~ Syarat dan Ciri-cirinya ~



Yüklə 187,04 Kb.
tarix06.03.2018
ölçüsü187,04 Kb.
#45194






~ Syarat dan Ciri-cirinya ~



Oleh :



Iyas Al-Jakarti

http://iyas.wordpress.com/

Daftar Isi

Mukadimah 4

A. Pemahaman 6

Syarat hidup yang ibadah 6

i. Agama sebagai pedoman hidup 7

ii. Dunia sebagai modal hidup 8

iii. Akhirat sebagai tujuan hidup 9

Wasilah hidup yang ibadah 10

1. Ilmu yang bermanfaat 12

ii. Rezeki yang baik 13

iii. Amal yang diterima 13

B. Perasaan 15

Ciri-ciri bathin hidup yang ibadah 15

1. Prioritas rasa takut 16

2. Prioritas rasa harap 17

3. Prioritas rasa cinta 19

C. Perbuatan 21

Ciri-ciri lahir hidup yang ibadah 21

1. Prioritas waktu 22

2. Prioritas ilmu 22

3. Prioritas harta 23

4. Prioritas badan 24

D. Lawan 26

Hidup untuk nafsu 26

1. Kedudukan sebagai pedoman hidup 28

2. Kekayaan sebagai modal hidup 30

3. Kesenangan sebagai tujuan hidup 31

E. Siapa kita 34

Jenis manusia 34

1. Orang yang hidup untuk ibadah 34

2. Orang yang hidup untuk nafsu 35

3. Orang yang hidupnya dusta 35

4. Orang yang hidupnya tertipu 36

5. Orang yang sekedar hidup 38

Penutup 40

Maraji 41




Mukadimah


Segala puji hanya milik Allah, kami memuji, meminta pertolongan, memohon ampun kepada-Nya. Kami memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan amal perbuatan kami.

Barangsiapa yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkan jalannya. Dan barangsiapa yang telah disesatkan-Nya, maka tiada seorangpun yang mampu memberikan petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya.

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau, keluarga, dan sahabat-sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka hingga akhir zaman.

Sudah kita pahami bersama bahwa tujuan hidup semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana Allah berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah : 5)

Oleh karena itu, setiap kita pasti berniat agar hidupnya bernilai ibadah. Karena hidup yang hanya sekali ini, rugi jika tidak bernilai ibadah. Namun terkadang kita bertanya-tanya apakah hidup kita sudah ibadah. Bagaimana sebenarnya hidup yang ibadah itu. Apa syarat dan ciri-cirinya.

Semoga dengan sedikit tulisan ini membantu kita menemukan jawabannya. Dan semoga tulisan ini menjadi amal shaleh bagi penulis dan saudara-saudara yang menyebarkannya. Wallahu musta’an.

A.Pemahaman

Syarat hidup yang ibadah


Sesungguhnya ada tiga perkara dalam kehidupan kita yaitu; agama, dunia dan akhirat. Sebagaimana dalam sebuah doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wassalam :

اللهم أصلح لي ديني الذي هو عصمة أمري، وأصلح لي دنياي التي فيها معاشي، وأصلح لي آخرتي التي فيها معادي، واجعل الحياة زيادة لي في كل خير، واجعل الموت راحة لي من كل شر

Artinya: ”Ya Allah, perbaikilah agamaku karena dia adalah penjaga urusanku, dan perbaikilah duniaku karena di situlah aku mencari penghidupan, dan perbaikilah akhiratku karena ke sanalah aku akan kembali, dan jadikanlah hidupku menjadi semakin bertambah dalam semua kebaikan, dan jadikanlah matiku menjadi akhir dari semua keburukan.” (HR. Muslim)

Dalam doa ini diterangkan kedudukan masing-masing perkara tersebut:


      1. Agama sebagai pedoman hidup


Maksudnya agama sebagai pedoman/penjaga untuk urusan dunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah :

هَذَا بَصَائِرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Artinya : ”Al Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.” (Al-Jatsiyah : 20)

Hanya orang-orang yang meyakini (beriman) sajalah yang mendapat petunjuk agama. Karena mereka meyakini bahwa Allah menciptakan mereka dengan fitrah butuh kepada petunjuk Allah. Untuk menunjukkan bahwa bahwa manusia butuh rahmat Allah. Dan ilmu Allah yang menyelamatkan mereka, bukan ilmu mereka sendiri.

Oleh karena itu, mereka tunduk dan membuka hati mereka sebesar-besarnya untuk menerima petunjuk Allah. Adapun orang-orang cenderung kepada kesesatan sombong mengakui kelemahan mereka. Mereka merasa pintar tanpa petunjuk Allah sehingga mereka menolaknya. Allah berfirman :

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ

Artinya : ”Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Al-An’am : 125)

      1. Dunia sebagai modal hidup


Maksudnya dunia sebagai modal hidup di dunia dan beramal untuk akhirat. Allah menjadikan di bumi ini segala keperluan yang berhubungan dengan kebutuhan fisik manusia. Sebagaimana firman Allah :

وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ

Artinya : ”Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (Al-Hijr : 20)

Fungsi dunia sebagai modal untuk ibadah sebagai bukti syukur kepada Allah yang telah memberikan semua itu. Allah berfirman :

وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ

Artinya : ”Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” (Al-A’raf : 10)


      1. Akhirat sebagai tujuan hidup


Maksudnya akhirat sebagai tujuan akhir. Disanalah sebenarnya-benarnya kehidupan. Dari sana manusia (Adam) berawal dan dari sana pula manusia akan kembali. Itulah kampung halaman bagi siapa yang beriman kepadanya.

Adapun dunia ini hanyalah kehidupan sementara (fana). Tidak ada sedikitpun nilainya di sisi Allah. Allah berfirman :

وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الآَخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Artinya : ”Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Al-Ankabut : 64)

Dalam ayat lain Allah berfirman pula :

وَهُوَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالآَخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Artinya : ”Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Al-Qashash : 70)

Orang yang beriman kepada hari akhir adalah orang yang mempersiapkan bekal kesana. Hidupnya di dunia semata-mata untuk beribadah. Segala kesusahan dan kesenangan baginya ujian ketakwaan dari Allah dan sarana untuk ibadah. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr : 18)

Itulah tiga syarat hidup yang ibadah. Apabila agama kita jadikan sebagai pedoman hidup, dunia sebagai modalnya dan akhirat sebagai tujuannya. Dengan pedoman agama kita mencari modal di dunia. Kemudian dengan pedoman agama dan modal dunia kita gunakan untuk tujuan kita, akhirat. Dari sini kita tahu pula, agama adalah jembatan antara dunia dan akhirat.

Wasilah hidup yang ibadah


Tiga perkara diatas (agama, dunia dan akhirat) masih bersifat umum. Lantas bagaimana bentuk nyata dan praktisnya yang harus kita lakukan? Rasulullah Shallallahu ’alaihiwassalam telah mengajarkan caranya dalam doa berikut:

اللهم إني أسألك علماً نافعاً، ورزقاً طيباً، وعملاً متقبلاً

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima“. (HR. Ibnu Majah)

Dalam doa tersebut disebutkan tiga hal yang harus kita cari, yaitu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amalan yang diterima. Ilmu disini dalam bentuk nakirah (tak tentu) sehingga bermakna umum, yaitu ilmu agama dan dunia. Ilmu agamalah sebagai wasilah urusan agama. Sebagaimana sebuah atsar salaf menyebutkan:

إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم

Artinya: “Sesungguhnya ilmu agama ini, itulah agama. Maka hendaklah kalian perhatian dari mana kalian ambil agama kalian”

Sedangkan ilmu dunia yang bermanfaat adalah wasilah mencari rezeki yang baik. Dan rezeki yang baik adalah wasilah urusan dunia. Adapun amal yang diterima adalah wasilah urusan akhirat.

Karena sebagai wasilah, maka kedudukan ketiga hal ini seperti kedudukan perkaranya. Ilmu agama adalah pedoman, rezeki adalah modal dan amal adalah tujuan. Dengan pedoman ilmu kita mencari rezeki. Kemudian dengan pedoman ilmu dan modal rezeki kita beramal.

Ketiga wasilah ini saling berkaitan. Karena pedoman, modal dan tujuan adalah satu kesatuan. Sehingga apabila tidak ada salah satu, maka yang lain pun sia-sia. Oleh karena itu, syarat satu wasilah adalah dua wasilah lain. Yaitu:

  1. Ilmu yang bermanfaat


Adalah ilmu yang dijadikan pedoman untuk mencari rezeki yang baik dan untuk beramal shaleh. Ilmu yang dimaksud tentunya ilmu agama yang shahih bersumber dari kitabullah dan sunnah.

Namun apabila ilmu hanya sebatas hafalan, maka ilmu tersebut tidak bermanfaat bahkan tercela dan dimurkai Allah. Sebagaimana Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3)

Al-Hasan Al-Basri pernah berkata yang dinukil Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, yang bunyinya:

Ilmu itu terbagi dua, yaitu ilmu hati (yang sampai ke hati) dan ilmu lisan (hanya di lisan). Ilmu hati itulah yang bermanfaat, sedangkan ilmu lisan adalah tercela.”


      1. Rezeki yang baik


Adalah rezeki yang diperoleh atas pedoman ilmu (halal) dan sebagai modal beramal shaleh. Rezeki walau didapat dengan cara yang halal namun dengan melalaikan/ meninggalkan kewajiban lainnya, maka bukanlah rezeki yang baik. Sehingga bagaimana rezeki itu akan digunakan untuk beramal shaleh, sedangkan mencarinya saja telah meninggalkan amal-amal kewajiban.

Rezeki yang baik didapat tanpa melalaikan/ meninggalkan kewajiban lainnya. Kemudian bila rezeki itu digunakan untuk beramal shalih, maka jadilah ia rezeki yang berkah. Oleh karena itu Allah memerintahkan kita untuk makan dari rezeki yang baik-baik dan kemudian beramal. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Artinya: ”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mukminun: 51)


      1. Amal yang diterima


Adalah amal yang dibangun atas pedoman ilmu (ikhlas dan sesuai sunnah) dengan modal rezeki yang baik. Amal yang bukan karena ikhlas kepada Allah bukanlah amal yang ditujukan kepada Allah. Maka amal ini tidak akan sampai kepada Allah, apalagi diterima-Nya.

Amal tanpa petunjuk utusan Allah (rasul), maka amal itu tidak sesuai petunjuk Sang Pengutus (Allah). Sesungguhnya Allah menjelaskan amal yang akan diterima di sisi-Nya melalui petunjuk-Nya itu. Oleh karena itu, amal tersebut akan tertolak. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wassalam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ

Artinya: ”Barangsiapa yang beramal suatu amalan yang tidak ada petunjuknya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan amal dengan rezeki yang tidak baik, tidak akan diterima pula. Sesungguhnya Allah itu baik, dan hanya menerima yang baik-baik. Rasulullah Shallallahu ’alaihiwassalam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً

Artinya: ”Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah tiga wasilah yang saling berkaitan. Hanya orang yang melaksanakan ketiganya yang hidupnya benar ibadah. Dengan melaksanakan ketiganya maka menuntut ilmu dan mencari rezeki sebagai penunjangnya bernilai ibadah pula.

Sebagian orang meninggalkan ibadah dengan dalih bahwa bekerja adalah ibadah pula. Sesungguhnya bekerja yang ibadah bila ditempatkan sebagai modal untuk ibadah. Sehingga orang yang bekerja namun tidak ibadah atau tidak menuntut ilmu agama maka kerjanya bukanlah ibadah.

B.Perasaan

Ciri-ciri bathin hidup yang ibadah


Amal ibadah untuk akhirat adalah tujuan hidup maka sudah sepantasnya diprioritaskan. Ilmu, rezeki dan lainnya dicari untuk menunjang amal. Karena semua hidup kita memang untuk beramal sebaik-baiknya. Allah berfirman :

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Artinya : “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. “ (Al-Mulk : 2)

Dalam setiap amal ibadah harus disertai rukun-rukunnya. Rukun ibadah adalah disertai rasa takut, harap dan cinta. Oleh karena itu, memprioritaskan amal harus terdapat pula dalam rasa takut, harap dan cinta seseorang.


  1. Prioritas rasa takut


Maksudnya adalah rasa takut meninggalkan amal kewaiban dan melanggar perintah Allah. Takut kepada Allah dan ancaman-Nya. Seseorang yang hidupnya ibadah lebih takut kepada Allah daripada takut tidak makan atau takut kepada manusia. Oleh karena itu, kewajiban kepada Allah harus diprioritaskan dari selainnya. Sebagaimana Allah berfirman :

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Artinya : ” Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qhashash : 77)

Dalam ayat ini Allah menjelaskan kewajiban-kewajiban manusia berdasarkan prioritasnya. Dimulai dari ibadah kepada Allah, kewajiban memenuhi kebutuhan diri sendiri, berbuat baik kepada manusia hingga tidak merusak lingkungan sekitar.

Namun banyak manusia lebih mengutamakan mencari kebutuhan dunia daripada akhirat. Mereka lebih takut tidak mendapatkan dunia daripada akhirat. Mereka melakukan terbalik dari ayat diatas seolah-olah menjadi “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kenikmatan) duniawi, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kebahagiaan) negeri akhirat”. maka jadilah amal untuk akhirat hanya sisa-sisa waktu mereka bahkan terkadang mereka lupa.

Orang-orang seperti ini terlalu mencintai dunia dan melupakan akhirat. Kelak mereka akan menemui kehidupan akhirat yang berat karena mereka lupa mempersiapkannya. Allah mencela mereka dalam firman-Nya :

إِنَّ هَؤُلاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلا

Artinya : ”Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat).” (Al-Insan : 27)


  1. Prioritas rasa harap


Sering kali kita menganggap harta yang kita kumpulkan, usaha yang kita bangun, kedudukan yang kita kejar hingga anak-anak yang kita sekolahkan setinggi-tingginya akan menjadi harapan kita di masa tua nanti. Namun kita lupa mempersiapkan untuk masa setelah kematian kita, yaitu akhirat. Padahal kehidupan akhirat lebih utama daripada dunia. Allah berfirman :

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا

Artinya : ”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi : 46)

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa harta dan anak hanyalah perhiasan dunia. Sedangkan amal shaleh lebih baik di sisi Allah dan lebih baik untuk dijadikan harapan.

Tabungan dan investasi berupa harta, ilmu dan anak tidak berarti apa-apa di sisi Allah. Namun amal shaleh itulah sebaik-baiknya tabungan. Sedangkan amal jariyah itulah sebaik-baiknya investasi. Harta, ilmu dan anak akan berarti bila diarahkan dalam ibadah kepada Allah. Sebagai Rasulullah bersabda :

إذَا مَاتَ الإنسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَووَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ

Artinya : “Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak yang shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad dari Abu Hurairah)

Inilah sebaik-baiknya investasi yang tidak akan terputus dan tetap dapat dirasakan manfaatnnya setelah mati.

Adapun harta sebanyak apapun dikumpulkan serta anak sesukses apapun disekolahkan akan sia-sia bila bukan untuk ibadah. Bahkan keduanya akan menyusahkan baik di dunia apalagi di akhirat. Harta yang banyak malah membuat cemas dan mengundang berbagai bahaya. Anak yang selalu dibela meninggalkannya dan lebih mementingkan dirinya sendiri. Itulah sebagian adzab dari Allah di dunia sebagaimana firman-Nya :

وَلا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَأَوْلادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ

Artinya : ”Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengadzab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka dalam keadaan kafir.” (At-Taubah : 85)

Oleh karena itu, harta terbaik adalah yang dicukupi dengan sabar dan dipuaskan dengan syukur. Sedangkan anak terbaik adalah anak shaleh yang berbakti kepada kedua orangtuanya.


  1. Prioritas rasa cinta


Maksudnya mengutamakan cinta kepada Allah dalam bentuk beribadah dan mentaati perintah-Nya. Allah harus dicintai diatas kecintaan kepada harta, anak dan lainnya. Sebagaimana Allah berfirman :

قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Artinya : ”Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (At-Taubah : 24)

Bahkan kita dilarang iri kepada seseorang kecuali kepada amalannya. Rasulullah bersabda :

لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Artinya : ”Tidak boleh iri kecuali dalam dua hal : seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu dia habiskan hartanya itu untuk membela kebenaran. Dan seseorang yang dibeli ilmu oleh Allah lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits tersebut menjelaskan bahwa kita tidak boleh iri terhadap harta dan ilmu seseorang kecuali yang digunakan untuk beramal. Artinya kita hanya boleh iri kepada amalan seseorang.

C.Perbuatan

Ciri-ciri lahir hidup yang ibadah


Pada akhirnya, bukan berapa banyak harta yang kita kumpulkan yang akan ditanya di akhirat. Bukan pula berapa tinggi kedudukan yang kita capai. Tapi yang akan ditanya dan diminta pertanggungjawabannya adalah amal perbuatan kita. Rasulullah bersabda :

لا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاهُ

Artinya : “Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba (menuju batas shiratul mustaqim) sehingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia amalkan , hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia habiskan dan badannya untuk apa ia gunakan” (HR. Tirmidzi dan Ad Darimi)

Itulah empat hal yang dimintai pertanggungjawabannya. Apakah umur, ilmu, harta badannya digunakan dalam ketaatan kepada Allah atau hanya untuk bersenang-senang dan mengejar dunia.

Keempat hal ini menjadi ciri lahir prioritas hidup seseorang. Tujuan hidupnya tampak dari keempat hal ini. Apakah memang benar hidupnya untuk ibadah atau bersenang-senang.

  1. Prioritas waktu


Diluar memenuhi kebutuhan dasar, hidup yang ibadah bila waktu diprioritaskan untuk ibadah, membaca Alquran, mengaji, ke masjid atau lainnya. Serta mendahulukan waktu shalat dan berjamaah dimasjid daripada pekerjaan atau bersenang-senang. Allah berfirman :

رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأَبْصَارُ

Artinya : ”laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.” (An-Nur : 37)

Hidup bukan ibadah bila waktu dihabiskan sekedar menumpuk harta, mengejar karir dan kedudukan. Ibadah hanya di sisa-sisa waktu bahkan kadang ditinggalkan.

Atau lebih penting bersenang-senang, kumpul-kumpul, jalan-jalan, makan-makan dan semisalnya. Ibadah jika hiburan atau tontonan sudah selesai. Itupun bila ingat.

  1. Prioritas ilmu


Seseorang yang hidupnya ibadah lebih mengetahui tentang agama daripada hal lainnya. Paling tidak berusaha untuk selalu mengetahui tentang agamanya. Ilmunya dipenuhi hafalan Alquran, hadits, pemahaman akidah, fikh, akhlak, tokoh-tokoh Islam dan sejarahnya.

Adapun jika lebih hafal lagu-lagu, tempat-tempat gaul, nama-nama artis, pemain bola serta gosp-gosipnya maka itulah tujuan dan prioritas hidupnya. Begitupun bila ilmunya hanya dipenuhi urusan bisnis dan strateginya maka untuk itu pula tujuan hidupnya. Allah berfirman :

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Artinya : ”Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum : 7)


  1. Prioritas harta


Kemana harta seseorang dibelanjakan menandakan pula tujuan hidupnya. Bila harta itu untuk menunjang ibadah, sedekah, infak di jalan Allah, membeli buku-buku agama dan keperluan mencari ilmu agama maka insya Allah hidupnya ibadah.

Namun bila lebih utama untuk bersenang-senang, jalan-jalan, membeli kaset lagu-lagu dan film serta hiburan lainnya maka kurang lebih itulah prioritas hidupnya. Ringan baginya mengeluarkan uang banyak untuk bersenang-senang namun untuk sedekah dan keperluan agama sulit sekali walau sedikit. Padahal apa yang diutamakannya itu hanyalah maksiyat atau kesia-siaan yang membinasakan. Allah berfiman :

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Artinya : ”Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah : 195)

Sedangkan orang yang hidupnya untuk ibadah tidak akan rela hartanya untuk kesia-siaan apalagi maksiyat walau sepeserpun. Allah berfirman :

وَمَا تُنْفِقُونَ إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ

Artinya : ”Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Al-Baqarah : 272)

  1. Prioritas badan


Bukan hidup yang ibadah jika berkilo-kilo ke kantor mampu, namun sholat jamaah di masjid kurang dari sekilo tidak bisa. Bukan pula jika duduk berjam-jam di depan TV tidak lelah, baca Alquran tidak sampai sejam susah. Apalagi jika mendengar gosip semangat, sedangkan mendengar pengajian mengantuk. Tujuan hidup seseorang tampak pada tujuan badan dan tenaganya diprioritaskan.

Jika kita tidak sadar sekarang dan berusaha untuk beramal shaleh maka kematianlah yang akan menyadarkan kita. Namun kesadaran pada saat itu tidak ada gunanya lagi. Yang ada hanya penyesalan dan harapan kosong untuk kembali ke dunia agar dapat beribadah. Allah berfirman :

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ 

Artinya : ”(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shaleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan” (Al-Mukminun : 99-10)

وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

Artinya : ”Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shaleh) untuk hidupku ini."” (Al-Fajr : 23-24)

Itulah empat hal yang akan ditanyakan di akhirat. Jawabannya adalah apa yang kita lakukan saat di dunia ini. Empat pertanyaan yang hanya membutuhkan satu jawaban, yaitu “ibadah”. Maka jika umur, ilmu, harta dan badan semua diarahkan dan diprioritaskan untuk kepentingan ibadah, berarti kita telah menjawab dengan benar.

Sebenarnya mudah untuk memiliki empat ciri lahir hidup yang ibadah ini. Yaitu jika kita sudah memiliki tiga ciri bathinnya; ibadah sebagai prioritas rasa takut, harap dan cinta. Sehingga jika tujuan dan fokus di hati kita adalah ibadah, maka keempat hal tersebut otomatis akan tertuju dan terfokus untuk ibadah pula.


