Sambutan ketua umum



Yüklə 202,92 Kb.
səhifə1/5
tarix11.09.2018
ölçüsü202,92 Kb.
#80289
  1   2   3   4   5


EROSI

RASA KEBANGSAAN INDONESIA

Disusun Oleh:
Letjen TNI (Purn) H. Bambang Triantoro

2007
EROSI

RASA KEBANGSAAN INDONESIA

Tulisan ini adalah salah satu karya tulis yang digagas, disusun, dan diketik sendiri oleh Suami/Ayah/Eyang kami,
Letjen TNI (Purn) H. Bambang Triantoro

Tulisan ini, mulai disusun sejak tahun 2007 hingga hari menjelang

Almarhum dirawat di rumah sakit.

Tulisan ini disusun Almarhum didorong kecintaannya pada

Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tulisan ini disusun Almarhum dengan penuh semangat,

bahkan di saat penglihatannya mulai terganggu oleh katarak;

Jua pantang menyerah, walau kaki Almarhum membengkak.

Tulisan ini belum diselesaikan Suami/Ayah/Eyang kami,

karena beliau telah berpulang ke Rahmatullah pada

Hari Rabu, 2 April 2008 Pukul 04.14 WIB

Innalillahi Wainnalillahi Rojiun
Kami memperbanyak tulisan Almarhum ini, agar isi tulisan ini dapat dibaca dan dipelajari oleh banyak pihak, sesuai harapan Suami/Ayah/Eyang kami.

Juga dengan harapan, kita dapat menarik hikmah

dari tulisan Almarhum ini.

Bahkan tak tertutup kemungkinan, ada di antara kita

yang dapat meneruskan pemikiran Almarhum. Wallahualam.
Kami mohonkan keridhoan

Bapak/Ibu/Saudara untuk memaafkan

kesalahan dan kekhilafan Almarhum.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
EROSI RASA KEBANGSAAN INDONESIA
Penyusunan Konsep/Faham Kebangsaan Indonesia, belum tuntas, sejak digagasnya suatu “kesatuan bangsa” di awal Abad ke-XX (1908 Budi Utomo/Kebangkitan Nasional) yang menyatukan berpuluh bangsa dan komunitas sosial kedaerahan yang multi etnis (pribumi lokal dan dari pulau/daerah lain; China, Arab, India, Eropa) terutama di daerah pelabuhan/perdagangan yang hidup dan menghidupi di keluasan rangkaian ribuan pulau-pulau (kepulauan atau archipelago).
East Indie atau Indonesie?

Nama atau kata Indonesia sebelum abad ke-XX belum ada dalam bahasa pergaulan/perdagangan rempah-rempah yang masa itu meramaikan masyarakat kepulauan yang menghubungkan dua benua dan dua samodera maupun dalam perkembangan keilmuan . Perkembangan keilmuan (geologi) lebih sering menampilkan daerah yang mereka temukan, seperti Moluccen (Maluku), Celebes (Sulawesi) dengan tidak menyebut nama “rangkaian kepulauan” dengan ribuan pulau besar kecil yang keseluruhan luasnya lebih dari 1,9juta km2.

Suatu rangkaian kepulauan yang “dari barat sampai ke timur berjajar pulau-pulau sambung menyambung menjadi satu“ menghubungkan dua benua, Asia dan Australia, serta dua samodera, Lautan Hindia dan Lautan Teduh/Pasifik .
Pilihan : East Indies atau Indonesie?

Rangkaian pulau-pulau yang dalam kalam sejarah (pernah) disebut sebagai “Nuswantara” atau Nusantara, dan dalam kepustakaan Barat dalam satu ikhtisar ilmiahnya seorang geolog J.R Logan (1850) dalam artian geografis menyebut rangkaian pulau–pulau ini dengan sebutan “Indo Nesia” yang ia maksudkan suatu rangkaian pulau-pulau di bagian selatan anak benua India. Kemudian, A Bastian (1884) menggunakan kata “Indonesie” untuk kepentingan etnologis. Sebagian besar, kalau tidak dapat dikatakan semua risalah keilmuan (Eropa) Barat, menyebut wilayah pulau-pulau itu dengan “East Indie”, sehingga secara politik Kerajaan Belanda melanjutkan nama Oost Indie dari Vereenigde Oost Indiesche Compagne (VOC) setelah pengambilalihan dari suatu bentuk badan usaha menjadikannya suatu pemerintahan daerah koloni, Nederlands Indie (seperti halnya Koloni Inggris di anak benua Hindia, yang semula meliputi wilayah India, Pakistan dan Bangladesh).

Kaum muda Indonesia di negeri Belanda yang berhimpun dalam organisasi kaum elit baru ini, mengubah nama organisasinya menjadi Perhimpunan Indonesia. Kata Indonesia itu kemudian digunakan sebagai “identitas Bangsa” menggantikan sebutan ”Hindia” dalam pergerakan politik memperjuangkan kebebasan/kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda. Buletin yang mereka terbitkan sudah langsung berganti nama menjadi “Indonesia Merdeka”.

Di kemudian hari dalam pengembangan ilmu dan teknologi (elektronik, logam tahan panas dan sebagainya) wilayah udara di atas daerah garis khatulistiwa amat besar manfaatnya guna pengembangan telekomunimasi jarak jauh, antarbenua dan antar- planet dalam lingkungan tata surya.

Bahasa persatuan itulah Bahasa Indonesia. Dalam perbendaharaan sejarah kita sendiri kata atau sebutan Indonesie. yang kemudian diubah lafalnya menjadi Indonesia, diawali oleh kaum pelajar dari negeri ini yang belajar di Negeri Belanda (Bung Hatta dan kawan-kawan). Pada tahun itu juga organisasi Perhimpunan Pelajar di negeri Belanda menamakan perkumpulan mereka itu sebagai Perhimpunan Indonesia. Di negeri sendiri yang masih dalam kungkungan penjajahan, gerakan “bawah tanah” dan juga yang terbuka secara sistimatis mem-BANGKIT-kan nurani kebangsaan dengan menampilkan “senasib dan sependeritaan dalam penindasan kolonialisme Barat“.

Berbagai badan pergerakan yang semula memakai identitas daerah, seperti Yong Sumateranen Bond, Yong Java, Yong Celebes/Sulawesi, Yong Ambon dan lain lain segera menukar nama perhimpunannya dengan menampilkan Indonesia sebagai identitas kebangsaannya dan banyak yang kemudian berhimpun dalam organisasi Indonesia Muda. Di lingkungan gerakan kepanduan (sekarang kepramukaan) yang membimbing kaum muda dan anak-anak mendewasakan diri dalam kemandirian, berkembang Kepanduan Bangsa Indonesia yang sudah pula menggunakan kain leher (halsdoek) Merah Putih dan pada setiap acara mengibarkan bendera Merah Putih (meskipun belum resmi diakui sebagai Bendera Kebangsaan).

Konon kabarnya, warna merah dan putih yang mewarnai warna kebangsaan itu dikutip dari ukiran/relief pada candi-candi yang menggambarkan kejayaan dan tanda-tanda kebesaran Kerajaan Majapahit, baik yang digunakan oleh pasukan daratnya maupun armada lautnya. “Umbul-umbul” inilah yang sudah diakui sebagai tanda kekuasaaan hukum Kerajaan tersebut di berbagai wilayah di masa lalu.

Dengan menjunjung tinggi identitas bangsa pergerakan politik menjadi lebih berani untuk “menuntut” lebih banyak kebebasan dan keikutsertaan orang-orang Indonesia dalam mengurusi kepentingan masyarakat atau berpolitik. Apalagi sesudah dunia dilanda perang, Perang Dunia I. Antara negara-negara Eropa dan masing-masing makin mengeksploitasi daerah-daerah jajahannya mulai dari manusia (tenaga kerja murah) sampai dengan kekayaan buminya untuk menopang dan memulihkan kerusakan negerinya akibat perangnya, sehingga meskipun negeri- negeri jajahan tidak menjadi arena peperangannya, tetapi akibatnya tetap terbawa serta dalam krisis ekonomi yang disebut “malaise”.

Seusai perang, untuk pemulihan (restore) keadaan dibutuhkan dana dan daya yang besar sehingga eksploitasi daerah jajahan makin menghebat dan penderitaan rakyat negeri jajahan makin tertekan. Kondisi kehidupan masyarakat yang makin tertekan itu memberi mukjizat karena tidak hanya di Indonesia eksploitasi makin mencekik, tetapi juga di India (masih menyatu dengan Pakistan), di negeri-negeri Indo China (Vietnam, Kamboja dan Laos) dan di beberapa negeri Afrika (Aljazair, Libya, Etiopia dan lain-lain) pun terjadi pergolakan untuk memperoleh “kebebasan” ” dan “kesejatian diri” (bangsa). Di nusantara Indonesia, pergerakan menuju kesatuan bangsa makin menghebat, meskipun tidak bebas dari usaha Kerajaan Belanda untuk meredam dan menghentikan gerakan patriotik ini .

Bahasa yang Memperkuat Persatuan Indonesia

Suatu masalah besar yang harus dihadapi para penggerak kebangkitan bangsa ialah masalah kebahasaan yang amat diperlukan dalam mensosialisasikan usaha membangun Bangsa Indonesia. Selama itu banyak ragam bahasa, kesukuan dan kedaerahan yang digunakan dalam dunia perdagangan dengan orang-orang dari luar Nusantara, juga antar sesama “pribumi” Indonesia. Bahasa yang sudah digunakan oleh berbagai komunitas dan suku ialah “Bahasa Melayu”. Bahasa ini juga terdiri dari berbagai ragam, antara lain bahasa Melayu Riau Kepulauan. Meskipun penutur asli bahasa ini teramat sedikit dibandingkan dengan penutur bahasa Jawa, Batak dan Bugis, namun karena posisinya di pusat persilangan geografi wilayah Asia Tenggara yang menjadi tempat persinggahan armada-armada perdagangan rempah-rempah, bahasa Melayu Riau Kepulauan lebih dikenal oleh orang-orang asing itu .

Para pendiri bangsa (Indonesia) juga berharap agar dalam mempersatukan bangsa-bangsa se-Nusantara tidak terkesan “memenangkan yang banyak”, seperti lebih memilih bahasa Jawa yang penuturnya paling banyak. Bahasa Melayu Riau Kepulauan itu pun sudah pula lengkap dengan semua unsurnya yakni aksara, sastra, dan lain sebagainya. Itulah kearifan para pendiri bangsa sehingga dengan “mulus” menerima bahasa suku Melayu Riau, suku minoritas sebagai dasar bahasa persatuan yang kelak sesudah Indonesia Merdeka dan tegak berdaulat Republik Indonesia, menjadi Bahasa Negara (1945). Demikianlah maka ditegaskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 (Kongres ke-dua Pemuda Indonesia) ikrar tentang kebahasaan ini secara khusus, yakni,
Kami, Putra dan Putri Indonesia bersumpah menjunjung tinggi

bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Di sini ditunjukkan kebesaran jiwa para pendiri bangsa, bahwa di negeri dan bagi Bangsa Indonesia untuk tetap membina berbagai bahasa kesukuan dan kedaerahan guna melestarikan budaya masing-masing, sedangkan untuk bahasa pengantar dalam segala kepentingan bersama ditetapkan penggunaan “bahasa persatuan”, Bahasa Indonesia. Kelak kemudian, bahasa persatuan itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebut sebagai “bahasa negara” bukan bahasa nasional.

Bahasa Indonesia, di zaman pendudukan Bala Tentara Jepang (1942–1945) berkembang dengan pesat, baik dari perbendaharaan kata maupun penuturnya. Pada masa itu bahasa Indonesia sudah layaknya sebagai bahasa resmi pemerintahan meskipun bangsa Indonesia sendiri belum memperoleh Kemerdekaannya. Semua yang bersumber dari bahasa Belanda dan Inggris dilarang oleh Penguasa Perang Jepang dan harus digantikan dengan bahasa Melayu/Indonesia atau dari sumber perbendaharaan bahasa suku/daerah. Komunikasi lisan dan tertulis menjadi makin mantap dan menggairahkan, perkembangan kesenian terutama yang banyak menngunakan media lisan seperti halnya lagu/nyanyian, syair, kisah atau cerita, sandiwara dan film (yang sudah mulai dengan bersuara meski jumlahnya masih langka).

Para penggerak politik memberi perhatian yang besar dengan memanfaatkan berbagai terbitan (koran dan majalah) yang sangat membantu memberikan pengertian dan pengetahuan tentang kehidupan sosial dan perkembangan ketatanegaraan sehingga memberikan “landasan idiil” untuk memperoleh kemerdekaan bangsa di kemudian hari. Karena radio masih amat langka dan sebagian besar masyarakat masih belum melek huruf, maka para politisi penggerak kebangkitan kebangsaan itu melaksanakannya dengan apa yang sering disebut sebagai “rapat raksasa” di berbagai kota dan daerah. Dengan sendirinya para politisi penggerak yang berpidato di hadapan ribuan massa. Tidak ketinggalan juga “mata-mata”, orang pribumi yang diupah/dipekerjakan Tentara Jepang untuk “mengawasi” agar pidato yang menggerakkan nurani masyarakat itu tidak menghasut masyarakat untuk anti Tentara Jepang. Sebaliknya para penggerak masyarakat itu juga tidak melupakan untuk menyisipkan beberapa pujian kepada pemerintah Jepang yang sudah mengizinkan mereka untuk “menyemangati” masyarakat membantu Bala Tentara Jepang menyelesaikan “Perang Asia Timur Raya” yang akan membuka peluang dan kesempatan bagi Bangsa Indonesia menjadi bangsa merdeka dan berdaulat di negeri sendiri .

Demikianlah bahasa mempercepat proses “kesiapan diri” masyarakat untuk pada saat yang tepat mampu dan sanggup memberikan amalannya bagi masa depan Bangsa dan Tanah Airnya.



Wilayah Yang Akan Dituntut Sebagai

Tanah Air Wilayah Kedaulatan Indonesia”




Masalah ini juga bukan masalah yang sederhana. Para pendiri berpendapat untuk tidak mengambil yang bukan haknya tetapi juga tidak ingin kehilangan sejengkal pun tanah dan perairan laut yang menjadi haknya. Wilayah kepulauan Indonesia itu secara Hukum Internasional sudah terbagi-bagi kepada negara-negara kolonial Eropa dan Amerika Serikat, terutama yang besar koloninya yakni Inggris dan Belanda. Tentu sudah dipertimbangkan bahwa negara-negara kolonial itu, meskipun sudah terusir dari wilayah jajahannya pada awal Perang Dunia II (1942), tetapi kemudian mereka mengakhiri perangnya dengan kemenangan di tahun 1945. Secara hukum mereka “dibenarkan” untuk kembali berkuasa atas wilayah jajahannya. Bagi para pendiri Bangsa tersedia dua pilihan untuk menghadapi masalah tersebut yakni sebagai berikut.

Pertama, mendasarkan pada Sejarah khususnya sejarah Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Menurut sejarah kedua kerajaan pernah “menguasai”/menerima upeti secara teratur sebagai pengakuan raja di daerah itu takluk atau tunduk pada kekuasaan Kerajaan Sriwijaya/Majapahit tetapi tidak diintegrasikan sebagai bagian “kekuasaan kewilayahan”. Konsep ini di kalangan tertentu disebut sebagai “Konsep Indonesia Raya” atau juga disebut konsep “Nusantara Indonesia”.

Kedua, membatasi diri dalam “claim” kewilayahan yang menuntut seluruh bagian kepulauan yang sebelum pecah Perang Pasifik adalah wilayah jajahan kekuasaan Ratu Belanda, yaitu Nederlands Indie (Hindia Belanda).
Setelah memperhitungkan kemungkinan dari segi hukum internasional, perkiraan perlawanan daerah/negara yang berada di luar yurisdiksi Hindia Belanda, dan resiko serta konsekuensi yang harus dihadapi pada hari-hari pertama kelahiran negara baru Indonesia Merdeka, maka disepakati bahwa “claim” kewilayahan/geografi untuk “tanah air” hanya wilayah yang sebelum Perang Pasifik tahun 1942 adalah wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda. Keputusan ini lebih menguntungkan karena dalam konteks perjuangan politik dan diplomasi hanya akan berhadapan hanya dengan Kerajaan Belanda. Para pemikir pendiri bangsa ini juga sudah memperhitungkan kemungkinan “claim” Indonesia Merdeka itu akan ditanggapi pihak Belanda dengan menggunakan kekerasan senjata guna memaksakan kehendaknya.

Era Perang Asia Timur Raya
Perang Asia Timur Raya Jepang diawali oleh hasrat militerisme Jepang yang menguasai pemerintahan Kerajaan Jepang untuk menduduki dan mengeksploitasi minyak bumi dari bumi Kerajaan China (yang kemudian beralih menjadi Republik China pimpinan Sun Yat Sen). Sebelum itu, tahun 1939 Armada Laut Kerajaan Jepang mengalahkan Armada Laut Kerajaan Rusia (yang negerinya sedang bergolak dalam Revolusi Bolshevik). Agaknya “kemenangan” peperangan laut itu menambah keyakinan Pimpinan bahwa semua kemungkinan terdeteksi oleh kapal-kapal lain dapat dihindari, merencanakan pelayaran ribuan mil dengan siaga tinggi menyerang Pangkalan Utama Angkatan Laut Amerika Pearl Harbor di kepulauan Hawaii Pasifik Barat.

Sesungguhnya kedua negara ini tidak dalam keadaan perang dan sedang bernegosiasi mengenai permasalahan minyak bumi yang sangat diperlukan Jepang untuk menghidupi industri (perang)-nya. Secara diam-diam pemerintahan militeristik Jepang merencanakan untuk melabrak ke wilayah yang lebih luas yang memiliki sumber-sumber minyak bumi dan mineral yang amat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan industri perang mereka antara lain Manchuria, China bagian selatan, dan Asia Tenggara.

Sejak itu, Dunia diancam peperangan yang diperkirakan lebih hebat daripada Perang Dunia I. Perang kali ini juga terjadi di Eropa sewaktu tahun 1939 Jerman yang pemerintahannya dikuasai Nazi Jerman, suatu faham yang membanggakan Bangsa Aria/Jerman adalah ras yang paling mulia di dunia dan berhak menguasai bangsa-bangsa lain. Jerman menyerbu negara tetangganya, Polandia, menjadi bagian dari kesatuan Jerman Raya, Perang ini menghebat di wilayah Eropa barat, Hanya dalam sekejab pasukan khusus Jerman menyerbu seluruh daratan Eropa barat dengan taktik Blitzkriege-nya. Suatu ofensi strategis dengan memusatkan kekuatannya pada ujung tombaknya, serbuan Lintas Udara, pasukan tank dan kendaraan tempur mekanis yang dilindungi oleh satuan pesawat tempur yang masa itu termasuk yang paling canggih.

Gerakan ofensif strategis ini diimbangi oleh serbuan Tentara Italia dibawah Pemerintahan Fasis Mussolini menjarah Etiopia di Afrika. Di belahan dunia bagian Timur, Pemerintahan Militer di bawah pimpinan Jenderal Togo yang sudah “mencicipi” kemenangan dalam perang laut melawan AL Rusia dan mematahkan perlawanan China di Manchuria, merasa cukup kuat untuk memperluas medan perangnya. Dengan amat mengejutkan hampir seluruh dunia, Armada Laut Jepang secara diam-diam bergerak menuju ke kepulauan Hawaii yang merupakan wilayah Pangkalan Utama Angkatan Laut Amerika Serikat di Pasifik, Pearl Harbor.

Serangan pendadakan Armada Laut Dai Nippon yang melibatkan hampir seluruh kekuatan Armada Lautnya ini dimaksudkan untuk melumpuhkan, kalau mungkin juga menghancurkan sebanyak mungkin kapal perang AS dan pangkalan utama Pearl Harbor. Dengan demikian memuluskan serbuan Bala Tentara Jepang ke Asia Tenggara untuk menguasai sumber-sumber enerji dan pertambangan mineral lainnya yang mereka perlukan untuk meningkatkan kemampuan industri perangnya.

Di fihak Amerika Serikat sendiri meskipun sudah diperkirakan kemungkinan clash militer dengan Jepang tetapi kebanggaannya dengan kekuatan Armadanya di Pasifik dan kepercayaan diri yang berlebihan tentang sistim pertahanannya di Pasifik, kurang waspada terhadap kemungkinan serangan pendadakan terhadap pangkalan utamanya dan cenderung menafikan kemungkinan itu mengingat kemampuan Armada Jepang untuk menyelinap menembus jarak yang cukup jauh dan kemampuan pengamanan Armada AS. Karena sikap pimpinan yang tidak terlalu acuh terhadap kemungkinan serangan musuh, pangkalan dan segenap kapal-kapalnya tidak dalam kondisi siaga tempur. Peringatan demi peringatan oleh Intelijen Amerika (gabungan Laut dan Darat) tidak ditanggapi bersungguh-sungguh oleh Atasannya. Dengan dalih bahwa waktu itu sedang berlangsung kegiatan diplomasi antara kedua negara (mempersoalkan masalah bahan enerji yang amat diperlukan Jepang).

Betapa gagapnya pimpinan AS setelah terjadi serangan pendadakan Jepang itu di pagi hari Minggu 8 Desember 1941. Langit Pearl Harbor mendadak jadi terselubung asap tebal yang mengikuti karamnya beberapa kapal perang. Pearl Harbor yang merupakan suatu teluk menyulitkan kapal untuk keluar masuk daerah pangkalan ini, kini menjadi malapetaka untuk Armada AS sendiri. Sebagian besar kapalnya terperangkap di keluasan teluk dan menjadi “sitting duck” bagi pilot-pilot pesawat pembom tempur Jepang yang sama sekali tidak diperhitungkan untuk jarak sejauh itu. Mereka melupakan peran kapal induk/basis dari puluhan pesawat yang siap menyergap kapal perang Amerika yang hanya bisa bermanuver di laut dangkal Teluk Pearl Harbor. Ini semua akibat kurang arifnya pimpinan mulai dari Panglima Armada sampai dengan para Menteri di Gedung Putih Washington DC, karena “early warning” yang disampaikan oleh badan Intelnya yang sudah sempat menembus jaringan kode informasi Jepang tetapi kemudian tidak diproses secara semestinya.

Meskipun kerusakan (“damage”) yang diderita AS cukup menyedihkan dengan karamnya beberapa kapal penempur, tetapi AS terutama AL-nya masih bisa bersyukur karena 4 kapal induk beserta pesawat-pesawatnya masih “in tact” dan segera siap tempur. Pada hari serbuan Jepang itu mereka sedang menuju ke Pearl Harbor tetapi masih cukup jauh untuk melibatkan diri dalam pertempuran itu. Sebaliknya, pimpinan serangan Jepang ke Pearl Harbor itu kecewa berat karena sasaran utama mereka, kapal-kapal induk AS yang paling ditakuti bila tidak segera dilumpuhkan sedang berada di luar “sangkar”nya.

Amerika Serikat semula enggan terlibat perang di awal Perang Dunia II karena sama sekali tidak ada kepentingan dalam konflik itu. Tetapi tidak demikian halnya dengan “harga diri” masyarakat AS. Serbuan tentara Jepang ker Pearl Harbor itu membuat seluruh Rakyat Amerika Serikat amat geram dan sekaligus memasuki arena perang di Pasifik. Sementara itu, AS masih punya kewajiban (commitment) untuk mendukung Sekutu di arena peperangan Eropa. Di masa itu, seluruh kemampuan industriil, terutama industri perangnya, digerakkan secara optimal dengan mengembangkan wacana “system” dan “management” yang relatif baru dan langsung melibatkan setiap unit produksi AS.
“Gempuran” strategis Jepang terhadap Pearl Harbor di awal Desember 1941 ini mengobarkan semangat patriotik rakyat AS membela negaranya. Beratus ribu kaum muda di Amerika dan Inggris dalam berbagai profesi menjalani latihan militer secara sukarela. Di negara-negara yang diduduki militer Jerman tumbuh berkembang kekuatan bersenjata “di bawah tanah” berjuang menggerogoti kemampuan Jerman, secara gerilya dan dengan sabotase, semua “demi kejayaan bangsa dan tanah air”.

Di Asia Pasifik gempuran pertama ke Pearl Harbor dan wilayah Asia Tenggara, “Perang Asia Timur Raya” (demikian Jepang menyebut perangnya itu) berjaya meluluhlantakkan kekuatan persekutuan Inggris, Belanda, Amerika (di Filipina) dan Australia .

Pada 10 Januari 1942 BT Jepang bergerak ke selatan ke Asia Tenggara dengan menaklukkan pertahanan BT Sekutu, berturut-turut di Malaya dan Singapura benteng Inggris, Benteng Guadalcanal Amerika Serikat di Filipina. Serbuan ke wilayah Hindia Belanda diawali tangggal 10 Januari 1942 dengan serangan dan pendudukan Tarakan, kota kilang minyak, Kalimantan Timur, kemudian Balikpapan Kalimantan Timur yang merupakan sumber minyak bumi, 2 Februari Pontianak dan 10 Februari 1942 Martapura. Palembang Sumatera Selatan, lokasi berbagai kilang minyak bumi diserbu secara Lintas Udara pada 14 Februari 1942. Nyata sekali betapa BT Jepang amat mendambakan minyak hasil bumi Nusantara secepatnya.

Setelah dapat menguasai sasaran-sasaran strategisnya (sumber-sumber minyak bumi) baru dilakukan serbuan ke pusat kendali perang Sekutu (ABDACOM = Australia, British, Dutch, American Command) yang bermarkas di Lembang Jawa Barat. Serbuan dilakukan melalui tiga poros dengan pantai pendaratan di Teluk Banten, Eretan Subang Jawa Barat, dan Kranggan Jawa Tengah dengan kekuatan sebesar 6–8 Divisi atau sekitar 100–120 ribu orang, sedangkan fihak Hindia Belanda di pulau Jawa memiliki 4 divisi KNIL (Tentara Hindia Belanda) dan beberapa satuan (small units) Amerika, Australia dan Inggris.

Divisi-divisi KNIL ini kesiapan tempurnya amat rendah karena baru dibentuk (dari kumpulan satuan setingkat Kompi Senapan) dan kualitas latihannya rendah karena pemerintah Hindia Belanda beranggapan bahwa mereka tidak akan terlibat dalam perang (di daratan Eropa) dan bahwa kemampuan keuangannya sudah tersedot untuk kepentingan mendukung peperangan di Eropa. Dengan rendahnya kemampuan (kuantitas dan kualitas)Tentara Hindia Belanda dan taktik Jepang “menjepit” Lembang-Bandung dengan tiga poros serangan, dari arah Banten–Jakarta, dari Eretan–Subang dan Kragan ke selatan, maka yang mampu dilakukan oleh “front” Subang ialah hanya operasi penghambatan dan akhirnya pada tanggal 7 Maret dilakukan perundingan di lapangan terbang Kalidjati Subang dan pada 8 Maret 1942 Tentara Sekutu/Serikat di seluruh wilayah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Panglima BT Jepang Letnan Jenderal Hitosyi Imamura yang memimpin serbuan BT Jepang ke wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Tamat sudah kekuasaan penjajahan Belanda atas Nusantara Indonesia.

Untuk sementara tidak lagi ada perlawanan dari fihak Sekutu, masing-masing membangun “pemerintahan dalam pelarian” dan menyusun kembali kekuatan militer dan perangkat pemerintahannya di Australia mengambil sikap defensif aktif, yaitu dengan tetap melakukan aksi-aksi patroli laut dan bila kesempatan memungkinkan juga aksi peperangan gerilya laut di sekitar perairan Australia dengan Maluku-Nusatenggara. Operasi-operasi pertempuran masih terus berlangsung dalam memperebutkan wilayah Papua Guinea yang dalam “binaan” Australia dengan mandat Liga Bangsa Bangsa (kemudian jadi Perserikatan Bangsa-Bangsa) dengan bantuan unsur-unsur kekuatan Armada ke VII AS yang sudah pulih dari akibat serbuan udara BT Jepang (Pearl Harbor).

Pemerintahan Militer Jepang yang menduduki nusantara Indonesia secara politik memporak-porandakan usaha para pendiri bangsa dengan membangun 3 (tiga) pemerintahan untuk mengatur kebijakan/strategi militernya. Masing-masing dengan kebijakan lokalnya sesuai strategi perangnya. Pembagian wilayah itu diatur sebagai berikut.

(1) Wilayah Barat meliputi (penggabungan) daerah-daerah Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatera dan seluruh perairan Laut China Selatan, Selat Malaka, Selat Sunda dan Laut Jawa.

(2) Pulau Jawa dan Madura yang sangat potensiil bagi Jepang akan memperoleh dengan mudah Sumber Daya Manusia (para inteligensia yang berguna untuk melaksanakan pemerintahan/pengendalian rakyat sampai ke tenaga kasar untuk “romusha”).

(3) Seluruh pulau Kalimantan (Kalimantan Indonesia dan Sabah serta Serawak Malaya dan Berunai), seluruh pulau Sulawesi, kepulauan Maluku, kepulauan Nusa Tenggara dan Bali, serta daerah-daerah Papua (yang masih merupakan “arena peperangan”).


Pembagian “wilayah Indonesia” dalam tiga pemerintahan militer Jepang ini menyulitkan para pemimpin bangsa Indonesia untuk berkomunikasi dengan Rakyat maupun sesama warga. Maklum, karena komunikasi lisan masih hanya melalui saluran kawat yang kapasitasnya terbatas dan dalam peraturan pemerintah militer sangat dibatasi dan pelaksanaannya diawasi ketat. Siaran radio selain dibatasi, alat penerimanya disegel pada frekuensi tertentu. Surat menyurat amat lamban, disensor dan berhari-hari baru sampai.

Namun, semua itu tidak mengurangi semangat para pemimpin bangsa untuk melanjutkan tugas mereka membangkitkan semangat untuk membangun kesejatian diri sebagai Bangsa. Beberapa kelompok kaum muda terpelajar secara sembunyi merekayasa radio mereka untuk menembus sensor dan pembatasan siaran radio, terutama untuk “mencuri dengar” perkembangan perang yang tidak selalu sesuai dengan keadaan yang menjadi bahan propaganda Jepang. Tentu “mencuri dengar” siaran dari radio LN dan mengoperasikan “radio gelap” adalah suatu tindakan penuh resiko maut dengan tuduhan sebagai “mata-mata musuh” atau membantu musuh.

Selama dalam pendudukan Bala Tentara (BT) Jepang, masyarakat dipersiapkan/dipaksa untuk ikutserta dalam kegiatan memenangkan perang Asia Timur Raya (Asia Timur plus Asia Tenggara). Berbagai organisasi kemasyarakatan dibangun untuk kepentingan itu, Di setiap kampung dan desa masyarakat dihimpun dalam organisasi administratif Tonarigumi berselubung penyejahteraan rakyat (mengatur antri beras dan bahan pokok lainnya yang diatur pendistribusiannya) tetapi sesunguhnya organisasi ini ialah untuk mengamati gerak gerik penduduk antara lain dengan harus ada izin untuk melakukan perjalanan keluar desa/kampung, tamu menginap harus didaftar dan lain kegiatan pengawasan terhadap penduduk.

Di setiap kota/kecanatan dibentuk Barisan Seinendan (semacam pramuka/kepanduan) untuk memberi kegiatan a la militer yang umumnya juga diserahi tugas pengamanan setempat. Kemudian ada Barisan Keibodan yang tugasnya mengatur penduduk bila terjadi musibah (kebakaran, banjir dan lain-lain) untuk evakuasi korban dan memandu pengungsian di tiap sekolah menengah, para siswa diorganisasikan layaknya pasukan militer, yang dinamakan Gakkutotai, yang secara teratur melaksanakan latihan (perang-perangan) yaitu Kyoren.

Unsur ini paling sering kehilangan kesempatan belajar karena diacarakan suatu kerja bhakti untuk membangun fasilitas perlindungan terhadap kemungkinan serangan udara musuh/Sekutu. Juga bila ada acara kunjungan tamu pejabat tinggi maka unit inilah yang paling disukai untuk dibariskan sepanjang jalan menyambut tamu terhormat. Memang tugas dan kegiatannya cukup berat dan menjemukan. Tetapi hikmahnya juga ada yaitu sesama pelajar dari sekolah mana pun bisa sering bertemu dan bertukar fikiran mengenai apa saja yang dianggap perlu.

Keakraban dan kebersamaan inilah kelak, di kemudian hari, sewaktu kita mulai muak dan tidak bersimpati lagi terhadap serdadu-serdadu Jepang yang kita saksikan sendiri kekejian mereka terhadap para “romusha” penduduk yang dikerahkan semacam “rodi” zaman Daendels membangun jalan raya sepanjang pulau Jawa. Dikuatkan lagi adanya kisah penderitaan dan penghinaan terhadap harkat martabat kewanitaan akibat perkosaan dan atau dipermainkan di depan orang banyak yang tak berdaya untuk menghentikannya. Ini semua menggugah hati nurani para pelajar yang masih muda usia. Akhirnya sifat kenakalan dan kepetualangan kaum muda usia ini menemukan berbagai cara untuk membalaskan dendam mereka yang teraniaya oleh serdadu Jepang itu. Bergerombol mereka menghalangi serdadu Jepang untuk bisa naik trem (kereta listrik) dalam kota .

Pemerintah militer atau Penguasa Perang BT Jepang sesudah tidak lagi ada perlawanan berarti, baik dari musuh (BT Sekutu) mau pun dari masyarakat, segera mengatur struktur pemerintahan di daerah. Dalam struktur itu di pulau jawa yang semula ada 3 Propinsi ditiadakan untuk digantikan oleh 17 Syu yang masing-masing dipimpin oleh seorang Syucokan. Khusus untuk Batavia/Jakarta dibentuk Tokubetsu Syi, Kotapraja Istimewa. Pada pemerintahan di Sumatera, dibentuk 10 Syu masing-masing untuk Aceh, Sumatera Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bangkahulu, Jambi, Palembang, Lampung dan Bangka Biliton.

Untuk memperoleh simpati dan dukungan rakyat Indonesia, banyak jabatan tinggi yang diberikan kepada warga Indonesia yang sebelumnya juga sudah berjabatan tinggi ditingkat daerah di masa Hindia Belanda. Mereka ini yang kemudian di tahun 1942/1943 digantikan oleh warga sipil Jepang yang sengaja didatangkan dari negerin. Guna kepentingan politiknya, BT Jepang memelihara hubungan dengan para politisi kita, terutama Bung Karno dan Bung Hatta. Para politisi dan cendekiawan yang sudah diaktifkan dalam kerja sama dengan pejabat-pejabat Jepang itu, antara lain:



  1. Soetardjo Kartohadikusumo,

  2. Abikusno Tjokrosoejoso,

  3. K.H. Mas Mansyur,

  4. Ki Hadjar Dewantoro,

  5. Prof. Husein Djajadiningrat,

  6. R. Ng Purbotjaroko,

  7. Prof. Dr. Mr Soepomo,

Kemudian, Bung Karno bersama “Empat Serangkai” nya yakni Drs. Moh Hatta, K.H Mas Mansyur, Ki Hadjar Dewantara mendirikan suatu organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera) pada 9 Maret 1943.

Yang semula berbentuk kenakalan/petualangan itu, kemudian ketika sesudah proklamasi Kemerdekaan, ada tantangan untuk merebut yang serba diperlukan guna mengisi kemerdekaan, para pelajar ini dengan tulus menyediakan diri untuk aktif dalam proses pengambilalihan instalasi vital seperti pusat pembangkit tenaga listrik, pusat pembuatan air minum, kantor pos, telepon dan telegraf, pusat penyiaran radio dan yang paling seram ialah ikut aktif dalam pertempuran merebut persenjataan BT Jepang baik yang di darat mau pun yang terpasang di kapal. Di mana –mana terpampang tulisan Milik Republik Indonesia dan senapan yang dikalungi secarik kain merah dan putih. Benar pemeo yang sering diungkap orang: “main main jadi sungguhan”.

Dengan memiliki “perlengkapan perang” yang bisa diperoleh dari BT Jepang terfikirlah kemudian pada para pelajar untuk menyempurnakan organisasi Gakkutotai menjadi Pasukan Pelajar Bersenjata untuk umumnya pelajar laki-laki dan disamping itu dibentuk Ikatan Pelajar Indonesia untuk perjuangan pelajar putri atau yang usianya masih terlalu muda, dengan semangat juang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Proses spontan ini berawal sekitar pertengahan September 1945 (selagi di Jakarta diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapangan Ikada) di Surabaya telah berlangsung perebutan dan pengambilalihan semua milik Indonesia yang selama itu digunakan oleh BT Jepang. Korban bergelimpangan dalam serunya letupan rentetan senapan mesin Jepang ditantang dengan tegar seruan Allahuakbar dan Merdeka dari mulut rakyat pejuang yang tak terhitung jumlahnya. Memang harus diakui bahwa “revolusi rakyat” skala kecil yang meletup di kota Surabaya dan rakyat kota Semarang bertempur melawan Kido Butai hanya merupakan ledakan kecil tetapi membangkitkan semangat seluruh Rakyat Indonesia untuk berbuat sama sehingga “kekuasaan” Jepang itu segera lenyap dalam badai Revolusi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Korban seperti yang terjadi pada revolusi rakyat 19 September 1945 Surabaya itu, tak terkira banyaknya karena rakyat hanya bersenjatakan persenjataan tradisional (keris, kelewang, tombak dan panah serta bambu runcing) harus berhadapan dengan persenjataan teknologis PD ke-II . Dalam pertempuran kita menderita banyak korban tetapi besar gaung revolusi rakyat kala itu, seperti yang diungkap dalam sasanti Jawa: “Jer Basuki Mawa Bea” setiap kemenangan tentu disertai pengorbanan.

Sesudah dalam beberapa peristiwa Jepang mengalami kekalahan dalam perangnya dan membutuhkan lebih banyak lagi dukungan masyarakat di daerah yang didudukinya Pimpinan Tertinggi Bala Tentara Jepang bersedia untuk memberikan janji “kemerdekaaan Indonesia di kemudian hari”. Meski dari segi ekonomi dan tenaga manusia/kerja dikuras habis-habisan untuk dipekerjakan sebagai romusha/kerja paksa.

Di bidang politik “janji politik” Jepang itu dimanfaatkan oleh para pemimpin bangsa untuk mempersiapkan segenap perangkat Hukum dan Politik untuk “menjemput” Kemerdekaan Bangsa. Pada salah satu sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin Bung Karno, dan Bung Hatta sebagai wakil dan Mr Ahmad Soebardjo sebagai penasehat. Tanpa izin Penguasa Jepang oleh Bung Karno keangautaan PPKI ditambah dengan 6 orang, yaitu:


  1. Wiranatakoesoesoemah,

  2. Ki Hajar Dewantoro,

  3. Mr. Kasman Singodimedjo,

  4. Sajoeti Melik,

  5. Mr. Iwa Koesoemasoemantri, dan

  6. Ahmad Soebardjo.

Sedang anggota yang mewakili pulau dan atau suku berjumlah 21 orang terdiri dari 12 orang wakil-wakil dari Jawa, 3 dari Sumatera, 2 dari Sulawesi, dan masing-masing 1 orang mewakili Kalimantan, Maluku, Sunda Kecil dan Keturunan Tionghoa. Mereka itu selengkapnya ialah:



  1. Ir. Soekarno,

  2. Drs. Moh Hatta,

  3. Dr. Radjiman Wediodiningrat,

  4. Oto Iskandardinata,

  5. Wahid Hasyim,

  6. Ki Bagus Hadikoesoemo,

  7. Soerjohamidjaja,

  8. M. Soetardjo Kartohadikusuma,

  9. R. P. Soeroso,

  10. Prof. Mr. Dr. Soepomo,

  11. Abdoel Kadir,

  12. Purubojo,

  13. Dr. Amir, Mr. Teuku Moh Hasan, Mr. Abdul Abas (Perwakilan Sumatera);

  14. Dr. G. S.S.J. Ratulangie, Andi Pangeran (Perwakilan Sulawesi);

  15. A.A. Hamidhan (Perwakilan Kalimantan);

  16. Mr. Gusti Ktut Pudja (Perwakilan Sunda Kecil);

  17. Mr. J. Latuharhary (Perwakilan Maluku); dan

  18. Drs. Tjwan Bing (Perwakilan Keturunan Tionghoa).

Pada kesempatan sidang paripurna yang pertama itu, Bung Karno menyampaikan suatu “pidato politik” sebagai suatu bahan untuk menyusun dan merumuskan “Dasar Dasar Negara” bagi negara Indonesia Merdeka yang dicita-citakan. Judul pidato itu menurut Bung Karno diterimanya sebagai saran dari seorang teman seorang ahli bahasa, yaitu “ Panca Sila” (Lima Dasar). Melalui perdebatan yang cukup seru karena adanya beberapa perbedaan faham dan “idee” dasar negara yang lain, wacana yang dikemukakan oleh Bung Karno dengan beberapa “perubahan” cukup prinsipiil akhirnya diterima sebagai “sumber” penyusunan landasan dasar negara yang dicitakan.

PPKI mendasarkan kepada kesepakatan mengenai sumber yang dasarnya dikemukakan oleh Bung Karno, kemudian dengan lugas menyusun dan merumuskan (Rencana) Undang-Undang Dasar dengan Bab Pembukaan/Preambule yang secara tegas menyatakan Faham Bangsa Indonesia tentang Kesejatian Dirinya, Keberadaan Dirinya dan Peran Dirinya sebagai Bangsa yang Bebas, Merdeka dan Berdaulat dalam pergaulan dan hubungan antar negara bangsa. Teks Panca Sila tersebut, tanpa disebutkan namanya, sepenuhnya dimuat dan diabadikan dalam butir empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 18 Agustus 1945. Seluruh isi Pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 itulah sesungguhnya menyatakan pengertian atau faham orang Indonesia tentang “bangsa”; (“nation“). Dengan demikian Faham Kebangsaan Indonesia adalah sebagai yang termuat dalam butir satu sampai ke-empat Pembukaan UUD RI 1945.


Yüklə 202,92 Kb.

Dostları ilə paylaş:
  1   2   3   4   5




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin