Terusan adbm



Yüklə 283,82 Kb.
səhifə6/7
tarix07.01.2019
ölçüsü283,82 Kb.
#91452
1   2   3   4   5   6   7

Ki Jayaraga terkejut. Dengan cepat direbahkannya tubuhnya yang sudah dalam keadaan condong kekanan itu untuk menghindari tumit kaki kirinya berbenturan dengan jari jari Wirapati yang beracun. Sebagai gantinya, bersamaan dengan ditariknya kaki kirinya, dalam keadaan rebah disawah yang berlumpur, kaki kanannya menebas deras kearah kaki Wirapati yang baru saja menjejak di tanah.

Wirapati mendengus marah mendapat serangan yang tak terduga dari Ki Jayaraga. Dengan sebelah kaki yang baru saja menjejak tanah, dilontarkan tubuhnya kedepan sambil berguling menghindari sambaran kaki Ki Jayaraga.

Ketika keduanya telah berdiri kembali diatas kaki kaki mereka yang kokoh, pakaian kedua orang itu ternyata telah basah kuyup dan berlepotan lumpur. Bahkan wajah Wirapati hampir tidak dapat dikenali lagi karena lumpur yang melumuri hampir seluruh wajahnya.

Surengpati hampir tidak dapat menahan tertawanya melihat ujud kedua orang itu. Namun segera saja ditahannya dengan susah payah ketika tanpa disengaja pandangan matanya terbentur pada sorot mata Wirapati yang menyala.

Sejenak kemudian Surengpati pun segera melibatkan dirinya dalam kancah pertempuran yang sengit. Batang batang padi yang mulai tumbuh subur itu hancur terinjak injak oleh kaki kaki mereka yang sedang bertempur. Medan yang cukup sulit bagi orang kebanyakan, ternyata tidak menjadi halangan yang berarti bagi mereka yang sedang bertempur itu. Bahkan kadang kadang murid murid dari perguruan Toya Upas yang terbiasa bertempur dengan kasar dan sedikit liar itu telah memanfaatkan medan yang berlumpur untuk berbuat curang. Dengan sengaja mereka sesekali menendang seonggok lumpur atau dengan tangannya meraih segenggam lumpur untuk kemudian dilemparkan kewajah lawannya.

Ki Jayaraga adalah orang yang sudah pernah menjalani hidup di dunia hitam hampir sepanjang umurnya sebelum bertemu dengan Kiai Gringsing. Menghadapi cara bertempur lawannya itu dia sama sekali tidak terkejut. Justru lawan-lawannyalah yang terkejut melihat tandang Ki Jayaraga. Walaupun secara wadag Ki Jayaraga sudah tidak dapat dikatakan muda lagi, namun tenaganya benar benar ngedab edabi.

Ada satu hal yang membuat Ki Jayaraga harus lebih berhati hati dan selalu waspada. Kedua lawannya itu ternyata selalu berusaha untuk membenturkan jari-jari tangannya dengan bagian tubuh Ki Jayaraga yang manapun juga. Bahkan setiap kali Ki Jayaraga menyerang dengan tangan maupun kakinya, mereka tidak pernah berusaha mengelak. Dengan tatag semua serangan itu berusaha dibenturkannya dengan jari-jari tangan mereka yang berkuku tajam dan berwarna hitam.

Memang sudah menjadi kebiasaan murid murid perguruan Toya Upas yang senang bermain main dengan racun. Segores tipis saja dari kuku-kuku jari mereka di kulit lawannya, sudah cukup untuk mengantarkan nyawa mereka ke alam baka.

Menyadari betapa berbahayanya kuku-kuku jari lawannya, Ki Jayaraga mulai mengetrapkan ilmunya atas penguasaan unsur unsur air, udara dan api. Beberapa saat kemudian terasa oleh lawan lawan Ki Jayaraga, betapa udara diseputar mereka bertempur perlahan lahan telah berubah menjadi panas.

Matahari memang sedang bersinar dengan teriknya. Agaknya sebentar lagi matahari akan segera tergelincir dari puncaknya menuju ke langit sebelah barat. Namun panas yang dirasakan oleh lawan lawan Ki Jayaraga terasa tak tertahankan lagi. Seolah olah mereka sedang berjerang di depan tungku perapian seorang pande besi.

Sementara itu di pendapa rumah Ki Gede Menoreh, Prastawa dan Ki Jagabaya sedang menghadap Ki Argapati.

“Jadi kalian belum dapat mengambil suatu kesimpulan, siapakah orang orang asing yang mendatangi Tanah Perdikan Menoreh ini?” Ki Argapati bertanya sambil memandang kepada kedua orang yang duduk di depannya.

“Belum, Paman,” jawab Prastawa, “Mereka yang hadir di Menoreh ini memiliki ujud yang berbeda beda, maksudku cara berpakaian maupun bertingkah laku. Ada yang kasar dan sedikit liar, ada yang tampak sangat rapi dan sopan, bahkan ada segolongan orang yang berpakaian aneh-aneh dan membawa binatang piaraan yang tidak wajar, seperti seekor ular bandotan yang besar, biawak, landak dan sebagainya.”

“Benar apa yang disampaikan Anakmas Prastawa itu,Ki Gede,” Ki Jagabaya menambahkan, “Namun sejauh ini mereka belum menampakkan ulah yang dapat meresahkan kehidupan Tanah Perdikan ini.”

Ki Gede Menoreh sejenak termangu mangu. Sebagai orang yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan ini, nalurinya mengatakan bahwa untuk kesekian kalinya kembali tanah ini akan diguncang oleh peristiwa yang dahsyat. Api akan kembali membakar bukit Menoreh, membakar kehidupan Tanah Perdikan yang tenang dan damai ini.

Perlahan lahan matahari mulai tergelincir ke barat. Angin sore yang kering bertiup menggugurkan daun daun pohon mangga yang tumbuh di sebelah kanan pendapa rumah Ki Gede Menoreh. Seekor induk ayam dan anak anaknya tampak berkeliaran di bawah pohon mangga sambil mengais ngais tanah di bawahnya, mencari sesuatu yang mungkin dapat diberikan untuk anak anaknya.

Selagi ketiga orang itu merenungi maksud dan tujuan dari orang orang yang berdatangan ke Tanah Perdikan Menoreh dengan segala macam ujud dan tingkah lakunya, tiba tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang berlari lari di sepanjang jalan yang menuju rumah Ki Gede Menoreh.

Dua orang pengawal yang menjaga regol depan segera bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan. Pertama tama mereka mengira bahwa yang berlari lari di sepanjang jalan menuju rumah Ki Gede itu adalah orang gila menilik dari ujudnya yang aneh. Pakaiannya compang camping dan berlepotan lumpur. Rambutnya yang riap riapan dan bercampur lumpur itu menutupi sebagian wajahnya sehingga untuk sesaat agak menimbulkan kesulitan bagi seseorang untuk mengenalinya.

Ketika langkah orang yang sekujur tubuhnya berlepotan lumpur itu tinggal beberapa langkah saja dari regol rumah Ki Gede, dua orang pengawal itupun segera merundukkan tombaknya.

Sejenak orang itu menjadi ragu ragu, namun kemudian katanya sambil menyibakkan rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya, “He, apakah kalian tidak mengenalku? Hampir setiap sore aku mengunjungi rumah ini, dan menjelang tengah malam baru aku kembali. Siapapun yang bertugas saat itu pasti mengenalku.”

Dua orang pengawal itu mencoba melangkah mendekat untuk lebih mengenal lekuk lekuk wajahnya. Mereka berdua hampir saja berteriak sekeras kerasnya ketika orang yang berlepotan lumpur itu berusaha mengusap wajahnya dengan kedua tangannya yang kotor.

“Ki Jayaraga..? He, engkaukah itu, Ki..?” teriak kedua pengawal itu hampir bersamaan.

Ketiga orang yang sedang duduk duduk di pendapa itupun terlonjak kaget begitu mendengar teriakan dari kedua pengawal yang sedang bertugas menjaga regol depan rumah Ki Gede. Dengan segera ketiganya pun berdiri dan menghambur menuruni tangga pendapa menuju ke regol depan.

“Ki Jayaraga, apakah yang sebenarnya terjadi?” bertanya Ki Gede sesampainya di depan regol.

“Aku terjatuh di sawah sewaktu meniti pematang, Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga sambil tersenyum, kemudian melangkah memasuki halaman rumah Ki Gede.

Ki Gede dan orang orang yang ada disekitar regol itu mengerutkan keningnya. Adalah tidak masuk akal bagi Ki Jayaraga yang mereka ketahui memiliki kemampuan yang nggegirisi bisa terjatuh sewaktu meniti pematang.

Namun mereka pun kemudian menarik nafas dalam dalam ketika mendengar Ki Jayaraga berkata selanjutnya, “Ki Gede, ijinkan aku membersihkan diri dulu ke pakiwan. Barangkali ada pakaian sepengadeg yang sudah tidak dipakai lagi oleh Ki Gede dan dapat aku pinjam untuk sementara.”

“Ah,” Ki Gede tertawa pendek mendengar permintaan Ki Jayaraga, “Engkau dapat memilih pakaian yang terbaru sekalipun, Ki Jayaraga, dan engkau tidak mempunyai kuwajiban untuk mengembalikannya.”

Ki Jayaraga mengangguk anggukan kepalanya, “Memang aku tidak akan mengembalikan pakaian itu dalam ujud aslinya, namun sejumlah uang seharga sepengadeg pakaian baru itulah yang harus kukembalikan.”

Segera saja terdengar suara tertawa berkepanjangan dari orang-orang yang ada di dekat regol halaman Ki Gede itu. Sementara Ki Gede hanya tersenyum saja mendengar gurauan Ki Jayaraga. Bagaimanapun juga, pranggraitanya sebagai orang yang sudah mengalami pasang surutnya kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh ini tidak dapat dikelabui.

Sejenak kemudian Ki Gede Menoreh telah mengajak Ki Jagabaya dan Prastawa untuk kembali ke pendapa, sementara Ki Jayaraga dengan tergesa gesa berjalan melewati depan gandhok sebelah kanan dari rumah Ki Gede menuju ke pakiwan yang ada di belakang dapur.

Setelah Ki Jayaraga selesai membersihkan diri dan berganti pakaian sepengadeg yang benar-benar masih baru yang disediakan oleh salah seorang pembantu rumah Ki Gede, maka dia pun segera bergabung dengan mereka yang telah duduk duduk terlebih dahulu di pendapa.

“Marilah Ki Jayaraga,” Ki Gede memepersilahkan Ki Jayaraga yang muncul dari balik pintu serambi yang memisahkan serambi dalam dan pendapa yang luas dari rumah Ki Gede Menoreh.

Ki Jayaraga tersenyum sambil melangkah mendekati mereka yang telah terlebih dahulu duduk di tengah tengah pendapa beralaskan tikar pandan yang putih bersih. Beberapa mangkuk minuman hangat dan penganan ternyata telah tersedia pula.

Sambil membetulkan letak duduknya dan membenahi kain panjangnya, Ki jayaraga menatap satu persatu wajah wajah dari orang orang yang hadir di pendapa itu. Ketika tatapan matanya tertumbuk pada seraut wajah tua Ki Gede Menoreh, betapa garis garis kehidupan telah banyak menghiasi wajah tua itu. Gejolak yang bagaikan silih berganti yang terjadi di tanah ini telah membuat Ki Gede terlihat lebih tua dari umur yang sebenarnya.

“Silahkan Ki Jayaraga, mumpung masih hangat,” desis Ki Gede mempersilahkan Ki Jayaraga untuk sekedar meneguk minuman wedang sere yang masih hangat dan mencicipi makanan sekedarnya.

“Aku memang menjadi seperti orang yang kelaparan,” kata Ki Jayaraga sambil meraih mangkuk yang ada di depannya. Setelah mereguk beberapa teguk, diletakkannya kembali mangkuk itu di tempat semula. Terasa betapa segarnya minuman itu setelah Ki Jayaraga memeras tenaga menghadapi para murid dari padepokan Toya Upas.

Semua gerak gerik Ki Jayaraga itu tidak terlepas dari perhatian orang orang di sekelilingnya. Sebenarnyalah mereka sudah tidak sabar lagi untuk mendengar peristiwa apakah yang sebenarnya telah menimpa Ki Jayaraga? Tentu saja mereka tidak mengharapkan cerita tergelincirnya dia dari pematang atau cerita sejenisnya, namun sedikit banyak mereka sudah mulai menduga duga keadaan Ki Jayaraga dengan kehadiran orang orang asing di Perdikan Menoreh ini.

Agaknya Ki Jayaraga menyadari bahwa dirinya telah ditunggu, maka katanya kemudian, “Maaf Ki Gede, bukan maksudku untuk mengulur waktu, namun aku benar benar lelah dan kelaparan setelah tubuh yang tua ini masih dipaksa untuk berkelahi menghadapi orang orang dari lereng Gunung Lawu.”

“Orang orang dari lereng Gunung Lawu?” serentak mereka yang ada di pendapa itu terkejut.

“Ya,” sahut Ki Jayaraga, “Murid murid dari padepokan Toya Upas yang sangat senang bermain main dengan racun.”

Ki Gede mengerutkan keningnya sambil berdesis perlahan, “Apapun ujud padepokan Toya Upas itu, namun menilik dari kegemarannya bermain dengan racun, perguruan itu tentu bukan suatu perguruan yang bersih, yang menjunjung tinggi nilai nilai dan harkat hubungan antar sesama dan hubungan dengan Penciptanya.”

“Ki Gede benar. Dalam pertempuran yang baru saja aku alami, mereka sama sekali tidak memperdulikan segala macam unggah ungguh dan tatanan. Mereka berkelahi dengan cara yang kasar dan liar. Bahkan tidak jarang mereka berlaku curang dan licik.”

Ketiga orang yang mendengarkan cerita Ki Jayaraga itu saling pandang sejenak. Prastawa yang tidak dapat menahan diri diantara mereka itu pun akhirnya bertanya, “Apakah maksud Ki Jayaraga dengan mereka? Apakah itu berarti Ki Jayaraga harus bertempur dengan lawan yang lebih dari satu?”

“Engkau benar, Prastawa. Mereka adalah kakak beradik dari perguruan Toya Upas yang bernama Wirapati dan Surengpati. Bahkan menurut cerita mereka, masih ada lagi adik seperguruan mereka yang bernama Wanengpati. Tetapi tidak dapat ikut datang ke Tanah Perdikan ini karena sedang terluka ketika terjadi perselisihan dengan Swandaru dari Sangkal Putung.”

“Swandaru,” tanpa sesadarnya mereka bertiga mengulang nama itu, dan sebuah desir yang tajam telah menusuk hati Ki Gede Menoreh, hati yang seharusnya lebih banyak merasakan tentram dan damai di hari hari tuanya.

Ki Jagabaya yang sedari tadi hanya berdiam diri ternyata tidak kuat menahan hatinya begitu Ki Jayaraga menyebut nama Swandaru. Bagi para bebahu Tanah Perdikan Menoreh nama Swandaru adalah suatu kebanggaan dan harapan yang dapat meneruskan kejayaan Keluarga Menoreh walaupun sampai saat ini Swandaru masih terikat dengan Kademangannya dan justru Agung Sedayu lah yang ternyata telah banyak berbuat bagi tanah ini walaupun secara trah Menoneh, Agung Sedayu bukan sanak dan bukan kadang.

“Maaf Ki Jayaraga,” bertanya Ki Jagabaya, “Hubungan apakah yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara Anakmas Swandaru dengan murid dari perguruan Toya Upas itu?”

Ki Jayaraga termangu mangu sejenak. Tanpa disadarinya dia berpaling kearah Ki Gede Menoreh. Betapapun juga Swandaru adalah suami dari anak perempuan satu satunya Ki Gede. Cerita tentang perilaku Swandaru yang buram akan dapat mempengaruhi kewibawaan Ki Gede dan citra Swandaru itu sendiri di kalangan para bebahu dan seluruh kawula di Tanah Perdikan Menoreh.

Betapapun berbagai pertimbangan tumpang tindih di dalam dada Ki Jayaraga, namun dia harus menjawab pertanyaan Ki Jagabaya agak tidak menimbulkan tanggapan yang kurang pada tempatnya.

“Persoalan yang sebenarnya akupun tidak begitu jelas,” berkata Ki Jayaraga mencoba merangkai kata sebaik mungkin agar tidak ada pihak yang tersinggung, “Namun kenyataannya adalah Swandaru telah berselisih dengan Wanengpati. Ternyata Swandaru terlalu perkasa untuk ukuran murid padepokan Toya Upas itu.”

Ada semacam kebanggaan yang mengembang dihati Prastawa dan Ki Jagabaya mendengar cerita Ki Jayaraga tentang kehebatan Swandaru itu, namun sebaliknya berita itu justru membuat Ki Gede semakin prihatin dengan tingkah laku Swandaru yang semakin tidak terkendali. Sudah seharusnya semakin bertambahnya umur seseorang dan kematangan ilmu yang dikuasainya akan semakin menambah kesabaran dan kebijaksanaan dalam setiap mengambil sebuah keputusan.

“Bagaimana dengan kedua murid perguruan Toya Upas yang bertempur dengan Ki Jayaraga?” kembali Prastawa bertanya.

Untuk sejenak Ki Jayaraga termangu mangu. Sebelum dia menjawab pertanyaan Prastawa, Ki Gede ternyata telah mengajukan pertanyaan yang membuat hati Ki Jayaraga semakin berdebar debar.

“Ki Jayaraga, permasalahan apakah sebenarnya yang telah menyebabkan murid perguruan Toya Upas berbenturan dengan Ki Jayaraga?”

Belum sempat Ki Jayaraga menjawab semua pertanyaan itu, Ki Jagabayapun telah menambahkan, “Bahkan sekarang di Tanah Perdikan Menoreh ini telah banyak berkeliaran orang orang yang tidak dikenal, menilik cara mereka berpakaian dan bersikap, mereka tidak mungkin berasal dari satu golongan tertentu, dan kemungkinan salah satunya adalah dari perguruan Toya Upas yang telah berselisih dengan Ki Jayaraga itu.”

Ki Jayaraga terpekur diam. Berbagai persoalan bercampur aduk di dalam hatinya. Tidak mungkin dia membeberkan tujuan dari perguruan perguruan yang datang berbondong bondong ke Tanah Perdikan Menoreh untuk mencoba keberuntungan mereka, memburu kitab peninggalan Empu Windujati. Demikian juga sumber berita yang menyebabkan tersebarnya keberadaan kitab peninggalan Empu Windujati itu tidak mungkin akan disampaikannya dihadapan mereka semua yang hadir di pendapa itu.

Sikap diam dan keragu-raguan yang tercermin di wajah Ki Jayaraga telah membuat hati Ki Gede semakin berdebar debar. Hubungan antara perselisihan Swandaru dengan salah satu murid perguruan Toya Upas dan benturan Ki Jayaraga dengan murid murid perguruan Toya Upas yang lainnya yang terjadi justru di tanah Perdikan ini, telah menimbulkan dugaan dugaan yang mendebarkan.

“Ki Gede,” akhirnya Ki Jayaraga memutuskan untuk memberitahukan permasalahan yang harus segera ditangani, “Aku meninggalkan dua sosok mayat di bawah gubuk yang terletak di pesawahan Ki Rangga Agung Sedayu. Ki Gede mungkin dapat memerintahkan para pengawal untuk menyelenggarakan mereka sebagaimana mestinya. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Untuk menawan mereka hidup hidup adalah suatu pekerjaan yang mustahil sebab mereka selalu berusaha untuk menggoreskan kuku kuku beracun mereka kapan saja mereka mempunyai kesempatan.”

Ketiga orang yang mendengar nasib dari murid murid perguruan Toya Upas itu terkejut bukan kepalang. Ternyata Ki Jayaraga telah menyelesaikan lawan lawannya dengan tuntas, walaupun dengan sangat terpaksa.

Debar di jantung Ki Gede Menorehpun semakin kencang. Darah pertama dari permasalahan yang membelit Tanah Perdikan ini telah tertumpah dan mungkin akan segera disusul dengan peristiwa peristiwa lainnya yang tidak menutup kemungkin akan menyebabkan pertumpahan darah yang semakin dahsyat.

“Paman,“ berkata Prastawa setelah menimbang nimbang beberapa saat, “Sebaiknya Paman memerintahkan beberapa pengawal untuk menyelenggarakan jenazah dari kedua murid perguruan Toya Upas itu sesegera mungkin agar keberadaannya tidak diketahui masyarakat luas dan dapat menimbulkan kegelisahan.”

Ki Gede Menoreh mengangguk anggukan kepalanya. Ketika tanpa sengaja pandangan matanya bertemu dengan pandang mata Ki Jagabaya, Ki Gede pun segera memberikan perintahnya, “Ki Jagabaya, pergilah dengan beberapa pengawal. Usahakan jangan sampai menimbulkan kegelisahan rakyat Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ijinkan aku ikut Ki Jagabaya, Paman,” tiba tiba Prastawa menyela.

“Pergilah kalian berdua. Jangan terlalu banyak membawa pengawal agar tidak menarik perhatian. Jangan lupa membawa peralatan sekedarnya agar pekerjaan kalian dapat berjalan dengan lancar.”

Demikianlah, Prastawa dan Ki Jagabaya pun segera minta diri. Dengan bergegas mereka berdua menuruni tlundak pendapa, kemudian menyeberangi halaman rumah Ki Gede yang luas. Setelah melewati regol, mereka pun segera menyusuri jalan yang menuju ke banjar padukuhan induk untuk menghubungi beberapa pengawal yang mereka perlukan.

Sepeninggal Prastawa dan Ki Jagabaya, berkali kali Ki Jayaraga menarik nafas dalam dalam untuk menenangkan debar jantungnya. Apakah kira kira yang akan dikatakan kepada Ki Gede seandainya dia mempertanyakan permasalahan yang sebenarnya, baik menyangkut masalah Swandaru maupun pertempuran yang baru saja terjadi pada dirinya dan ternyata telah memakan korban?

Angin sore bertiup perlahan menggoyangkan dedaunan dari pohon pohon yang tumbuh di halaman rumah Ki Gede. Seekor induk ayam dan anak anaknya melintas halaman menuju gandok sebelah kiri. Sambil sesekali mengais ngais tanah yang dilewatinya, akhirnya induk ayam dan anak anaknya itu menyelusuri dinding sisi sebelah kiri regol untuk kemudian menghilang di belakang Gandok.

“Ki Jayaraga,” perlahan Ki Gede bertanya, “Apakah Ki Jayaraga dapat menjelaskan dengan gamblang apakah yang sebenarnya telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh ini? Adakah hubungan antara yang terjadi pada Ki Jayaraga dengan Swandaru?”

Ki Jayaraga menggeser duduknya setapak mendekati Ki Gede. Seolah olah ada suatu rahasia yang hanya mereka berdua yang berhak mendengarnya.

“Ki Gede, perguruan perguruan yang datang berbondong bondong ke Tanah Perdikan ini sesungguhnya ada yang mereka cari.” Desis Ki Jayaraga pelan.

“Apakah yang mereka cari di tanah ini?”

“Mereka mencari sebuah kitab yang diwariskan turun temurun dari sebuah perguruan yang besar sejak jaman Majapahit.”

Ki Gede mengerutkan keningnya dalam dalam begitu mendengar Majapahit disebut sebut. Segera saja ingatan Ki Gede tertuju pada Kiai Gringsing. Keturunan Majapahit sekaligus pewaris ilmu sebuah perguruan besar Windujati yang memilih hidup diantara orang kebanyakan.

“Apakah yang dimaksud Ki Jayaraga itu perguruan Empu Windujati,” dengan ragu ragu Ki Gede mencoba menebak.

“Ya Ki Gede, mereka berbondong bondong datang kesini untuk memperebutkan kitab pusaka warisan perguruan Empu Windujati yang kini berada di tangan Ki Rangga Agung Sedayu.”

Wajah Ki Gede menunjukan keheranan yang sangat, lalu katanya, “Dari manakah orang orang itu mengetahui keberadaan kitab Empu Windujati?”

Ki Jayaraga tertunduk dalam dalam. Dicobanya untuk tetap tenang dalam menuturkan kejadian yang sebenarnya agar tidak menyinggung perasaan Ki Gede. Selain itu, lebih baik Ki Gede mendengar langsung cerita itu dari dirinya walaupun kebenarannya masih perlu diuji karena tidak menutup kemungkinan cerita dari murid murid perguruan Toya Upas itu ada yang ditambah atau bahkan dikurangi, disesuaikan dengan keperluan mereka.

Ketika Ki Jayaraga telah selesai menuturkan kejadian antara Swandaru dengan Wanengpati sesuai dengan penuturan murid murid perguruan Toya Upas tanpa dikurangi dan ditambah, dada Ki Gede Menoreh pun bagaikan tersayat sembilu menembus jantung. Hati orang tua itu hancur berkeping keping mendengar tingkah polah Swandaru, suami dari anak perempuan satu satunya. Akankah hati Pandan Wangi kuat menahan goncangan sekali lagi setelah peristiwa yang lalu? Peristiwa yang melibatkan Swandaru dengan seorang perempuan pengikut Ki Saba Lintang?

Sejenak Ki Gede Menoreh merenung. Masa kecil Pandan Wangi dilalui dengan penuh keprihatinan. Dibawah asuhan seorang ibu yang selalu merasa bersalah dan cacat dihadapan suaminya. Satu satunya teman bermain yang selalu setia menemaninya adalah kakaknya, Sidanti. Namun Kakaknya yang selalu berwajah murung itu ternyata lebih sering tinggal dirumah bibinya dari pada dirumahnya sendiri.

Kadang terucap pertanyaan dari Pandan Wangi kecil waktu itu, mengapa Kakaknya lebih sering tinggal di rumah Bibinya? Sedangkan dia membutuhkan kawan bermain? Dan jawab Ibundanya selalu itu itu saja, bahwa Sidanti harus mengawani Bibinya, karena Bibinya itu tidak mempunyai seorang keturunanpun.

Ketika kemudian Sidanti harus pergi mengikuti Gurunya, Ki Tambak Wedi, hati gadis kecil itu bagaikan belanga yang terbanting di atas batu batu padas di gerojokan, hancur berkeping keping. Satu satunya saudara yang dia punya telah pergi meninggalkannya entah untuk berapa lama. Tidak ada lagi yang mencarikan buah jambu air yang tumbuh rimbun di samping dapur untuknya, atau mengumpulkan biji sawo kecik untuk bermain dakon.

Terbayang kembali di ingatan Ki Gede, betapa Pandan Wangi kecil itu telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang pemurung. Sepeninggal ibunya yang meninggal karena sakit, Pandan Wangi benar benar telah menjadi seorang gadis yang tertutup. Ketertarikannya pada dunia olah kanuragan serta kesenangannya berburu telah menjadikan Pandan Wangi seorang gadis yang aneh, pemurung dan penyendiri.

Ketika kemudian Sidanti kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama gurunya Ki Tambak Wedi dan Pamannya Ki Argajaya yang memang diberi tugas oleh Ayahnya untuk menengok keadaan Sidanti, ada sepercik kegembiraan yang menyentuh hatinya, namun kegembiraan itu hanya sesaat, berganti dengan kesedihan yang tiada taranya setelah mengetahui jati dirinya dan kakaknya. Ternyata kedatangan kakaknya ke Tanah Perdikan ini bukan untuk memetikkan buah jambu air atau mencarikan biji sawo kecik untuk bermain dakon, tetapi kedatangannya justru membawa api yang telah membakar seluruh Tanah Perdikan Menoreh.

Kembali Ki Gede menarik nafas dalam dalam. Panggraitanya sebagai seorang ayah yang mempunyai anak gadis menjelang dewasa, tersentuh waktu itu ketika melihat keakraban pergaulan antara anak gadisnya dengan seorang gembala yang bernama Gupita. Sorot mata yang penuh keceriaan dan kegembiraan, solah tingkah yang malu malu dan canggung namun sangat perhatian bila bertemu dengan Gupita, telah mengisyaratkan kepada Ki Gede, bahwa anak gadisnya telah menjatuhkan pilihan hatinya kepada anak gembala yang bernama Gupita itu.

Namun sekali lagi, hati Pandan Wangi hancur berkeping keping setelah mengetahui bahwa Gupita yang ternyata bernama Agung Sedayu itu telah mempunyai seorang gadis pilihan hatinya, gadis yang selalu berwajah ceria, yang dengan penuh semangat menyongsong masa depannya, gadis anak Demang Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah.


Yüklə 283,82 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin