Ceritanya, saya punya seorang teman cowok, namanya Dewa



Yüklə 244,7 Kb.
səhifə1/7
tarix29.10.2017
ölçüsü244,7 Kb.
#21260
  1   2   3   4   5   6   7

Suci Lestari Yuana
Memanusiakan anak-anak 

      Partner negosiasi kali ini adalah Maemunah, anak tetangga kelas 2 SD yang sering ketemu di masjid ketika Shalat Tarawih maupun Shalat Subuh. Jumat malam aku sudah membuat dua perjanjian dengannya. Yang pertama, di hari Minggu aku akan menemani Munah dkk ke pameran mainan anak di TBY seperti yang kami lakukan minggu lalu. Yang kedua, Munah ingin jalan-jalan pagi (Sunday morning) setelah shalat subuh. Kedua janji itu aku iyakan. 

      Sabtu malam, setelah pulang dari tugas jaga pameran jam 10, aku lupa kalau ada beberapa bahan yang tadi kubrowsing belum terbaca,, maka kupikir aku akan baca sambil mencopy VCD yang baru kupinjam. Namun setelah membaca bahan sampai pukul 12, rasa penasaran mendorongku untuk menonton film Michel Moore yang terbaru “Sicko”(Keren abis dah pelem-nya). Walhasil aku keasyikan nonton hingga pukul 02.00!! akhirnya aku hanya sempat tidur 1,5 jam, lalu sahur dan pergi ke masjid.  

      Minggu subuh, aku bertemu Munah dan dia mengingatkan janji kita setelah shalat subuh nanti. Dia ingin sekali kita jalan-jalan di kawasan UGM. Lalu, kutimbang-timbang diriku yang baru tidur 1,5 jam dan harus beraktivitas seharian, maka setelah shalat subuh kuputuskan untuk menceritakan keadaanku padanya dan meminta jalan-jalan paginya dibatalkan saja, sehingga aku bisa tidur beberapa jam lagi. Namun sebagai gantinya aku tawarkan untuk berangkat ke pameran lebih awal (harusnya jam 10 jadi jam 8) sehingga sempat jalan-jalan dan foto-foto di kawasan UGM. Setelah diam sebentar akhirnya dia mengiyakan (alhamdulillah). Akhirnya jam 8.15 mereka datang ke kost lalu kami pergi ke pameran. Namun sebelumnya ambil foto dulu di UGM dung  

      Makna yang bisa kudapat dalam negoisasi kali ini. Teori negosiasi tidak mengenal batas umur, kelamin, negara, latar belakang, dll. Tetap saja negoisasi yang lebih baik adalah negosiasi yang lebih berorientasikan pada kepentingan bukan pada posisi. Dan siapa bilang anak-anak tidak bisa mengerti kepentingan orang dewasa?? Munah bisa tuh! Semenjak itu aku semakin tersadar dan terdorong untuk lebih memanusiakan manusia, apalagi memanusiakan anak-anak.  

***
Khoirul Amin


      Siang itu matahari bersinar terik. Setelah selesai mengikuti kelas SMJ, saya berencana untuk mengembalikan buku ke Perpus FISIPOL karena hari itu adalah deadline pengembalian buku yang saya pinjam. Yang menjadi masalah adalah hari itu saya merasa ngantuk buanget sehingga malas kalau harus ke perpus naik sepeda. Akhirnya saya memutuskan untuk meminta ojiisan (begitu kadang saya memanggil teman yang satu ini) mengantar saya ke perpus dengan sepeda motor, di samping itu saya juga berencana untuk memintanya mengantar saya ke tempat fotokopian. Awalnya dia tidak mau mengantarkan saya ke perpus karena dia berencana untuk mentransfer uang pembayaran BOP/SKS. Kemudian saya menyarankannya untuk membayar lewat ATM agar lebih praktis&cepat. Setelah berpikir beberapa detik dia menyetujui saran saya, tetapi dia belum tahu cara membayar lewat ATM. Akhirnya saya merayunya untuk mengantarkan saya ke perpus sekalian mampir ke ATM Mandiri Sekip dan menawarkan jasa saya untuk membantunya membayar lewat ATM, mengingat saya sudah berpengalaman bayar lewat ATM. Akhirnya dia setuju. Awalnya kami ke ATM terlebih dahulu dan ternyata di ATM itu sudah ada petunjuk cara pembayaran lewat ATM, sehingga dia melakukannya secara mandiri. Tetapi kemudian ada masalah, di layar ATM tertulis bahwa ATMnya sudah kadaluarsa, padahal seharusnya belum. Alih-alih ke bagian service, dia malah segera keluar dari ATM dan mau balik (aneh banget sih anak ini????). Tentu saja saya segera berinisiatif untuk mengajaknya menanyakan masalah ATM itu ke bagian service. Kemudian saya menemaninya ke bagian service dan akhirnya masalah pembayaran BOPnya terselesaikan dengan tuntas. Setelah itu, dia langsung mengantar saya ke perpus. Setelah mengembalikan buku, saya langsung mengajaknya balik ke kampus. Waktu sudah sampai kampus saya baru teringat bahwa saya masih punya tuntutan untuk diantarkannya ke tempat fotokopi. Awalnya saya berniat untuk membatalkan tuntutan saya yang satu itu dan berencana untuk memfotokopinya lain waktu saja. Namun, selang beberapa waktu kemudian ojiisan mau fotokopi bahan kuliah karena akan segera dipakai pemiliknya. Langsung saja saya nitip fotokopi ke dia dan akhirnya dengan senang hati dia memfotokopikan diktat kuliah saya itu. (arigatou ojiisan..........) 

Notes:


# terlihat jelas bahwa negosiasi di atas merupakan win-win solution dengan logrolling, di mana saya membantu ojiisan dalam pembayaran BOP/SKS dan ojiisan mengantarkan saya ke perpus & memfotokopikan diktat saya.

# my side limit: ke perpus&fotokopi sendiri; goal: dianter ke perpus; demand: dianter ke perpus+dianter ke tempat fotokopi/difotokopikan demand tercapai

# menurut saya demand saya bisa tercapai karena adanya balas konsesi antara saya dan ojiisan, di samping itu time pressure (bahan kuliah yang harus segera dikembalikan pada pemiliknya) yang dialami ojiisan juga berpengaruh dalam tercapainya demand saya. 

***
Amin Salasa           


Deskripsi Singkat: (Konteks & Proses Perundingan)

Negosiasi antara saya dengan salah satu sepupu laki-laki saya soal tukar pinjam ”DVD PC Game ’Dawn of Magic” milik saya dengan buku ”Harry Potter and the Deathly Hallows” versi US miliknya (Pada awalnya  ini bukan negosiasi melainkan aksi sepihak yang masing-masing kami lakukan, akan tetapi kemudian bergulir menjadi sebuah negosiasi)

Ceritanya seperti ini: Sabtu sore 29 September 2007, Sepupu laki-laki ku dari Bandung bersama kedua ortunya datang untuk bersilaturahmi (maklum sudah mau lebaran ya walaupun masih sekitar 9 harian lagi!). Karena sudah malam mereka kemudian memutuskan untuk menginap dirumah kami. Celakanya, salah satu dari dua kamar tamu yang ada sedang direhab (dicat ulang dan diganti ceiling-nya karena pada musim hujan sering bocor) praktis tidak ada kamar lagi yang tersisa (jujur sebenarnya masih ada kamar belakang yang biasanya digunain si embok & kamar milik kakak perempuan saya yang nggak terpakai) dan dengan sangat terpaksa aku berbagi ruang dengannya (dirumah hanya dikamarku yang ada double-beds-nya). To be honest, sebenarnya agak males juga sih berbagi ruang dengannya apalagi menurut record aku, sepupuku itu orangnya sedikit resek, terlalu sensitif alias gampang tersingung, nggak mau ngalah/egois dan childish abis walaupun dia saat ini juga mahasiswa semester 5 sama sepertiku (sebenarnya tidak baik membicarakan keburukan orang terlebih di bulan puasa, tapi emang seperti itulah perangainya). Pas mau tidur, tepatnya sebelum ia mulai berulah aku sudah membuat langkah-langkah sepihak yang sama sekali tidak akomodatif, seperti mengatakan kepadanya bahwa selama tidur lampu harus menyala, nggak boleh berisik  dan jangan menyetel musik (dari MP4 player keras-keras), ini tempat tidur saya dan itu tempat tidur kamu (jahat nggak sih?) dan berbagai peraturan sepihak serta bluffing yang aku lontarkan. Namun, tetap saja ia berulah seperti mematikan lampu yang kemudian aku balas dengan menghidupkannya kembali. Dia-pun lantas marah-marah dan berkata-kata dengan bahasa sunda yang sedikit kasar. Aku menimpalinya dengan bilang ”What a stubborn boy you are? udah enak dipinjemin tempat tidur, kalau kamu keberatan atau nggak mau thats ok kamu bisa tidur di sofa atau di kamar belakang sana!” (stick pada just take it or leave it). Untungnya dia kemudian diam dan tidur atau pura-pura tidur, aku tidak tahu pasti.

Saat santap sahur tiba, lagi-lagi sepupu aku itu berulah entah sengaja atau enggak numpahin sup dibajuku, karena didepan mama, papa, kakak, adikku dan juga ortunya dia, aku menahan diri supaya nggak marah (hanya dongkol hati aja). Sehabis sahur, rencananya aku pingin menyelesaikan tugas untuk buat slide presentasi PKI (Politik Kerjasama Internasional) di PC-punyaku, eh aku keduluan, sepupuku itu lebih dulu menguasai PC dikamarku dan malah main game online ‘Pangya’ (terlalu!). Pertama aku mencoba membujuknya secara halus agar ia mau mengalah barang sebentar agar aku bisa nyelesain tanggungan aku itu, tapi  dia tidak bergeming. Aku putuskan untuk mengambil strategi yang kompetitif pula, ku cabut saja kabel dan catu daya dari WR (Wireless Router) yang ada di lantai 1, praktis jaringan internet dirumah putus total dan dia terpaksa berhenti dan meninggalkan PC begitu saja sambil berlalu. ’Akhirnya’ pikirku, pagi itu aku selesai mengerjakan tugas slides PKI.

Minggu siangnya, lagi-lagi sepupuku itu berulah, DVD PC Game ”Dawn of Magic” terbaru milikku tiba-tiba saja udah ditangan dan mau dimintanya. Tentu saja aku langsung naik pitam (maklum karena DVD Game tersebut adalah kado lebaran dari sepupuku yang lain dari Jakarta, aku udah berjanji kepadanya untuk memainkan bersamanya saat lebaran esok bahkan segel serta bungkus plastiknya-pun belum aku lepas. Dan terlebih apa yang aku tahu, record dirinya –si sepupu dari Bandung- selama ini bagiku tidaklah terlalu baik, aku masih sangat ingat ketika aku berumur 8 tahun saat itu aku dibelikan mainan remote control yang pertama, sepupuku itu meminjamnya (sebenarnya mengambilnya dahulu baru meminta izin belakangan) dan berjanji untuk mengembalikannya. Tapi hingga hari ini barang tersebut tidak pernah ia kembalikan. Belum lagi record soal pinjamam buku, komik, novel, CD game PC maupun PS dll yang sudah tak terhitung lagi, yang katanya dipinjam tapi tidak pernah ia kembalikan. ’Rasanya cukup sudah eksploitasi ini’ pikirku.

Lagi-lagi aku kalah langkah berkompetisi denganya (dengan DVD Game ditangannya sebenarnya ia tidak harus izin padaku, persis kasus mobil mainan remote control milikku yang secara sepihak ia ambil, izin pinjam dan pada akhirnya ia defect kemudian), dengan logika dan pikiran yang spontan aku akhirnya mendapatkan ide untuk menaikkan posisi tawar (bargaining position) aku. Kebetulan ia bawa buku terbaru J.K. Rowling ”Harry Potter and the Deathly Hollow” versi US yang ia letakan di atas tempat tidurnya. Secepat kilat aku sambar saja, lalu aku dengan sedikit gertakan ”OK, jika itu maumu, tuh DVD Game boleh kamu ambil tapi aku juga boleh ngambil nih buku”. Tentu saja ia nggak mau karena pertukaran ini tidaklah sebanding (harga DVD Game Original punyaku tersebut tidak sampai 160-ribu sedangkan buku Potter miliknya harganya sekitar 275 ribu lebih sedikit). Dan disitulah, jalan negosiasi mulai terbuka. Aku sebenarnya sama sekali tidak berkepentingan dengan buku sepupuku (alasannya aku nggak suka baca novel karena kayaknya daya imajinasiku rendah-nggak bisa ngebayangin atau susah mencitrakan secara visual dalam otak, lagian kalau mau baca buku terakhirnya Rowling mengeni kisah Potter –pun aku bisa meminjam dari adikku, walaupun dalam versi bahasa indonesia), yang jadi alasanku sebenarnya berpulang pada bagaimana aku menaikan posisi tawar aku dimata dia (dengan membuat pertukaran yang timpang atau memegang kartu as/mati miliknya, perundingan atau negosiasi kemungkinan dapat lebih cepat berjalan dan selesai (bukan dalam taraf resolusinya)). Lagian yang terpenting adalah dikembalikannya DVD Game itu kepadaku tanpa meminta konsensi tambahan yang lain.



Demand, Goal , Limit 

Aku


Demand: DVD Gamenya nggak jadi aku pinjemin dan Bukunya tidak jadi aku sita (sesuai BATNA-ini sebenarnya lebih menguntungkan bagiku)

Goal : DVD Game-nya dikembalikan dan boleh dipinjam sehabis lebaran (setelah aku memainkannya dengan sepupuku yang dari Jakarta), saat peminjaman bukunya harus juga dibawa sebagai jaminan penegmbalian.

Limit : DVD Game ’Dawn of Magic’  boleh saja dia pinjam asal dikembalikan tepat waktu , agar ia nggak defect perlu jaminan buku ’Harry Potter miliknya’ (limitku inii yang terlaksana)

Sepupu


Demand: Maunya DVD Game dikasih dan bukunya dikembalikan

Goal : DVD Gamenya ia pinjam in temporary exchange of buku Harry Potter miliknya

Limit : BATNA, buku dikembalikan dan Game juga ia kembalikan

Hasil Perundingan

Dari negosiasi sebenarnya terlihat jelas bahwa aku memberikan konsensi yang berlebih, walaupun kemudian bisa ditutup dengan  range tawar aku yang lebih tinngi (harga bukunya at least lebih tinggi daripada harga DVD PC Game-nya), In case of being defected-pun, aku masih sedikit untung pasalnya tuh buku kalau aku jual kembali harganya masih tinggi ataupun seandainya tidak aku jual buku itu bisa aku berikan kepada orang lain sebagai hadiah. Catatan lagi, sepupuku dari Jakarta tidak hanya ngirimin 1 DVD Game saja tetapi 2 (yang satunya ‘Total Wars; Ancient Spartans’), jadi seandainya saja sepupuku dari Bandung defect atau tidak mengembalikan tepat waktu toh sebenarnya kami bisa bermain game yang satunya. Catatan lagi, hari Senin sore kemarin aku akhirnya ngedapetin DVD Game ‘Dawn of Magic’ versi konsol PS3 walau tanpa additional pack & expansion so kenapa repot!

***
Andereas S Nugraha

Isu : Masalah Makan 


      Jumat lalu, saya tiba di rumah pukul 19.15. Sebenarnya saya harus beracara pada pukul 19.00, sementara pada kenyataannya saya belum mandi dan makan. Orang tua  menyarankan agar saya makan terlebih dahulu dulu sebelum pergi lagi; pertama mengingat penyakit maag yang saya derita -saya baru satu kali makan hari itu, sarapan- dan kedua karena di meja telah tersedia makanan kesukaan saya yaitu nasi padang.

      Saya berpikir bahwa apabila saya memakan nasi padang porsi besar itu (perlu dicatat bahwa kondisi gigi saya tidak beres karena briket kawat gigi lepas, ini memperlama proses mengunyah makanan) ditambah waktu untuk mandi dan perjalanan ke tujuan, maka kemungkinan besar saya baru tiba pukul 20.00 alias terlambat satu jam. Oleh karenanya, saya mulai mempertimbangkan untuk segera mandi dan menunda makan hingga nanti setelah selesai acara. Namun orang tua saya tetap menyuruh saya makan sembari menyodorkan informasi-informasi bahaya gangguan penyakit tukak lambung yang bernada menekan serta kemungkinan nasi padang itu basi saat saya tiba di rumah. Mau tidak mau, saya berpikir ulang juga.

      Saya kemudian melirik opsi makan tanpa membutuhkan banyak waktu dan tanpa perdebatan aneh tentang digestive disorder. Secara kebetulan, di meja tersedia menu lain yaitu bakso kuah yang siap santap. Akhirnya saya membuat kesepakatan yaitu makan bakso kuah-yang hanya berfungsi sebagai pengganjal perut agar tidak kumat maag sekaligus penutup perdebatan- dan segera pulang ke rumah setelah selesai acara untuk makan yang sebenarnya dengan nasi padang itu, disertai jaminan orang tua bahwa makanan tersebut entah bagaimana caranya tidak basi.

      Singkat, saya makan bakso dengan cepat dan tenang tanpa keributan kemudian mandi sehingga mengurangi potensi keterlambatan. Ketika acara selesai pada pukul 21.30 saya kembali ke rumah lalu segera melahap habis nasi padang berlauk ayam pun dengan hati yang tenang karena saya tetap dapat mengikuti acara sekaligus terbebas dari ancaman penyakit pencernaan yang datang dari diri sendiri dan orang tua. 



Catatan : Orang tua saya (ibu) menderita penyakit maag cukup kronis sehingga sempat harus menjalani serangkaian perawatan medis di rumah sakit. Maka dari itu, masalah makanan dan ketepatan waktu makan menjadi isu yang sangat penting di keluarga saya, meski terkesan sedikit hiperbolis.

***
Jennifer


Negosiasi yang saya lakukan minggu ini terjadi secara tidak sengaja pada hari selasa, 2 Oktober 2007 sehabis kelas isu-isu global. Ceritanya seperti ini, pada saat kelas akan berakhir Bapak Budi Winarno menawarkan kepada peserta kelas untuk di perbolehkan memfotokopi pidato pengukuhan jabatan guru besarnya yang berjudul GLOBALISASI DAN KRISIS PEMBANGUNAN: BAGAIMANA DENGAN INDONESIA.

      Pada awalnya, Pak Budi menawarkan agar ada 1 koordinator kelas, namun sayangnya tidak ada yang bersedia. Akhirnya, hanya kami bertiga yang berinisiatif untuk memfotokopi; Sandra,Dian, dan saya. Kami lalu mendatangi Pak Budi untuk meminjam pidato pengukuhannya untuk di fotocopy. Kami berjanji untuk meminjamnya hanya selama 10 menit untuk di fotocopy di fakultas ekonomi dan kemudian akan kami kembalikan sesegera mungkin.

      Negosiasi yang saya lakukan berlangsung di fotocopy-an fakultas ekonomi. Pada awalnya penjaga fotocopy mengatakan kami harus menunggu agak lama karena mereka sedang banyak orderan fotocopy-an.

      Karena melihat Sandra dan Dian yang “ikhlas” untuk menunggu akhirnya sayalah yang maju untuk “tawar-menawar” dengan petugas fotocopy-an. Saya memutuskan untuk maju karena saya sedang terburu-buru dan apabila kami pindah ke tempat fotocopy-an di Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra hanya akan membuang waktu saya karena perjalanan yang harus ditempuh dengan berjalan kaki cukup jauh.

       Saya mengatakan: “tolonglah mas dahulukan kami, toh kami hanya memfotocopy beberapa lembar”. Tetapi penjaga fotocopy-an ngeyel dan bersikeras agar kami menunggu karena mesin fotocopy-an yang berfungsi hanya satu.

      Teringat dengan prinsip meloby agar cobalah untuk berunding dengan lawan yang sudah saling mengenal, akhirnya saya sedikit “merayu” penjaga fotocopy-an yang sudah agak kenal dengan saya karena sering fotocopy di situ.

      Saya mengatakan; “mas, tolong dahulukan kami donk, kan saya sudah berlangganan dengan mas semenjak bekerja di upt dulu dan kemudian di fakultas ekonomi sekarang”. Pada awalnya mas tersebut bilang; “wah, yang fotocopy bukan saya e mbak tapi teman saya”.

      Saya tetap pantang menyerah karena memang saya sedang terburu-buru, saya lalu mengatakan “mas, kan langganan, masa gitu? Tolonglah mas, saya sedang ditunggu oleh Pak Budi karena saya berjanji meminjam pidatonya untuk di fotocopy hanya selama 10 menit. Toh orderan yang sedang di fotocopy tidak ditunggu oleh yang memesan, jadi kan tidak masalah untuk mendahulukan kami, lagi pula kami hanya memfotocopy sebanyak 21 halaman, rangkap 4. Ayolah mas, kan lagi puasa neh, pahalanya gede loh, langganan loh nih mas”.

      Kemudian mas-nya bertanya pada temannya, piye? Kemudian temannya berkata  “ Ya Wes lah”. Kemudian mas kenalan saya itu bertanya; “mbak, koq udah lama gak fotocopy disini? Saya mengatakan ; “masa iya sih mas? Perasaan rabu minggu lalu saya baru fotocopy disini”. Lalu saya melanjutkan “Tenang mas, pasti langganan deh, ntar saya rekomendasikan deh ke teman-teman yang lain, mereka kan gak tau dibelakang mushola ada fotocopy-an soalnya mereka taunya fotocopy ada di bawah tangga”.

      Dalam negosiasi ini SAYA BERHASILL!! Mengapa saya begitu gembira? Karena tak lama setelah itu, datang seorang perempuan yang ingin memfotocopy hanya 1 lembar saja, dan mas penjaga fotocopy-an mengatakan: “datang sebentar lagi aja ya mbak, kami lagi banyak orderan nih”. Dan mbak tersebut dengan pasrahnya pergi tanpa perjuangan. 

***
Nama :  Ainur Rohmah
      Minggu ini aku dapat gaji pertamaku (hehe). Daftar barang yang harus aku beli sudah tersusun. Rencananya uang yang tidak seberapa itu, namun berarti sekali, akan aku gunakan untuk membeli printer, membayar hutang kepada kakakku dengan membelikan kerudung yang dipesannya, dan juga membelikan baju koko untuk bapakku.

      Setelah aku hitung-hitung, ternyata kalau ingin membeli semuanya itu, uangnya tidak cukup. Aku putar-putar lagi kebutuhanku dan semua uang yang aku punya, tapi ternyata aku harus mengurungkan satu kebutuhanku. Dan akhirnya aku putuskan untuk tidak membelikan kerudung untuk kakakku. Sekarang tinggal nego dengannya.

      Negosiasi berjalan alot karena kakakku sedang sangat menginginkan kerudung dan dia juga sudah bosan menunggu uangnya aku kembalikan. Aku memohon dengan sepenuh hati, merayu, dan juga menjanjikannya untuk membelikan kerudung lain kali saja dengan iming-iming yang lebih bagus.  Dan menawarkan agar dia memakai kerudungku saja yang diingkannya, tapi ditolak. Karena terpaksa, akhirnya aku mengungkapkan kebutuhanku yang sebenarnya yaitu membelikan baju koko untuk bapak. Kali ini aku agak mendramatisir masalah dan mengungkapkan argumen yang menyudutkannya, seperti: ”Mbaknya gimana sih, masak egois banget, ini kan untuk bapak!”. Walaupun dia masih membantah bahwa bapak sudah punya baju koko, tapi akhirnya dia mengerti. Dan aku pun bisa membeli baju koko, sedangkan kakakku mengalah memakai kerudungku yang memang sudah lama diincarnya. 

=> Kepentinganku disini terpenuhi, walaupun aku harus meminjamkan kerudungku kepada kakakku, tapi aku merasa tidak rugi sama sekali. Sedangkan kakakku mediacore, dia tidak dapat kerudung baru tetapi memakai kerudungku yang dia suka. Kenapa aku mengungkapkan kepentinganku karena aku pikir pada waktu itu perundingan hampir buntu. Aku begitu kekeuh mempertahankan kepentinganku karena terdorong oleh principles-ku bahwa gaji pertama harus aku gunakan untuk memberikan sesuatu untuk orangtuaku.

***
Yuliandri Silitonga

 

Isu Negosiasi: Menentukan tempat makan sahur.



Lawan Negosiasi: Angga.

Posisi Angga: Ingin makan sahur di warung Flamboyan karena menunya lebih variatif.

Posisi saya: Prefer ke warung padang karena lebih dekat dan sesuai selera.

Proses:


Waktu itu saya sedang membicarakan sesuatu yang penting dengan Angga ditempat kosnya. Karena waktu sudah larut, saya memutuskan untuk menginap disana. Proses negosiasi terjadi ketika kami hendak pergi untuk sahur bareng. Pada saat itu kita kebingungan untuk menentukan tempat makan. Setelah lama terdiam karena kebingungan, saya langsung mengusulkan untuk makan di warung padang  dengan alasan jarak yang lebih dekat dan sambal serta kuah gulainya sangat memancing selera makan. Karena merasa bosan dengan masakan padang, Angga pun mengusulkan agar kami makan di warung Flamboyan dengan alasan menunya lebih variatif. Akan tetapi saya tidak setuju karena jaraknya jauh dan masakan di warung flamboyan kurang cocok dengan selera saya.

      Sebenarnya ada opsi untuk mencari tempat makan lain selain kedua tempat tersebut. Akan tetapi, kami tidak ingin pergi tanpa ada tujuan yang jelas. Jangankan untuk memikirkan tempat makan yang lain, dua tempat tadi saja kami sudah bersusah payah memikirkannya. Saya terus berusaha membujuk Angga agar mau makan di warung padang tersebut karena mungkin itu untuk pertama dan terakhir kalinya saya mengajak dia makan sahur bareng. Setelah cukup keras berusaha, akhirnya dia mengungkapkan alasan lain yaitu tidak yakin bahwa warung padang yang saya maksud buka pada waktu sahur. Mendengar hal tersebut saya langsung memberikan solusi kepada Angga. Saya mengatakan bagaimana jika kita lewati warung padang tersebut terlebih dahulu, jika tidak buka maka saya setuju untuk diajak ke warung Flamboyan.

      Karena merasa mendapat alasan yang rasional, akhirnya Angga setuju dengan solusi yang saya tawarkan. Lalu kami pun segera berangkat meninggalkan tempat kos menuju tujuan pertama (dan semoga terakhir) yaitu warung padang. Saya lalu tersenyum penuh kemenangan, apalagi ketika melihat warung padang yang dimaksud buka. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Setelah memasuki warung padang tersebut, saya pun melihat menu yang sudah tinggal sedikit dan langsung kehilangan selera untuk makan di warung itu. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju warung Flamboyan.  

 

***


Aldila
Di bulan Ramadhan, ayahku mengeluarkan resolusi bahwa setidaknya harus ada satu orang diantara aku, ayahku, atau ibuku yang di rumah untuk menyiapkan buka puasa mengingat adikku yang SMP hanya bisa memasak air dan mie saja…Resolusi itu mempunyai arti lain bahwa diantar kami bertiga tidak boleh berbuka puasa di luar dalam satu waktu.

Resolusi ini sebenarnya telah dikeluarkan ayah sejak tahun lalu dan ternyata korban dengan kerugian terbanyak adalah aku. Orang tuaku seolah tidak mau tahu jadwal anaknya selain kuliah akibatnya ketika ada hari dimana jadwal kami tabrakan maka aku yang diminta mengalah dengan alasan…”Paling juga cuma maen2 sambil buka puasa jadikan laen waktu bias, kalau orang tua kan tuntutan pekerjaan”..Berhubung takut terjadi konflik yang berakibat pada tunjangan Hari Raya-ku maka aku pun mengalah, tapi dengan keinginan mengubah bentuk kolonialisasi ini menuju sesuatu yang lebih demokratis,hehehe…

Maka awal Ramadhan tahun ini, aku pun membeli papan tulis putih kecil yang bertuliskan kaleder bulan Ramadhan…pada saat santai aku mendekati orang tua, inilah momentum diplomatic-ku…hahaha..dengan gaya elegan aku mengutarakan maksud dibalik pembelian dan pemasangan papan itu adalah diharuskan bagi setiap anggota keluarga yang akan ada acara buka puasa di luar untuk menuliskannya di papan itu namun jika telah ada 2 orang dalam satu waktu maka yang ketiga dan seterusnya harus mengalah.

Setelah melalui pembicaraan yang cukup menyenangkan dan dilakukan secara intensif (dengan kata lain merengek, ya iyalah beli papan tulis mahal massa' mauku gak dituruti), akhirnya hari berikutnya orang tua setuju. Ternyata orang yang paling rajin menulis di papan itu adalah aku dan ketika ada jadwal tabrakan aku jelas memprotes jika disuruh ngalah maka orang tua yang mengalah…

Akhirnya argument dan kepentingan anak terjamin..hehehehe..

***


Yüklə 244,7 Kb.

Dostları ilə paylaş:
  1   2   3   4   5   6   7




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin