Terusan adbm



Yüklə 283,82 Kb.
səhifə7/7
tarix07.01.2019
ölçüsü283,82 Kb.
#91452
1   2   3   4   5   6   7

Ketika api yang membakar Tanah Perdikan Menoreh itu kemudian dapat dipadamkan atas bantuan Kiai Gringsing dan murid muridnya, ada suatu kuwajiban yang dengan sadar telah dipikulkan dipundaknya sendiri, kuwajiban untuk membalas budi dan menyenangkan hati Ayahnya yang telah banyak menderita dalam mengarungi kehidupan ini.

Tanpa disadarinya, perlahan lahan Ki Gede Menoreh berdesah dalam hati, “Sesungguhnya pilihanmu yang pertama itu tidak salah, Wangi. Keadaanlah yang salah, seandainya tidak ada gadis yang bernama Sekar Mirah itu, alangkah bahagianya engkau dalam meniti hari hari depanmu? Dan akupun tidak akan mengalami kesulitan dalam membina masa depan Tanah Perdikan Menoreh ini.”

Kini Ki Gede menoreh menyadari sepenuhnya, bahwa apa yang telah dilakukan Pandan Wangi saat itu hanyalah memenuhi kuwajibannya sebagai ujud bakti seorang anak kepada orang tuanya, sebagai tanda bakti kepada tanah leluhurnya yang telah diselamatkan dari kehancuran, sebagai tanda balas budi atas kebaikan yang telah diberikan oleh sesamanya.

Peristiwa demi peristiwa yang telah terjadi di masa lalu itu seolah olah tergambar kembali dalam ingatan Ki Gede, satu demi satu silih berganti. Ada semacam penyesalan di hati orang tua itu tentang keadaan yang telah menjerumuskan anak perempuan satu satunya itu ke dalam jurang kesedihan yang tiada berakhir, dan ternyata Ki Gede sebagai orang tua telah merasa ikut berperan dalam menciptakan kisah sedih ini.

“Ki Gede,” perlahan Ki Jayaraga berkata sambil mencoba menyadarkan Ki Gede dari lamunannya, “Apakah tidak sebaiknya Ki Gede beristirahat? Sebentar lagi matahari akan terbenam, dan malam akan segera menjelang.”

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam sekali, kemudian dihembuskannya nafas itu seolah olah ingin dilepaskannya semua beban yang memberati hatinya. Pandang matanya nanar menatap halaman rumahnya yang luas yang mulai remang remang. Cahaya matahari yang merah dengan lemahnya menggapai pucuk pucuk pepohonan membiaskan warna yang muram.

Tiba tiba Ki Gede merasa betapa sekujur tubuhnya menjadi sangat letih. Seluruh persendiannya terasa bagaikan terlepas dari ikatannya. Pandangan matanya menjadi kabur dan berkunang kunang.

Ketika kemudian Ki Jayaraga memegang lengannya, dengan berbisik Ki Gedepun berkata, “Bantu aku Ki Jayaraga, tubuh ini rasa rasanya sudah tidak bertenaga lagi. Sepertinya aku merasa, perjalananku sudah sampai kebatas.”

“Ki Gede,” Ki Jayaraga tersentak mendengar ucapan Ki Gede, “Saya kira Ki Gede hanya lelah saja. Marilah aku antar ke bilik Ki Gede untuk beristirahat. Semoga besuk pagi Ki Gede sudah sehat kembali.”

Dengan perlahan dan sangat hati hati, Ki Jayaragapun memapah Ki Gede menuju ke biliknya. Dengan tertatih tatih, Ki Gede melangkah satu satu dibantu oleh Ki Jayaraga. Betapa gagah perkasa dan tangguh tanggonnya Ki Gede dimasa muda, namun sama sekali tidak tampak sisa sisa kejayaannya di masa lalu itu. Ki Gede sekarang ini tidak ubahnya dengan orang kebanyakan yang menjalani sisa sisa dari masa akhir hidupnya.

Ketika mereka telah sampai di bilik Ki Gede, dengan perlahan dan hati hati Ki Jayaragapun membantu Ki Gede untuk berbaring di pembaringan yang terbuat dari kayu jati berukir. Tikar pandan yang tebal dan berangkap rangkap telah digelar diatas amben itu sebagai alas tidur.

Sementara itu, Sekar mirah yang sedang di dapur membantu para pembantu rumah Ki Gede untuk menyiapkan makan malam telah mendengar suara bergeremang dari arah serambi dan agaknya menuju ke bilik Ki Argapati.

Dengan tergesa gesa Sekar Mirahpun segera memasuki ruang dalam menuju ke bilik Ki Argapati.

Alangkah terkejutnya Sekar Mirah ketika kakinya melangkah memasuki bilik Ki Gede yang terbuka, dilihatnya Ki Jayaraga yang dengan sangat hati hati mencoba membantu Ki Gede berbaring. Dengan beringsut sedikit demi sedikit dari bibir amben, akhirnya orang yang sangat disegani dan dicintai oleh seluruh rakyat Tanah Perdikan Menoreh itupun dapat berbaring dengan sempurna diatas ranjang.

“Ki Gede, apakah yang telah terjadi?” dengan tergopoh gopoh Sekar Mirah segera duduk dibibir amben disebelah kaki Ki Gede, sementara Ki Jayaraga telah mengambil sebuah dingklik yang ada di sudut bilik untuk duduk didepan ranjang Ki Gede.

“Aku tidak apa apa, Mirah. Aku hanya sedikit lelah saja,” Ki Gede mencoba tersenyum, namun Sekar Mirah dapat melihat betapa sangat pucatnya wajah Ki Gede.

“Ki Jayaraga,” berkata Sekar Mirah kepada Ki Jayaraga, “Aku akan menyiapkan minuman hangat dan makan malam untuk Ki Gede, menurut Ki Jayaraga, apakah tidak sebaiknya kita memanggil tabib untuk merawat kesehatan Ki Gede?”

“Ah,” Ki Gede berdesah perlahan, “Alangkah manjanya orang tua ini? Sebaiknya kalian dapat meninggalkan aku sendiri, sesungguhnya aku tidak apa apa. Aku hanya merasa sedikit lelah saja.”

“Tidak, Ki Gede,” Sekar Mirahlah yang menyahut, “Ki Gede harus makan. Aku akan segera menyiapkannya untuk Ki Gede. Mungkin kalau Ki Jayaraga ingin makan malam dapat menemani Ki Gede sekalian?”

“Baiklah,” jawab Ki Jayaraga, “Aku akan menemani Ki Gede makan malam, tapi sementara engkau menyiapkan makan malam, aku akan ke regol sebentar untuk menyuruh pengawal memanggilkan Tabib yang terbaik yang ada di Tanah Perdikan ini.”

Ki Gede yang melihat betapa Sekar Mirah dan Ki Jayaraga sangat perhatian terhadap keadaan dirinya menjadi sangat treyuh. Mereka adalah orang orang yang bukan sanak dan bukan kadang bagi Ki Gede, namun perhatiannya melebihi anak dan menantunya sendiri.

Ketika kemudian kedua orang itu telah minta diri dan meninggalkan Ki Gede sendirian di dalam biliknya, seorang pelayan kemudian telah menyalakan lampu dlupak dari minyak kelapa dan memasangnya kembali di ajug ajug. Ruang bilik Ki Gedepun segera menjadi terang oleh cahaya kemerah merahan dari lampu dlupak itu.

Sementara itu dliluar langit telah mulai gelap, para pengawal telah menyalakan obor di regol depan dan tempat tempat yang sekiranya memerlukan penerangan. Seorang pengawal dengan tergesa gesa telah berlari lari menuju rumah seorang Tabib yang terbaik yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Ada desir yang aneh di dada pengawal itu sehubungan dengan diterimanya berita dari Ki Jayaraga tentang sakitnya Ki Gede. Sudah berulang kali Ki Gede mengalami sakit, namun sakit itu sering didapatkannya setelah mengalami pertempuran yang dahsyat. Kini Ki gede mengalami sakit yang aneh, tidak ada segores lukapun yang didapatkan Ki Gede, bahkan sakit itu terasa datang dengan tiba tiba.

Malam semakin merambat. Prastawa dan Ki Jagabaya yang telah selesai menunaikan tugasnya menyelenggarakan jenasah dari kedua murid perguruan Toya Upas bersama beberapa pengawal telah kembali. Setelah berpesan mawanti wanti kepada para pengawal yang ikut mengubur kedua murid perguruan Toya Upas untuk sedapat mungkin merahasiakan kejadian itu, merekapun kemudian berpencar, Ki Jagabaya dan para pengawal pulang kerumah masing masing, sedangkan Prastawa kembali ke rumah Ki Gede untuk memberikan laporan.

Langkah Prastawa yang sudah hampir mencapai regol depan rumah Ki Gede tertegun sejenak, ketika seorang pengawal yang sedang bertugas jaga dengan tergesa gesa menyongsong kedatangannya.

“Prastawa,” berkata pengawal yang sedang bertugas itu begitu sampai di depan Prastawa yang berdiri termangu mangu, “Apakah engkau sudah mengetahui keadaan Ki Gede yang sedang sakit?”

“Paman sedang sakit?” dengan heran Prastawa balik bertanya,


“Bukankah siang tadi Paman dalam keadaan sehat sehat saja ketika aku dan Ki Jagabaya menghadap?”

“Sepeninggal kalian, tiba tiba saja Ki Gede jatuh sakit, bahkan Ki Jayaraga harus memapahnya ketika Ki Gede bermaksud masuk ke dalam rumah untuk beristirahat.”

“He?” kali ini Prastawa benar benar terkejut, kemudian katanya sambil melangkah tergesa gesa memasuki regol, “Aku akan menengoknya.”

Pengawal itu hanya dapat mengangguk anggukkan kepalanya. Sambil berjalan kembali menuju regol, dia berdesis, “Semoga Ki Gede hanya letih saja. Seandainya terjadi apa apa, Tanah Perdikan ini sulit mencari pengganti seperti Ki Argapati.”

Kawannya yang sedang berdiri bersandaran di pintu regol menyahut, “Jangan berangan angan yang aneh aneh, berdoalah supaya Ki Gede diberi kesehatan dan kesempatan untuk tetap memimpin Tanah Perdikan ini.”

“Aku tidak berpikir yang aneh aneh, tapi selama ini menantu Ki Gede yang diharapkan menjadi pewaris yang akan memimpin Tanah Perdikan ini tak kunjung datang, dia lebih senang hidup di kampung halamannya, di tengah tengah lingkungan yang sudah sangat dikenalnya.”

“Bukan begitu,” bantah pengawal yang bersandaran di pintu regol, “Tentu saja Swandaru lebih mendahulukan Kademangannya untuk dibina, baru setelah itu dia akan merambah ke Tanah Perdikan ini.”

“Ya, aku menyadari itu, tapi sampai kapan?”

Pengawal yang bersandaran di pintu regol itupun termangu mangu.

“Ya, sampai kapan?” desisnya dalam hati, sementara waktu berjalan terus dan Ki Argapati sudah semakin tua. Prastawa yang diharapkan dapat menjadi orang kedua setelah Ki Gede ternyata tidak mampu melaksanakan tugas tugas yang dibebankan kepadanya. Setiap kali Ki Gede masih harus menegur dan menegur, namun perubahan yang diharapkan terjadi pada diri Prastawa tak kunjung tiba.

“Bagaimana dengan Agung Sedayu?” tiba tiba pengawal yang bersandaran di pintu regol itu menyelutuk.

Kawannya hanya menggeleng gelengkan kepalanya, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutnya.

Pengawal yang bersandaran di pintu regol itu menjadi heran melihat sikap kawannya, “Bukankah Agung Sedayu telah berbuat banyak untuk Tanah Perdikan ini? Aku masih ingat ketika pertama kali Agung Sedayu datang ke Tanah Perdikan ini untuk membantu Ki Gede membenahi segala tatanan kehidupan yang mengalami banyak kemunduran. Banyak pertentangan yang dialaminya waktu itu, salah satunya adalah dari kemenakan Ki Gede sendiri, Prastawa. Namun semua itu dapat diatasinya dengan sikap yang sangat dewasa dan lebih mementingkan pada keutuhan dan kesatuan rakyat Perdikan Menoreh dalam membangun kehidupan yang lebih baik.”

“Betapapun besarnya jasa Agung Sedayu dalam membangun Tanah Perdikan ini, dia tidak punya hak untuk menjadi salah satu pemimpin di Tanah Perdikan yang besar ini, karena secara trah, dia tidak mempunyai hubungan sangkut paut dengan keluarga Menoreh.”

Pengawal yang bersandaran di pintu regol itu hanya dapat menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Ketika tanpa sadar dia mendongakkan kepalanya, tampak langit yang kelam tanpa hiasan sebuah bintangpun. Mendung yang gelap perlahan lahan menyelimuti langit bukit menoreh dan menambah muramnya suasana hati para pengawal yang sedang berjaga di regol depan rumah Ki Gede Menoreh.

Sementara itu dengan setengah berlari prastawa menyeberangi halaman rumah Ki Gede yang luas. Setelah melangkahi tlundak pendapa dan melintasi pendapa, Prastawapun dengan berdebar debar mendorong pintu pringgitan.

Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk di dalam dada Prastawa. Sejak Sekar Mirah tinggal di rumah Ki Gede, ada sedikit keseganan untuk masuk ke dalam rumah Ki Gede. Dia tidak berani lagi dengan seenaknya memasuki rumah Ki Gede sebagaimana yang biasa dilakukannya sebelum ini walaupun rumah itu adalah rumah Pamannya sendiri.

Dengan sedikit bergegas, Prastawapun masuk keruang tengah. Ketika dilihatnya bilik Ki Gede terbuka, segera diayunkan langkah kakinya menuju ke bilik yang terbuka itu.

Sekejab hati Prastawa berdesir ketika dilihatnya Sekar Mirah sedang melayani Ki Gede dan Ki Jayaraga makan malam. Agaknya Ki Gede ingin makan malam di biliknya ditemani oleh Ki Jayaraga.

“Marilah Anakmas Prastawa,” Ki Jayaraga yang pertama kali melihat Prastawa masuk menyapa, “Barangkali anakmas belum makan malam. Makanan ini terlalu banyak untuk ukuran kami berdua yang sudah tua ini, engkau dapat bergabung jika menghendaki.”

“Terima kasih Ki Jayaraga, masih banyak waktu untuk makan malam, kedatanganku kemari justru aku telah mendengar berita dari para pengawal penjaga regol depan bahwa Paman Argapati telah jatuh sakit.”

“Ah,” Ki Argapati berdesah, “Berita itu telah dilebih lebihkan, Prastawa. Sebagaimana engkau lihat, aku tidak apa apa, aku hanya perlu istirahat.”

Prastawa termangu mangu. Sampai sedemikian jauh kehadirannya di bilik itu, Sekar Mirah sama sekali tidak mengacuhkannya. Dia terlihat begitu sibuk melayani Ki Gede, bahkan tidak segan segan Sekar Mirah membantu menyuapkan nasi ke mulut Ki Gede yang duduk bersandaran pada dinding bilik yang berhimpitan dengan amben tempat tidur Ki Gede.

“Perempuan sombong,” umpat Prastawa dalam hati, “Suatu saat engkau pasti jatuh kedalam kekuasaanku.”

“Prastawa,” berkata Ki Gede membuyarkan lamunannya, “Apakah engkau dan Ki Jagabaya telah selesai menunaikan tugasmu?”

“Sudah, Paman. Kedatanganku ini selain menjenguk keberadaan Paman juga sekaligus melaporkan apa yang telah kami kerjakan.”

“Baiklah, Prastawa. Jika tidak ada suatu hal yang penting, engkau dapat meninggalkan bilik ini. Besuk pagi saja kita bicarakan langkah langkah selanjutnya yang akan kita kerjakan, semoga besuk kesehatanku sudah lebih baik.”

“Tentu Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga cepat, “Kita semua mendoakan Ki Gede.”

“Terima kasih,” desis Ki Gede hampir tak terdengar.

Ada semacam kekecewaan yang bercampur dengan dendam di hati Prastawa mendapatkan perlakuan yang demikian itu dari Sekar Mirah. Memang sejak Sekar Mirah tinggal di rumah Ki Gede, belum pernah sekalipun dia bertemu dengannya. Padahal hampir setiap hari Prastawa mengunjungi rumah Ki Gede, baik itu karena urusan pribadi maupun urusan yang berhubungan dengan tata pemerintahan Perdikan Menoreh.

“Baiklah, Paman,” akhirnya Prastawa menjawab, “Sebaiknya aku minta diri, kepada seluruh yang ada di bilik ini. Besuk pagi aku akan menghadap Paman lagi untuk menerima perintah lebih lanjut.”

Tanpa menunggu jawaban dari Ki Gede, Prastawapun kemudian bergeser keluar dari bilik Ki Gede.

Sekar Mirah sama sekali tidak berpaling, disibukkannya dirinya merawat Ki Gede walaupun dia tahu bahwa Prastawa dengan sengaja telah menyindirnya, namun Sekar Mirah tetap tidak menanggapinya sama sekali.

Setelah selesai melayani orang orang tua itu makan malam, Sekar Mirahpun minta diri sambil membawa mangkuk mangkuk yang kotor. Seorang pelayan telah dipanggilnya untuk membantu mengangkat makanan dan minuman yang masih tersisa.

Ketika kemudian Tabib yang telah dipanggil itu datang ke bilik Ki Gede, Ki Jayaragapun mempunyai alasan untuk sejenak mencari udara segar diluar.

“Aku mohon diri keluar sebentar, Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga sambil bangkit dari tempat duduknya, “Biarlah Tabib ini yang menemani sekaligus memeriksa kesehatan Ki Gede ditemani seorang pelayan. Barangkali Tabib ini memerlukan sesuatu untuk meramu obat atau apapun yang dapat meningkatkan kesegaran dan kesehatan Ki Gede.”

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih Ki Jayaraga, bantuan dari Ki Jayaraga sangat kami butuhkan di hari hari mendatang,” jawab Ki Gede sambil tersenyum.

Sejenak kemudian Ki Jayaraga telah keluar dari bilik Ki Argapati, sedangkan Tabib yang telah dipanggil untuk memeriksa kesehatan Ki Gede segera bekerja dengan cermat dibantu oleh seorang pelayan yang ada di rumah Ki Gede Menoreh.

Malampun semakin larut dan dingin. Untuk menjaga hal hal yang tidak diinginkan, Ki Jayaraga ternyata telah bermalam di rumah Ki Gede. Seperti biasanya, apabila Ki Jayaraga bermalam di rumah Ki Gede, seorang pelayan telah menyiapkan sebuah bilik yang ada di gandok sebelah kanan.

Sementara itu rumah Ki Rangga Agung Sedayu dibiarkan saja kosong. Tidak ada secercah cahayapun yang keluar dari sela sela dinding rumah yang terbuat dari papan. Keadaan rumah yang gelap gulita itu justru membuat orang orang asing yang datang ke Tanah Perdikan Menoreh untuk memburu Kitab perguruan Empu Windujati itu menjadi ragu ragu untuk memasukinya. Selain memperhitungkan perguruan lain yang mungkin telah berada ditempat itu lebih dahulu, mereka juga memperhitungkan jebakan yang mungkin sengaja dibuat oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, atau bahkan oleh pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan itu.

Ketika kemudian matahari bersinar dengan cerahnya di hari berikutnya, justru seluruh rakyat Tanah Pedikan Menoreh sedang menanggung duka yang dalam. Berita sakitnya pemimpin mereka, Ki Argapati yang akrab dipanggil Ki Gede Menoreh telah menyebar keseluruh pelosok Tanah Perdikan itu.

Sekar Mirah yang pertama kali menjenguk ke bilik Ki Gede di pagi itu benar benar terkejut mendapati Ki Gede tergolek dengan lemahnya. Wajahnya sangat pucat dan nafasnyapun tersengal sengal. Dengan telaten dan cekatan, segera dibantunya Ki Gede duduk bersandar.

“Ki Gede, apakah Ki Gede berkenan minuman hangat?” bertanya Sekar Mirah sambil membenahi selimut Ki Gede.

“Terima Kasih, Mirah. Untuk sementara aku tidak membutuhkan apa apa.” Jawab Ki Gede sambil mencoba tersenyum sewajar mungkin.

“Tapi wajah Ki Gede sangat pucat dan berkeringat dingin. Aku akan minta tolong seorang pengawal untuk memanggil Tabib itu lagi.”

“Itu tidak perlu, Mirah,” desis Ki Gede diantara desah nafasnya yang memburu, “Justru aku akan sangat senang apabila ada seseorang yang memberitahukan keadaanku ini kepada Pandan Wangi dan Swandaru. Aku ingin berbicara dengan mereka sehubungan dengan nasib Tanah Perdikan ini sebelum segala sesuatunya terjadi, sebelum raga yang tua ini kembali ke alam abadi.”

“Ki Gede,” terasa sesuatu menyumbat kerongkongan Sekar Mirah. Setetes demi setetes air matanya pun jatuh berderai derai.

----------oOo----------



Bersambung ke Jilid 398



Yüklə 283,82 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin