“Apakah perguruan itu mempunyai sikap tertentu terhadap perkembangan Mataram, Ki Patih?”
“Perguruan itu tidak ikut campur ketika terjadi pertempuran antara Mataram dan Madiun beberapa waktu yang lampau. Namun ada satu hal yang menarik dari perguruan itu, kesenangannya untuk mengumpulkan benda benda pusaka, baik berupa keris, pedang, tombak maupun batu batu bertuah. Bahkan kitab kitab kunapun tidak luput dari perburuan mereka. Sebenarnyalah kekuatan mereka itu tercipta dari gabungan segala yang mereka dapatkan itu untuk diteliti dan dipelajari hubungan yang mungkin dapat ditimbulkan diantara mereka yang kemudian akan luluh menjadi sebuah ilmu baru yang nggegirisi.”
Ki Rangga Agung Sedayu tertegun sejenak. Panggraitanya yang tajam telah mengisyaratkan kepadanya bahwa sesuatu agaknya sedang mengancam keselamatan dirinya. Namun ki Rangga tidak mampu mengurai apakah sebenarnya yang sedang dan akan terjadi diseputar diri pribadinya itu.
“Marilah Ki Rangga,” berkata Ki Patih Mandaraka sambil berjalan masuk ke pringgitan, “Biarlah tabib yang berwenang mengurus mereka yang terluka.”
“Ki Patih,” tiba tiba Ki Rangga Agung Sedayu menyela sehingga langkah Ki Patih yang sudah hampir mencapai pintu pringgitan terhenti sejenak
Sambil berpaling Ki Patih Mandaraka mengerutkan keningnya dalam dalam, kemudian katanya, “Adakah sesuatu yang memberati hatimu Ki Rangga?”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki Patih, “Sesungguhnya ini hanyalah kekawatiran dari seseorang yang berjiwa kerdil saja Ki Patih. Jika aku diijinkan, malam ini juga aku akan kembali ke Menoreh.”
“Malam ini Juga?” terheran heran Ki Patih sambil berjalan kembali mendekati Ki Rangga Agung Sedayu.
“Apakah Ki Rangga mencemaskan keluarga yang ada di Menoreh sehubungan dengan kedatangan orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan tadi?”
“Ampun Ki Patih, justru pengenalan orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan tadi tentang diriku, membuat aku berpikir tentang keselamatan keluarga yang ada di Menoreh.”
“Bukankah Ki Jayaraga masih tinggal di rumahmu?”
“Benar Ki Patih.”
“Seseorang yang ingin berbuat jahat terhadap keluarga Ki Rangga, aku kira harus berpikir seribu kali. Ki Jayaraga adalah seorang yang linuwih, apalagi masih ada istrimu yang tidak bisa dipandang sebelah mata kemampuannya.”
Ki Rangga Agung Sedayu sejenak menjadi ragu ragu. Berbagai pertimbangan berkecamuk didalam hatinya.
Akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu pun menyampaikan juga kepada Ki Patih tentang keadaan sebenarnya yang dialami oleh istrinya.
“Ampun Ki Patih, akhir akhir ini Sekar Mirah harus banyak beristirahat, latihan olah kanuragan dan pemusatan ilmu yang diwarisi dari Ki Sumangkar, telah dua bulan ini tidak pernah diungkapkannya baik dalam bentuk kewadagan maupun hanya dalam bentuk pemusatan nalar dan budi.”
Wajah Ki Patih menjadi bersungguh sungguh mendengarkan penjelasan dari Ki Rangga Agung Sedayu, lalu katanya sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Bersyukurlah kepada Yang Maha Agung atas karunia ini, Ki Rangga. Di usia yang mulai merambat senja, justru karunia itu telah datang. Betapa memang kekuasaan Yang Maha Agung itu sungguh tak terbatas. Bahkan di dalam kitab suci yang kita yakini, diceritakan tentang salah satu utusanNYA yang mendapat karunia momongan justru pada saat usia utusan itu sudah sangat tua, dan istrinya pun sudah dianggap mandul oleh para pengikutnya.”
Dada Ki Rangga Agung Sedayu tergetar mendengar uraian dari Ki Patih. Hatinya benar benar diliputi rasa syukur yang tiada terkira atas segala karunia yang telah dilimpahkan kepada diri dan keluarganya.
“Baiklah Ki Rangga, kalau memang itu menjadi landasan pertimbanganmu, sebaiknya pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, engkau dapat kembali ke Menoreh. Aku kira malam ini tidak akan terjadi apa apa. Seandainya orang yang berusaha menyusup istana kepatihan itu ingin mengganggu keluarga yang ada di Menoreh, diperlukan perjalanan yang panjang untuk mencapai Menoreh. Mungkin setelah matahari terbit baru sampai di Menoreh, dan di siang hari adalah kemungkinan yang sangat kecil untuk berbuat onar di Tanah Perdikan Menoreh. Itu sama saja dengan mencari mati.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Memang apa yang telah disampaikan oleh Ki Patih itu adalah hal yang sangat masuk akal menurut perhitungan nalar.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedari tadi mendengarkan cerita dari Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat terpekur diam. Mereka berdua tidak mampu untuk mengurai kejadian yang saling tumpang tindih antara hilangnya kitab perguruan Windujati dan tujuan seseorang yang berusaha menyusup ke istana Kepatihan.
“Mengapa orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan itu justru melarikan diri setelah mengetahui bahwa yang dihadapinya adalah Ki Rangga Agung Sedayu?” bertanya Rara Wulan seolah olah kepada dirinya sendiri.
“Tentu saja dia takut menghadapi Kakang Agung Sedayu, Wulan.” Glagah Putih yang duduk didepannya menyahut.
“Tentu tidak,” Ki Rangga Agung Sedayu lah yang menjawab sambil menggeleng gelengkan kepalanya, “kalau seandainya ada yang ditakuti oleh orang itu, Ki Patih Mandaraka lah yang seharusnya lebih ditakuti. Tetapi kenapa justru dia berusaha menyusup ke istana Kepatihan?”
“Kakang benar,” sahut Glagah Putih, “Seandainya orang itu mempunyai perhitungan yang waras, tidak mungkin dia akan berusaha menyusup ke istana Kepatihan jikalau dia tahu benar bahwa Ki Patih sedang berada di Kepatihan.”
“Apakah mungkin orang tersebut hanya ingin menarik perhatian atas penghuni istana kepatihan untuk meyakinkan atas pengamatannya siapa sajakah yang sedang tinggal di istana Kepatihan malam itu?” desis Ki Rangga Agung Sedayu perlahan lahan.
Tiba tiba saja Ki Rangga Agung Sedayu terlonjak dari tempat duduknya bagaikan disengat kalajengking ketika menyadari kemungkinan itu dapat saja terjadi.
“Jadi kesimpulan apakah yang dapat kita tarik dari semua kejadian itu?” bertanya Glagah Putih dengan berdebar debar.
Ki Rangga Agung Sedayu termenung sejenak, perlahan lahan dia menengadahkan wajahnya, lalu dilemparkannya pandangan matanya ke titik titik di kejauhan. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu tanggapan Ki Rangga Agung Sedayu dengan jantung yang berdebar debar.
“Seandainya orang itu hanya ingin meyakinkan keberadaanku malam itu di istana Kepatihan, dapat dipastikan bahwa dia tidak berdiri sendiri, ada sekelompok atau mungkin lebih dari dua orang yang berkepentingan dengan keterangan tentang keberadaanku malam itu, sehingga mereka punya landasan yang kuat untuk melaksanakan rencanya mereka selanjutnya.”
“Dan langkah mereka selanjutnya adalah mencuri kitab peninggalan Kiai Grinsing.” Sahut Rara Wulan berapi api.
“Mengapa engkau menarik kesimpulan seperti itu, Rara?” tanya Glagah putih dengan cepat.
“Bukankah mereka yakin rencananya akan berjalan lancar karena mereka tahu bahwa Kakang Agung Sedayu tidak ada di rumah?”
“Bagaimana dengan Ki Jayaraga?” giliran Ki Rangga Agung Sedayu yang bertanya.
Tiba tiba Rara Wulan meluncur turun dari batu tempat duduknya. Kemudian dia berjalan dengan cepat mendekat ke Glagah Putih, sambil mengguncang guncangkan lengan Glagah Putih, Rara Wulanpun berseru, “Kakang, bukankah Kakang hapal sekali dengan kebiasaan Ki Jayaraga yang selalu berangkat ke sawah pagi pagi sekali?”
“He,” Glagah Putih tersentak mendengar pertanyaan Rara Wulan.
“Dan Nyi Sekar Mirah sudah terbiasa ke pasar setiap pagi. Jadi hanya Sukra yang biasanya menjaga rumah di pagi hari.” Tambah Rara Wulan.
“Memang sekembalinya aku dari Mataram menjelang sore di hari itu. Aku tidak menjumpai Sukra sama sekali, bahkan beberapa lembar pakaiannya pun telah dibawanya pergi.” Berkata Ki Rangga Agung Sedayu.
“Kejadian itu mungkin saja terjadi pada saat di rumah hanya ada Sukra, Kakang.” Kini giliran Glagah Putih yang memberikan pendapatnya.
“Apalah artinya Sukra menghadapi orang orang yang bermaksud jahat itu jika seandainya memang benar kelompok dari orang yang berusaha menyusup di Istana Kepatihan itu yang melakukan pencurian kitab peninggalan Kiai Gringsing.” Potong Rara Wulan.
“Tetapi mengapa Sukra harus pergi meninggalkan rumah seandainya benar dia tidak bersalah?” bantah Glagah Putih tidak mau kalah.
“Kemungkinannya hanya satu,” sahut Rara Wulan cepat, “Sukra pergi dari rumah bukan atas kemauannya sendiri, tapi atas kehendak orang lain.”
“Maksudmu diculik?” hampir berbareng Ki Rangga Agung Sedayu dan Glagah Putih bertanya.
“Ya,” jawab Rara Wulan mantap, seolah olah dia sudah dapat merangkai semua kejadian itu menjadi suatu urutan cerita yang runtut.
Ki Rangga Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan. Hati mereka benar benar diliputi oleh ketegangan yang luar biasa membayangkan Sukra yang mungkin kini sedang dalam penguasaan sekelompok orang orang yang tak dikenal.
Namun tanpa sadar tiba tiba Ki Rangga Agung Sedayu menggeleng gelengkan kepalanya sambil bergumam, “Seandainya benar Sukra diculik, dia tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengemasi pakaiannya.”
“Ah,” desah Rara Wulan merasa kecewa karena pendapatnya ternyata masih dapat dimentahkan dengan kenyataan yang ada, sementara Glagah Putihpun menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya.
“Sudahlah,” akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu mencoba mengalihkan perhatian dari persoalan yang cukup memusingkan kepala itu, kemudian lanjutnya, “Dimanakah kalian tinggal selama ini?”
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu mangu sejenak, hati mereka masih diliputi oleh kegelisahan tentang keberadaan Sukra sehingga pertanyaan dari Ki Rangga Agung Sedayu itupun seolah olah tidak mereka dengar.
Baru ketika untuk kedua kalinya Ki Rangga Agung Sedayu mengulangi pertanyaannya, merekapun bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk.
“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian, “Kami tinggal di sebuah rumah di pinggiran kota Panaraga, disana kami berkumpul bersama sama dengan para petugas sandi dari Mataram yang lainnya.”
“Apakah keberadaan rumah tempat kalian berkumpul itu tidak tercium olah para petugas sandi dari Kadipaten Panaraga?”
“Kemungkinan itu sudah ada Kakang, dengan terbongkarnya penyamaran Rara Wulan, kami sudah berpikir untuk segera menyingkir dari rumah itu sebelum para petugas sandi dari Kadipaten Panaraga mencium keberadaan kami.”
“Lakukanlah, semakin cepat semakin baik. Aku tidak bisa bergabung dengan kalian untuk sementara waktu karena ada tugas khusus yang dibebankan oleh Ki Patih Mandaraka kepadaku.”
“Baiklah Kakang, kami segera minta diri untuk kembali ke pondokan kami dan memberi tahu Ki Madyasta untuk segera menyingkir dari rumah itu.”
Demikianlah, sebelum berpisah merekapun telah saling menyepakati kapan dan dimana mereka akan bertemu lagi, tentu saja dengan menggunakan tanda tanda sandi yang dapat mereka letakkan dimana saja, atau bahkan mereka goreskan di pohon pohon di pinggir jalan tanpa menarik perhatian sama sekali.
Matahari telah semakin tinggi ketika kemudian mereka bertiga mengambil jalannya masing masing, Glagah Putih dan Rara Wulan kembali ke pondokan mereka sedangkan Ki Rangga Agung Sedayu sejenak masih menelusuri sungai beberapa saat untuk kemudian naik ketepian kembali ke pusat kota Panaraga.
Sementara itu di tanah Perdikan Menoreh, Ki Jayaraga sedang beristirahat melepaskan lelah setelah menyiangi padi di sawah yang mulai tumbuh subur. Rumput rumput yang tumbuh disela sela batang padi itu harus disingkirkan agar batang batang padi bisa tumbuh semakin subur dan akhirnya diharapkan akan menghasilkan bulir bulir padi yang melimpah.
Ketika Ki Jayaraga sedang duduk duduk di gubuk sambil melepaskan lelah, tanpa sengaja pandangan matanya tertumbuk pada dua orang laki laki yang berjalan dengan tergesa gesa meniti pematang dari arah seberang jalan.
Dua orang laki laki yang bertubuh kekar dan berwajah keras, sekeras batu padas di gerojokan. Kumis dan jambang tumbuh sangat lebat hampir menutupi sebagian wajah mereka, sementara jenggot mereka dibiarkan saja tumbuh liar hampir sebatas dada.
Dada Ki Jayaraga menjadi berdebar debar ketika tanpa ragu ragu langkah kedua orang itu justru menuju ke gubuk tempatnya melepas lelah.
Debar di jantung Ki Jayaragpun semakin kencang ketika tanpa disengaja pandangan mata mereka bertemu pada saat kedua orang itu tinggal beberapa langkah saja di depan gubuk tempat Ki jayaraga melepas lelah.
“Ki sanak, “ sapa orang yang berperawakan lebih tinggi dari kawannya, “Bukankah Ki sanak ini yang bernama Jayaraga?”
KI Jayaraga terkejut, tampaknya orang ini sudah mengenal dirinya atau setidak tidaknya mendapat gambaran tentang dirinya sebelum datang menemuinya.
Dengan cepat Ki Jayaragapun bangkit dari tempat duduknya. Segala sesuatunya mungkin saja terjadi sebelum dia menyadari dengan siapa dia berhadapan.
“Benar Ki sanak, akulah yang disebut Jayaraga yang tinggal di rumah Ki Rangga Agung Sedayu, Pemimpin prajurit pasukan khusus dari Mataram yang bertempat di Tanah Perdikan Menoreh.” Jawab Ki Jayaraga tanpa tedeng aling aling karena dia sudah mempersiapkan dirinya lahir batin untuk mengahadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Orang berperawakan tinggi itu mengerutkan keningnya. Tampak dari sinar matanya ada rasa ketersinggungan dengan jawaban Ki Jayaraga.
“Kakang Wirapati,” berkata orang yang berperawakan agak pendek kepada kawannya yang ternyata bernama Wirapati, “Mengapa Kakang masih menggunakan segala unggah ungguh menghadapi orang yang sudah akan mati ini? Jangan banyak membuang waktu, segera kita lumpuhkan saja orang tua ini dan kita seret ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu untuk menunjukkan dimana Ki Rangga Agung Sedayu menyimpan kitab peninggalan gurunya, kitab perguruan Empu Windujati.”
Bagaikan disambar halilintar di siang hari Ki Jayaraga mendengar perkataan orang yang berperawakan agak pendek itu, namun sebelum dia menanggapinya, tiba tiba orang yang bernama Wirapati itu menggeram keras bagaikan geraman seekor singa jantan.
“He tua bangka Jayaraga, menyerahlah dan ikut kami ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Sejak pagi tadi kami sudah mengaduk isi rumah Ki Rangga Agung Sedayu namun tidak kami temukan tanda tanda adanya kitab Empu Windujati.”
Berdesir dada Ki Jayaraga, namun orang tua itu berusaha untuk setenang mungkin menghadapi hal yang sangat tidak diduganya.
“Sebentar Ki sanak berdua,” berkata Ki Jayaraga sareh, “Aku tidak begitu mengerti tentang apa yang kalian bicarakan. Kalian menyebut nyebut kitab peninggalan perguruan Empu Windujati. Sepengetahuanku perguruan itu telah lama hilang dari muka bumi sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, bahkan siapa pewaris dari perguruan itupun tidak ada yang mengetahuinya.”
“Bohong!” bentak Wirapati, “Semua orang tahu bahwa orang bercambuk yang bernama Kiai Gringsing itu adalah pewaris dari perguruan Empu Windujati dan Ki Rangga Agung Sedayu adalah salah satu murid dari Kiai Gringsing. Apakah engkau masih akan mengingkarinya?”
“Dari mana Ki sanak mendengar dongeng ngaya wara ini?” bertanya Ki Jayaraga dengan hati yang berdebar debar. Agaknya sudah bukan rahasia lagi bahwa jalur perguruan Empu Windujati itu sudah diketahui oleh kebanyakan orang.
Tiba tiba kedua orang itu tertawa tergelak. Sambil berpaling kearah kawannya, Wirapati berkata, “Adi Surengpati, tolong beritahu kakek tua ini sebelum ajalnya menjemput agar tidak penasaran menjelang kematiannya.”
“Baiklah Kakang,” jawab Surengpati sambil tersenyum senyum kearah Ki Jayaraga, “Ketahuilah Ki Jayaraga, karena kesombongan murid dari orang bercambuk itu sendirilah yang telah menyingkap tabir yang selama ini menutupi keberadaan jalur perguruan Empu Windujati. Hampir semua orang percaya kalau perguruan Empu Windujati telah lenyap bersamaan waktunya dengan runtuhnya Majapahit. Namun kini semua orang membicarakan munculnya jalur perguruan itu dalam hubungannya dengan perguruan Kiai Gringsing yang menyebut dirinya sebagai orang bercambuk.”
Ki Jayaraga berdiri termangu mangu. Berbagai pertimbangan bergejolak didalam hatinya. Bukankah selama ini murid murid orang bercambuk tidak pernah menyebut diri mereka sebagai pewaris dari jalur perguruan Empu Windujati? Bagaimanakah hal ini bisa terjadi?
Agaknya Surengpati bisa menebak jalan pikiran Ki Jayaraga, maka katanya kemudian, “Murid muda dari orang bercambuk yang bernama Swandaru itulah yang telah dengan sombong menyebut dirinya pewaris perguruan Empu Windujati. Bahkan dia telah berani menantang guru kami Kiai Sarpa Kenaka dari perguruan Toya Upas ketika terjadi perselisihan di arena Langen Tayub antara Swandaru dengan salah seorang murid perguruan kami.”
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya dalam dalam. Swandaru memang berbeda dengan Agung Sedayu. Swandaru mempunyai sifat yang cenderung meledak ledak dan hampir tidak pernah banyak pertimbangan dalam bertindak. Namun rahasia perguruan seharusnya tetap dijaga, bagaimanapun keadaannya.
“Sudahlah Ki Jayaraga,” sekarang giliran Wirapati yang berbicara, “Lebih baik engkau jangan banyak tingkah dan segera tunjukkan kepada kami dimana Ki Rangga Agung Sedayu menyimpan kitab peninggalan Empu Windujati.”
“Aku benar benar tidak mengerti Ki sanak,” Ki Jayaraga mencoba untuk memancing keterangan lebih banyak lagi, “Kalau seandainya benar perguruan orang bercambuk itu adalah jalur perguruan Empu Windujati yang selama ini terpendam, apakah setiap perguruan pasti mempunyai sebuah kitab yang diwariskan turun temurun? Hal ini masih perlu untuk dibuktikan.”
Kembali kedua orang itu tertawa tergelak gelak. Sambil menggeleng gelengkan kepalanya Wirapati menjawab, “He, orang pikun. Ketahuilah, pada saat itu Swandaru dalam keadaan mabuk berat karena tidak bisa menolak setiap kali Nyi Saimah tledek yang muda dan cantik itu menyodorkan tuak sebagai penghormatan atas kesediaannya menghadiri perhelatan pernikahan anak bungsu Ki Jinawi, paman dari saudara seperguruan kami, Adi Wanengpati yang tinggal di Kademangan Semangkak, tetangga dari Kademangan Sangkal Putung yang besar.”
“Ya,” sahut Surengpati, “Dan ternyata anak Ki Demang Sangkal Putung yang gemuk itu tersinggung ketika Nyi Saimah melayani Kakang Wanengpati untuk menari sedangkan Swandaru sudah mendapatkan giliran sebelumnya, bahkan berkali kali tanpa ada seorangpun yang berani menghentikannya.”
“Benar benar suatu kesombongan yang tiada taranya. Swandaru telah menghentikan Adi Wanengpati yang justru baru mulai menari diiringi oleh Nyi Saimah. Pertengkaranpun tidak bisa dihindarkan lagi. Saat itulah, Swandaru dengan licik telah menyerang Adi Wanengpati tanpa peringatan terlebih dahulu. Bahkan dengan sombongnya dia telah menantang guru kami seandainya Adi Wanengpati tidak terima dengan peristaiwa yang telah terjadi.” Berkata Wirapati sambil menggeretakkan giginya.
Debar di dada Ki Jayaragapun semakin kencang ketika Wirapati meneruskan ceritanya.
“Pada saat itu guru kami sedang menjalani laku dari puncak ilmu perguruan kami, tapa kungkum selama empat puluh hari empat puluh malam sehingga tidak bisa diganggu. Ketika hal itu disampaikan Adi Wanengpati kepada Swandaru, dengan sombongnya dia mengatakan sanggup menunggu sampai kapanpun laku itu akan berakhir, bahkan diapun tak mau kalah telah mengatakan dalam waktu dekat akan menjalani laku sebuah ilmu dari kitab peninggalan perguruan Empu Windujati yang sekarang sedang berada di tangan kakak seperguruannya, Ki Rangga Agung Sedayu yang bulan depan akan diserahkan kepadanya sesuai dengan giliran yang telah disepakati, karena masih menurut pengakuannya, mereka berdua adalah pewaris dari jalur perguruan Empu Windujati yang telah lama menghilang.”
Kini Ki Jayaraga benar benar tidak bisa menghindar lagi karena ternyata rahasia itu telah diungkapkan oleh Swandaru sendiri, salah seorang murid Kiai Gringsing yang mempunyai jalur langsung dari perguruan Empu Windujati.
“Sudahlah Ki Jayaraga,” berkata Wirapati selanjutnya, “Semua perguruan yang ada di tanah ini telah menyebarkan murid muridnya untuk memburu kitab peninggalan Empu Windujati. Pada saat kami memasuki Tanah Perdikan ini, menilik ciri ciri yang mereka kenakan, kami telah mengenali murid murid dari perguruan Liman Benawi dari Madiun, Sasadara dari Blitar, Brajamusti dari pegunungan kapur, bahkan dari perguruan yang ada di ujung timur pulau inipun telah mengirimkan muridnya, perguruan Harga Belah di tlatah Blambangan.”
“Perguruan Harga Belah dari Blambangan?” tanya Ki jayaraga tanpa disadarinya.
“Ya, perguruan Harga Belah yang dipimpin oleh Kiai Harga Jumena dengan Aji kebanggaannya Aji Harga Belah yang mampu membelah gunung sebesar apapun.”
Ki Jayaraga benar benar tidak tahu apa yang seharusnya diperbuat menghadapi keadaan yang tidak terduga sama sekali itu. Tanah Perdikan Menoreh benar benar telah kedatangan berbagai perguruan dengan bermacam aliran justru pada saat Ki Rangga Agung Sedayu sedang melawat ke Timur, ke Kadipaten Panaraga.
“Nah, Ki Jayaraga,” berkata Surengpati sambil melangkah maju, “Kami harap engkau tidak banyak tingkah, semua perguruan sekarang sedang berlomba mencari dimana kitab itu disimpan, dan sebagai orang yang tinggal serumah dengan Ki Rangga Agung Sedayu, setidaknya engkau pernah melihat atau bahkan mengetahui dimana kitab itu disimpan.”
Ki Jayaraga menarik nafas dalam dalam. Tidak ada pilihan lain baginya selain harus menyingkirkan kedua orang itu sebelum menemui Ki Argapati dan Prastawa untuk membicarakan keselamatan dan keamanan Tanah Perdikan Menoreh sehubungan dengan kedatangan berbagai perguruan dengan bermacam aliran yang dapat mengganggu sendi sendi kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh.
Perlahan lahan Ki Jayaraga mengambil jarak beberapa langkah dari kedua orang itu, kemudian katanya, “Ki sanak berdua, aku tahu kalian adalah murid murid perguruan Toya Upas yang sangat senang bermain main dengan racun, namun aku tidak perduli, yang jelas aku tidak akan menyerah begitu saja, terserah Ki sanak menanggapi sikapku ini.”
Sejenak kemudian, Ki Jayaraga telah memusatkan nalar budinya untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi, kemungkinan yang paling pahit sekalipun.
Wirapati dan Surengpati saling berpandangan sejenak. Mereka sudah menduga bahwa Ki Jayaraga akan mengambil keputusan untuk melawan. Pengenalan mereka terhadap Ki Jayaraga memang kurang lengkap, namun mereka tidak menganggap Ki Jayaraga hanyalah petani biasa yang ikut tinggal di rumah Ki Rangga Agung Sedayu dan dipasrahi untuk mengurus sawah dan ladang. Menurut pengamatan mereka setidaknya Ki Jayaraga adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menjaga dirinya sendiri.
“Baiklah,“ akhirnya Wirapati yang menjawab, “Kami dari perguruan Toya Upas di lereng Gunung Lawu tidak berkeberatan untuk mengantarkan selembar nyawamu ke alam kelanggengan dengan penuh kejantanan.”
Selesai berkata demikian, kedua orang murid perguruan Toya Upas dari lereng Gunung Lawu itu pun segera bergerak memisahkan diri. Wirapati yang lebih tua ternyata telah menempatkan diri disisi kanan Ki Jayaraga, sedangkan Surengpati yang lebih muda diarah sebaliknya.
Ada yang menarik perhatian Ki Jayaraga pada kedua orang murid perguruan Toya Upas itu ketika keduanya mulai bergerak. Jari jari tangan yang mengembang itu ternyata berkuku panjang panjang dan berwarna kehitam hitaman, menandakan adanya kandungan racun yang sangat ganas dan keji.
Wirapati yang berada di sebelah kanan Ki Jayaraga perlahan menjulurkan kedua tangannya kedepan, dengan jari jari yang mengembang layaknya cakar seekor rajawali, ditekuknya lutut kaki kanannya sedikit merendah. Kemudian dengan bentakan yang menggelegar dia meloncat menubruk kearah dada Ki Jayaraga.
Dengan tenang Ki Jayaraga menarik kaki kirinya selangkah kebelakang. Dengan kedudukan badan yang setengah condong kekanan, tiba tiba Ki Jayaraga mengangkat lutut kaki kirinya menyambut datangnya serangan Wirapati yang meluncur bagaikan tatit. Dengan meluruskan kaki kiri yang diangkat, tumit kaki kiri Ki Jayaraga pun menjulur berusaha menghantam perut Wirapati.
Wirapati sama sekali tidak berusaha menghindar dari serangan Ki Jayaraga, justru arah serangan kedua tangannya kini berubah arah untuk dibenturkan dengan tumit kaki kiri Ki Jayaraga.
Dostları ilə paylaş: |