D.Lawan

Hidup untuk nafsu


Kebalikan hidup yang ibadah adalah hidup untuk memperturutkan hawa nafsu. Dimana hati dan akal diperbudak oleh hawa nafsu. Jadilah hawa nafsu sebagai tuhannya. Sebagaimana firman Allah :

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ

Artinya : “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jatsiyah : 23)

Mereka telah menutup diri dari ayat-ayat Allah. Maka Allah menutup hati, pendengaran dan penglihatan mereka. Jadilah mereka lebih buruk dari hewan ternak. Allah berfirman :

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Artinya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf : 179

Ciri-ciri orang-orang yang mempertuhankan hawa nafsu adalah kebalikan dari orang-orang yang beriman, yaitu :


  1. Kedudukan sebagai pedoman hidup, bukan ilmu agama

  2. Kekayaan sebagai modal hidup, bukan rezeki yang baik

  3. Kesenangan sebagai tujuan hidup, bukan ibadah
  1. Kedudukan sebagai pedoman hidup


Orang-orang yang hidup untuk nafsu, pedomannya adalah kedudukan bukan agama. Arah dan batasan perbuatannya adalah kedudukannya dan kedudukan orang yang dihadapinya. Jika yang dihadapinya adalah orang yang tidak dikenal atau yang lebih rendah dan lemah maka mereka akan sewenang-wenang, walau orang tersebut benar. Namun jika yang dihadapinya orang dekatnya atau yang lebih tinggi dan kuat maka mereka akan takut atau membelanya, walau orang tersebut salah.

Ada dua macam manusia seperti ini. Pertama yaitu orang-orang yang memiliki kedudukan karena kekuatan harta, fisik atau jabatan. Kemudian mereka berbuat zhalim terhadap harta, darah dan kehormatan orang lain. Allah berfirman :

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Artinya : “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad : 22-24)

Sedangkan yang kedua yaitu orang-orang yang memiliki kedudukan karena gelar keilmuan baik ilmu dunia atau agama. Kemudian mereka menyesatkan manusia ; membuat yang hak menjadi batil dan yang batil menjadi hak. Allah berfirman :

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ

Artinya : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’am : 116)

Oleh karena itu, janganlah kita lepas dari pedoman agama. Akibatnya kekuasaan dan gelar yang kita miliki membuat kita zhalim dan menyesatkan manusia. Dan jangan pula kita bersedih hati dan disesatkan oleh mereka. Sesungguhnya mereka adalah cobaan bagi manusia. Allah berfirman :

ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ

Artinya : “Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain.” (Muhammad : 4)

Orang-orang yang hidup untuk nafsu merasa derajatnya tinggi dengan kedudukan. Padahal orang-orang yang beriman dan berilmu sebagai pedoman yang derajatnya ditinggikan Allah. Allah berfirman :

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Artinya : “niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah : 11)

  1. Kekayaan sebagai modal hidup


Jika modal orang-orang yang beriman adalah rezeki yang baik, maka orang-orang yang mempertuhankan nafsu menjadikan kekayaan sebanyak-banyaknya sebagai modal. Tidak penting dari mana harta tersebut berasal. Apakah dengan cara haram atau meninggalkan kewajiban, yang penting mereka dapat. Namun sebanyak apapun hartanya, tidak akan pernah membuatnya puas.

Tidak penting pula baginya kemana hartanya dihabiskan, yang penting mereka senang. Terutama jika didapat dengan cara yang tidak baik, maka tidak akan membawa kebaikan pula. Justru mereka menjadi ingkar karena merasa cukup. Sebagaimana firman Allah :

كَلا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى أَنْ رَآَهُ اسْتَغْنَى

Artinya : “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-‘Alaq : 6-7)

Karena merasa cukup pula mereka menjadi sombong kepada manusia. Membuat manusia menjauhi dirinya. Kemudian karena harta yang banyak membuatnya penuh kecemasan. Mereka pun direpotkan untuk mengurusi hartanya tersebut. Bukan kebahagiaan yang didapat namun justru adzab. Sebagaimana firman Allah :

وَلا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَأَوْلادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ

Artinya : “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengadzab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka dalam keadaan kafir.” (At-Taubah : 85)

Sesungguhnya rezeki yang baiklah yang membawa kebaikan. Adapun balasan Allah di akhirat jauh lebih utama dari yang mereka kumpulkan. Allah berfirman :

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Artinya : “Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".” (Yunus : 58)


  1. Kesenangan sebagai tujuan hidup


Tujuan akhir orang-orang yang mengikuti hawa nafsu adalah bersenang-senang. Kedudukan dan kekayaannya digunakan untuk mencari kesenangan. Tidak penting baginya beribadah kepada Allah. Terlebih untuk berbuat baik kepada manusia. Bagaimana mereka akan ibadah dan berbuat baik, sedangkan kedudukan dan kekayaannya diperoleh dengan maksiyat kepada Allah dan zhalim kepada manusia.

Kesenangan mereka bukanlah nikmat dari Allah. Sesungguhnya Allah sengaja membiarkan agar mereka lalai dan bergelimang dosa. Kemudian Allah mengadzab mereka karena dosa-dosanya. Allah berfirman :

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

Artinya : “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Al-An’am : 44)

Hanya orang yang tujuan hidupnya untuk beramal shaleh yang merasakan kebahagiaan sebenarnya. Di dunia Allah akan memberikan kepadanya ketenangan hati. Sedangkan di akhirat telah menunggu balasan yang lebih baik di sisi Allah. Sebagaimana Allah berfirman :

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا

Artinya : “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi : 46)

Oleh karena itu, tidak sama antara orang-orang yang mengikuti petunjuk Allah dengan yang mengikuti hawa nafsunya. Allah berfirman :

أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ

Artinya : “Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (syaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (Muhammad : 14)

Kecuali yang hawa nafsunya mengikuti petunjuk Allah. Itulah nafsu yang mendapat rahmat Allah seperti firman Allah :

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya : “karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (Yusuf : 53)

Maka orang-orang yang mampu menahan nafsunya di dunia ini karena Allah akan diberikan kedudukan, kekayaan dan kesenangan sebenarnya di akhirat. Allah berfirman :

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

Artinya : “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (An-Nazi’at : 40-41)


E.Siapa kita

Jenis manusia


Dari pembahasan di atas, mudah-mudahan dapat membantu menjawab bagaimana hidup yang ibadah itu. Lalu apakah hidup kita sudah ibadah? Paling tidak, sudahkah kita berusaha untuk hidup yang ibadah? Jika ternyata belum, maka seperti apakah hidup kita sekarang ini? Untuk itu, kita perlu tahu macam-macam manusia agar kita lebih berusaha dan berhati-hati.
  1. Orang yang hidup untuk ibadah


Adalah orang-orang yang menjadikan agama sebagai pedoman hidupnya, rezeki yang baik sebagai modalnya dan amal shaleh sebagai tujuannya. Dia tidak pernah berhenti mempelajari agama. Makanannya dari rezeki yang baik-baik. Hidupnya diutamakan untuk beribadah.

Tidak ada yang lebih ditakuti kecuali meninggalkan perintah Allah dan melanggar larangannya. Tidak ada yang diharapkan kecuali balasan dari Allah. Serta tidak ada yang lebih dicintai kecuali Allah, rasul-Nya dan syurga yang dijanjikan-Nya.

Oleh karena itu, semua yang dimiliki digunakan untuk beribadah kepada Allah. Baik umurnya, ilmunya, harta maupun badannya dihabiskan untuk beribadah. Intinya, dalam pemahamannya, kehendak perasaannya dan perbuatannya adalah hidupnya semata-mata untuk ibadah.

  1. Orang yang hidup untuk nafsu


Adalah orang-orang yang menganggap agama sebagai penghalang. Sedangkan ibadah dipandang sebagai perbuatan sia-sia. Maka Allah pun menyia-nyiakan semua amalannya. Baginya hidup hanya di dunia ini. Oleh karena itu mereka mengejar dunia sekuatnya. Kedudukan adalah hal penting baginya. Sedangkan kekayaan adalah modal utamuanya.

Di hatinya yang ada hanya dunia. Tidak ada yang ditakuti, diharapkan dan dicintai kecuali dunia. Oleh karena itu umur, ilmu, harta dan badannya dihabiskan untuk mengejar dunia.


  1. Orang yang hidupnya dusta


Adalah orang-orang yang menjadikan agama sebatas pembenaran, bukan sumber kebenaran. Lisannya mengaku ibadah namun hati dan amalannya untuk nafsu belaka. Dia merasa hidupnya untuk ibadah. Sadangkan faktanya ia hidup untuk nafsu.

Setan telah membuatnya memandang indah perbuatannya. Maka mereka pun meyakini perbuatannya sebagai kebenaran. Oleh karena itu, mereka mencari-cari atau menafsirkan ayat-ayat Allah sesuai keinginan hawa nafsunya. Allah berfirman :

اشْتَرَوْا بِآَيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلا فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِهِ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya : “Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu.” (At-Taubah : 9)


  1. Orang yang hidupnya tertipu


Adalah orang-orang yang menjadikan agama sebagai tujuan (obyek), bukan pedoman. Justru amal (niat baik dan semangat) yang menjadi pedoman. Dia terbalik menempatkan pedoman dan tujuan hidup. Tanpa sadar ia menjadikan agama sesuatu yang ia atur bukan yang mengatur dirinya.

Dia merasa dengan hanya semangat dan niat baik mampu memberikan kebaikan dan keselamatan. Padahal Allah lah yang memberikan kebaikan dan keselamatan melalui petunjuk-Nya. Manusia hanyalah sebagai wasilah apabila menjalankan petunjuk-Nya. Adapun yang mereka perbuat tanpa petunjuk Allah bukan menyelamatkan justru merusak agama dan manusia. Bagaimana mereka menyelamatkan orang lain sedangkan menyelamatkan diri mereka sendiri saja mereka tidak mampu.

Apakah mereka tidak sadar bahwa manusia diciptakan untuk dirahmati Allah dan mengakui kelemahan dan ketergantungannya kepada Allah. Dan apakah mereka tidak tahu bahwa manusia adalah obyek yang diuji Allah bukan subyek yang menyelamatkan. Atau apakah mereka sombong mengakui bahwa manusia termasuk dirinya bodoh tanpa petunjuk Allah. Mereka lebih suka melihat dirinya sebagai manusia super yang akan menjadi pahlawan dari pada obyek yang sedang diuji. Sesungguhnya hanya orang-orang yang menyadari tujuan mereka diciptakan kemudian menjadikan petunjuk Allah sebagai pedoman yang akan selamat dan menyelamatkan manusia.

Demikianlah orang-orang yang tertipu oleh keadaan umat dan manusia. Niat baik, semangat dan kepeduliannya tidak didukung ilmu agama yang cukup. Mereka belajar agama dari fenomena yang ada bukan dari sumbernya, Alquran dan Assunnah.

Oleh karena itu maka hendaknya kita mengambil agama dari sumber yang benar dan melalui orang-orang yang lurus. Apabila kita salah mengambil ilmu agama ini maka salah pula agama kita. Maka bertanyalah dari orang-orang yang mengerti agama ini, bukan sekedar yang memiliki gelar keagamaan. Allah berfirman :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Artinya : “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (An-Nahl : 43)

Demikian pula sebuah nasehat agung dari Imam Ibnu Sirrin yang mengatakan :

إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم

Artinya: “Sesungguhnya ilmu agama ini, itulah agama. Maka hendaklah kalian perhatian dari mana kalian ambil agama kalian


  1. Orang yang sekedar hidup


Adapun jenis terakhir adalah orang-orang yang sekedar menjalani kehidupan. Agama baginya hanyalah sekedar tradisi. Dia memang tidak bernafsu mengejar dunia tapi tidak pula menjadikan ibadah sebagai tujuannya.

Hidup baginya sekedar makan, minum, bekerja, menikah, bekeluarga kemudian mati. Tidak ada yang membedakan hidupnya dengan hewan. Kelebihan akal yang membedakannya dengan hewan tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah. Padahal hewan pun masih taat dan berdzikir kepada Allah. Allah berfirman :

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَوَاتُ السَّبْعُ وَالأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا

Artinya : “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Al-Isra : 44)

Oleh karena itu jika mereka bukan lebih buruk dari hewan ternak maka dikawatirkan mereka yang disamakan dengannya. Sebagaimana firman Allah :

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Artinya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf : 179)

Penutup


Demikianlah syarat dan ciri-ciri hidup yang ibadah. Semoga kita termasuk orang-orang yang hidupnya ibadah. Dalam pemahaman kita agama adalah satu-satunya pedoman, rezeki yang baik sebagai modal dan amal shaleh tujuan hidup kita. Kita akan terus mengaji dan bekerja untuk kesempurnaan amalan kita.

Tidak ada yang lebih kita takut meninggalkannya, berharap mendapatkankannya dan cintai kepadanya kecuali Allah dan ibadah-ibadah yang dicintai-Nya. Oleh karena itu, marilah kita gunakan umur, ilmu, harta dan badan kita dalam ibadah kepada Allah. Maka jadilah keseluruhan diri kita baik pemahaman, kehendak dan perbuatan bernilai ibadah. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah : 208)

Dan mudah-mudahan ibadah kita ini menjadi wasilah dan bekal menuju tujuan akhir kita yaitu akhirat. Sebagaimana Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ



Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr : 18)

Maraji


  1. Al-Qur’an Al-Karim

  2. An-Nawawi, Riyadhush Shalihin

  3. An-Nawawi, Hadits Arba’in


Yüklə 187,04 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin