Ramadhan backpacker



Yüklə 309,96 Kb.
səhifə1/7
tarix26.07.2018
ölçüsü309,96 Kb.
#59533
  1   2   3   4   5   6   7

Sufi Traveller

Prakata


Ramadhan, bulan suci umat islam. Saya selalu bergembira menyambut bulan ini. Banyak kesempatan untuk meraih pahala, berbuat kebaikan dan meningkatkan amal soleh. Dan yang paling utama adalah meningkatkan iman di dada. Saya memang mempunyai target mempertebal iman minimal setahun sekali dengan bertolak pada bulan suci. Ini penting untuk menghadapi dunia yang semakin menggila. Iblis dan anak buahnya semakin rajin menggoda manusia untuk berbuat dosa. Saya tidak ingin terjebak pada permainan mereka.

Pada ramadhan sebelumnya, saya tidak pernah bepergian. Dengan kata lain, hanya menghabiskan ramadhan di lingkungan rumah bersama orang tua. Namun lima tahun yang lalu ayah telah berpulang ke Rahmatullah. Kemudian pada bulan Januari 2010, ibunda tercinta menyusul menghadapNya. Padahal selama ini, sebagian besar hidup saya adalah bersama beliau. Maka saya tidak mempunyai keinginan lagi untuk tinggal di rumah. Ramadhan pertama tanpa seorang Ibu, akan membuat saya bersedih, merasa nelangsa kehilangan orang yang amat saya cintai.. Karena itu saya ingin mengisi ramadhan kali ini dengan sesuatu yang berbeda.

Sejak sebulan sebelum itu, terbersit ide untuk melakukan perjalanan jauh selama bulan ramadhan, bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga ke luar negeri. Saya sudah biasa bepergian ke berbagai daerah di Indonesia, terutama dalam urusan organisasi. Jadi lebih baik saya mulai menjelajah ke negeri lain. Saya tidak tertarik untuk berwisata atau bersenang-senang sebagaimana orang lain. Bagi saya hal itu terlalu mudah untuk dilakukan, dan lebih banyak pemborosan. Sedangkan saya menyukai tantangan dan sesuatu yang lain. Perjalanan yang saya maksud adalah sambil menjalankan ibadah puasa dan shalat tarawih. Saya bertekad melakukan petualangan spiritual sepanjang perjalanan yang saya lalui. Saya berharap akan mendapatkan hikmah dan pelajaran dari Allah SWT jauh lebih banyak dari tahun lalu.

Sebelum menunaikan hajat saya mengembara, ada hal-hal yang patut saya pertimbangkan. Misalnya soal keamanan, harus diingat bahwa saya adalah seorang muslimah yang bepergian seorang diri, tanpa pengawalan orang lain. Kebanyakan perempuan, pasti akan berpikir berulangkali untuk berpetualang sendirian. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di negeri orang. Saya tahu, harus ekstra berhati-hati menjaga diri. Selain itu saya harus dapat memperhitungkan dengan cermat, mengira-ngira berapa bekal yang saya perlukan, baik uang mau pun barang, agar saya tidak menemui kesulitan selama diperjalanan.

Mengapa saya berani melakukan perjalanan sendirian? Pertama, saya akan lebih menghayati dan berkonsentrasi dalam perjalanan ini. Jika ada pendamping, maka saya kurang dapat menikmati perjalanan. Apalagi saya memang sudah terbiasa melakukan perjalanan seorang diri. Kedua, apa yang saya ingin serap di perjalanan, yaitu ilmu dan iman, belum tentu sama dengan orang yang menjadi kawan seperjalanan. Saya mengutamakan ibadah. Kalau teman seperjalanan bukan orang yang senang beribadah, saya tidak akan nyaman bersamanya. Ketiga, Insya Allah, selain yakin dengan perlindungan Al Mukmin, saya masih menguasai ilmu bela diri untuk berjaga-jaga terhadap sesuatu hal terburuk yang bisa terjadi.

Dengan beberapa pertimbangan di atas, saya putuskan untuk memulai perjalanan dari negara tetangga yang terdekat. Selama dua minggu saya mengurus perpanjangan passport yang telah habis masa berlakunya. Setelah dokumen perjalanan dilengkapi, saya pun siap melakukan petualangan. Maka, dengan sebuah ransel berisi beberapa potong pakaian dan obat-obatan, saya berangkat dengan penuh keteguhan. Sekali melangkah, pantang surut kembali.


BAB I


Tanjung Pinang
Sebelum memulai perjalanan lintas negara, saya memulainya dari negeri sendiri, tepatnya dari provinsi yang berbatasan dengan negara tetangga Singapura, yaitu Kepulauan Riau. Kebetulan kakak pertama saya yang bernama Endang Junaenah Alhasany, tinggal di wilayah kota Tanjung Pinang, bersama suami dan anak-anaknya. Suami mbak Endang yang bernama Baharuddin memang berasal dari sana. Tanjung Pinang berada di pulau Bintan. Kita lebih mengenal nama kota Tanjung Pinang daripada nama pulaunya. Pulau Bintan ini memiliki dua pelabuhan yang dapat disinggahi kapal besar seperti kapal-kapal yang dioperasikan oleh PT Pelni. Satu pelabuhan berada di kota Tanjung Pinang dan satu pelabuhan lagi di Kijang.

Saya pernah beberapa kali ke rumah mbak Endang dengan menggunakan kapal laut. Sebetulnya, kapal laut adalah kendaraan yang paling saya gemari. Entahlah, mungkin karena saya sangat senang berada di laut lepas, digoyang ombak biru yang menghempas di lambung kapal. Namun untuk menghemat waktu, saya kini menggunakan pesawat yang langsung mendarat di bandara Tanjung Pinang. Bandara ini dapat ditempuh dari rumah mbak Endang hanya sekitar lima belas atau dua puluh menit saja..

Sudah menjadi kebiasaan setiap tahun , keluarga mbak Endang melakukan tradisi untuk menyelenggarakan pengajian menyambut bulan suci Ramadhan. Mereka mengundang ratusan orang dari kampung sekitarnya. Dan tahun ini, mbak Endang mengharapkan kehadiran saya dalam pengajian itu.. Tentu saja undangan ini tidak saya sia-siakan. Saya juga ingin berbagi kebahagiaan dengan kedatangan bulan suci ramadhan.

Setelah menunaikan sholat dhuhur dan safar, saya berangkat dari rumah di Depok, dengan menumpang angkot ke Pasar Minggu. Saya toh hanya membawa ransel, yang fleksibel dibawa di punggung, tidak perlu naik taksi. Di Pasar Minggu ada bus Damri yang berangkat satu jam sekali. Dari sana saya naik bus Damri menuju bandara Soekarno-Hatta. Pesawat yang ke Tanjung Pinang, hanya ada sekali di sore hari, yaitu sekitar pukul enam sore. Namun sebelum jam empat, ternyata saya sudah tiba di bandara Soekarno Hatta. Saya memang sengaja berangkat lebih awal untuk mengantisipasi kalau terjadi kemacetan, maklum lalu lintas di kota Jakarta tidak bisa diprediksi. Daripada datang terlambat dan ketinggalan pesawat, lebih baik saya datang lebih cepat. Saya tidak mengeluh walau harus menunggu lebih dari dua jam. Perjalanan kali ini tumben tidak terlalu macet, padahal hari ini hari Senin dimana kendaraan biasanya sangat padat.

Saya langsung menuju konter check in. Setelah itu melakukan sholat ashar di mushola yang ada di tengah lorong bandara. Selama menunggu, saya menghabiskan bekal makanan dan minuman yang saya bawa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa membeli makanan di bandara jauh lebih mahal, karena itu banyak orang yang membawa bekal dari rumah. Apalagi jadual pesawat di Indonesia tidak pernah sesuai, seringkali terjadi delay atau penundaan dengan berbagai alasan. Begitu pula pada hari itu, pesawat saya tertunda. Akibatnya saya menunggu lebih lama lagi. Akhirnya pesawat yang saya tumpangi berangkat menjelang pukul tujuh malam.

Pesawat mengudara selama satu jam dua puluh menit tanpa mampu membuat saya tertidur. Saya hanya memandang kegelapan malam dengan pikiran melayang. Akhirnya pesawat tiba di bandara Raja.., di Tanjung Pinang. Saya telah dijemput oleh keponakan yang telah lama menunggu, putra pertama dari mbak Endang yang bernama Hafidz. Segera kami meluncur ke rumah yang jaraknya kurang lebih lima kilometer dari bandara. Karena sudah malam, maka tak ada hambatan apapun yang ditemui. Kami tiba di rumah tak lebih dari dua puluh menit.

Karena saya datang terlambat, di rumah, telah banyak orang yang berkumpul, pengajian telah dimulai. Saya melihat hampir semuanya laki-laki, kira-kira ada lebih dari seratus orang. Beranda yang luas dan terbuat dari kayu gelondongan dari hutan nyaris tak mampu menampung banyaknya orang. Memang malam ini malam terakhir sebelum ramadhan dan pengajian ini adalah yang terakhir dilakukan di kampung ini dan diselenggarakan secara besar-besaran.

Ada seorang Ustadz yang cukup dikenal di kawasan ini memberikan ceramahnya. Karena para tamu yang ada di beranda semuanya adalah laki-laki, saya mengikuti pengajian dari dalam rumah. Sementara perempuan-perempuan lainnya menyiapkan makanan untuk para tamu. Kamera saya titipkan pada keponakan laki-laki yang tadi menjemput saya, yaitu Hafidz. Para tamu mendengarkan ceramah dengan khidmat dan mereka berzikir dengan khusyu.

Suasana meriah terlihat ketika acara pengajian telah selesai dan makanan dihidangkan. Malam telah larut, udara sejuk membuat perut semakin lapar. Rumah ini memang masih dikelilingi kebun dan tak jauh dari bukit kayu. Angin dingin sering turun dari bukit. Tak heran jika para tamu langsung menyerbu makanan-makanan tersebut. Kakak saya memang tidak tanggung-tanggung, kalau membuat acara semacam ini pasti menyediakan makanan berlimpah ruah sehingga banyak orang yang senang datang kemari. Mereka makan sepuas-puasnya, bahkan beberapa anak muda, termasuk gadis-gadis, sampai menambah porsi makannya tanpa sungkan-sungkan.

Saya dengan sendirinya ikut keluar dan melihat kegembiraan itu. Beberapa di antara mereka sudah saya kenal karena pernah bertemu saat saya bertandang ke sini. Saya ikut menikmati hidangan, meski hanya sekedarnya. Soalnya saya sudah merasa kenyang melihat mereka begitu lahap memakan segala yang ada. Saya mengabadikan keceriaan para penduduk setempat dalam menyambut bulan ramadhan itu di dalam ingatan. Setelah makan-makan, para tamu tidak langsung pulang, sebagian masih meneruskan dengan berbincang-bincang bersama teman-temannya. Saya ikut nimbrung ngobrol dengan beberapa tamu yang masih muda dan berdiskusi mengenai banyak hal.

Malam telah larut ketika saya mengantuk. Apalagi suasana di sana yang cepat menjadi semakin gelap karena dikelilingi pepohonan. Bulan sama sekali tidak menampakkan sinarnya. Jengkerik dan binatang malam sudah berkeliaran. Namun kakak saya sekeluarga masih senang berkelakar sambil menonton televisi. Karena sudah berkali-kali menguap, akhirnya saya pamit duluan ke kamar. Setelah melaksanakan sholat Isya, saya lalu pergi tidur. Besok saya akan melanjutkan perjalanan, tubuh saya harus segar kembali.

BAB II


Singapura
Pada hari Selasa,cuaca kurang bersahabat, hujan mengguyur kota Tanjung Pinang sejak pagi. Wah, ini sungguh membuat saya was-was, bagaimana melanjutkan perjalanan kalau cuaca seperti ini. Saya kan harus berusaha mencapai Singapura sebelum malam tiba. Malam pertama ramadhan, sudah tentu saya ingin tetap melaksanakan sholat tarawih di masjid. Karena itu saya memohon pada Allah untuk menghentikan hujan. Alhamdulillah, doa saya terkabul. Hujan kemudian mereda menjelang tengah hari. Hafidzh, keponakan saya lalu mengeluarkan pikap dan mengantarkan saya ke pelabuhan.

Dari pelabuhan Tanjung Pinang, ada kapal ferry yang berangkat ke Singapura setiap dua jam. Saya membeli tiket kapal ferry yang berangkat pada pukul 14.00 WIB. Waktu yang tersisa digunakan untuk makan siang dan sholat dhuhur di sebuah masjid, yang tak jauh dari pelabuhan. Harga tiket sekitar Rp 160 000,- per orang. Sedangkan pajak pelabuhan sebesar Rp 13 000,-. Memang harga tiket dari Tanjung Pinang lebih mahal daripada harga tiket kapal ferry yang berangkat dari Batam. Maklum letak pulau Batam lebih dekat ke Singapura daripada pulau Bintan.

Saya menukar uang di money changer dengan jumlah terbatas, 100 dollar Singapura, 200 ringgit dan 500 Baht. Saya berharap uang itu cukup untuk di perjalanan, tapi kalau kepepet saya akan tukar lagi di negara bersangkutan. Pemeriksaan imigrasi di pelabuhan Tanjung Pinang cukup lancar, tidak ada birokrasi yang berbelit-belit, seperti biasa saya hanya menunjukkan passport dan NPWP kepada petugas. Saya duduk di ruang tunggu yang cukup nyaman sambil menantikan jadual keberangkatan kapal ferry. Saya memperhatikan calon penumpang lain yang semakin banyak berdatangan, kebanyakan bermata sipit, tetapi ada juga beberapa orang bule.

Keberangkatan kapal ferry lebih lambat lebih dari lima menit, mungkin karena menunggu penuhnya penumpang. Sebetulnya penumpang sudah melebihi kapasitas duduk, ada beberapa orang yang memilih untuk berdiri. Saya mengambil tempat di pojok dekat jendela agar dapat melihat pergerakan air laut. Salah satu pemandangan yang tak pernah membuat saya bosan adalah memperhatikan air laut bergelombang di sepanjang perjalanan. Mungkin laut lebih menggambarkan ekspresi kejiwaan dalam diri saya.

Kebalikan dari pagi tadi, sekarang matahari bersinar terang menembus jendela kapal. Padatnya penumpang membuat udara AC kurang terasa. Beberapa orang mulai berkipas-kipas kepanasan, terutama perempuan yang membawa anaknya. Namun saya justru menikmati sinar matahari yang jatuh ke pangkuan saya dari kaca jendela. Saya tidak berkeinginan untuk tidur dengan suasana yang ramai seperti itu. Apalagi mendekati Singapura, gelombang cukup tinggi sehingga kapal ferry terloncat-loncat menghantam gelombang. Ah inilah sensasi naik kapal laut, seberapa pun tingginya gelombang, tidak pernah membuat saya takut. Saya sangat menyukainya.

Kapal ferry menempuh perjalanan selama dua jam sebelum memasuki pelabuhan Singapura. Sayangnya, saya mengalami pemeriksaan yang lebih ketat daripada penumpang lainnya. Saya dibawa masuk ke ruangan lain dan menunggu pengecekan passport oleh petugas khusus. Saya menduga pemeriksaan ini disebabkan karena saya baru saja mengganti passport lama yang sudah habis masa berlakunya. Sedangkan Singapura ini adalah negara pertama yang saya kunjungi setelah saya berganti passport. Mereka juga menanyakan passport saya yang lama, untung saya membawanya. Tidak cukup hanya di situ, saya juga harus menjalani pemeriksaan fisik, dan difoto di sebuah ruangan kecil, baik wajah mau pun seluruh tubuh. Mestinya saya kesal karena perjalanan saya menjadi terhambat sekitar satu jam. Namun saya cukup sabar, apalagi karena petugas perempuan yang memeriksa saya begitu ramah. Ia bertubuh tinggi besar, cukup gemuk, dan berkulit hitam. Menilik wajahnya, mungkin keturunan India. Setelah tahu bahwa saya seorang penulis, ia justru mengajak ngobrol tentang hal-hal menarik di Singapura. Menurutnya, sayang sekali saya tidak datang hari sebelumnya. Datang hari ini berarti saya telah melewatkan hari kemerdekaan Singapura. Perempuan itu menceritakan kemeriahan yang terjadi kemarin. Perayaan kemerdekaan digelar di banyak tempat, termasuk di jalan-jalan. Saya hanya tersenyum karena tujuan saya ke Singapura bukan untuk itu. Wanita itu memberi informasi bahwa masjid yang paling dikenal adalah masjid Sultana yang terletak di jalan Victoria. Saya mencatat keterangannya di dalam hati.

Akibat pemeriksaan itu, saya keluar pelabuhan paling belakangan. Suasana sudah mulai sepi. Kalau sudah sore memang tidak banyak penumpang lagi yang datang. Berdasarkan keterangan petugas tadi, saya menunggu bus yang datang ke pelabuhan. Saya naik bus yang pertama muncul dengan nomor 35. Semua bus di Singapura tampak lebih modern, kursinya bagus dan bersih. Bus ini tidak memerlukan kondektur, karena bus hanya berhenti di shelter yang telah ditentukan, penumpang naik dan turun dengan tertib. Cara membayar, bisa dengan kartu bulanan atau uang pas yang dimasukkan ke dalam boks khusus. Sayangnya, saya tidak bisa menanyakan alamat apa pun kepada sopir bus ini. Pria yang bermata sipit yang asli Singapura ini Ia tidak bisa berbahasa Inggris atau melayu. Jadi akhirnya saya terbawa sampai ke terminal Bedok.

Terminal Bedok ini cukup luas dan modern. Jauh betul bedanya dengan Kampung Rambutan atau Pulo Gadung yang semrawut. Sebelum saya melanjutkan perjalanan, saya tertarik untuk menikmati suasana di area kafe yang mengelilingi terminal. Kebetulan ada konter makanan dan minuman Indonesia, yang saya yakin halal. Di situ dijual teh tarik ala Aceh. Saya memesan secangkir teh tarik dan sepotong roti. Penjualnya sih tampangnya orang Indonesia, tapi saya tak tahu apakah dia lahir di sini atau perantauan dari Aceh. Kafe-kafe di sini tampaknya selalu laris manis, saya melihat jarang ada bangku kosong, ada saja pembeli yang datang. Rupanya memang menyenangkan bersantai sejenak sambil makan dan minum sebelum kembali menumpang kendaraan umum.

Usai jajan, saya lalu berputar-putar mencari informasi kendaraan, bus nomor berapa yang melewati jalan Victoria, karena saya ingin ke masjid Sultana. Ada petugas di loket yang meyakinkan saya bahwa bus nomor 7 melewati masjid tersebut. Karena tak ada saran lain, saya pun menaiki bus itu. Saya harus membayar sejumlah 1.40 dollar Singapura. Sepanjang jalan saya mememperhatikan kanan dan kiri karena takut terlewat. Namun sesudah beberapa lama, belum tampak adanya tanda-tanda jalan yang saya tuju. Saya mulai cemas, karena senja mulai turun. Sebentar lagi pasti adzan maghrib, sedangkan saya tak ingin tertinggal sholat di malam pertama ramadhan. perlu diketahui, ada perbedaan waktu antara Singapura dan Jakarta. Di Singapura, waktu lebih lambat satu jam dibanding Indonesia bagian barat.

Ketika langit menjadi semakin gelap, saya memutuskan untuk turun di masjid terdekat sebelum adzan terdengar. Kebetulan saya melihat ada masjid yang terletak di pojokan jalan. Saya langsung minta berhenti di shelter. Masjid itu bernama Darul Ama yang terletak di jalan Eunos, cukup besar dan apik. Saya datang tepat waktu. Begitu saya masuk ke dalam masjid, tak lama kemudian adzan maghrib berkumandang. Alhamdulillah, saya tidak terlambat. Saya sholat maghrib berjamaah bersama perempuan lain di lantai dua. Aduhai, masjid ini begitu bersih dan rapi. Lantai dan dinding kamar mandinya pun berkilat, pertanda setiap hari disikat. Seandainya semua masjid di Indonesia seperti ini, alangkah senangnya. Setelah sholat, saya enggan untuk beranjak, lebih baik saya sholat tarawih saja di sini, daripada mencari masjid lain yang belum tentu segera ketemu, nanti saya bisa ketinggalan.

Duduk di sebelah saya seorang perempuan yang cukup ramah. Ia dapat menduga bahwa saya orang Indonesia. Ia mengatakan ada masjid lagi di kawasan Geylang. Di sekitarnya juga ada hotel yang cukup murah, sekitar 100 dollar per malan. Ah, dalam hati saya, tarif segitu masih cukup mahal. Saya kan harus berhemat. Saya harus mencari informasi lain. Namun saya belum mau memikirkan hal itu karena ingin mendengarkan ceramah yang sedang berlangsung. Nanti saya akan bertanya lagi pada orang lain sesudah sholat tarawih.

Ternyata jamaah terus berdatangan sehingga masjid menjadi penuh. Maklum malam pertama ramadhan, pasti selalu dipenuhi orang-orang yang ingin beribadah. Saya mengikuti sholat tarawih berjamaah yang jumlahnya dengan witir 23. Bacaan dalam sholat pun cukup panjang. Alhasil, sholat baru usai di atas jam setengah sebelas malam. Saya kaget juga ketika teman tadi mengatakan, bahwa jalanan sudah sepi dan bus sudah jarang pada jam seperti ini.

Dengan was-was, saya menyusuri jalan raya. Betul juga, kendaraan yang lewat kebanyakan adalah taksi dan mobil pribadi. Teman tadi menyarankan agar saya naik taksi saja supaya aman dan tidak tersesat di malam seperti ini. Saya kuatir naik taksi mahal dan boros. Tetapi sesudah beberapa lama menunggu tak ada bus yang lewat, maka akhirnya saya pun mencari taksi. Saya batal ke Geylang, tetapi berusaha ke terminal bus yang menuju Johor. Pertimbangan saya, daripada uang habis untuk hotel, lebih baik saya langsung ke negeri Johor dengan menggunakan bus yang berangkat tengah malam.

Taksi di Singapura berjalan kencang. Apalagi lalu lintas di sana sangat tertib dan di malam hari tak ada kemacetan. Taksi yang saya tumpangi melaju cepat menuju terminal luar kota. Namun di tengah jalan mata saya menangkap ada sebuah hostel backpacker, masih dalam kawasan Geylang. Hotel itu persis di tepi jalan raya, jadi mudah untuk ditemukan. Karena taksi ngebut, saya tetap pada tujuan semula untuk pergi ke Johor. Sampai di terminal, argo taksi menunjukkan angka 5.4, yah lumayan, saya bayar segera.

Saya tak menyangka ternyata banyak orang yang akan berangkat ke Johor pada tengah malam. Bus yang berangkat tampak selalu penuh. Antrian berikutnya begitu panjang sehingga saya tak yakin akan mendapatkan tempat. Saya memutuskan tak jadi ikut mengantri, melainkan berjalan menjauhi terminal, kembali ke jalan besar. Ternyata jalan yang saya lalui sudah merupakan jalan Victoria. Kebetulan, lebih baik saya mencari masjid Sultana. Setelah beberapa ratus meter, saya menanyakan masjid itu kepada seorang lelaki yang lewat. Ia memberikan arah yang kemudian saya ikuti.

Dari sebuah sudut jalan, saya melihat masjid Sultana. Menaranya cukup tinggi sehingga bisa kelihatan dari jarak jauh. Cuma karena sudah malam, dalam keremangan saya kurang mengenalinya. Sayang sekali masjid itu sudah sangat sepi ketika saya mendatanginya. Tak tampak ada seorang pun yang bisa saya tanyai, pintu pagar pun tertutup rapat. Saya hanya bisa memperhatikan sekeliling masjid. Di seberang masjid Sultana ini bertebaran rumah makan yang dijamin halal karena dikelola oleh orang Arab. Saya juga melihat banyak laki-laki keturunan Arab yang sedang makan atau kongkow di rumah makan. Timbul rasa lapar, saya ingin juga mencicipi makan di salah satu rumah makan tersebut. Saya membaca sekilas menu termurah seharga 3 dollar. Namun ketika masuk saya tidak melihat ada seorang pun perempuan. Selain itu saya merasakan pandangan setiap laki-laki yang menyorot kepada diri saya. Ini membuat saya kecil hati dan membatalkan untuk makan.

Saya keluar dari rumah makan dan mencari penginapan. Di area itu ternyata sudah penuh. Saya teringat hostel backpacker yang tadi saya lewati. Saya pun menuju ke sana. Alhamdulillah, di sana masih ada kamar kosong. Kebetulan kamar lain sudah diisi oleh laki-laki atau pasangan. Resepsionis yang bertampang melayu tetapi asli Singapura dan hanya bisa berbahasa Inggris ini berbaik hati memberi saya kamar kosong untuk sendiri. Padahal jatahnya adalah untuk dua orang. Ia mengerti bahwa saya seorang muslimah. Meski ini hostel backpacker, tetapi dijamin aman, ada CCTV di setiap sudut. Bahkan kamar mandi yang berada di luar kamar pun dapat dipantau, sehingga orang yang keluar masuk terlihat jelas. Tarif kamar 40 dollar semalam. Meski saya hanya berniat menginap semalam, tetapi harus memasukkan deposit untuk dua malam yaitu 80 dollar. Wah padahal uang saya tinggal 75 dollar. Untunglah pemuda itu baik hati. Ia mau mengerti, bahkan ia hanya meminta 70 dollar, sehingga saya masih punya kelebihan uang 5 dollar untuk membeli makanan. Saya diberi kamar nomor 203, agar tidak jauh dari kamar mandi.

Kamar yang saya tempati cukup bersih, berukuran 2,5 x 2 meter. Ada meja kecil dengan televisi dan ranjang tingkat. Sedangkan kamar mandi ada di luar. Untuk tarif 40 dollar semalam, saya rasa cukup memadai. Setelah meletakkan ransel saya beristirahat sejenak. Kemudian saya teringat belum mempunyai makanan untuk sahur, saya harus keluar mencari makanan. Waktu telah menunjukkan lebih dari jam dua belas malam. Saya pun turun dengan hanya membawa dompet dan telepon genggam. Pemuda resepsionis tadi menanyakan mengapa saya mau keluar tengah malam. Setelah dijelaskan, ia memberitahu bahwa di sepanjang jalan Geylang banyak kafe yang buka sampai pagi. Saya bisa mencari makanan ke sana untuk sahur.

Di dalam kamar saya tak bisa tidur nyenyak, banyak yang saya pikirkan. Seluruh uang Singapura yang ada pada saya hanya tinggal 9 dollar. 5 dollar sisa bayar kamar, yang lainnya receh dalam bentuk sen. Mudah-mudahan makanan nanti tidak begitu mahal. Pada pukul dua pagi saya pun kembali berada di jalanan. Pemuda itu betul, masih banyak kafe yang buka. Di atas kafe adalah hotel-hotel yang tarifnya antara 55-100 dollar. Saya melihat kebanyakan yang makan dan kongkow di kafe adalah pasangan kekasih (atau tampaknya begitu). Jadi saya enggan masuk ke dalam kafe. Apalagi saya melihat banyak botol minuman keras bertebaran, menu nya pun aneh-aneh, ada kodok goreng. Saya kembali berpikir, jangan-jangan makanannya juga haram. Saya tak berani membeli makanan apa pun dan harus mencari alternatif lain yang lebih aman. Setelah melihat berkeliling, kebetulan masih ada mini market 7 ( eleven) yang buka. Saya pikir lebih baik saya membeli minuman jelly dan roti yang saya yakin halal. Uang yang dibelanjakan jelly seharga 2.05 dan roti seharga 1.45 saja, cukup hemat. Setelah itu saya membawa makanan tersebut langsung kembali ke hostel.

Pada pukul empat pagi, saya menjalani sahur pertama. Saya memakan roti dan minum jus yang saya beli tadi. Lumayan untuk pengisi perut, walau tidak terasa kenyang. Yang penting makanan itu bukan makanan haram. Setelah sahur, saya berniat mau ke masjid untuk sholat shubuh berjamaah. Namun ternyata ketika menyusuri jalan raya, tak ada seorang pun yang tampak, begitu pula kendaraan. Karena suasananya begitu mencekam, saya membatalkan diri mencari masjid, balik ke kamar dan menunggu saat adzan shubuh melalui televisi. Setelah menunaikan sholat shubuh, saya mengantuk dan tertidur kembali.

Saya terbangun pada pukul 8.30 pagi. Pakaian dan barang-barang segera dibereskan. Setelah mandi dan sholat dhuha, barulah saya keluar dari hostel. Uang deposit dikembalikan sebesar 30 dollar, jadi saya punya pegangan lagi. Jalanan masih tampak sepi, tetapi beberapa bus sudah terlihat melintas. Saya menyeberang jalan menuju shelter dan menaiki bus yang lewat jalan Victoria. Di perempatan saya turun dan langsung berjalan ke termimal bus ke Johor. Beda dengan tadi malam, jumlah bus lebih banyak sehingga tidak ada antrian yang berjubel. Tarif bus ke Johor ternyata hanya 2.40 saja. Saya bersemangat melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan saya memperhatikan hutan kota yang dilewati. Hutan kota ini kelihatan sangat subur dan tertata apik. Di dalam bus saya merasa mengantuk, tetapi ketika mau tidur, bus harus berganti di Check point, perbatasan Singapura dan Malaysia.

Setelah pemeriksaan passport, saya naik bus kuning menuju gerbang Malaysia. Enaknya, pemeriksaan di sini cukup mudah dan cepat, tidak bertele-tele. Kemudian saya melihat ada sebuah kantor pusat informasi tentang Malaysia. Saya mampir dan masuk ke dalamnya. Banyak brosur gratis yang bisa diambil, kita pun bisa bertanya-tanya tentang tujuan yang akan dicari. Di sana saya bertemu dengan seorang Bapak keturunan Arab yang bernama Ali. Kami lalu berkenalan. Pak Ali sebetulnya tinggal di Singapura, tetapi ia juga memiliki sebuah rumah di Johor. Kami ngobrol dan bertukar alamat. Ia bahkan menawarkan agar saya menginap di rumahnya yang ada di Johor, sedangkan dia sendiri berniat menginap di rumah seorang kawan. Sayangnya rumah Pak Ali tersebut tidak termasuk dalam kawasan yang strategis, sulit dicapai kendaraan umum sehingga saya menolak tawaran tersebut.

BAB III

Malaysia


Yüklə 309,96 Kb.

Dostları ilə paylaş:
  1   2   3   4   5   6   7




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin