Sampai disini Ki Patih terdiam, pandangan matanya menatap kearah pucuk pucuk pepohonan yang tumbuh di halaman samping istana kepatihan. Daun-daunnya yang bersemu kemerah merahan tertimpa sinar matahari sore tampak berayun ayun lembut tertiup oleh angin senja.
Demikianlah malam itu, setelah Ki Rangga Agung Sedayu selesai dijamu makan malam bersama Ki Patih Mandaraka, mereka pun kemudian duduk duduk di ruang tengah istana kepatihan.
Sejenak kemudian, setelah mereka berbicara tentang hal hal yang ringan, tentang jalur perjalanan antara Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang semakin ramai, tentang penyeberangan di kali Praga yang semakin sibuk akan tetapi bertambah aman dengan hadirnya para prajurit yang meronda di sekitar daerah itu, barulah kemudian Ki Patih mengutarakan maksudnya untuk memanggil Ki Rangga Agung Sedayu menghadap ke istana kepatihan.
“Ki Rangga, “ berkata Ki Patih, “Ada perkembangan baru yang terjadi di padepokan orang yang menyebut dirinya pangeran Ranapati itu. Beberapa telik sandi Mataram telah berhasil mendekati padepokan itu pada jarak yang sangat dekat tetapi masih dalam batas perhitungan keselamatan mereka. Hal itu dilakukan karena mereka melihat ada kesibukan yang meningkat di dalam padepokan itu dibandingkan dengan hari hari biasanya.”
“Apakah kesibukan itu berhubungan dengan ketegangan hubungan antara Mataram dengan Panaraga akhir akhir ini?” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu.
“Tidak secara langsung, tetapi ternyata kesibukan padepokan itu karena mereka telah menerima seorang tamu?”
“Seorang tamu?” bertanya Agung Sedayu.
“Ya, seorang tamu yang sangat dihormati oleh penghuni padepokan itu karena dia adalah guru dari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.”
Tiba tiba saja dada Ki Rangga Agung Sedayu berdesir tajam, jika orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu disebut-sebut mempunyai kesaktian yang tiada taranya, bagaimanakah dengan gurunya?
Agaknya Ki Patih Mandaraka dapat membaca jalan pikiran Ki Rangga Agung Sedayu, maka katanya kemudian, “Tidak ada orang yang sempurna didunia ini, demikian juga dengan Ki Singa Wana Sepuh, guru orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.”
Ki Rangga Agung Sedayu pun menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk anggukan kepalanya, seakan bergumam kepada dirinya sendiri, diapun berdesis perlahan, “Hanya Yang Maha Agung yang memiliki kesempurnaan, tidak sepantasnyalah manusia menyombongkan dirinya dengan sedikit kemampuan yang dimilikinya, sesungguhnya hanya kepadaNya kita berserah diri.”
Sekarang Ki Patih Mandaraka lah yang mengangguk anggukan kepalanya, sambil berkata, “Untuk itulah aku telah membuat pertimbangan dengan memanggilmu menghadap ke kepatihan ini. Susullah Glagah Putih ke timur, karena berita selanjutnya dari para telik sandi mengatakan bahwa Ki Singa Wana Sepuh itu telah pergi ke timur pula, setelah tahu bahwa muridnya kini berada di Panaraga.”
Sejenak kemudian suasana pun dicengkam oleh kesunyian. Angin malam yang bertiup cukup keras telah membuat atap istana kepatihan berbunyi berderak derak. Sedangkan beberapa helai dedaunan dari pepohonan yang tumbuh di halaman istana kepatihanpun jatuh berguguran dan berserakan dihalaman yang luas. Dua orang prajurit pengawal kepatihan yang menjaga pintu gerbang tampak mendongakkan kepalanya, mengamati mendung yang semakin tebal menghiasi langit. Agaknya hujan benar-benar akan turun malam itu.
“Ki Patih,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu sambil menghaturkan sembah, “Sebelum aku berangkat menunaikan tugas ke timur, perkenankanlah aku mengajukan sebuah pertanyaan agar tidak ada keraguan sama sekali untuk mengemban tugas yang berat ini.”
“Pertanyaan apakah Ki Rangga?”
Sambil membetulkan letak duduknya serta menarik nafas dalam dalam terlebih dahulu, Ki Rangga Agung Sedayu pun menjawab pertanyaan Ki Patih, “Mohon ampun Ki Patih, telah beredar luas dikalangan para Perwira bahkan sampai Prajurit pada tataran yang terendah sekalipun, sebuah cerita tentang Pangeran Umbaran yang diperintah oleh Panembahan Senopati untuk menyarungkan kerisnya pada sebuah kayu cendana pelet putih.”
Ki Patih Mandaraka sejenak termangu mangu, kemudian jawabnya, “Apakah cerita itu dihubungkan dengan seseorang yang mengaku putra Panembahan Senopati yang bergelar Pangeran Ranapati?”
“Ya, Ki Patih. Menurut cerita yang aku dengar dari mulut ke mulut, pangeran Ranapati memang telah terusir dari istana semenjak beliau masih kecil. Dan masih menurut cerita itu pula, Pangeran Umbaran yang ditugasi oleh Panembahan Senopati untuk menyarungkan kerisnya pada sebuah kayu cendana pelet putih itu tidak sampai hati untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada dirinya yang sesungguhnya yaitu melenyapkan ibu dan anaknya yang sekarang telah tumbuh menjadi orang yang pilih tanding dan bergelar Pangeran Ranapati.”
Ki Patih memandang tajam ke arah Ki Rangga Agung Sedayu seakan akan ingin menjenguk apa yang terkandung di dalam hatinya, namun akhirnya Ki Patih pun berkata, “Ki Rangga Agung Sedayu, bagaimanakah menurut pendapatmu tentang cerita ngaya wara yang sekarang sedang berkembang di tengah tengah kehidupan kawula Mataram ini?”
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sejenak dia memandang wajah Ki Patih seolah olah ingin menjajaki apakah sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Ki Patih.
“Ampuh Ki Patih, aku tidak bisa menarik kesimpulan tentang kebenaran dari cerita yang sedang berkembang dan diperbincangkan oleh hampir setiap kawula Mataram. Namun satu hal yang dapat aku simpulkan, cerita ini pasti ada sumber yang menyebarkannya dan mempunyai tujuan tertentu.”
“Menurutku memang benar demikian, ada seseorang ataupun mungkin bahkan sekelompok orang yang mempunyai ikatan tertentu telah mencoba mengguncang sendi sendi kehidupan kawula Mataram dengan menghembuskan cerita yang ngaya wara untuk kepentingan mereka sendiri.”
“Dan yang pasti cerita ini sebagai dalih untuk menarik perhatian para kawula Mataram sehingga mereka merasa trenyuh dengan kisah hidup orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.” Kembali Ki rangga Agung Sedayu menambahkan.
“Ya,” jawab Ki Patih, “Sehingga jalan untuk menuju istana bagi orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu pun akan terbentang lebar.”
Sejenak keduanya pun terdiam. Masing masing terhanyut oleh angan angan tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Tidak menutup kemungkinan bahwa peristiwa demi peristiwa itu saling berkait, ada sekelompok orang yang dengan sengaja menyebarkan cerita tentang kayu cendana pelet putih itu justru untuk menarik perhatian dan rasa belas kasihan dari kawula Mataram sejalan dengan kemunculan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.
Dalam pada itu, diluar istana kepatihan hujan telah turun bagaikan ditumpahkan dari langit. Sesekali petir bersabung di udara, sejenak malam yang gelap gulita itupun terang benderang dalam sekejab, kemudian disusul dengan bunyi gemuruh yang memekakkan telinga.
Dua orang Prajurit penjaga regol kepatihan tampak berteduh di emper gardu penjagaan disebelah kanan regol, sedangkan pintu regol kepatihan dibiarkan saja dalam keadaan terbuka.
Sementara itu dari dalam gardu penjagaan tiba tiba keluar seorang perwira separo baya yang bertugas memimpin penjagaan di istana kepatihan malam itu. Dibelakangnya seorang perwira yang masih cukup muda mengikutinya. Agaknya perwira yang masih cukup muda itu adalah perwira pendamping bagi perwira separo baya itu.
Perwira separo baya itu pun mengerutkan keningnya ketika melihat dua orang prajurit penjaga regol istana kepatihan justru berteduh di emper gardu penjagaan, sedangkan regol istana kepatihan dibiarkannya dalam keadaan terbuka.
Segera saja kedua prajurit penjaga regol kepatihan itu membungkuk hormat ketika perwira separo baya itu menghampiri mereka. Namun langkah perwira separo baya itu tertahan sejenak ketika tanpa disadarinya sudut pandang matanya menangkap sesuatu yang mencurigakan. Sebuah bayangan yang seakan akan jatuh begitu saja dari dahan terendah pohon sawo kecik yang tumbuh hampir merapat dinding istana kepatihan sebelah utara. Bayangan itu meluncur turun bagaikan selembar daun kering yang runtuh dari tangkainya.
Dengan sebuah isyarat, perwira separo baya itu memanggil perwira pendampingnya yang masih saja berdiri termangu mangu di depan pintu gardu penjagaan.
“Ikut aku,” bisik perwira separo baya itu sambil menggamit lengan perwira pendampingnya ketika dia sudah berdiri disampingnya.
“Kemana Ki Lurah,” dengan ragu ragu perwira pendampingnya bertanya.
“Meronda dinding sebelah utara, dekat pohon sawo kecik itu.” Jawab perwira separo baya itu sambil menunjuk pohon sawo kecik yang tumbuh hampir merapat dinding istana kepatihan sebelah utara. Dalam kegelapan malam, tampak pohon sawo kecik itu bagaikan raksasa yang berambut gimbal sedang berdiri menjulang.
“Hujan hujan begini?”
“Ya, apa masalahnya?”
“Bukan maksudku menolak tugas Ki Lurah,” berkata perwira pendampingnya, “Namun apakah kepentingannya hujan hujan begini meronda dinding sebelah utara kepatihan? Disamping itu bukankah para prajurit dapat melakukannya?”
“Para prajurit biasa justru akan menjadi banten sebelum mereka menyadari apa yang telah terjadi. Sebaiknya kitalah yang mencoba mengamati keadaan. Aku melihat sesuatu yang meluncur turun dari cabang pohon sawo kecik itu. Menilik ujudnya seperti seseorang yang meloncat turun dari pohon itu. Marilah kita mencoba mendekatinya tanpa menarik perhatian. Semoga orang itu belum bergeser dari tempatnya.”
Selesai berkata demikian, perwira separo baya itu segera bergeser ke sudut gardu penjagaan yang gelap untuk kemudian melangkah keluar dari gardu penjagaan menembus hujan yang turun dengan lebatnya diikuti oleh perwira pendampingnya. Dengan merunduk-runduk diantara tanaman tanaman perdu dan gerumbul gerumbul bunga, keduanya berusaha mendekati pohon sawo kecik itu.
Ketika petir menyambar disertai dengan bunyi guruh yang menggelegar, penglihatan kedua perwira itu sekilas sempat menangkap sesosok bayangan yang sedang berjongkok disebelah pohon sawo kecik.
Segera perwira separo baya itu memberi isyarat kepada perwira pendampingnya untuk berpencar. Dengan merayap perlahan lahan keduanya pun kemudian mengambil tempat dari arah yang berlawanan. Sesuai dengan isyarat yang telah disepakati, keduanya akan menyerang dari arah yang berlawanan namun justru dalam rentang waktu yang berselisih beberapa kejap antara serangan pertama dan serangan kedua dengan maksud memperdaya lawan pada saat pemusatan pikirannya terpaku pada serangan yang pertama.
Demikianlah akhirnya, ketika terdengar bunyi cengkerik yang melengking tinggi tidak sebagaimana bunyi cengkerik yang sewajarnya, perwira separo baya itu pun melenting dengan kaki kanan terjulur lurus mengarah bayangan yang sedang berjongkok dibawah pohon sawo kecik. Sementara perwira pendampingnya telah bersiap siap mengarahkan serangannya kearah mana bayangan itu akan bergerak menghindari serangan pertama dari perwira separo baya itu.
Namun alangkah terkejutnya perwira pendamping itu ketika bayangan yang sedang berjongkok dibawah pohon sawo kecik itu justru telah melenting tinggi sebelum datangnya serangan dari perwira separo baya yang sedang meluncur deras kearahnya, bahkan dengan sekali berputar diudara, bayangan itu melontar dengan cepat menyambar kearah dimana perwira pendamping itu sedang bersembunyi.
Tidak ada kesempatan untuk menghidar bagi perwira pendamping itu, maka yang dilakukannya adalah menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Dengan segenap kemampuan dicobanya menahan serangan kaki yang terjulus lurus dari seseorang yang bersembunyi dibawah pohon kecik itu.
Segera saja terjadi benturan yang dahsyat tapi tidak seimbang. Tampak perwira pendamping itu terlontar beberapa langkah kebelakang kemudian jatuh terguling guling. Untuk menghindari serangan susulan, perwira pendamping itu justru berguling beberapa kali lagi untuk kemudian meloncat berdiri dengan sigap, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Perwira separo baya yang melihat sasaran serangannya justru bergerak menyerang ke arah perwira pendampingnya segera menyadari kesalahannya. Dengan sebuah loncatan panjang, diapun memburu lawannya yang kini sudah siap melontarkan serangan berikutnya kearah perwira pendampingnya.
Sejenak kemudian pertempuran sengitpun telah terjadi. Dua orang perwira yang sedang bertugas malam itu melawan seseorang yang belum diketahui jati dirinya yang mencoba menyusup ke dalam lingkungan istana kepatihan di malam itu.
Namun tampaknya kedua perwira yang sedang bertugas malam itu semakin lama terlihat semakin terdesak. Itu terlihat dari gerak mereka yang selalu meloncat mudur menghindari serangan yang membadai dari lawannya.
Ketika serangan demi serangan dari lawannya sudah tak tertahankan lagi, dengan sebuah isyarat, perwira separo baya itu pun kemudian segera mencabut senjatanya diikuti oleh perwira pendampingnya.
Lawannya sejenak termangu mangu, namun kemudian dengan menggeram dia berkata, “Persetan dengan curut curut seperti kalian ini, senjata kalian sama sekali tidak ada gunanya. Setajam apapun pedang keprajuritan kalian, tidak akan mampu menggores kulitku seujung rambut pun. Bahkan senjata itu akan dapat berbahaya bagi kalian sendiri.”
Selesai berkata demikian, orang yang mencoba menyusup istana kepatihan itupun segera memulai serangannya lagi yang membadai. Gerumbul gerumbul bagaikan terputar oleh angin prahara begitu tersentuh oleh tangannya dan ranting rantingpun berhamburan bercampur dengan air hujan serta dedaunan yang hancur lumat tersentuh ilmunya yang nggegirisi.
Segera saja pertempuran yang hiruk pikuk itu telah menarik perhatian beberapa prajurit yang sedang bertugas malam itu. Empat prajurit yang sedang betugas di gerbang sebelah utarapun segera berlari larian mendekat. Sementara beberapa prajurit yang menjaga pintu butulan telah membagi tugas. Setelah menutup pintu butulan dan menyelaraknya dengan kuat, maka sebagian prajurit telah menggantikan tugas prajurit yang menjaga gerbang di sisi utara, yang karena tergesa gesa sehingga pintu gerbang sebelah utara telah mereka tinggalkan begitu saja, sedangkan sebagian ada yang ikut berlari larian menuju ke tempat pertempuran itu terjadi.
Hujan yang turun cukup deras malam itu perlahan mulai mereda, namun titik titik air masih saja turun membasahi halaman istana kepatihan. Mendung yang menghitam telah menipis dan perlahan mengalir ketimur tertiup oleh angin malam. Bulan tuapun mulai menampakkan wajahnya yang sendu.
Dalam pada itu, orang yang berusaha menyusup kedalam istana kepatihan itu pun telah meningkatkan serangannya. Ranting ranting dan dahan dahan pepohonan di halaman samping istana kepatihan itu bagaikan di guncang prahara. Sementara setiap sentuhan tangannya menimbulkan bekas yang mendebarkan, kulit kulit pepohonan terkelupas dan hangus terbakar.
Orang yang menyusup istana kepatihan itu agaknya sudah hampir menyelesaikan tugasnya, melumpuhkan dua orang perwira yang bertugas malam itu, ketika tiba tiba saja ditengah tengah pertempuran yang sengit itu terdengar bunyi cambuk meledak, tidak begitu keras namun getarannya bagaikan merontokkan isi dada.
Dengan mengumpat kasar, orang yang berusaha menyusup istana kepatihan itu pun meloncat beberapa langkah surut. Diedarkan pandangan matanya disekeliling medan pertempuran. Tampak seseorang yang berperawakan tegap berdiri dihadapannya beberapa langkah, tangan kanannya memegang pangkal cambuknya, sedangkan juntai cambuk itu dipegangnya dengan tangan kiri.
“Ki Rangga Agung Sedayu,” desis orang itu di dalam hati. Walaupun malam tidak begitu terang karena hanya sepotong bulan tua yang menerangi halaman istana kepatihan sebelah utara, namun orang itu yakin bahwa yang sedang berdiri dihadapannya kini adalah murid tertua dari orang bercambuk, menilik dari kekuatan getaran cambuknya yang mampu merontokkan isi dada.
Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Mandaraka ternyata telah hadir di tempat itu. Keributan yang ditimbulkan oleh pertempuran di dekat dinding halaman kepatihan sebelah utara itu ternyata telah menarik perhatian mereka berdua.
Dengan sebuah isyarat, ki Rangga Agung Sedayu memerintahkan beberapa prajurit yang telah mengepung diseputar dinding utara kepatihan itu untuk menolong memapah kedua perwira yang bertugas malam itu ketempat yang aman. Keadaan kedua perwira itu cukup parah. Beberapa goresan luka silang melintang ditubuhnya. Tidak ada darah setetes pun yang menitik dari luka tersebut, namun luka itu justru bagaikan terbakar dan meninggalkan bekas yang mengerikan.
“Apakah aku berhadapan dengan prajurit linuwih, agul agulnya Mataram yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu?” tiba tiba saja orang itu bertanya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Pada dasarnya, Ki Rangga Agung Sedayu adalah orang yang jujur yang tidak pernah berusaha menyembunyikan jati dirinya, maka jawabnya tanpa tedeng aling aling, “Dugaanmu benar Ki Sanak, engkau berhadapan dengan Ki Rangga Agung Sedayu. Kalau aku boleh bertanya, siapakah Ki Sanak dan ada keperluan apakah Ki Sanak malam malam begini berkunjung ke istana kepatihan Ki Patih Mandaraka?”
Tiba tiba saja orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan itu tertawa tergelak. Sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, tanpa dapat diketahui dari mana datangnya, kedua tangan orang itu masing masing sudah menggenggam sebilah pisau belati. Hanya dalam sekejab sebelum Ki Rangga Agung Sedayu menyadari apa yang akan terjadi, dua larik sinar menyambar kearah dadanya.
Terkejut Ki Rangga Agung Sedayu, tidak mungkin baginya menghindari sambaran kedua belati itu dengan menloncat ke atas mengingat dapat membahayakan para prajurit yang berdiri di belakangnya, maka satu satunya jalan hanyalah dengan memutar cambuknya membentuk pusaran angin yang menghisap kedua belati tersebut sehingga runtuh tepat di depan ujung kakinya.
Tidak ada seorangpun yang menduga bahwa serangan itu adalah sekedar usaha orang itu untuk mengalihkan perhatian, bahkan ki Patih Mandaraka yang berdiri dua langkah disamping Ki Rangga Agung Sedayupun terlambat menyadarinya. Hanya dalam beberapa kejab orang itu sudah bertengger diatas tembok pembatas istana kepatihan sebelah utara setelah terlebih dahulu memecahkan kepungan para prajurit dengan mudahnya, dua orang prajurit yang berdiri diarah belakangnya telah rebah di tanah tanpa bergerak sama sekali.
Sambil memperdengarkan suara tertawanya yang menggelegar, bayangan itupun segera meloncat hilang di balik dinding. Sementara Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Patih Mandaraka justru tidak berusaha mengejarnya. Adalah sangat berbahaya melompati dinding sementara mereka tidak mengetahui bahaya yang tersembunyi dibaliknya.
“Sudahlah Ki Rangga, “ desis Ki Patih membuyarkan lamunan Ki Rangga Agung Sedayu, “Marilah kita kembali, biarlah segala sesuatunya diurus oleh prajurit yang sedang bertugas.”
Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat mengangguk anggukan kepalanya sambil menarik nafas dalam dalam. Segala sesuatunya masih gelap baginya, namun sebagi seorang prajurit yang linuwih, sebenarnya Ki Rangga Agung Sedayu merasakan getaran aneh pada panggraitanya atas kejadian yang baru saja terjadi. Seolah olah dia merasa bahwa kehadiran orang tersebut hanya sekedar mengalihkan perhatiannya atas peristiwa yang lain yang mungkin telah menjadi rencana dari golongan tertentu.
Atas perintah Ki Patih, kedua perwira yang terluka itu telah diangkat dan dibaringkan di pendapa. Sedangkan kedua prajurit yang dilumpuhkan oleh orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan malam itu ternyata hanya pingsan. Dengan memijat bagian tertentu dari tubuh kedua prajurit yang pingsan itu, Ki Patih telah berhasil membuat mereka tersadar kembali.
Kawan kawanya tersenyum ketika melihat betapa kedua prajurit itu menjadi kebingungan setelah mereka menyadari keadaan yang sebenarnya. Bahkan ada yang tidak dapat menahan tertawanya ketika salah seorang dari kedua prajutrit yang pingsan itu terlihat kebingungan setelah menyadari bahwa dia telah kehilangan senjatanya. Seorang kawannya ternyata secara diam diam telah melolos pedangnya dan menyembunyikannya ketika dia mulai menyadari keadaannya akibat pijatan pada bagian khusus di tubuhnya oleh Ki Patih Mandaraka.
“He, dimana pedangku,” geram prajurit yang baru sadar dari pingsannya dan baru menyadari bahwa pedang keprajuritannya tidak berada di sarungnya.
“Apakah engkau yakin tidak lupa membawa pedangmu saat berangkat bertugas?” bertanya salah seorang kawannya sambil tersenyum senyum.
“Jangan bergurau, “ bentak prajurit yang kehilangan pedangnya itu, “Pedang bagi seorang prajurit adalah sama harganya dengan nyawanya, dalam pertempuran kehilangan pedang sama artinya kehilangan nyawa.”
“Jadi bagaimana mungkin engkau masih hidup sampai sekarang sedangkan engkau telah kehilangan nyawamu?”
“Gila,” sekali lagi prajurit yang kehilangan pedangnya itu menggeram, “Hentikan permainan gila ini atau kalian akan berurusan dengan perwira yang bertugas malam ini.”
Kawan kawannya saling berpandangan sejenak, namun kemudian seseorang telah menunjuk kearah pendapa sambil berdesis, “Kedua perwira yang bertanggung jawab malam ini sedang terluka, mungkin diperlukan waktu beberapa hari untuk memulihkan keadaan mereka seperti sedia kala.”
Prajurit yang kehilangan pedangnya itu sejenak termangu mangu, namun kemudian jawabnya, “Akan segera ditunjuk perwira penggantinya malam ini juga. Kepadanya aku akan melaporkan ulah gila kalian ini. Dalam keadaan yang genting, kalian masih saja sempat bergurau, bahkan gurauan yang tidak masuk akal sama sekali, mencuri pedangku disaat aku pingsan.”
“Pingsan atau tidur?” tiba tiba salah seorang kawannya menyelutuk.
Segera saja terdengar tertawa yang berderai derai dari para prajurit yang sedang mengerumuni kedua kawannya yang baru sadar dari pingsannya itu.
Prajurit yang kehilangan pedangnya itu kelihatannya tidak mau meladeni ulah kawan kawannya yang semakin gila. Dengan tergesa gesa diapun bangkit berdiri, tetapi alangkah terkejutnya ketika dia sedang menundukkan kepalanya sambil mengibas ngibaskan debu yang melekat di kain panjangnya, matanya tertumbuk pada sebuah pedang yang tergeletak hanya berjarak satu jengkal saja dengan ibu jari kakinya.
Sambil bersungut sungut, prajurit itupun kemudian membungkukkan badannya untuk mengambil pedang yang tergeletak hanya sejengkal di depannya. Setelah sejenak mengamat amati dan yakin bahwa itu adalah pedangnya sendiri, tanpa banyak cakap segera saja pedang itu disarungkannya.
Ketika kemudian prajurit itu dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu, terdengar kawan kawannya masih sempat berbisik bisik, “He, dia telah menemukan nyawanya kembali.”
“Semoga lain kali dia tidak meletakkan nyawanya sembarangan.”
Namun prajurit yang telah menemukan senjatanya itu telah jauh dan memang dia tidak ingin meladeni gurauan kawan kawannya yang baginya keterlaluan dan tidak masuk akal.
Dalam pada itu, Ki Patih dan Ki Rangga Agung Sedayu sejenak masih menyempatkan diri untuk mengamati luka luka yang di derita oleh dua orang perwira yang bertugas jaga malam itu. Sambil mengerutkan keningnya, mereka berdua menjadi berdebar debar ketika melihat dari dekat akibat yang ditimbulkan oleh luka itu. Kulit kedua perwira itu melepuh bagaikan tersentuh bara api yang terbuat dari tempurung kelapa.
Keduanya sejenak masih mencoba mengurai kemungkinan pengenalan mereka atas luka luka yang diderita oleh kedua perwira itu. Sejauh yang dapat dikenali oleh Ki Patih, memang ada beberapa perguruan yang mampu melepaskan kekuatan ilmunya melalui sentuhan jari jari tangannya. Getaran ilmu itu dapat tersalurkan melalui ujung ujung jari dan dapat menimbulkan panas yang dapat membakar apa saja yang disentuhnya.
“Aku mengenal sebuah perguruan di daerah Madiun yang terletak didekat sebuah telaga yang cukup luas. Mereka menyebut perguruan itu perguruan Liman Benawi, gabungan nama dari letak perguruan itu yang berada di tepi telaga dan seekor gajah peliharaan dari pemilik padepokan yang menyebut dirinya sebagai Ki Wasi Jaladara.”
Dostları ilə paylaş: |