Top of Form
Bottom of Form
4 renungan…
Assalamu’alaykum wr wb
* semoga berguna *
———————-
4 Skenario
Skenario 1
Andaikan kita sedang naik di dalam sebuah kereta ekonomi.
Karena tidak mendapatkan tempat duduk, kita berdiri di dalam gerbong
tersebut.
Suasana cukup ramai namun masih ada tempat bagi kita untuk
menggoyang-goyangkan kaki. Kita tidak menyadari handphone kita terjatuh. Ada orang yang melihatnya, memungutnya dan langsung mengembalikannya kepada kita.
“Pak, handphone bapak barusan jatuh nih,” kata orang tersebut seraya
memberikan handphone milik kita.
Apa yang akan kita lakukan kepada orang tersebut?
Mungkin kita akan mengucapkan terima kasih dan berlalu begitu saja.
Skenario 2
Sekarang kita beralih kepada skenario kedua.
Handphone kita terjatuh dan ada orang yang melihatnya dan memungutnya.
Orang itu tahu handphone itu milik kita tetapi tidak langsung memberikannya
kepada kita.
Hingga tiba saatnya kita akan turun dari kereta, kita baru menyadari
handphone kita hilang.
Sesaat sebelum kita turun dari kereta, orang itu ngembalikan handphone kita sambil berkata,
“Pak, handphone bapak barusan jatuh nih.”
Apa yang akan kita lakukan kepada orang tersebut?
Mungkin kita akan mengucapkan terima kasih juga kepada orang tersebut.
Rasa terima kasih yang kita berikan akan lebih besar daripada rasa terima
kasih yang kita berikan pada orang di skenario pertama (orang yang langsung memberikan handphone itu kepada kita).
Setelah itu mungkin kita akan langsung turun dari kereta.
Skenario 3
Marilah kita beralih kepada skenario ketiga.
Pada skenario ini, kita tidak sadar handphone kita terjatuh, hingga kita
menyadari handphone kita tidak ada di kantong kita saat kita sudah turun
dari kereta.
Kita pun panik dan segera menelepon ke nomor handphone kita, berharap ada orang baik yang menemukan handphone kita dan bersedia mengembalikannya kepada kita.
Orang yang sejak tadi menemukan handphone kita (namun tidak memberikannya kepada kita) menjawab telepon kita.
“Halo, selamat siang, Pak.
Saya pemilik handphone yang ada pada bapak sekarang,” kita mencoba bicara kepada orang yang sangat kita harapkan berbaik hati mengembalikan handphone itu kembali kepada kita.
Orang yang menemukan handphone kita berkata,
“Oh, ini handphone bapak ya.
Oke deh, nanti saya akan turun di stasiun berikut.
Biar bapak ambil di sana nanti ya.”
Dengan sedikit rasa lega dan penuh harapan, kita pun pergi ke stasiun
berikut dan menemui “orang baik” tersebut.
Orang itu pun memberikan handphone kita yang telah hilang.
Apa yang akan kita lakukan pada orang tersebut?
Satu hal yang pasti, kita akan mengucapkan terima kasih, dan sepertinya akan lebih besar daripada rasa terima kasih kita pada skenario kedua bukan?
Bukan tidak mungkin kali ini kita akan memberikan hadiah kecil kepada orang yang menemukan handphone kita tersebut.
Skenario 4
Terakhir, mari kita perhatikan skenario keempat.
Pada skenario ini, kita tidak sadar handphone kita terjatuh, kita turun dari
kereta dan menyadari bahwa handphone kita telah hilang, kita mencoba
menelepon tetapi tidak ada yang mengangkat.
Sampai akhirnya kita tiba di rumah.
Malam harinya, kita mencoba mengirimkan SMS :
“Bapak / Ibu yang budiman.
Saya adalah pemilik handphone yang ada pada bapak / ibu sekarang.
Saya sangat mengharapkan kebaikan hati bapak / ibu untuk dapat mengembalikan handphone itu kepada saya.
Saya akan memberikan imbalan sepantasnya. “
SMS pun dikirim dan tidak ada balasan.
Kita sudah putus asa.
Kita kembali mengingat betapa banyaknya data penting yang ada di dalam
handphone kita.
Ada begitu banyak nomor telepon teman kita yang ikut hilang bersamanya.
Hingga akhirnya beberapa hari kemudian, orang yang menemukan handphone kita menjawab SMS kita, dan mengajak ketemuan untuk mengembalikan handphone tersebut.
Bagaimana kira-kira perasaan kita?
Tentunya kita akan sangat senang dan segera pergi ke tempat yang diberikan oleh orang itu. Kita pun sampai di sana dan orang itu mengembalikan handphone kita.
Apa yang akan kita berikan kepada orang tersebut?
Kita pasti akan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepadanya, dan mungkin kita akan memberikannya hadiah (yang kemungkinan besar lebih berharga dibandingkan hadiah yang mungkin kita berikan di skenario ketiga).
Moral
Apa yang kita dapatkan dari empat skenario cerita di atas?
Pada keempat skenario tersebut, kita sama-sama kehilangan handphone, dan ada orang yang menemukannya.
Orang pertama menemukannya dan langsung mengembalikannya kepada kita.
Kita berikan dia ucapan terima kasih.
Orang kedua menemukannya dan memberikan kepada kita sesaat sebelum kita
turun dari kereta.
Kita berikan dia ucapan terima kasih yang lebih besar.
Orang ketiga menemukannya dan memberikan kepada kita setelah kita turun dari kereta.
Kita berikan dia ucapan terima kasih ditambah dengan sedikit hadiah.
Orang keempat menemukannya, menyimpannya selama beberapa hari, setelah itu baru mengembalikannya kepada kita.
Kita berikan dia ucapan terima kasih ditambah hadiah yang lebih besar.
Ada sebuah hal yang aneh di sini.
Cobalah pikirkan, di antara keempat orang di atas, siapakah yang paling
baik?
Tentunya orang yang menemukannya dan langsung memberikannya kepada kita, bukan?
Dia adalah orang pada skenario pertama.
Namun ironisnya, dialah yang mendapatkan reward paling sedikit di antara
empat orang di atas.
Manakah orang yang paling tidak baik?
Tentunya orang pada skenario keempat, karena dia telah membuat kita menunggu beberapa hari dan mungkin saja memanfaatkan handphone kita tersebut selama itu. Namun, ternyata dia adalah orang yang akan kita berikan reward paling besar.
Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
Kita memberikan reward kepada keempat orang tersebut secara tulus, tetapi
orang yang seharusnya lebih baik dan lebih pantas mendapatkan banyak, kita berikan lebih sedikit.
OK, kenapa bisa begitu?
Ini karena rasa kehilangan yang kita alami semakin bertambah di setiap
skenario.
Pada skenario pertama, kita belum berasa kehilangan karena kita belum sadar handphone kita jatuh, dan kita telah mendapatkannya kembali.
Pada skenario kedua, kita juga belum merasakan kehilangan karena saat itu
kita belum sadar, tetapi kita membayangkan rasa kehilangan yang mungkin akan kita alami seandainya saat itu kita sudah turun dari kereta.
Pada skenario ketiga, kita sempat merasakan kehilangan, namun tidak lama
kita mendapatkan kelegaan dan harapan kita akan mendapatkan handphone kita kembali.
Pada skenario keempat, kita sangat merasakan kehilangan itu.
Kita mungkin berpikir untuk memberikan sesuatu yang besar kepada orang yang menemukan handphone kita, asalkan handphone itu bisa kembali kepada kita.
Rasa kehilangan yang bertambah menyebabkan kita semakin menghargai handphone yang kita miliki.
Saat ini, adakah sesuatu yang kurang kita syukuri?
Apakah itu berupa rumah, handphone, teman-teman, kesempatan berkuliah, kesempatan bekerja, atau suatu hal lain.
Namun, apakah yang akan terjadi apabila segalanya hilang dari genggaman
kita. Kita pasti akan merasakan kehilangan yang luar biasa. Saat itulah, kita baru dapat mensyukuri segala sesuatu yang telah hilang tersebut.
Namun, apakah kita perlu merasakan kehilangan itu agar kita dapat bersyukur?
Sebaiknya tidak.
Syukurilah segala yang kita miliki, termasuk hidup kita, selagi itu masih
ada. Jangan sampai kita menyesali karena tidak bersyukur ketika itu telah lenyap dari diri kita. Jangan pernah mengeluh dengan segala hal yang belum diperoleh. Bahagialah dengan segala hal yang telah diperoleh.
Sesungguhnya, hidup ini berisikan banyak kebahagiaan.
Bila kita mampu memandang dari sudut yang benar.
Bottom of Form
Ukhti..berjilbab,berhijab adlh aturan syariat..KaRNa DIKAU BERLIAN YG MESTI DIJAGA
ukhti ..
muslimah ..
Ya percayalah kau nampak indah dg jilbabmu ..
jangan perdulikan omongan mereka.. karena kita cinta ALLAH ..
karena kita merindukan surgaNYA .. karena kita takut Neraka NYA ..
semoga kelak kita bisa bertemu Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam ditelagaNYA .. telaga alkautsar..
dan bertemu memandang wajahNYA disurgaNYA
percayalah akan janji Allah tentang surgaNYA.. smg tetep istiqomah ..
Ukhti …
Dalam ayat-ayat Al-Quran, As-Sunnah memberikan jawaban kepada kita bahwa jika seorang wanita keluar dari rumahnya, maka ia wajib menutup seluruh anggota badannya dan tidak menampakkan sedikitpun perhiasannya, kecuali wajah dan dua telapak tangannya,
maka ia harus menggunakan pakaian (jilbab) yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. meliputi seluruh badan kecuali yang dikecualikan
Syarat ini terdapat dalam firman Allah dalam surat An-Nuur : 31 berbunyi : “Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka (mertua) atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudar mereka (kakak dan adiknya) atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka (=keponakan) atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Juga firman Allah dalam
surat Al-Ahzab : 59 berbunyi : “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mumin : “Hendaklah mereka mengulurkann jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya : “Janganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi, kecuali yang tidak mungkin disembunyikan.” Ibnu Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. “Maksudnya adalah kain kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak mungkin disembunyikan.”
Al-Qurthubi berkata : Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya : “Wahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.” Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Allah Pemberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”
2. BUKAN BERFUNGSI SEBAGAI PERHIASAN
Ini berdasarkan firman Allah dalam
surat An-Nuur ayat 31 berbunyi : “Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka.” Secara umum kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi dengan sesuatu, yang menyebabkan kaum laki-laki melirikkan pandangan kepadanya. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam
surat Al-Ahzab ayat 33 : “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti oang-orang jahiliyah.”
Juga berdasarkan sabda Nabi : “Ada tida golongan yang tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah dan mendurhakai imamnya serta meninggal dalam keadaan durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya.” (Dikeluarkan Al-Hakim 1/119 dan disepakati Adz-Dzahabi; Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad; At-Thabrani dalam Al-Kabir; Al-Baihaqi dalam As-Syuaib).
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. (Fathul Bayan VII/19).
3. KAINNYA HARUS TEBAL (TIDAK TIPIS)
Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali harus tebal. Jika tipis, maka hanya akan semakin memancing fitnah (godaan) dan berarti menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda : “Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk.” Di dalam hadits lain terdapat tambahan : “Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sekian dan sekian.” (At-Thabrani dalam Al-Mujam As-Shaghir hal. 232; Hadits lain tersebut dikeluarkan oleh Muslim dari riwayat Abu Hurairah. Lihat Al-HAdits As-Shahihah no. 1326).
Ibnu Abdil Barr berkata : Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu
tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang. (dikutip oleh As-Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik III/103).
Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsannya Umar bin Al-Khattab pernah memakai baju Qubthiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis dan berwarna putih) kemudian Umar berkata : Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !. Seseorang kemudian bertanya : Wahai Amirul Muminin, Telah saya pakaikan itu kepada istriku dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidk melihatnya sebagai pakaian yang tipis ! Maka Umar menjawab : Sekalipun tidak tipis, namun ia mensifati (menggambarkan lekuk tubuh). (Riwayat Al-Baihaqi II/234-235; Muslim binAl-Bitthin dari Ani Shalih dari Umar).
Atsar di atas menunjukkan bahwa pakaian yang tipis atau yang mensifati dan menggambarkan lekuk-lekuk tubuh adalah dilarang. Yang tipis (transparan) itu lebih parah daripada yang menggambarkan lekuk tubuh (tapi tebal). Oleh
karena itu Aisyah pernah berkata : “Yang namanya khimar adalah yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut.”
4. HARUS LONGGAR (TIDAK KETAT) SEHINGGA TIDAK DAPAT MENGGAMBARKAN SESUATU DARI TUBUHNYA
Usamah bin Zaid pernah berkata : Rasulullah pernah memberiku baju Quthbiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku : “Mengapa kamu tidak mengenakan baju Quthbiyah ?” Aku menjawab : Aku pakaiakan baju itu pada istriku. Nabi lalu bersabda : “Perintahkan ia agar mengenakan baju dalam di balik Quthbiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.” (Ad-Dhiya Al-Maqdisi dalam Al-Hadits Al-Mukhtarah I/441; Ahmad dan Al-Baihaqi dengan sanad Hasan). Aisyah pernah berkata : Seorang wanita dalam shalat harus mengenakan tiga pakaian : Baju, jilbab dan khimar. Adalah Aisyah pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya. (Ibnu Sad VIII/71).
Pendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar : Jika seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya : Baju, khimar dan milhafah (mantel). (Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf II:26/1).
Ini semua juga menguatkan pendapat yang kami pegangi mengenai wajibnya menyatukan antara khimar dan jilbab bagi kaum wanita jika keluar rumah.
5. TIDAK DIBERI WEWANGIAN ATAU PARFUM
Dari Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata : Rasulullah bersabda : “Siapapun wanita yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (An-Nasai II/283; Abu Daud II/192; At-Tirmidzi IV/17; Ahmad IV/100, Ibnu Khuzaimah III/91; Ibnu Hibban 1474; Al-Hakim II/396 dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda : “Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka jangan sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian.” (Muslim dan Abu Awanah
dalam kedua kitab Shahih-nya; Ash-Shabus Sunan dn lainnya).
Dari Abu Hurairah bahwa ia berkata : Rasulullah bersabda : “Siapapun wanita yang memakai bakhur (wewangian yang berasal dari pengasapan), maka janganlah ia menyertai kami dalam menunaikan shalat Isya yang akhir.” (ibid)
Dari Musa bin Yasar dari Abu Hurairah : Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian menerpanya. Maka Abu Hurairah berkata : Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ? Ia menjawab : Ya. Abu Hurairah kemudian berkata : Pulanglah saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda : “Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi.” (Al-Baihaqi III/133; Al-Mundziri III/94).
Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Ibnu Daqiq Al-Id berkata : Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki (Al-Munawi dalam Fidhul Qadhir dalam mensyarahkan hadits dari Abu Hurairah).
Saya (Al-Albany) katakan : Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu
jauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Al-Haitsami dalam kitab AZ-Zawajir II/37 menyebutkan bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dn berhias adalah termasuk perbuatan kabair (dosa besar) meskipun suaminya mengizinkan.
6. TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN LAKI-LAKI
Karena ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyrupakan diri dengan kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya.
Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria (Abu Daud II/182; Ibnu Majah I/588; Ahmad II/325; Al-Hakim IV/19 disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Dari Abdullah bin Amru yang berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda : “Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.” (Ahmad II/199-200; Abu Nuaim dalam Al-Hilyah III/321)
Dari Ibnu Abbas yang berkata : Nabi melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian. Beliau bersabda : “Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan.” Dalam lafadz lain : “Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria.” (Al-Bukhari X/273-274; Abu Daud II/182,305; Ad-Darimy II/280-281; Ahmad no. 1982,2066,2123,2263,3391,3060,3151 dan 4358; At-Tirmidzi IV/16-17; Ibnu Majah V/189; At-Thayalisi no. 2679).
Dari Abdullah bin Umar yang berkata : Rasulullah bersabda : “Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang
bertingkah kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).” (An-Nasai !/357; Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati Adz-Dzahabi; Al-Baihaqi X/226 dan Ahmad II/182).
Dalam haits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya.
Ini bersifat umum, meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.
7. TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN WANITA-WANITA KAFIR
Syariat Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan) tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka. Dalilnya : Firman Allah surat Al-Hadid : 16, berbunyi : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al-Iqtidha hal. 43 : Firman Allah “Janganlah mereka seperti…” merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, di samping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan. Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini (IV/310) berkata : Karena itu Allah melarang orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun cabang.
Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) : “Raaina” tetapi katakanlah “Unzhurna” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” Ibnu Katsir I/148 berkata : Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata dengan tujuan mengejek. Jika mereka ingin mengatakan “Denagrlah kami” mereka mengatakan “Raaina” sebagai plesetan kata “ruunah” (artinya
ketotolan) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 46.
Allah telah memberi tahukan (dalm
surat Al-Mujadalah : 22) bahwa tidak ada seorang mumin yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mumin, sedangkan tindakan
menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan
8. BUKAN PAKAIAN UNTUK MENCARI POPULARITAS (PAKAIAN KEBESARAN)
Berdasarkan hadits Ibnu Umar yang berkata : Rasulullah bersabda : “Barangsiapa mengenakan pakaian (libas) syuhrah di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya
dengan api neraka.” (Abu Daud II/172; Ibnu Majah II/278-279).
Libas Syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan untuk meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakain tersebut mahal, yang dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya,
maupun pakaian yang bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dan dengan tujuan riya (Asy-Syaukani dalam Nailul Authar II/94). Ibnul Atsir berkata : “Syuhrah artinya terlihatnya sesuatu.
Maksud dari Libas Syuhrah adalah pakaiannya terkenal di kalangan orang-orang yang mengangkat pandangannya mereka kepadanya. Ia berbangga terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan sombong.”
Kesimpulannya adalah :
Hendaklah menutup seluruh badannya, kecuali wajah dan dua telapak dengan perincian sebagaimana yang telah dikemukakan, jilbab bukan merupakan perhiasan, tidak tipis, tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh, tidak disemprot parfum, tidak menyerupai pakaian kaum pria atau pakaian wanita-wanita kafir dan bukan merupakan pakaian untuk mencari popularitas.
Dikutip dari Kitab Jilbab Al-Marah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah (Syaikh Al-Albany)
Dostları ilə paylaş: |