan dari Sekar Mirah hanya berdiam diri saja. Baginya lebih baik menjadi pendengar saja sebelum semua persoalan menjadi jelas.

“Glagah Putih,” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Apakah engkau pernah memberikan dasar dasar latihan olah kanuragan dengan sungguh sungguh kepada Sukra?”

“Ya Kakang, tapi itu tidak lebih dari selangkah dua langkah untuk sekedar memberikan bekal menghadapi kenakalan anak anak muda padukuhan sebelah.”

“Jadi, engkau tidak dengan sungguh sungguh mengajarinya olah kanuragan?”

“Tidak Kakang, menurut pendapatku keinginan Sukra itu hanya keinginan sesaat ketika dia merasa tidak berdaya oleh polah tingkah anak anak muda yang mengganggunya. Selebihnya aku belum siap memberikan latihan olah kanuragan dalam arti yang sebenarnya karena sebagaimana Kakang telah mengajariku olah kanuragan, tidak hanya tuntunan lahir saja yang Kakang berikan kepadaku, namun tuntunan batin itulah yang sangat penting agar apa yang telah dipelajari oleh seseorang itu tidak menjadikan dirinya kehilangan kendali atas pengamatan kemampuan dirinya.”

Ki Rangga Agung Sedayu dan Rara Wulan yang hanya jadi pendengar itu pun ikut mengangguk anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah Glagah Putih yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan tinggi itu tidak akan menemui kesulitan yang berarti dalam memberikan bimbingan kepada Sukra, namun tuntunan batin yang justru mempunyai peran sangat penting dalam setiap pencurahan ilmu kanuragan dari seorang guru kepada muridnya itulah yang belum begitu dikuasai oleh Glagah Putih sejalan dengan usianya yang masih muda.

“Baiklah,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu sambil menggeser duduknya beberapa jengkal ke arah teduhnya bayangan dedaunan untuk menghindari sinar matahari yang mulai terasa menggatalkan kulit, “Aku memang pernah melihat sekilas apa yang pernah kalian berdua lakukan, aku pun tidak keberatan waktu itu untuk mengijinkanmu memberi tuntunan kepada Sukra selangkah dua langkah dalam olah kanuragan. Namun persoalannya menjadi lain ketika sore itu, setelah selesai makan malam, Sukra benar benar menghadapku di ruang tengah, semula dia ragu ragu mengutarakan maksudnya ketika dilihatnya mbokayumu Sekar Mirah ikut duduk duduk mengawani aku. Sedangkan Ki Jayaraga sejak sore sudah pergi ke rumah Ki Gede untuk menemani Ki gede mengisi waktu bermain mul mulan atau sekedar berbincang bincang yang tak berujung pangkal.”

“Apakah Sukra meminta Kakang untuk memberinya tuntunan olah kanuragan?” bertanya Glagah Putih setelah mengetahui dengan pasti kearah mana pembicaraan Ki Rangga Agung Sedayu.

“Benar Glagah Putih,” sahut Ki Rangga Agung Sedayu, “Bahkan lebih dari itu, Sukra memintaku untuk mengambilnya sebagai murid.”

“Murid,” desis Glagah Putih dan Rara Wulan hampir bersamaan sambil berpandangan. Mereka tidak mengira bahwa Sukra akan melangkah sejauh itu dalam menekuni olah kanuragan. Dugaan Glagah Putih bahwa keinginan Sukra untuk mendalami olah kanuragan hanyalah keinginan sesaat ternyata tidak berdasar sama sekali, bahkan kini Sukra dengan memberanikan diri telah meminta Ki Rangga Agung Sedayu untuk mengambilnya sebagai seorang murid.

“Sukra..” tiba tiba tanpa disadarinya Glagah Putih bergumam perlahan, “Apakah sebenarnya yang engkau cari?”

Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum mendengar desis dari Glagah Putih, kemudian masih dengan tersenyum dia pun berkata, “Pertanyaan yang sama telah diajukan pula oleh mBokayumu Sekar Mirah, dan apakah kalian dapat menduga, apa jawaban dari Sukra?”

Keduanya menggeleng lemah sambil menunggu jawaban dari Ki Rangga Agung Sedayu dengan hati yang berdebar debar.

“Selama ini kita memang kurang memperhatikan Sukra. Kita mengganggap dia tidak lebih dari kanak kanak yang sedang menjelang remaja. Keberadaannya di rumah kita untuk membantu pekerjaan Mbokayumu seperti menyapu halaman, mengisi jambangan di pakiwan dan sesekali membelah kayu bakar adalah pekerjaan sehari hari yang wajar dikerjakan oleh anak seusianya. Selain itu dia juga mempunyai kegemaran menelusuri sungai hampir setiap malam yang kadang-kadang melibatkan kehadiranmu, Glagah Putih.”

Sampai disini Ki Rangga Agung Sedayu terdiam sejenak. Suara angin yang menelusup disela sela dedaunan dari serumpun pohon bambu yang tumbuh rimbun disisi kiri tebing sungai menimbulkan gemerisik yang berkepanjangan. Sementara itu, dengan memperdengarkan suaranya yang keras, burung pemangsa ikan yang bertengger di dahan yang rendah dari pohon Lo dan telah selesai menyantap mangsanya itu pun mengepakkan sayapnya untuk kemudian terbang menjauh. Sedangkan nun jauh di ujung sungai yang berkelok kelok, terdengar bunyi sepasang burung tekukur yang bersahut sahutan bagaikan sepasang kekasih yang sedang mendendangkan tembang asmarandana.

Ki Rangga Agung Sedayu berdesah perlahan. Dipandanginya kedua anak muda yang sedang duduk dihadapannya. Mereka berdua masih terhitung sangat muda namun telah memiliki kemampuan olah kanuragan yang pantas diperhitungkan dan disejajarkan dengan orang orang yang memang telah menekuni olah kanuragan sejak lama. Dan agaknya itulah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Glagah Putih dan ternyata telah dipermasalahkan oleh Sukra.

“Pada awalnya, Sukra mempunyai anggapan bahwa kemampuanmu dalam olah kanuragan tidak banyak terpaut oleh kemampuan anak anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang sebaya denganmu, namun ketika hampir seluruh anak anak muda telah membicarakanmu, bahkan dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun mengakui kemampuanmu setelah terjadi beberapa kali pertempuran yang melibatkan dirimu, berita itu pun telah sampai juga ke telinga Sukra dengan berbagai tanggapan didalam dirinya. Dia merasa dirinya terlalu kecil hidup diantara para raksasa olah kanuragan yang tinggal di rumah kita, setidaknya itulah anggapannya, bahkan teman teman sepermainannya pun menganggap bahwa Sukra paling tidak memiliki kelebihan yang pantas dibanggakan diantara teman sebayanya karena sehari hari dia bergaul dengan orang orang yang bergelut dengan olah kanuragan, namun kenyataannya dia tidak mempunyai sesuatu yang dapat dibanggakan dan ditunjukkan kepada teman temannya. Mungkin itulah salah satu unsur yang mendorong keinginannya untuk mempelajari olah kanuragan darimu, Glagah Putih.”

Glagah Putih termenung, seolah terbayang kembali dalam ingatannya, bagaimana Sukra selalu mendesaknya untuk melatih olah kanuragan, dan anak itu seolah tidak ada puasnya, selalu menuntut sesuatu yang baru setiap kali mereka bertemu.

“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak mereka bertiga berdiam diri, “Apakah Kakang mengabulkan permohonan Sukra untuk menjadi murid kakang?”

“Tidak secara keseluruhan Glagah Putih, hubungan antara seorang Guru dan murid adalah hubungan yang rumit dan penuh tanggung jawab, tidak sebagaimana hubungan kita berdua yang tetap sebagai saudara sepupu walaupun engkau belajar olah kanuragan dariku, itulah sebabnya aku menolak engkau memanggilku Guru, dengan demikian aku tidak ingin mempersempit wawasanmu dalam olah kanuragan karena dengan menjadikanmu seorang muridku, segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan ilmumu harus seijin dan sepengetahuanku.” Ki Rangga Agung Sedayu berhenti sejenak lalu, “Karena pertimbangan itulah, aku hanya benjanji kepada Sukra untuk memberikan latihan olah kanuragan padanya setiap hari.”

“Apakah Sukra menerimanya, Kakang?”

“Pada awalnya dia keberatan, tetapi setelah Mbokayumu Sekar Mirahpun ikut memberi penjelasan dan pengertian tentang beratnya tanggung jawab hubungan antara Guru dan Murid, pada akhirnya Sukra pun mau menerimanya, namun dia mempunyai satu tuntutan yang hampir tidak masuk akal?”

“Apakah itu Kakang?”

“Dia memintaku untuk melatihnya dengan bersungguh sungguh sehingga dalam waktu dekat bisa menyamai kemampuanmu.”

“He..!” hampir berbareng Glagah Putih dan Rara Wulan berseru saking terkejutnya dengan permintaan Sukra itu.

“Memang aneh kedengarannya,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Ternyata dia secara diam diam telah memendam dendam kepadamu Glagah Putih, ketidak sungguhanmu dalam memberikan latihan olah kanuragan telah disalah artikan oleh Sukra sebagi usaha darimu agar kemampuannya tidak akan melampui kemampuanmu. Itulah sebenarnya yang selama ini menjadi beban pikirannya, bahkan dalam hal lain pun dia ingin bersaing denganmu, menjadi seorang prajurit dan mendapatkan istri dari keturunan bangsawan yang cantik.”

“Ah..” seleret warna merah segera saja membayang di pipi Rara Wulan, sedangkan Glagah Putih yang duduk disebelahnya tidak dapat menahan tertawanya lagi. Kalau saja tidak ada sebuat cubitan yang keras di lambungnya, niscaya Glagah Putih akan tetap meneruskan tertawanya berkepanjangan.

“Aduh..sakit Wulan, tolong lepaskan..” mohon Glagah Putih sambil berusaha melepaskan cubitan Rara Wulan di lambungnya.

“Tidak,” sergah Rara Wulan, “Sebelum engkau jelaskan, apa yang membuatmu tertawa.”

“Aduh..sungguh tidak ada apa apa Wulan.”

“Tetapi mengapa engkau tertawa? Apakah ada yang lucu dari keterangan Kakang Agung Sedayu?”

“Tidak ada.”

“Jadi? Untuk apa engkau tertawa seperti orang mabok tuak?”

Sejenak Glagah Putih menjadi kebingungan, ketika tanpa disadarinya dia memandang wajah kakak sepupunya yang tersenyum kearahnya, tiba tiba saja Glagah Putih itu pun ikut tersenyum.

Melihat dua orang laki laki itu saling melemparkan senyum, Rara Wulan pun tidak dapat menahan hatinya lagi, segera saja dengan penuh kekuatan didorongnya tubuh Glagah Putih yang sedang duduk diatas sebuah batu besar disampingnya itu sehingga meluncur jatuh ke sungai.

Glagah Putih yang tidak menduga sama sekali bahwa Rara Wulan akan berbuat sejauh itu benar benar tidak bisa menghindar ketika akhirnya tubuhnya pun jatuh ke air dan menjadi basah kuyup.

Sekarang Rara Wulan lah yang tertawa geli, ketika dilihatnya Glagah Putih yang basah kuyup dengan bersungut sungut mencari batu yang lain yang berseberangan dengan Rara Wulan untuk tempat duduk.

Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat tersenyum simpul menyaksikan polah tingkah pasangan muda itu. Teringat olehnya pada saat saat awal perjumpaannya dengan Sekar Mirah, segala sesuatunya begitu indah, namun ketika hubungan mereka sudah menuju ke arah yang sungguh sungguh, betapa Ki Rangga Agung Sedayu waktu itu selalu diliputi oleh kegelisahan setiap kali Sekar Mirah selalu mendesaknya untuk segera mengambil keputusan sehubungan dengan masa depan mereka berdua.

“Sudahlah,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu mencoba mengalihkan perhatian, “Sejak saat itu, setiap sore menjelang malam, aku selalu meluangkan waktu untuk melatih Sukra di Sanggar. Dan anehnya, anak itu tidak bosan bosannya turun ke sungai setiap malam, walau kadang latihan yang kami lakukan sampai menjelang tengah malam.”

“Anak itu seolah olah tidak terpisahkan dengan sungai, semalam saja dia tidak turun ke sungai, rasa-rasanya baginya sudah berbulan bulan tidak melihat sungai,” sahut Glagah Putih sambil melepas bajunya yang basah, kemudian setelah diperasnya, bajunya itu pun dipakainya kembali. Sekilas sempat dilihatnya Rara Wulan menatap kearahnya dengan penuh penyesalan.

“Tetapi ada satu hal yang membuatku heran,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Ternyata Sukra masih saja menganggapku kurang bersungguh sungguh dalam memberikan latihan dimalam hari saja, dia menganggap perkembangan ilmunya terlalu lambat, sehingga dia memintaku untuk memberikan latihan juga di siang hari, tentu saja hal ini tidak mungkin. Bukankah aku harus pergi ke barak pasukan khusus setiap hari? Akhirnya kesepakatan pun diambil, setiap pagi aku meninggalkan catatan berupa gambar gambar dari gerak dan langkah kanuragan di selembar daun lontar atau kadang pelepah pinang yang dapat dijadikan dia sebagai pedoman untuk latihan di siang hari, kemudian di malam harinya aku tinggal menyempurnakan gerakan gerakan yang telah dilatihnya di siang hari itu.”

“Dari jalur perguruan manakah Kakang melatih Sukra?”

“Dari jalur perguruan orang bercambuk. Aku sengaja tidak memberinya tuntunan dari jalur perguruan Ki Sadewa, karena pada dasarnya jalur perguruan Ki Sadewa adalah perguruan keluarga, sehingga untuk menurunkan ilmu dari jalur itu, aku harus meminta pertimbangan dari para pewaris ilmu Ki Sadewa yang lain.”

Sampai disini tiba tiba wajah Ki Rangga Agung Sedayu menjadi buram, kerut merut didahinya pun semakin dalam. Beberapa lembar rambutnya yang sudah mulai berubah warna tampak berjuntai disela sela ikat kepalanya.

Sambil menghela nafas panjang, Ki Rangga Agung Sedayu pun melanjutkan ceritanya, “Kita sebagai manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi, semua itu telah menjadi garis ketentuan dari Yang Maha Kuasa. Demikian juga ketika disuatu senja, sepulangku dari Mataram karena dipanggil oleh Ki Patih Mandaraka untuk mendapat tugas menyusul kalian berdua ke timur, aku mendapatkan papan dinding bilikku yang sebelah dalam telah bergeser terbuka sejengkal, sekilas memang tidak kelihatan, bahkan Mbokayumu Sekar Mirah pun tidak melihat keganjilan itu, karena memang aku sengaja membuat dinding rangkap dari papan yang menyekat bilik kami dengan bilik sebelah.”

Dengan berdebar debar, Glagah Putih dan Rara Wulan menatap wajah Ki Rangga Agung Sedayu, betapa wajah itu kelihatan sangat lelah, entah beban pikiran apa yang telah membuatnya demikian.

“Siapakah orang yang telah berbuat demikian, Kakang? Dan apakah yang dicarinya?” bergetar suara Glagah Putih menahan gejolak perasaannya.

“Sesuatu yang seharusnya aku jaga dengan taruhan nyawa ternyata telah hilang dari tempat penyimpanannya, ruang diantara papan rangkap penyekat dinding bilikku.”

“Apakah itu Kakang?” kembali Glagah Putih bertanya dengan penuh ketegangan.

“Kitab peninggalan Guru, kitab perguruan Empu Windujati.”

Kalau seandainya ada halilintar yang menyambar di saat itu di tempat dimana mereka bertiga berada, guncangannya mungkin tidak akan sedahsyat dengan apa yang telah didengar oleh Glagah Putih dan Rara Wulan dari keterangan Ki Rangga Agung Sedayu.

Serentak mereka berdua memandang ke arah wajah Ki Rangga Agung Sedayu dengan wajah penuh ketegangan dan dada yang bergejolak, sambil mengepalkan tangannya Glagah Putih pun berseru keras, “Kakang, katakan siapa yang mencuri kitab peninggalan Kiai Gringsing, aku sanggup melumatkan tubuhnya!”

“Ya, Kakang,” Rara Wulan pun tak kalah sigapnya dengan Glagah Putih, “Tidak perlu Kakang Agung Sedayu sendiri yang turun tangan, serahkan kepada kami berdua untuk mengatasi permasalahan ini.”

Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu sejenak, kemudian katanya, “Kalian berdua tenanglah, permasalahan ini tidak bisa diselesaikan dengan tergesa gesa, aku belum bisa menduga siapakah yang telah mengambil kitab peninggalan guru tanpa sepengetahuanku, namun dugaan yang kuat mengarah ke diri Sukra, karena sejak aku datang dari Mataram sore itu, aku tidak pernah melihatnya kembali, bahkan ketika kucoba melongok ke biliknya, bilik itu telah kosong, tidak ada selembar pakaian ataupun barang-barangnya yang tertinggal.”

“Kapankah terakhir Kakang atau Mbokayu melihat keberadaan Sukra?” tanya Glagah Putih, kekawatiran yang sangat tampak di wajahnya, justru karena dia menyadari betapa Sukra sangat mendendam atas dirinya sehubungan dengan anggapannya bahwa Glagah Putih tidak ingin melihat perkembangan yang terjadi atas dirinya serta kelebihan kelebihan yang mungkin akan dapat dicapainya.

“Aku melihat Sukra terakhir kalinya saat aku berangkat ke Mataram memenuhi panggilan Ki Patih Mandaraka, sedangkan Mbokayumu terakhir menjumpai Sukra dipagi hari berikutnya saat Mbokayumu akan pergi ke pasar. Saat itu Sukra sedang membelah kayu bakar di halaman belakang, sedangkan Ki Jayaraga sejak pagi-pagi sekali sudah berangkat ke sawah.”

“Apakah Kakang bermalam di Mataram?” Rara Wulan lah yang kini ganti bertanya.

“Aku memang tidak bisa menolak tawaran Ki Patih Mandaraka untuk bermalam di istana kepatihan waktu itu, karena memang Ki Patih baru akan membicarakan kepentingannya memanggilku menghadap justru setelah makan malam.”

Memang sudah menjadi kebiasaan Ki Patih Mandaraka untuk tidak dengan tergesa gesa menyampaikan maksudnya apabila memanggil Ki Rangga Agung Sedayu menghadap ke istana kepatihan, justru karena Ki Patih mengetahui hubungan persahabatan antara Panembahan Senapati di masa mudanya dengan seorang anak muda dari Jati Anom yang bernama Agung Sedayu.

“Bermalamlah disini,” demikian permintaan Ki Patih Mandaraka waktu Ki Rangga Agung Sedayu diterima menghadap, “ Matahari telah condong ke barat dan agaknya engkau perlu beristirahat barang sejenak, nanti malam kita akan berbicara sepuas-puasnya untuk membahas segala permasalahan yang timbul baik di lingkungan istana Mataram ini maupun yang terjadi diluar lingkup istana.”

“Terima kasih, Ki Patih. Aku mengartikan penawaran Ki Patih ini sebagai perintah, maka bagiku tidak ada kuasa apapun untuk menolaknya,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu sambil tersenyum.

“Ah,” desah Ki Patih sambil tertawa kecil, “Kadang aku yang tua ini masih digelitik oleh kenangan masa-masa muda, kehidupan yang bebas sebebas-bebasnya. Berpetualang dari satu tempat ke tempat lainnya. Menyusuri lembah, menyusup ke hutan-hutan yang lebat sekalipun dan kadang-kadang tak jarang menjumpai padukuhan-padukuan yang terpencil tetapi terasa betapa sangat damainya hidup bergaul diantara mereka, petani-petani yang lugu dan polos tanpa ada rasa kecurigaan diantara sesama. Berbeda jauh dengan lingkungan yang kualami sekarang ini, penuh dengan gebyar dan gemerlap keindahan dunia namun penuh rasa iri dengki, curiga dan kepalsuan hubungan diantara sesama.”


Yüklə 283,82 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin