Bp. Achmad Chodjim



Yüklə 0,55 Mb.
səhifə13/22
tarix18.04.2018
ölçüsü0,55 Mb.
#48887
1   ...   9   10   11   12   13   14   15   16   ...   22

Bagian ke-13


[Lanj. Zuhud]
Di depan telah dijelaskan bahwa mayoritas manusia itu bersikap diam. Hanya jadi pak turut! Di Barat yang sudah maju pun begitu.

Sampai-sampai mereka punya pepatah “diam itu emas”. Ada ‘tetapinya’ di sina. Di Barat hak untuk berbicara dan berpendapat telah diberikan. Pendidikan diselenggarakan dengan baik. Komunikasi politis dibuat. Sehingga ‘diam’ punya makna bebas dari keributan. Diam beginilah dituntut oleh orang yang berzuhud. Bukan diam karena tak berdaya!
Jika sabar merupakan bentuk ketahanan terhadap sesuatu, maka zuhud merupakan sikap untuk berani menolak terhadap tekanan. Jadi, zuhud memang merupakan mata-rantai dari sabar. Untuk menghadapi sesuatu, kita harus mempunyai daya tahan dulu. Artinya, harus sabar! Tetapi tidak boleh berhenti di titik ini. Kalau kita berhenti, artinya kita tidak berdaya menghadapi tekanan lingkungan. Kita akhirnya terlindas, dan hanya sebagai permainan penindas. Rasul Saw memberi contoh kepada umat beliau. Pada awal perjuangan, beliau mengajak umat beliau untuk bersabar. Hal ini bisa dilihat pada surat-surat yang turun di awal kenabian beliau.
73:10 Dan bersabarlah [Muhammad] terhadap apa yang mereka katakan, dan jauhi [uhjur ] mereka dengan cara yang baik.
74:07 Dan untuk [memenuhi petunjuk] Tuhan engkau, bersabarlah!
70:05 Maka bersabarlah [Muhammad] dengan kesabaran yang indah!
Mohon diperhatikan ayat-ayat tersebut. Ada indikasi bahwa pada saatnya sabar harus ditingkatkan ke dalam bentuk ‘hijrah’, yaitu mampu mengatasi atau menjauhi tekanan hidup ini. Hijrah bukan untuk melarikan diri dari persoalan. Tetapi hijrah untuk menemukan jalan keluar, untuk mengatasi persoalan. Hijrah sebagai solusi. Hijrah demikian ini yang menjadi landasan berzuhud!
Hijrah sebagai kelanjutan dari sabar, harus dilakukan dengan cara yang baik, dengan dilandasi kesabaran yang indah. Kesabaran yang tidak menimbulkan kecurigaan musuh. Kesabaran yang strategis! Dalam bahasa manajemen, di tengah bangunan kesabaran itu ada strategi dan taktik untuk berzuhud. Dan zuhud ini meliputi tindakan berhijrah, berjihad dan beriman. Dan berhijrah ini pun tidak bisa dilakukan sekali jadi. Harus ada upaya ‘proaktif’ dan aktif. Rasul pun melakukan tindakan taktis, dengan memerintahkan umat beliau hijrah [pertama] ke Ethiopia. Kemudian beliau proaktif mencari daerah baru untuk berhijarah. Misalnya, beliau menjajaki dakwah ke Thaif. Meskipun di Thaif beliau mendapatkan sambutan yang tidak mengenakkan. Beliau diusir dan dilempari batu hingga beliau luka-luka.
Dalam kehidupan sekarang ini pun, kita harus membangun kesabaran yang indah. Kita harus bangun kesabaran yang strategis dan taktis! Dalam memecahkan sesuatu kita tidak bisa terburu-buru. Mengapa? Karena kita bukan hanya menghadapi orang yang menindas dan memusuhi kita. Kita juga menghadapi kelompok manusia yang sehaluan dengan kita, tetapi tindakannya merugikan kita. Dua hari yang lalu saya membaca suatu buletin ‘Dakwah Islam’ yang dikeluarkan oleh sebuah yayasan Islam. Tulisan dalam buletin itu jelas-jelas sangat merugikan buruh-buruh Islam. Penulis di buletin itu punya anggapan bahwa ‘kewajiban’ majikan/pengusaha hanya [sekali lagi, hanya] membayar buruh tepat pada waktunya’. Berbagai bentuk keuntungan, benefit, bonus, dan berbagai bentuk tunjangan kesejahteraan bukan kewajiban majikan/pengusaha. Penulis rupanya tidak mengerti perubahan “sistem berusaha, atau berekonomi”, sehingga berbagai bentuk kesejahteraan itu dikatakan sebagai “kewajiban negara”.
Coba bayangkan saudara-saudara! Di tengah-tengah globalisasi, ketika manusia [sekali lagi, manusia] berusaha menemukan makna hidupnya. Manusia berusaha hidup sejahtera dalam kesetaraan martabat. Manusia berusaha mendapatkan hak-haknya dengan cara yang benar [sesuai dengan bangunan ekonomi masyarakatnya], ada da’i yang menulis bahwa perjuangan buruh salah alamat. Ia tulis “kewajiban majikan” atau pengusaha hanya sebatas membayar upah [sesuai yang disepakati] tepat pada waktunya. Penulis samakan kualitas pengusaha sekarang sama dengan pengusaha-pengusaha di era Nabi Muhammad. Penulis samakan sistem dan bentuk perekonomian sekarang ini sama dengan sistem perekonomian di era Nabi Saw. Penulis lupa bahwa sistem perekonomian pada zaman Nabi adalah pertanian dan perdagangan. Dan sistem pertanian pun masih subsisten, lebih banyak untuk kebutuhan sendiri. Sedangkan perekonomian sekarang ini ada di era industri dan informasi. Celakanya, penulis itu menggunakan hadis yang hanya sesuai dengan masa itu.
Islam mengajarkan ‘sabar’ dan ‘zuhud’. Kesabaran yang indah! Bukan asal demo atau melakukan perusakan. Di tengah kesabaran itu harus dibangun strategi dan taktik untuk mendapatkan kemenangan, yang dalam bahasa sekarang disebut “win-win solution”. Sistem yang menang! Bukan pihak tertentu yang menang. Karena itu disebut ‘sama-sama menang’. Dan untuk sama-sama menang, kesabaran harus ditingkatkan ke tahap zuhud. Zuhud yang bersifat ‘jihadiyah’, perjuangan, ‘struggle’ untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Yaitu, hidup yang lebih baik di dalam negara, masyarakat, dan dalam institusi, ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur’.
Zuhud sebagai suatu tahapan pencapaian rohani, meliputi tindakan yang berlandaskan pada keimanan yang teguh, berhijrah, dan ber-jihad. Surat Makiyah yang memuat pernyataan tentang hijrah adalah surat ke-16, yaitu surat An Nahl. Pada ayat ini diinformasikan bahwa mereka yang berhijrah di jalan Tuhan [fi l-Lah] setelah mereka mengalami tekanan [kezaliman] akan mendapatkan kehidupan yang baik. Sesungguhnya informasi ini sesuai dengan pernyataan di ayat lain, yaitu “inna ma-‘a l-‘usri yusra”. Sesungguhnya di balik kesukaran itu terdapat kemudahan! Di balik kesukaran pasti terdapat kemudahan, bila disertai tindakan yang proaktif dan aktif. Tetapi kesukaran akan semakin sukar jikalau dibiarkan, atau dihadapi dengan pasif.
Tahap awal dalam zuhud adalah mempunyai iman yang teguh! Ingat, iman tidak sama dengan percaya. Meskipun dalam keimanan ada unsur kepercayaan. Iman harus dilandasi oleh pengetahuan. Dan ini merupakan tingkatan keimanan yang paling rendah. Keimanan yang lebih tinggi harus dilandasi oleh pengalaman. Jadi, bukan iman karena cuma tahu, tetapi karena mengalaminya. Dan, yang tertinggi adalah iman karena makrifat, karena memahami hakikat sesuatu yang dialaminya itu. Iman demikian juga dikenal sebagai “haqqu l-yaqin”. Tak ada lagi selaput keraguan. Kebenarannya sudah tersingkap. Zuhud yang demikian ini tentu saja jauh dari upaya mencari pujian atau kekuasaan, meskipun mungkin saja keduanya didapat. Makin kokoh keimanan seseorang, makin bersihlah motivasi hijrahnya.
Di samping kesabaran yang indah, hijrah pun harus dilakukan dengan baik. Sabar ke hijrah merupakan sambungan. Ada 3 macam hijrah, yaitu hijrah fisik, nafsani, dan rohani [spiritual]. Nah, orang yang hijrah secara fisik harus rela meninggalkan harta-benda yang dimilikinya. Hijrah fisik diperlukan bila tidak ada lagi tempat untuk mewujudkan kehidupan yang manusiawi. Hijrah fisik diperlukan bila usaha untuk mengembangkan martabat kemanusiaan sudah tidak ada lagi di tempat itu.
Berikutnya adalah hijrah nafsani, menjauhkan jiwa dari jeratan hawa nafsu. Fisik tetap tinggal di suatu tempat, tetapi jiwa tak terpengaruh oleh tarikan-tarikan kehidupan sekelilingnya. Di tengah-tengah orang ber-KKN, tak ikut terjerat KKN. Dia mampu berdiri tegar di tengah lingkungan yang busuk tanpa ikut menjadi busuk. Dan jenis hijrah yang lainnya adalah hijrah spiritual. Dia bukan hanya tak terpengaruh oleh tarikan lingkungannya, tetapi justru mempengaruhi lingkungannya. Dia berjuang untuk menghilangkan kebusukan yang terjadi di sekitarnya. Dia membangun kehidupan di atas puing-puing kebobrokan. Semua ini bisa dilakukan bila si zahid sudah tidak lagi tergiur oleh gebyarnya dunia. Jika memang secara fisik diperlukan, dia lakukan hijrah fisik. Bila ancaman dan gangguan fisik tidak ada, ia mampu bertahan hidup tanpa terpengaruh lingkungannya. Dan bilamana ia mampu, dilakukannya perombakan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik.
Tindakan berikutnya dalam zuhud adalah ‘jihad’. Kata jihad bukan berarti perang! Perang adalah bagian dari jihad, bila sudah tak ada cara lain untuk mempertahankan kehidupan ini. Dengan demikian, orang yang berjihad bukanlah orang yang dari semula sengaja memerangi orang lain. Perang adalah salah satu taktik dalam berjihad! Pertama, dilakukan untuk membela diri. Kedua, perang diperlukan untuk menjaga keamanan wilayah [teritorial]. Ketiga, perang diperlukan untuk melenyapkan musuh. Seorang zahid tidak boleh mencari atau menciptakan musuh. Tetapi seorang zahid harus berani memerangi musuh. Musuh itu apa? Ya apa atau siapa saja yang menyerang, menganiaya atau menghancurkan kehidupan kita.
Di bawah ini saya kutipkan beberapa ayat yang terkait dengan rangkaian tindakan dalam zuhud.
16:110 Dan sesungguhnya Tuhan engkau melindungi dan menyayangi orang-orang yang berhijrah setelah mendapatkan fitnah, kemudian mereka itu berjihad dan bersabar.
02:218 Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah; mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Melindungi [Pengampun] dan Maha Penyayang.
08:072 Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, dan orang-orang yang memberikan tempat perlindungan dan pertolongan; mereka itu tolong menolong di antara sesamanya.
08:074 Dan orang-orang yang beriman, berhijrah, berjihad di jalan Allah; dan orang-orang yang memberikan tempat perlindungan dan pertolongan; maka mereka itulah orang-orang beriman yang sebenarnya. Mereka memperoleh ‘maghfirah’ dan rezeki yang mulia.
09:020 Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka; di sisi Allah derajat mereka itu lebih agung, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keme-nangan dalam hidup ini.
Nah, marilah kita perhatikan ayat-ayat yang terkait dengan hijrah dan jihad di atas. Pertama, yang perlu dipahami adalah kalimat ‘di jalan Allah’. Suatu tindakan disebut berada di jalan Allah, bila tidak ada motivasi duniawi atau mendahulukan atau mengutamakan kepentingan diri-sendiri atau kelompok. Dalam bahasa sekulernya, yang diutamakan adalah kepentingan ‘kemanusiaan’. Jadi, tindakan di jalan Allah adalah tindakan yang bebas dari ambisi, dan berbagai macam keuntungan duniawi.
Kedua, beriman harus disertai dengan tindakan, aksi! Beriman tidak cukup hanya dengan kata-kata. Karena itu zuhud bukanlah tindakan pasif. Tak ada contohnya dalam Al Quran bahwa zuhud itu merupakan “no action”, tak ada tindakan. Tidak tertarik terhadap kehidupan dunia, tidak berarti putus asa karena tidak menguasai dunia. Dalam Islam orang yang menolak terhadap kehidupan dunia, bukanlah orang yang tidak berbuat apa-apa, dan mengasingkan diri dari keramaian. Zuhud dalam Al Quran adalah aktivitas untuk menegakkan kemanusiaan, membangun dan memperbaiki dunia, dan tidak terjebak atau terbelenggu dengan hasil usahanya. Untuk itu zuhud harus dilandasi dengan keimanan yang kokoh.
Ketiga, bila dilihat pembangunan kemanusiaan tidak bisa dilakukan di suatu daerah, dan bahkan ancaman dan gangguan menyelimutinya, maka daerah itu harus dijauhi [untuk sementara], dan dicari daerah lain yang memungkinkan untuk mengem-bangkan misi dan visi kemanusian, yang mencakup martabat dan kesejahteraannya. Jadi, bukan membiarkan kemerosotan dan kebobrokan terjadi. Jika kerusakan dibiarkan terjadi, dan yang terpenting ia bisa hidup tak diganggu, itu bukan zuhud namanya. Tetapi orang yang tak berdaya! Hidup harus punya makna. Hidup bukan sekadar bisa makan, berpakaian, dan bertempat tinggal. Manusia hidup untuk mengekspresikan dan mengapresiasikan kemanusiaannya. Karena itu, jika keadaan sudah tidak memungkinkan untuk mewujudkan kemanusiaan, maka kita harus hijrah.
Keempat, hijrah ternyata bukan hanya mencari tempat perlindungan yang baru. Hijrah juga bukan hanya meminta pertolongan untuk keselamatan jiwa-raganya. Hijrah ternyata merupakan suatu strategi. Karena itu, hijrah harus dilanjutkan ketahap ‘jihad’. Yaitu, jihad dengan menggunakan harta dan jiwa. Kalimat ‘harta dan jiwa’ ini konsisten di dalam Al Quran. Tidak ada yang terbalik menjadi ‘jiwa dan harta’. Mengapa? Karena yang diajarkan adalah perjuangan, bukan mencari kematian atau bunuh diri. Harta benda yang didapat, digunakan untuk perjuangan kemanusiaan.
Tentu saja bentuk dan sistem kehidupan sekarang ini tidak sama dengan di zaman Rasul Saw. Kita sekarang ini hidup di negara yang ‘berdaulat’. Batas-batas daulat suatu negara di era globalisasi ini sudah jelas, meskipun di beberapa negara masih ada sengketa perbatasan. Hak-hak asasi manusia diserukan di mana-mana, walaupun pada beberapa negara HAM masih merupakan pergulatan. Dalam sistem ‘nation-state’, negara kebangsaan, hijrah secara fisik, meninggalkan tempat tinggal lama menuju ke tempat tinggal yang baru untuk membangun kemanusiaan sudah kecil kemungkinannya. Di era informasi ini, hubungan antar negara semakin rumit. Aktivitas kemanusiaan murni bisa dituduh sebagai kegiatan politik dan subversi. Karena itu strategi jihad harus ditempatkan dalam hijrah pemikiran. Kita tidak perlu lagi mencari suaka. Yang kita perlukan adalah berpikir benar untuk bisa menegakkan kemanusiaan.
Jihad dengan harta dan jiwa harus ditumbuhkembangkan dalam pemikiran yang benar. Harta bukan sekadar untuk dibagi-bagikan, tetapi digunakan untuk membantu meningkatkan pendidikan [kualitas dan kuantitas]. Jiwa bukan untuk diserahkan kepada pedang atau peluru, tetapi untuk mencari solusi, untuk mencari alternatif-alternatif dalam menegakkan martabat manusia. Di zaman dulu perang fisik bisa menyelesaikan masalah. Tetapi di zaman sekarang, perang hanyalah untuk melampiaskan hawa nafsu [karena buntu dalam mencari jalan keluar] dan menghasilkan tragedi kemanusian, hanya balas-membalas dalam dendam.
Sekarang ini perang fisik hanya jalan terakhir, bila sudah tidak memungkinkan lagi menggunakan berbagai cara damai. Dan jangan lupa, cita-cita yang agung adalah menciptakan perdamaian dan kedamaian dalam hidup ini. Damai adalah salam, selamat, dan sejahtera. Setiap individu hidup di dalam kesetaraan [hukum, sosial, ekonomi, dan keamanan]. Itulah sebabnya orang yang zuhud [beriman, berhijrah, dan berjihad] disebut sebagai orang yang mendapat perlindungan, rezeki, dan kemenangan. Dan tentunya, mereka yang memberikan tempat tinggal dan pertolongan, adalah juga orang-orang zuhud, orang-orang beriman, yang sebenarnya.


Yüklə 0,55 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   9   10   11   12   13   14   15   16   ...   22




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin