Bab IV panduan al-qur’an dalam menyikapi musibah berbagai Respon Manusia Dalam Menghadapi Musibah



Yüklə 84,63 Kb.
tarix17.01.2019
ölçüsü84,63 Kb.
#98176

BAB IV

PANDUAN AL-QUR’AN DALAM MENYIKAPI MUSIBAH


  1. Berbagai Respon Manusia Dalam Menghadapi Musibah

Syaikh Muhammad bin Shalih Utsmainin mengatakan ada empat tingkatan orang dalam menghadapi musibah yaitu,

  1. Marah

Tingkatan ini meliputi beberapa macam keadaan. Kondisi pertama: ia menyimpan perasaan marah di dalam hati kepada Allah SWT., sehingga diapun menjadi marah terhadap apa yang sudah diputuskan Allah SWT. Sikap seperti ini termasuk perbuatan haram, bahkan terkadang bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam kekafiran. Allah yang berfirman:

Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi1; Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang2. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.3(Q.S. Al-Hajj:11)

Orang yang dibahas oleh ayat di atas, mereka adalah orang-orang yang menjadikan aqidahnya seperti barang dagangan di pasar. Bila mendapatkan kebajikan mereka akan berkata “Sesungguhnya iman itu baik”, karena mereka mendapat manfaat. Namun mereka merasa rugi hidup di dunia ketika di timpa musibah. Mereka tidak bisa bersabar dalam menghadapinya dan tidak mau meminta pertolongan kepada Allah SWT. Di akhirat mereka pun mendapatkan kerugian karena kekufurannya ini. 4

Kondisi kedua: kemarahannya diekspresikan dengan ucapan, seperti dengan mendoakan kecelakaan dan kebinasaan atau ucapan semacamnya. Ini juga haram. Selanjutnya kondisi ketiga: kemarahannya sampai meluap, sehingga terekspresikan dengan tindakan anggota badan, seperti dengan menampar-nampar pipi, merobek-robek kain pakaian, mencabuti rambut, dan perbuatan semacamnya. Perbuatan ini semua haram hukumnya, dan meniadakan sifat sabar yang wajib ada.5



  1. Bersabar

Sabar artinya tabah, yaitu dapat menahan diri dari melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam, baik dalam keadaan lapang maupun sulit, mampu mengendalikan nafsu yang mengguncang iman.6 Sabar adalah keadaan jiwa yang kokoh, stabil, konsekuen dalam pendirian jiwanya, tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak berubah walau berat tantangannya.7 Sabar juga berarti menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam menanamkan sesuatu yang tidak diinginkan ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu.8

Ibnu Samma’ ahli hikmah Arab berkata: “musibah itu satu, jika orang yang tertimpa musibah berkeluh kesah dan tidah bersabar musibah itu menjadi dua”. Artinya keluh kesah dan tidak sabaran justru menambah musibah di samping musibah yang menimpanya yaitu kehilangan pahala dari Allah SWT., yang sejatinya diberikan kepada orang-orang yang bersabar. I’tabi berkata ”Bersabarlah ketika musibah menimpamu, karena bersabar tidak membuat putus harapan. Kesabaran lebih utama selama engkau berpegang teguh dan akan lebih baik apabila kesabaranmu memenuhi dada”.9 Sabar di awal musibah yang menimpa merupakan sifat yang arif dan bijak dalam menghadapi musibah. Hal ini sangat sulit dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya, dan mampu mengontrol sikap dan perilakunya.10


Walaupun sifat sabar mempunyai kedudukan yang teramat luhur, jika dibandingkan dengan beberapa ibadah yang sifatnya intuitif, namun tidak semua kesabaran adalah baik. Sebagaimana pernyataan Iman Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin yang dikutip oleh Muhammad Ali Al-Far dalam bukunya Ridha Dengan Takdir Allah yang mengatakan : ”Ketahuilah bahwa berdasarkan hukumnya sifat sabar dibagi menjadi beberapa bagian, fardhu, sunah, makruh, dan haram. Sikap sabar dalam kondisi bahaya adalah fardhu. Sedangkan dalam hal makruh adalah sunah. Adapun sabar terhadap sesuatu yang membahayakan adalah bahaya. Sebagaimana orang yang tangannya atau tangan anaknya terpotong, kemudian dia bersabar dengan diam atau sebagaimana ada seseorang yang bernafsu kepada istrinya kemudian berkobarlah rasa cemburu itu, sehingga berlakulah segalanya atas istrinya tersebut. Sabar dalam hal ini hukumnya adalah haram. Jadikanlah syariat itu sebagai barometer kesabaran anda. Ungkapan yang menyatakan bahwa sabar adalah setengah dari iman tidak selalu memberikan kesimpulan bahwa seluruh sifat sabar adalah terpuji. Akan tetapi, yang dimaksud hanyalah beberapa sikap sabar.”11

Dalam kitab Tashil-nya Ibnu Jauzi yang dikutip oleh Muhammad Ali Al-Far dalam bukunya Ridha Dengan Takdir Allah yang berpendapat bahwa : ”Sifat sabar itu dibagi menjadi empat kategori:12



  1. Sabar dalam menghadapi musibah, maksudnya menjaga jiwa agar tetap tegar dan tidak mudah tergoncangkan serta putus asa.

  2. Sabar dalam menghadapi nikmat, yakni dengan memaksa diri kita untuk senantiasa memanjatkan rasa syukur, serta tidak sombong dan lupa diri akan nikmat yang ia raih.

  3. Sabar dalam ketaatan, maksudnya selalu menjaga konsistensi kita dalam beribadah, dan menjalani perintah serta menjauhi larangan-Nya.

  4. Sabar dalam menghadapi kemaksiatan, yakni dengan menjauhkan diri dari nafsu yang membelenggunya.”

Manusia yang paling sabar ketika musibah datang adalah mereka yang mempunyai keteguhan jiwa yang tangguh. Sebaliknya, mereka yang paling benci menerima musibah tidak lain karena keyakinan yang minim akan takdir Allah SWT. Tinggi rendahnya kesabaran dapat dilihat dari teguh tidaknya jiwa mereka dalam memaknai pahala kebaikan yang akan mereka terima.

Ada beberapa manfaat dari sifat sabar. Diantara manfaatnya yaitu a). Sifat sabar dapat membimbing seseorang kepada tingkat pengabdian kepada Allah SWT., secara sempurna, b). Sikap sabar dapat menstabilkan jiwa seseorang sehingga bertindak sesuatu secara seimbang, c). Sikap sabar dapat meredam amarah dan dendam, d). Sikap sabar cerminan hati nurani yang selalu menguntungkan orang lain, e). Orang yang bersabar bila berbicara dan bertindak selalu menyejukkan dan membahagiakan orang lain, dan f). sabar merupakan pondasi kezuhudan dan ketawadutan.13

Adapun ayat-ayat yang membahas mengenai sabar dalam menghadapi musibah yaitu: surat Al-A’raf ayat 137, Al-Furqon ayat 20, Al-Qomar ayat 27, Al-Hajj ayat 35, Az-Zumar ayat 10, dan Muhammad ayat 31.


  1. Merasa ridha

Ridha artinya rela (puas) dan senang menerima qada’ dan qadar Allah SWT. Dalam ilmu tasawuf, ridha merupakan salah satu maqam (tingkatan) batiniyyah yang harus dilakukan oleh seorang sufi dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sikap ridha menurut istilah adalah tidak menentang qada’ dan qadar Allah SWT., merasa senang dengan malapetaka yang menimpa dirinya karena dirasakan sebagai nikmat, tidak meminta surga atau dijauhkan dari neraka karena cintanya kepada Allah SWT.14

Dengan demikian, ridha itu lebih tinggi kedudukannya dari sabar, sedangkan bersyukur kepada Allah SWT., atas sesuatu yang dibenci itu lebih tinggi kedudukannya dari ridha. Namun, hal ini tidak muncul melainkan dari orang-orang terdahulu, yang mana mereka senantiasa bersyukur kepada Allah SWT., atas sesuatu yang dibenci, sebab mereka mengetahui bahwa Allah SWT., tidaklah menentapkan suatu hal untuk mereka melainkan kebaikan. Walaupun begitu, setiap orang pasti menginginkan kedudukan ridha yang mana mereka akan dapat mendorong rasa syukur serta menurunkan ketenangan. Untuk itu, Ibnu Qoyyim dalam kitab Madarijus Salikin yang dikutip oleh Syaikh Fauzi Sa’id dalam bukunya Agar Tegar Menghadapin ujian menyebutkan 62 faktor dalam membantu seorang mukmin agar bisa ridha terhadap musibah dan juga nikmat. Namun di sini hanya akan disebutkan beberapa di antaranya yang paling urgen, sebagaimana berikut ini:15



  1. Berserah diri kepada Allah SWT.

  2. Keyakinan yang matang bahwa tidak ada penggantian terhadap kalimat Allah SWT., yang bersifat kodrati dan syar’i, serta tidak ada yang dapat menolak hukum atau keputusan-Nya.

  3. Hendaknya seorang mukmin menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang hamba, dan sebagai konsekuensinya mereka tidak akan membenci keputusan-keputusan Allah SWT., yang telah diberlakukan kepada dirinya.

  4. Hendaknya mereka menyadari bahwa dirinya adalah seorang muslim, sedangkan seorang muslim adalah orang yang berserah diri kepada Allah SWT., dan tunduk patuh kepada-Nya, tidak kepada selain-Nya.

  5. Kekasih yang jujur adalah orang yang ridha terhadap apa yang dilakukan dan diberikan kekasihnya. Maka, seorang mukmin tidak menjadi kekasih-Nya kecuali orang yang cinta secara jujur kepada Allah SWT., sebagaimana firman-Nya: al-Baqarah ayat 165

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu16 mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”17(Q.S. Al-Baqarah:165)


Dalam Tafsir Al-Azhar dijelaskan mengenai mengertikah orang yang zalim itu bahwa kelak di akhirat segala tandingan-tandingan itu tidak ada kekuatan sama sekali, walaupun apa macamnya, siapapun orangnya, niscaya dari masa hidup di dunia inimereka tidak akan mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah SWT. Dan karena tandingan-tandingan itu mereka telah menjadi musyrik, niscaya azab yang pedih yang akan mereka dapatkan, dan tidak ada satu pun yang bisa menolong. Itulah sebabnya orang yang melepaskan cinta itu disebut dengan zalim, aniaya. Menganiaya diri sendiri jauh lebih kejam dari pada menganiaya orang lain.18

Dengan demikian sikap ridha adalah merupakan konsekuensi fitrah dari kecintaan sebagaimana halnya ia juga merupakan konsekuensi fitrah dan keberserahan diri.



  1. Seorang mukmin adalah orang yang mengetahui bahwa tidak ada sesuatu pun melainkan itu adalah pengaruh dari pengaruh-pengaruh Asma Allah dan sifat-Nya. Salah satu dari hal tersebut adalah ujian dengan hal-hal yang tidak disenangi yang berlaku atas diri manusia. Maka, jika mereka tidak ridha terhadap musibah itu, makna dalam hal tersebut bahwa mereka juga tidak ridha terhadap Allah SWT.

  2. Sikap takdir yang tidak dicocoki dan tidak disukai oleh manusia tidak terlepas dari dua hal, yaitu 1) merupakan hukuman atas dosa-dosa, sehingga seandainya hukuman itu tidak diberlakukan, maka akan terjadi dosa-dosa lain yang lebih besar dari ini; 2) merupakan sebab suatu nikmat yang tidak bisa diraih kecuali dengan sesuatu yang tidak disukai tersebut. Namun sesuatu yang tidak disukai tersebut akan sirna dan terputus, sedang nikmat yang dihasilkan akan terus dan tidak terputus.

  3. Allah SWT., adalah pencipta alam semesta termasuk manusia, tanpa ada campur tangan manusia dalam urusan ini sebagaimana firman Allah:

Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu19 atau Allah menerima Taubat mereka, atau mengazab mereka Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.”20(Q.S. Ali Imran:128)


Selain faktor-faktor tersebut di atas, sifat ridha ini juga memiliki nilai dan manfaat yang berguna bagi mereka yang mau menjalankan sifat ini. Di antara beberapa nilai dan manfaat dari sifat ridha ini yaitu:21

1). Pahala yang sesuai dengan jenis amalannya. Apabila seorang hamba ridha terhadap Allah, niscaya Allah akan ridha terhadapnya. Adapun ridha Allah adalah semulia-mulia balasan (pahala).

2). Ridha adalah penyelisihan jiwa terhadap hawa nafsunya, tabiatnya dan keinginannya, sehingga manusia menjadi tenang. Sehingga berhak dikatakan kepadanya sebagaimana firman Allah:

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”22(Q.S. Al-Fajr:27-28)


Di tengah-tengah pemaparan yang menakutkan dan mengerikan, azab dan ikatan ini, yang melampui segala batas gambaran dan bayangan manusia, dipanggilnya jiwa yang beriman ke langit yang tertinggi. Demikianlah panggilan yang di sampaikan dengan lemah lembut dan menunjukkan kedekatan. Semuannya di sampaikan di tengah-tengah pembicaraan tentang kekerasan azab dan ikatan. Kemudian disebutkan kesabaran dan kelapangan bagi jiwa Muthmainnah. Kembalilah kepada Tuhanmu, diantara kau dan Dia terdapat hubungan saling mengenal dan jalinan. 23

3). Sikap seorang hamba dalam menghadapi musibah yaitu dengan ridha dan murka. Maka jika mereka ridha, mereka akan mendapat keridhaan dari Allah SWT. Namun jika mereka murka, mereka akan mendapat kemurkaan dari Allah SWT.

4). Jika seorang hamba ridha terhadap musibah, niscaya musibah itu akan berubah menjadi nikmat dan anugerah bagi dirinya.

5). Kehidupan yang baik adalah kebahagiaan, kegembiraan, dan kesenangan serta ketenteraman hati. Hal ini tidak terjadi kecuali pada diri seorang mukmin sejati yang ridha terhadap Allah SWT., dalam segala keadaan.

6). Apabila keridhaan itu membuahkan rasa syukur, maka kemurkaan itu membuahkan kekufuran terhadap nikmat, bahkan bisa jadi membuahkan kekufuran terhadap yang memberi nikmat, dan berlindung kepada Allah SWT., dari hal itu.

7). Suatu hal yang maklum, bahwasannya ketamakan dan kerakusan terhadap dunia merupakan salah satu wabah terganas yang merusak agama seorang hamba. Sedang keridhaan dalam segala keadaan dapat memutuskan segala unsur-unsur wabah ini dan menjadikan hawa nafsu mengikuti apa yang diridhai Allah SWT.

8). Sesuatu yang paling bermanfaat bagi seorang mukmin pada saat tertimpa musibah adalah adanya ketenangan pada dirinya. Ketika ketenangan itu turun kepada orang-orang yang beriman, maka ia akan istiqomah serta keadaan dan kondisinya pun menjadi baik.


  1. Bersyukur

Syukur (al-syukr) adalah salah satu nilai yang sangat penting dalam ajaran Islam yang senantiasa relevan dengan kehidupan manusia mengingat banyaknya anugerah Allah SWT yang diberikan kepada mereka, baik dalam bentuk materi maupun non materi. Syukur bermakna pengakuan dan terima kasih. Al-Qur’an menggunakan dua kata yaitu syukur dan syakir yang keduanya digunakan untuk menyatakan pengakuan dan terima kasih, baik kepada Tuhan maupun manusia, oleh karenanya ini merupakan sebagian dari sikap berakidah. Syukur berkonotasi atas pemberian sekecil-kecilnya.24

Syukur dalam pengertian yang luas merupakan bentuk penegasan akan kelemahan dan keterbatasan manusia. Ketika musibah menimpa mereka, mereka diharuskan untuk bersyukur, karena musibah yang menimpa mereka bukan di akhirat melainkan di dunia. Musibah di dunia bersifat sementara dan bisa dihibur sedangkan musibah di akhirat bersifat kekal.. Musibah pada dasarnya telah ditetapkan di Lauh Mahfuz (catatan dari Allah SWT.). Artinya musibah tersebut pasti akan menimpa pada waktu yang telah ditetapkan. Pahala musibah jauh lebih besar dari pada musibah itu sendiri. Sebab musibah duniawi pada dasarnya adalah merupakan jalan menuju akhirat.25

Dalam al-Qur’an sendiri digambarkan ada empat macam sikap manusia ketika menerima musibah, yaitu sebagai berikut:


  1. Sikap yang baik, yakni semua musibah yang terjadi menjadi pelajaran atas kekeliruan di masa lalu dan menyadarkan diri untuk kembali ke jalan yang lurus. Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat tangan-tangan (dosa dan maksiat) manusia supaya mereka merasakan akibat perbuatannya. Sebagaimana firman Allah:

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”26(Q.S. Ar-Rum:41)


Bila musibah itu terjadi pada diri sendiri akibat perbuatannya, maka ia segera bertobat kepada Allah dan meninggalkan segala perbuatan yang tidak diridhai oleh-Nya. Dan bila itu berkaitan dengan krisis dunia seperti yang terjadi saat ini, maka menyadarkan umat-umat untuk melakukan tobat nasional dengan menerapkan syariat Allah secara total, karena berbagai krisis saat ini akibat ditinggalkannya syariat Allah sebagaimana firman Allah:

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”27(Q.S. Al-A’raf:96)


Dalam Tafsir Al-Azhar di jelaskan bahwa seandainya semua penduduk negeri yang mendustakan semua beriman dan tidak kufur, pastilah Allah SWT., akan melimpahkan karuniannya melalui hujan dan tumbuh-tumbuhan. Akan tetapi, jika mereka masih mendustakan Allah SWT., mereka akan di hukum dengan azab yan pedih. 28

  1. Sikap paling baik, yaitu sikap hamba-hamba yang saleh adalahn jika musibah dihadapinya dengan sabar dan tawakkal. Segala cobaan akan menebalkan keimanan mereka pada Allah SWT., semakin tunduk menghinakan diri kepada-Nya. Bahwa segala sesuatu sesungguhnya hanya milik Allah SWT., dan akan kembali kepada-Nya sebagaimana firman Allah:

Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”29(Al-Baqarah : 155)


Orang mukmin yang sabar dalam menerima musibah ini akan mendapat pahala syahid akhirat dan setiap musibah yang menimpanya akan menjadi kifarat (penghapus) dosa-dosanya.

  1. Sikap buruk, yaitu mendekat kepada Allah SWT., memperbanyak dzikir dan taubat, serta bermohon kepada-Nya hanya di saat mendapat cobaan dan penderitaan. Namun, ketika kembali hidup normal, ia pun kembali pada sikap semula, durhaka dan maksiat kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah:

Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka Telah terkepung (bahaya), Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, Pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur". Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, Sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, Kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu kami kabarkan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.”30(Q.S. Yunus:22-23)


Dari ayat diatas dapat ditarik kesimpulan ketika mereka diberi kenikmatan kita senang-senang dan saat musibah menghampiri mereka, kita bergegas meminta pertolongan kepada Allah SWT. Ketika mereka diselamatkan dari musibah itu, mereka kembali melakukan kezaliman, sesungguhnya yang akan menanggung dosa dari mereka adalah mereka sendiri. Kehidupan di dunia ini hanyalah sesaat janganlah hanya digunakan untuk senang-senang. Karena mereka tidak akan tahu kapan kita akan kembali kepada-Nya.31

  1. Sikap yang paling buruk, yakni berbagai ujian dan cobaan menimpanya, bermacam penderitaan menderanya. Namun semua itu tak membuatnya berlutut sujud dan merendahkan diri dihadapan Allah SWT. Ia tetap dalam keadaan semula, sombong lagi durhaka dan menentang perintah (syariat)-Nya. Sebagaimana firman Allah:

Dan Sesungguhnya kami Telah pernah menimpakan azab kepada mereka32, Maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.”33(Q.S. Al-Mu’minun:76)


Allah SWT dalam ayat ini mengingatkan mereka dengan azab berupa kelaparan, namun mereka tetap tidak mau merendahkan diri kepada allah SWT. Mereka tidak mau meminta bantuan kepada Allah SWTlewat doanya. Mereka adalah orang-orang yang sombong.34


  1. Hikmah di Balik Musibah

Musibah bisa saja terjadi pada setiap orang, terlepas dari dia saleh atau tidak, muslim atau tidak, tua atau muda. Musibah banjir yang terjadi di Jakarta pada saat ini misalnya, sekaligus menimpa berbagai tipe orang yang tersebut di atas. Islam mengajarkan agar kita bisa mengambil hikmah dari setiap musibah yang menimpa. Terlepas apakah musibah itu besar atau kecil. Ada beberapa hal yang bisa diambil hikmahnya dari musibah yang terjadi, yaitu antara lain sebagai berikut:

  1. Dengan musibah tersebut, Allah SWT., hendak mengambil sebagian hamba-Nya sebagai syuhada. Sekalipun ia mengutuk manusia dengan bencana, tetapi orang-orang mukmin yang ikut terkena musibah tersebut jika bersabar akan mendapat pahala yang besar. Sebaliknya, bagi mereka yang meninggal dunia, mereka adalah syuhada.

  2. Allah SWT., ingin menguji kesalehan sosial para hamba-hamba-Nya yang tidak terkena musibah, apakah mereka terketuk hatinya untuk membantu saudara-saudara mereka yang sedang menderita atau tidak. Musibah akan menumbuhkan sifat belas kasihan pada diri seseorang terhadap yang ditimpa musibah dan membantu untuk meringankan beban mereka.

  3. Musibah alam misalnya, banjir dan gempa bumi. Sesungguhnya cara Allah SWT., untuk menunjukkan tanda-tanda kiamat, sehingga memperkuat keyakinan bahwa hari kiamat pasti akan terjadi. Allah berfirman:

Apabila terjadi hari kiamat, tidak seorangpun dapat berdusta tentang kejadiannya. (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain), apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancur luluhkan seluluh-luluhnya, maka jadilah ia debu yang beterbangan, dan kamu menjadi tiga golongan.35(Al-Waqiah : 1-7)


Ini agar umat manusia sadar akan adanya kehidupan hakiki di akhirat. Lalu mereka mau berjuang membela kebenaran di muka bumi untuk kebahagiaan di akhirat.

  1. Musibah dan penderitaan akan menghalangi sifat sombong dan angkuh serta kebengisan. Musibah yang menimpa menunjukkan kepada manusia akan kekuasaan Allah SWT., dan lemahnya hamba. Kesadaran ini perlu ditumbuhkan karena manusia cenderung merasa paling kuat dan paling berguna, sehingga sombong. Kesombongan inilah yang mengakibatkan kita sering menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.

  2. Musibah menjadikan hamba menuluskan ibadahnya kepada Allah SWT., karena tiada tempat untuk mengadukan petaka kecuali Allah SWT., dan tiada tempat bersandar agar terhindar dari petaka kecuali Allah SWT. Musibah menjadikan seseorang kembali kepada Allah SWT., dan bersimpuh dihadapan-Nya.

  3. Musibah akan membersihkan dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelum terjadinya musibah. Musibah ini diberikan kepada orang-orang mukmin yang telah melakukan dosa dan berhak untuk disiksa, lalu Allah SWT., ingin menghapus dosa-dosanya dengan musibah ini agar selamat dari siksa-Nya. Allah berfirman:

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”36(Q.S. Asy-Syura:30)


Ayat ini menggarisbawahi adanya musibah atau hal-hal negatif yang di jatuhkan Allah SWT., yang menimpa manusia dalam kehidupan ini sebagai sanksi atas pelanggaran mereka. Namun demikian ini tidak selalu terjadi, bisa saja pelanggaran yang ditangguhkan sanksinya ke akhirat nanti sebagaimana ada juga yang dicukupkan di dunia ini dan ada lagi yang pelanggarannya mereka terima sebagai muqodimah dari sanksi ukhrowi.37

  1. Musibah menjadikan seseorang mempunyai sifat penyantun dan pemaaf terhadap orang yang melakukan kesalahan kepadanya, selain itu musibah dapat menjadikan seseorang bersabar atasnya. Sabar menyebabkan datangnya kecintaan Allah SWT., serta pahala yang banyak. Dengan musibah kita dapat mengetahui besar nikmat serta mensyukurinya, karena nikmat tidaklah diketahui besarnya kecuali setelah nikmat itu tidak ada.38




  1. Kiat Menghadapi Berbagai Musibah

Banyak sekali respon yang dilakukan manusia dalam menghadapi musibah, ada yang merespon secara positif dan ada juga yang merespon secara negatif. Namun dalam al-Qur’an sendiri di anjurkan agar setiap manusia selalu bersabar dalam menghadapi berbagai musibah yang menimpa mereka. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah SWT.:

Artinya : “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah:155)
Selain dengan bersabar, manusia juga dianjurkan untuk selalu ridha terhadap apa yang menimpa mereka, karena semua itu sudah tertulis di Lauh Mafuzd. Semua itu sudah menjadi ketetapan Allah SWT dan manusia harus bias ikhlas dalam menerima semua ini.

1 Maksudnya: tidak dengan penuh keyakinan.

2 Maksudnya: kembali kafir lagi.

3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan juz 1-juz 30, (Semarang, Toha Putra, 1989), hlm 513

4 Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilail-Qur’an : Di bawah naungan Al-Qur’an Jilid XV , (Jakarta : Gema Insani, 2001), hlm.161

5 Abu Mushlih Ari Wahyudi, Hakikat Sabar, dalam http://muslim.or.id./akhlak-dan-nasihat/hakikat-sabar-2.html di akses 30 Maret 2010.

6 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2006), hlm.

7 Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hlm. 341

8 Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ikhtiar Baru, 2001), Cet. IV, hlm. 184

9 Ahsin Sako Muhammad, Ensiklopedi Tematis Al-Qur’an, (Jakarta : Kharisma Ilmu, 2006), Cet. III, hlm. 78

10 Muhammad Ali Al-Far, Ridha Dengan Takdir Allah : Menyikapi Musibah Dengan Tabah Dan Bijak, Terj. M.Alek Mahma Shofa, (Solo, Abyan, 2009), hlm. 27

11 Al-Far, Ridha Dengan Takdir Allah…, hlm. 31-32

12 Ibid., hlm. 32

13 KH MD Sirojudin, Hakekat Ikhlas Dan Indahnya Kesabaran .(Jakarta : Prespektif Media Komunika, 2008), hlm.35-36

14 Al-Hafidz, Kamus Ilmu…, hlm.

15 Syahkh Fauzi Sa’id, Ed. Fahmi Abu Athiya, Agar Tegar Menghadapi Ujian : Kiat Seorang Muslim Menghadapi Berbagah Masalah. (Solo : Smart Media, 2009) hlm. 77

16 Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.

17 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan,...hlm.41

18 Hamka, Tafsir Al Azhar Juz II, ( Jakarta : Hamka Pustaka Panji Mas, 1982), hlm. 45

19 Menurut riwayat Bukhari mengenai Turunnya ayat ini, Karena nabi Muhammad s.a.w. berdoa kepada Allah agar menyelamatkan sebagian pemuka-pemuka musyrikin dan membinasakan sebagian lainnya.

20 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan,...hlm.97

21 Fauzi Sa’id, Agar Tegar Menghadapi Ujian…, hlm. 86-91

22 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan,...hlm.1059

23 Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilail-Qur’an Jlid XXIVi....hlm. 129

24 Chomaruddin, klasifikasi Kandungan Al-qur’an,hlm 413

25 Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqudah Islam, hlm 187-189

26 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan,...hlm.647

27 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan,...hlm.237

28 Ibid ,...hlm.623-624

29 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan,...hlm.788?

30 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan,...hlm.309

31 Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan As-Suyuthi,Tafsir jalalain. ....hlm.808-809

32 Yang dimaksud dengan azab tersebut antara lain kekalahan mereka pada peperangan Badar, yang dalam peperangan itu orang-orang yang terkemuka dari mereka banyak terbunuh atau ditawan, dan musim kering yang menimpa mereka, hingga mereka menderita kelaparan. (lihat ayat 75).

33 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan,...hlm.788?

34 Tafsir jalalain. Hlm535

35 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan,...hlm.892

36 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan,...hlm.788

37 Quraish Shihab, TafsirAl- Misbah ”:Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Vol 12 (Jakarta :Lentera Hati, 2007).hlm.505. Cet VII

38http://www.kabarindonesia.com/berita-php?pil=19&id=hikmah+musibah&dn= 20070206156920 di akses pada 20 Februari 2010. Lihat juga dalam Abdul Mu’thi Sutarman, Pelipur Lara Saat Musibah, dalam http:blog.re.or.id/pelipur-lara-saat-musibah-dan-bencana.htm di akses pada 30 Maret 2010

83

Yüklə 84,63 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin