Pelayaran Rakyat Sebagai Pendukung Tol Laut Gambar Suasana Pelabuhan Sunda Kelapa Definisi Pelayaran Rakyat



Yüklə 22,84 Kb.
tarix30.12.2018
ölçüsü22,84 Kb.
#88348




Pelayaran Rakyat Sebagai Pendukung Tol Laut

Gambar 1. Suasana Pelabuhan Sunda Kelapa

Definisi Pelayaran Rakyat

  • Perusahaan pelayaran rakyat saat ini umumnya identik dengan kapal kayu tradisional yang dioperasikan oleh pelaut tradisional dengan manajemen serta teknologi yang sederhana.

  • Eksistensi Pelayaran Rakyat (PELRA) diakui oleh Negara, dengan terdefinisikannya PELRA dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 93 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan angkutan laut (terlampir).

  • Secara umum, definisi Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.

  • PERMEN Perhubungan No. 93 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan angkutan laut, mendefinisikan PELRA sebagai berikut:

    • Kapal Layar tradisional yang sepenuhnya digerakkan oleh tenaga angin

    • Kapal Layar Motor berukuran sampai 500 GT (gross tonnage) yang digerakkan oleh tenaga angin sebagai penggerak utama dan motor sebagai tenaga penggerak bantu

    • Kapal motor dengan ukuran antar 7 GT sampai 35 GT.


Tol Laut dan Pelayaran Rakyat

  • PELRA memiliki fungsi strategis dalam menjaga keamanan laut nasional melalui armada-armada kecil dalam jumlah besar yang melintasi wilayah laut Indonesia hingga pedalaman.



Gambar 2. Keterkaitan Hub dan Feeder Tol Laut dengan Pelayaran Rakyat

  • Disamping itu PELRA juga memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sosial nasional yang mendidik dan mempekerjakan anak buah kapal yang memiliki tingkat pendidikan rendah.

  • Dalam konteks Tol Laut, PELRA memiliki fungsi dalam mengisi kebutuhan angkutan laut non-peti kemas, armada keperintisan, dan armada perdagangan tradisional berbendera Indonesia yang memiliki daya jelajah hingga perairan dangkal/alur sungai serta memiliki prasarana pelabuhan yang belum memadai.


Kondisi dan Permasalahan di Lapangan

  • Pengadaan dan perbaikan armada PELRA terhambat oleh sulitnya penyediaan kayu ulin gelondongan untuk kapal diatas 200 GT sehingga perlu alternatif bahan baku kapal lainnya.

  • Kayu ulin membutuhkan waktu hampir 1 abad untuk menjadi dewasa, sehingga budi daya kayu ulin untuk bahan baku PELRA tidak dimungkinkan.

  • Pelaku PELRA menghadapi ketidakpastian muatan yang menyebabkan tingginya ongkos pelayaran, serta sulitnya melakukan investasi untuk memperbarui armada ataupun meningkatkan kesejahteraan anak buah kapal (ABK).

  • Pada waktu yang lampau, pelaku PELRA membawa hasil industri dan bahan pokok keluar Jawa (dalam hal ini ke Kalimantan), dan kembali ke Jawa membawa kayu. Model bisnis yang sama tidak dapat diterapkan lagi, karena pembatasan exploitasi kayu.

  • Kontrak kerja antara jasa angkutan PELRA dan pemilik barang memiliki rantai yang tidak efisien sehingga margin keuntungan sebagian besar pelaku PELRA belum dapat menutupi biaya perawatan/investasi armada dan sumber daya manusianya.

  • Masih banyak pelaku PELRA yang menerapkan prinsip bagi hasil/untung kepada ABK-nya akibat keuntungan yang tidak pasti, oleh sebab itu pola ini berangsur berubah dengan sistem gaji.

  • Pembuatan kapal PELRA sesuai dengan gambar kerja sulit dilakukan. Pembuatan kapal, dilakukan terlebih dahulu, dan kemudian diikuti gambar kerja. Hal ini terjadi karena harus mengikuti bentuk kayu ulin yang tersedia.

  • Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) hanya memberikan sertifikasi pada armada yang proses pembuatannya sesuai dengan gambar kerja, akibatnya armada PELRA tidak memiliki sertifikasi, asuransi dan tidak dapat dihipotikkan.


Gambar 3. Potret Armada Pelayaran Rakyat Berumur diatas 20 tahun

c:\users\user\appdata\local\microsoft\windows\inetcache\content.word\img_20150730_115536_webcamera360_20150803172741.jpg

  • Kerusakan barang yang dialami pada saat pendistribusian oleh PELRA menjadi tanggungan pemilik PELRA karena tidak ada jasa asuransi yang menanggung.

  • Pada sisi prasarana (pelabuhan), ruang gerak kapal PELRA pada pelabuhan-pelabuhan ramai semakin kecil karena tergusur oleh INSA dan IPC.

  • Masih belum optimalnya peran asosiasi (DPP PELRA) dan koperasi-nya untuk melindungi kepentingan anggotanya.


Rekomendasi Kebijakan

  • Implementasi dan penggunaan ukuran maksimum armada PELRA (500 GT) masih menjadi perdebatan, sehinga perlu dikaji ukuran kapal PELRA yang sesuai untuk saat ini dan tenaga penggerak kapal dengan motor disertai layar sebagai bagian dari kelestarian tradisional (heritage), beserta metode pengawasan yang efektif agar tercipta persaingan yang sehat.

  • Perlunya usaha pemerintah dalam merevitalisasi PELRA secara menyeluruh, termasuk Koperasi PELRA serta bersama BUMN membantu memberikan kepastian muatan kepada PELRA agar kelangsungan PELRA dapat terus terjaga, dan berdampak pada investasi untuk armada, galangan, kelembangaan dan SDM PELRA.

  • Perlunya modermisasi armada PELRA sehigga kapal PELRA dapat menggunakan material baja ataupun kombinasi kayu dan baja, mengingat terbatasnya kayu ulin di Indonesia untuk pelestarian lingkungan.

  • Modernisasi armada PELRA perlu didorong melalui kebijakan lintas K/L untuk penetapan insentif/subsidi yang diperlukan, aturan heritage yang perlu dipertahankan, sertifikasi kapal, kepastian muatan, asuransi muatan, hipotik kapal, serta pembinaan manjemen dan SDM.

  • Revitalisasi armada PELRA juga memberikan peluang untuk mulai membangkitkan industri galangan kapal PELRA yang modern.

  • Diperlukan koordinasi antar instansi utamanya Kementerian Perhubungan, Pemerintah Daerah dan PT Pelindo I – IV dalam rangka merevitalisasi PELRA agar sarana dan prasarana pelabuhan yang melayani PELRA dapat terfasilitasi dengan baik.

  • Diperlukannya pengawasan ilegal logging yang lebih baik, oleh sebab banyaknya praktik ilegal logging yang ditemui oleh praktisi PELRA. Lemahnya pengawasan dan penerapan hukum ilegal logging menyebabkan praktisi PELRA merasa termarjinalkan oleh kebijakan larangan penebangan kayu yang diterapkan Kemenhut, serta menyebabkan kerugian negara yang lebih besar.

  • Perlunya kebijakan terpadu agar kayu limbah hutan yang terjadi akibat perluasan lahan tambang, ataupun pertanian dapat dimanfaatkan oleh PELRA untuk memperbarui/memperbaiki armadanya.

  • Perlunya revisi peraturan-perundangan yang menghambat revitalisasi PELRA diatas.


Gambar 4. Alternatif Pengembangan Kapal PELRA Baja

c:\users\user\appdata\local\microsoft\windows\inetcache\content.word\cargo 500 t-model.jpg

Lampiran

Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

  • Definisi Pelayaran Rakyat dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah:

    • Pada Pasal 1 ayat 5, Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.

    • Pada Pasal 15 ayat 1, Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat sebagai usaha masyarakat yang bersifat tradisional dan merupakan bagian dari usaha angkutan di perairan mempunyai peranan yang penting dan karakteristik tersendiri.

    • Pada Pasal 15 ayat 2, Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.

  • Pembinaan dan pengembangan PELRA juga telah diatur oleh UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yaitu:

    • Pada Pasal 16 ayat 1, Pembinaan angkutan laut pelayaran-rakyat dilaksanakan agar kehidupan usaha dan peranan penting angkutan laut pelayaran-rakyat tetap terpelihara sebagai bagian dari potensi angkutan laut nasional yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.

    • Pada Pasal 16 ayat 2, Pengembangan angkutan laut pelayaran-rakyat dilaksanakan untuk:

      1. meningkatkan pelayanan ke daerah pedalaman dan/atau perairan yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas termasuk sungai dan danau;

      2. meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha angkutan laut nasional dan lapangan kerja; dan

      3. meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan kewiraswastaan dalam bidang usaha angkutan laut nasional.

    • Pada Pasal 16 ayat 3, Armada angkutan laut pelayaran-rakyat dapat dioperasikan di dalam negeri dan lintas batas, baik dengan trayek tetap dan teratur maupun trayek tidak tetap dan tidak teratur.

  • Sedangkan pemberian izin PELRA juga telah diatur oleh UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pasal 28 ayat 2, yaitu oleh:

    • bupati/walikota yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; atau

    • gubernur yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi, pelabuhan antarprovinsi, dan pelabuhan internasional.


Peraturan Menteri Perhubungan No. 93 Tahun 2013

tentang Penyelenggaraan Angkutan Laut

  • Dalam PM Perhubungan No. 93 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Angkutan Laut, memberikan definisi PELRA secara lebih detail, yaitu:

    • Pasal 54 ayat 1, Kegiatan angkutan laut PELRA dilakukan oleh orang peseorangan WNI atau perusahaan angkutan laut PELRA.

    • Pasal 54 ayat 2, Penggunaan kapal angkutan laut PELRA berbendera Indonesia berupa:

      1. Kapal Layar (KL) tradisional yang digerakkan sepenuhnya oleh tenaga angin;

      2. Kapal Layar Motor (KLM) berukuran tertentu dengan tenaga mesin dan luas layar sesuai ketentuan; atau

      3. Kapal Motor (KM) dengan ukuran tertentu.

    • Pasal 54 ayat 3, Kapal layar motor berukuran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, berupa kapal layar motor berbendera Indonesia yang laik laut berukuran sampai dengan GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) dan digerakkan oleh tenaga angin sebagai penggerak utama dan motor sebagai tenaga penggerak bantu.

    • Pasal 54 ayat 4, Kapal motor dengan ukuran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa kapal motor berbendera Indonesia yang laik laut berukuran paling kecil GT 7 (tujuh Gross Tonnage) serta paling besar GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) yang dibuktikan dengan salinan grosse akta, surat ukur, dan sertifikat keselamatan kapal yang masih berlaku.

    • Pasal 54 ayat 5, Kegiatan angkutan laut pelayaran rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat menyinggahi pelabuhan negara tetangga atau lintas batas dalam rangka melakukan kegiatan perdagangan tradisional antarnegara.

    • Pasal 54 ayat 6, Penyelenggaraan kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk di dalamnya kegiatan bongkar muat serta kegiatan ekspedisi muatan kapal laut dilakukan secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.

  • Pengembangan dan pembinaan PELRA dilakukan oleh DIRJEN HUBLA, dan diatur dalam Pasal 55, yang dilakukan melalui:

    • Peningkatan keterampilan manajemen bagi perusahaan berupa pendidikan di bidang ketatalaksanaan pelayaran niaga tingkat dasar di lingkungan masyarakat pelayaran-rakyat;

    • Peningkatan keterampilan baik awak kapal di bidang nautis teknis dan radio serta pengetahuan dan keterampilan di bidang kepelautan lainnya;

    • Penetapan standarisasi bentuk, konstruksi, dan tipe kapal yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi ekonomi maupun dari segi kelaiklautan kapalnya;

    • Kemudahan dalam hal pendirian perusahaan pelayaran-rakyat berupa:

      1. memberdayakan keberadaan pelayaran-rakyat melalui koperasi pelayaran-rakyat dan/ atau asosiasi pelayaran-rakyat dalam hal memberikan rekomendasi untuk mendapatkan kredit;

      2. fasilitas kemitraan dengan perusahaan yang kuat permodalannya;

      3. izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat berlaku juga untuk kegiatan bongkar muat dan ekspedisi muatan kapal laut; dan

      4. izin usaha diberikan untuk jangka waktu selama perusahaan yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan usahanya.

    • Kemudahan dalam kegiatan operasional berupa:

      1. pembangunan dan pengembangan dermaga khusus di sentra-sentra kegiatan angkutan laut pelayaranrakyat untuk meningkatkan produktivitas bongkar muat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;

      2. pengerukan alur-pelayaran dan kolam pelabuhan pada sentra-sentra kegiatan angkutan laut pelayaranrakyat;

      3. kegiatan bongkar muat dapat langsung dilakukan oleh Anak Buah Kapal (ABK);

      4. tarif jasa kepelabuhanan untuk kapal pelayaran rakyat dikenakan lebih rendah dari tarif jasa kepelabuhanan untuk kapal angkutan laut dalam negeri; dan

      5. mendapatkan bahan bakar minyak bersubsidi sesuai dengan kebutuhan operasional pelayaran.

    • Dalam rangka pembinaan terhadap pengembangan angkutan laut pelayaran-rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan dengan kerjasama instansi Pemerintah dan asosiasi terkait.



Yüklə 22,84 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin