Embun Pagi Nglindur



Yüklə 0,77 Mb.
səhifə5/13
tarix06.08.2018
ölçüsü0,77 Mb.
#67448
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   13

Motivator & Humanity


Oleh: Abdul haris Fitrianto
Siapa yang tidak kenal Andrie Wongso?

Siapa tidak kenal John C. Maxwell?

Mereka adalah beberapa dari tokoh–tokoh motivasi papan atas nasional bahkan internasional. Tugas mereka (antara lain), dengan kapasitas intelektual yang dimiliki, memandang gap yang ada pada relita dan sistem untuk kemudian memotivasi, memompa sumber daya manusia (SDM) agar mampu berfungsi optimal. Kata–kata seperti ”Siap..”, ”Sukses..”, ”Luar biasa..”, ”Berhasil..”, ”Semangat..” dikemas menjadi sesuatu yang istimewa untuk menyadarkan potensi setiap orang. Sungguh profesi yang sangat mulia, bermanfaat bagi banyak orang dan institusi. Mungkin juga menjadi motivator tidak hanya sekedar profesi, tetapi menuntut suatu bakat yang berakar dari berbagai soft skill dan hard skill. Tak ayal pada konteks kekinian bisnis motivasi telah menjadi lahan kerja prospektif. Hampir setiap hari kita dijumpai para motivator amatir yang belum lulus kuliah S1, hingga motivator yang kelas wahid dengan reputasi internasional melalui hasil karya, atau bahkan orangnya.

Jika memperhatikan momentum zaman, motivator memang telah lama ada seiring modernitas. Ketika memotivasi khalayak, semula banyak motivator menyajikan metode ceramah yang semi-indoktrinasi dalam ruang yang terbatas. Seiring perkembangannya, kini metode motivasi telah berkembang sedemikian rupa dalam bentuk latihan dan pengembangan (training and development); Sang motivator (trainer) hadir di ruangan dengan bersenjatakan laptop dan materi yang disajikan melalui slideshow powerpoint. Dan materi tersebut ditransformasikan pada trainee (peserta pelatihan) melalui layar yang ditembakkan dari sinar LCD. Tentu saja yang utama disamping perangkat tersebut adalah cara dan gaya penyampaian dari sang trainer. Selain metode tersebut, berbagai variasi motivasi banyak disajikan melalui metode outdoor games/ activity. Ada yang menyebutnya outbond. Tujuan dari berbagai metode pelatihan tersebut sama; Memotivasi trainee dengan benar, agar dapat menyadari dan memanfaatkan potensinya dengan optimal. Dengan kata lain ”kira-kira” menjadikan manusia ”seutuhnya” manusia.

Seperti yang telah tertulis di akhir alenia I, bahwa motivator (disini diperketat khusus pada trainer) di zaman modern ini semakin dibutuhkan oleh perusahaan (semakin besar dan semakin bonafide perusahaan, maka profesi motivator semakin dibutuhkan). Tugas motivator dalam perusahaan jelas; membangkitkan motivasi karyawan, menguak potensi SDM-nya, dan diaktualisasikan dengan optimal untuk bekerja bagi kepentingan perusahaan. Dalam bahasa kiasan, mungkin profesi ini mirip dengan ”suplemen”, yang dipercaya mampu memompa semangat serta kebugaran otot-otot altet agar tampil dalam kondisi maksimal. Atau bisa juga diibaratkan bensin dan pelumas yang membuat mesin kendaraan bekerja optimal.

Dengan didukung manajemen strategis perusahaan, rumusannya menjadi jelas, karyawan mendapat motivasi eksternal berupa gaji, dan mendapat motivasi internal yang diperoleh dari pelatihan dan pengembangan. Ketika karyawan dari berbagai lini dalam perusahaan bekerja optimal, maka hal ini akan berdampak positif; peningkatan pada grafik produksi dan pemasaran.

Industrialisasi-konsumerisme-motivator

Modernitas dengan industrialisasinya telah melahirkan konsumerisme. Berbagai perusahaan, dengan menggunakan perusahaan penyiaran dan iklan telah meninggalkan ”residu” ingatan tentang berbagai produk dalam alam prasadar setiap individu berupa image atau brand. Tanpa disadari, ini menjadi suatu sublimal conditioning (pengkondisian kognitif yang berlangsung dalam alam prasadar, setingkat di bawah kesadaran) personal. Jika dikaitkan dengan kebutuhan pada setiap orang. Selain itu berbagai metode pemasaran yang dianggap ”bebas nilai” didorong sehingga dapat diterima oleh berbagai masyarakat dengan latar belakang kelas, budaya, dan primordialisme yang berbeda-beda. Dari sinilah paradigma konsumerisme di ditanamkan.

Konsumerisme ini seakan menemukan daur-nya dalam hasil-hasil produksi perusahaan (karena memang itu yang diharapkan). Layaknya hukum permintaan-penawaran, gaya hidup konsumtif ini membutuhkan respon dari perusahaan dengan cara menggenjot produksi. Menggenjot produksi, berarti menyusun strategi agar volume produksi ajeg dalam kisaran tertentu. Dan agar ajeg dalam kisaran tersebut, maka dibutuhkan strategi kerja yang optimal dari seluruh lini departemen dan karyawan. Berarti, agar kinerja karyawan selalu optimal (selain keputusan pemegang kebijakan strategis perusahaan), maka tugas motivator—dan kebijakan direksi melalui HRD—adalah memotivasi, membentuk karakter, dan mengembangkan potensi. Hal ini menjadi ”nutrisi” wajib agar kepentingan perusahaan tercapai. Maka dari itu dalam konteks industrialisasi atau sistem ekonomi kapitalistik, peran motivator menjadi vital.

Dehumanisasi?

Pelatihan dan pengembangan SDM dalam konteks industri telah berkembang menjadi bisnis yang menjanjikan. Semakin padat industri, semakin banyak trainer, motivator, dan konsultan SDM yang dibutuhkan. Semakin banyak job dari perusahaan, semakin melambung pula ”nilai tukar” para ”pebisnis mental” tersebut. Dari kondisi inilah para motivator saling berkomptetisi mendapatkan job dari perusahaan.

Suatu kondisi keseimbangan menuju kemanusiaan menjadi rentan apabila; perusahaan hendak membeli program pelatihan dan pengembangan dengan harga murah, sementara para motivator (dengan lembaga pelatihan dan pengembangannya) harus berjibaku dengan sesamanya untuk mendapatkan proyek tersebut. Maka kondisi ini potensial memunculkan dilema; mempertahankan kualitas ideal program pelatihan dan pengembangan, atau mengukur kualitasnya berdasarkan harga yang diberikan perusahaan. Dengan bahasa lain, pelatihan dan pengembangan tidak lagi dihadapkan pada tujuan mengoptimalkan seluruh potensi pada setiap individu, tetapi ”disunat” seperlunya untuk mengaktifkan potensi individu (karyawan) yang sesuai kebutuhan perusahaan saja. Potensi manusia ditukar berdasarkan ”nilai dan guna”.

Lebih lanjut, dengan kondisi seperti di atas, maka pengembangan SDM diarahkan untuk memenuhi target perusahaan. Sedikit mengingat cita-cita luhur humanis yang ”memanusiakan manusia”, maka setiap orang mempunyai hak memperoleh kesempatan untuk mengaktualisasikan segala potensinya. Apapun potensinya, sekecil apapun potensi itu. Bertolak dari pandangan tersebut, maka sebagai salah satu profesi yang bergerak dalam bidang pengembangan SDM, sudah semestinya para motivator menyadari dan mempraktikkannya. Jika pengembangan SDM tidak di dasarkan pada tujuan humanisme, maka dalam batasan yang luas hal itu menjurus pada dikategori dehumanisasi.

Terakhir, ketika objek pengembangan SDM itu adalah manusia, kenapa praktiknya tidak disandarkan utuh pada prinsip–prinsip kemanusiaan? Atau disandarkan pada prinsip kemanusiaan, tetapi hanya setengah hati? Prinsip kemanusiaan yang ”disunat”?

Psikososiofisiomikrobioantropogeoteknologi

Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok


Menyebut kata sosiologi, antropologi, mikrobiologi, psikologi, dan logi-logi yang lain, pada akhirnya tak bisa dilepaskan dari disiplin, metode, obyektivitas, intersubyektivitas, dan ilmiah. Hal ini sedikit paralel, seperti ketika (saya lebih suka) menyebut sosiokapitalkomunisliberal-dan lain(-lain)isme.

Berbagai perihal di atas, yang selalu digosipkan dalam bangku sekolah, merupakan standarisasi kepandaian seseorang. Dengan mengetahui, dan mengerti definisi dari masing-masing kata tersebut, maka diandaikan pondasi masa depan telah terbangun. Dan secara tidak langsung, juga terdengar, bahwa hal-hal tersebutlah yang menjadi pondasi dari kehidupan manusia.

Setidaknya, akan ada banyak jempol teracungkan jika dengan lancar bisa menuturkan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang interaksi antar manusia dalam kehidupan sosial, dengan sedikit bumbu Weber, Durkheim, Comte; atau mendongeng struktur psiche (jiwa) manusia dalam perspektif Maslow, Lewin, Watson, ataupun Darmanto Jatman. Barangkali, akan dianggap sangat kreatif jika mampu melakukan sebuah penelitian dengan disiplin dan metode ilmiah, studi komparatif dengan berlembar-lembar kajian teori yang diketik ulang dari beberapa buku (plagiarisme akut telah terjadi di lingkungan kampus!), berlembar-lembar daftar pustaka, meski hanya akan memperbanyak tempat debu di rak-rak perpustakaan tanpa pernah terbuka kembali, bahkan oleh si peneliti sendiri.

Tetapi, ada beberapa kerancuan terkait dengan perihal tersebut. Logos, jika itu dimaknai sebagai ilmu, maka harus bersesuaian dengan apa yang dihadapi oleh si pelajar logos. Seringkali barisan rapi manusia, diperdengarkan dongeng tentang cara menanggulangi erosi di pegunungan, sementara lingkungan yang dihadapinya adalah pantai yang lebih berdekatan dengan abrasi. Logos dihadirkan sebagai sesuatu yang sangat jauh, sebagai perbincangan yang bersifat elite, yang hanya berdasar pada tuntutan kurikulum ”aneh”.

Selanjutnya, jika logos dimaknai sebagai sebuah kebenaran, justru yang terjadi adalah semakin memperlebar jarak antar kebenaran, sekaligus mempersempit jarak antara kebenaran dan kebohongan. Ketika baru membiasakan diri untuk membaca koran (dan tentu saja belum belajar merefleksikannya), kita ”dipaksa” meninggalkannya demi melihat dan mendengar video klip dalam tayangan televisi. Alih-alih menghadirkan logos adalah sesuatu yang bermakna luas, banyak, dan spesifik, tetapi justru tak saling terkoneksi dan kontradiktif satu sama lain. Sehingga secara tidak langsung, telah terjadi pemaksaan untuk mengagungkan sekeping dan menafikan kepingan yang lain.

Menyebut kata sosiologi, antropologi, mikrobiologi, psikologi, dan logi-logi yang lain, seharusnya membawa alur nalar kepada realitas. Tentang bagaimana melihat realitas dari kacamata “kata sebelum logi (—logi)”, juga tentang sisi “kata sebelum logi” dari realitas. Tetapi, pengandaian ini juga tak bisa diandaikan dengan mengambil jarak tertentu dengan realitas, sehingga bisa dengan leluasa mengamati realitas dan melihat detil-detilnya. Realitas, tak bisa diandaikan seperti televisi, yang bisa di lihat dari jarak minimal 3 meter, sesuai dengan anjuran kesehatan mata. Pun cara tersebut juga hanya akan memperlihatkan gambaran yang tersaji di layar televisi, tanpa bisa mengetahui kabel, dioda, lampu led, speaker, resistor, yang terangkai di dalamnya. Dan sampai di situ, juga tidak akan diketahui bagaimana koneksi yang terjalin mesra, antara televisi dengan satelit, sampai dengan artis-artis yang terlihat di layarnya.

Bahkan, untuk keluar dari ruang untuk melihat ruang, atau keluar dari rentang waktu untuk melihat jalannya waktu, juga sebuah kemustahilan. Sedangkan keduanya, waktu dan ruang adalah anasir dari realitas.

Satu-satunya yang bisa dipahami dari realitas adalah sesuatu yang bersentuhan langsung, baik melalui pikir, rasa, maupun indera. Maka, logos, paling tidak harus bersesuaian dengan hal tersebut. Baik logos dimaknai ilmu maupun kebenaran, ataupun logos yang di-sebagai-kan ilmu maupun kebenaran. Dan logos itu sendiri, selalu didahului oleh pembacaan, yang merupakan keseluruhan dari sensasi, persepsi, dan interpretasi. Atau, haruskah terjadi penambahan “logologi” dalam daftar mata pelajaran? Semoga saja tidak.



Beberapa Tanggapan

Oleh : Muhammad Taufiqurrohman


Pertama, soal “titik” (untuk selanjutnya saya tidak akan menggunakan tanda “...“ lagi karena saya anggap sudah mafhum). Titik yang saya maksud memanglah sebuah titik yang terbatas. Titik yang sebenarnya bukan titik. Dia hanyalah bayangan dari titik yang sejati. Titik yang sejati itu menurut saya tidak ”ada”. Saya percaya bahwa tidak ada ”sesuatu”pun yang paling akhir, juga titik itu. Oleh karenanya, yang sanggup kita bisa bicarakan adalah titik-titik yang sementara itu.

Jadi, akhirnya titik itu ada itu bukanlah dikarenakan ia ingin ada. Tidak, sesungguhnya dia terpaksa menjadi ada karena keterbatasan eksistensial. Tanpa ia ada, tanpa di tulis menjadi tanda (.) pun sesungguhnya ia ada. Titik selalu ada, tetapi titik yang selalu sementara. Tapi, bukan ”koma”. Kira-kira, titik yang saya anggap selalu ada—bahkan tanpa kita minta dan kita sadari—tersebut adalah titik yang benar-benar ada. Ia tidak koma, ia benar-benar titik dalam sebuah eksistensi yang ”terakhir”tapi terakhir yang tak benar-benar akhir.

Oleh karenanya, ia tidak pernah ”melampaui kapasitas definitifnya” karena memang ruang yang bisa dijangkaunya sudah penuh, tapi juga penuh yang sementara. Dia tidak melampaui tetapi dia membentuk ruang lagi yang baru yang selalu sama sekali lain. Dengan demikian, sejauh yang bisa saya pahami, sesungguhnya suatu titik pada saat yang sama adalah akhir sekaligus mula. Ia akhir bagi suatu eksistensi yang lama. Pada saat yang sama ia menjadi mula bagi eksistensi yang baru.

Dengan cara pandang inilah, menurut saya, esensialisme dan eksistensialisme lebih mudah untuk dilihat sebagai sesuatu yang tidak kontradiktif melainkan saling meng”ada”kan. Esensialisme adalah mula sekaligus akhir eksistensi, dan begitu pula sebaliknya. Ketegangan antara keduanya yang entah sampai kapan inilah yang menurut saya membedakan kita yang ”terbatas” dengan yang ”tak terbatas” itu.

Selanjutnya, soal epistemologi dan positivisme. Sejauh yang saya tahu, para pendukung ”post-post” itu tidaklah pernah mempermasalahkan epistemologi. Apa yang ingin mereka gugat dari positivisme adalah ketika hanya epistemologi ilmu alam yang digunakan untuk ”menemukan” semua ilmu pengetahuan, juga terhadap ilmu pengetahuan sosial/humaniora. Anarkisme epistemologi (epistemic violence) inilah yang ingin digugat oleh para ”post-post” tersebut terhadap positivisme. Para pendukung ”post-post” ini sesungguhnya memang tidak pernah mempersoalkan epistemologi. Sebab, sebagai sebuah jalan menemukan apa yang sejati, epistemologi tidaklah berwajah tunggal (dalam hal inilah saya menyebut batas yang samar antara ontologi dan epistemologi). Setiap hal memiliki epistemologinya sendiri-sendiri. Pencarian Ilmu Pengetahuan Alam memerlukan epistemologi yang tidak selalu sama dengan epistemologi Ilmu Pengetahuan Sosial. Demikianlah, jika dalam wajah epistemologi saja tidak tunggal apalagi wajah ilmu yang dihasilkannya. Oleh karena itu, kehadiran para pendukung ”post-post” itu sama sekali tidak berpretensi untuk mempersoalkan epistemologi melainkan justru dalam rangka merayakan pluralisme epistemologi. Mereka menggugat positivisme bukan epistemologi.

Dengan demikian, menurut saya, positivisme tidak hanya ”tidak dapat disebut sebagai” epistemologi melainkan ia memang benar-benar bukan epistemologi.

Keempat, tentang sosialis. Sebenarnya saya lebih suka memandang ”sosialis” ini dalam perspektif moral. Menurut saya, dalam perspektif inilah kata atau pengertian ”sosialis” ini lebih mendapatkan maknanya ketimbang jika dilihat dari perspektif sosial (sosiologi, antropologi apalagi sejarah). Dengan demikian, ia menjadi sesuatu yang jauh melampaui batas-batas apapun.

Mungkin filsafat ”sosialisme” Bambu dan Pisang ala Cak Nur dapat membantu menjelaskan konsep ”sosialis” yang saya maksudkan. Kira-kira begini (tentu saja dalam keterbatasan analoginya), bambu adalah pohon yang merelakan daun-daunnya lepas agar ”yang lain” (others/liyan) dapat juga menikmati cahaya yang jatuh dari langit dan apa saja yang menimpanya. Others itu bisa jadi tetangga-tetangganya (bambu di sampingnya), bisa jadi anak-anaknya (rebung yang ingusan), atau bahkan bisa jadi others yang bener-bener others (misalnya, pohon singkong di sampingnya).

Pisang, sebaliknya, adalah pohon yang tidak rela membagi cahaya yang datang menimpa dengan ”yang lain” tadi. Lihatlah daun pisang, ia menjulur panjang ke segala arah mata angin. Sampai sejauh mana panjang daun itulah wilayah kekayaannya. Ia merasa segala tanah—bahkan yang di luar tempat berdirinya sejauh tanah itu ada di bawah kekuasaan daun-daunnya yang menjulur itu—adalah miliknya. Tidak demikian dengan bambu. Kekayaan bambu hanyalah tanah dimana dia berdiri. Dia sadar bahwa semua tanah di luar tempat ia berdiri bukanlah tanahnya. Dia bahkan tak pernah ”merelakan”nya, ia memang ”membiarkan”nya demikian. Ia sudah merasa cukup dengan tanah tempat ia ada. Karena memang semua tanah yang di luar dirinya bukanlah miliknya. Bahkan tanah tempat ia berdiri yang ia rasa sebagai ”milik”nya, juga mungkin bukanlah tanah yang benar-benar miliknya.

Demikianlah, bambu yang tidak meniatkan untuk memberi kebebasan justru memberikan kebebasan bagi ”yang lain” itu untuk turut hidup dan berkembang. Sebaliknya, pisang yang tampaknya mengayomi dan membebaskan itu justru akhirnya tidak memberikan kebebasan pada ”yang lain”. Sebatang bambu bahkan tidak pernah menunggu ”tua” dan ”roboh” untuk melihat anaknya tumbuh. Tidak demikian halnya dengan pisang yang menunggu dirinya dirobohkan (saking serakahnya) untuk memberikan kebebasan berkembang bagi yang lain yang sama sekali baru. Demikianlah kisah bambu dan pisang.

Demikianlah saya memahami “sosialis”. Kenyataan bahwa pernah ada dalam sejarah manusia seperti Muhammad, Gandhi, Hatta, Nelson Mandela, Sukarno, (Edi Subkhan Muda juga mungkin bisa dimasukkan dalam golongan ini) dll, bagi saya, adalah harapan optimisme akan tetap adanya orang-orang ”sosialis” di dunia ini. Orang-orang yang sesungguhnya mempunyai peluang sangat besar untuk menumpuk kekayaan pribadi (karena mempunyai kompetensi-kompetensi pribadi yang luar biasa untuk itu) tetapi memilih untuk merasa cukup sekadarnya saja untuk hidupnya agar ”yang lain” dapat juga berkembang bebas seperti dirinya. Dan disinilah mungkin saya menyebutnya sebagai pilihan intuitif-kategoris (untuk tidak menyebutnya imperatif).

Dari sinilah, saya tetap berpendapat bahwa filantropis bukanlah sosialis. Filantropis (khususnya filantropis-filantropis super-konglomerat) adalah memberikan harta ”curian” kepada orang yang yang hartanya mereka ”curi”. Pun tidak mengembalikan sepenuhnya hasil curian itu. Bahkan hasil curian yang dikembalikan itu mungkin hanyalah nol koma sekian persen. Sedang sosialis bukanlah pencuri. Sosialis adalah ia yang memberikan harta kepada ”yang lain” dengan cara ”tidak mempunyai harta” atau ia mempunyai harta tetapi bukanlah harta hasil curian. Jika ia hidup cukup hanya dengan nol koma satu persen dari jumlah hartanya maka akan ia berikan 99,9 persennya kepada ”yang lain”.

Demikianlah pengertian saya tentang ”sosialis”. Saya tidak tahu apakah Muhammad, Gandhi dan teman-temannya tadi adalah benar-benar sosialis dalam pengertian saya. Saya juga tidak tahu adakah orang yang benar-benar ”sosialis” seperti itu di negeri ini (juga Edi Subkhan Muda) sekarang ini. Tetapi paling tidak mereka adalah orang yang paling mendekati definisi saya tentang siapakah ”sosialis”, si bambu itu. Celakanya, menurut saya the very example of sang pisang di negeri ini sekarang ini tak lain adalah orang macam Abu Rizal Bakrie.

Pertarungan” Kaum “Liberal”: Kontradiksi Berfikir Bryan Caplan


Oleh : Giyanto
Akhir minggu ini, di Mises Institute Blog terjadi ”pertarungan” sengit antar pendukung Perbank-an Bebas Baku emas dengan pendukung Per-bank-an bebas Fractional Reserve Bank (FRB). Saya kira diskusi sengit seperti ini tidak akan kita lihat di negeri kita. Karena intelektual di negeri kita memang kebanyakan keturunan Beo.

Terlepas penilaian kasar saya tersebut. Dalam ocehan kali saya akan sedikit mengomentari tentang makna filsafat kebebasan. Dalam hal ini tentang bagaimana seharusnya dunia per-bank-an dijalankan. Ketika seseorang mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung ideologi pasar bebas, seharusnya dirinya tidak terjebak dalam alur logika yang kontradiktif dengan filsafat yang diusungnya.

Semisal argumen Bryan Caplan yang mendukung sistem FRB. Konon Caplan adalah seorang anarkis pasar bebas yang mendukung hak milik individu, tapi dalam argumennya membela sistem FRB. Dia secara gegabah mendukung bahwa tabungan seseorang boleh saja dibagi-bagi kemudian diutangkan ke beberapa orang dengan nilai yang berlipat ganda. Artinya, ketika sebuah bank memiliki cadangan dana 10 milyar maka dia boleh saja memberi pinjaman kepada pengusaha senilai 100 milyar. Pertanyaannya, darimanakah uang 90 milyar tersebut didapat?

Menurut pendukung Caplan yang mengaku liberal tersebut, uang 90 milyar merupakan hasil nilai jaminan yang diberikan pengusaha kepada per-bank-an dengan nilai yang setara diberi oleh nilai agunan sang pengusaha. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sebuah Bank tidak dapat dikatakan mencuri hak milik penabung dengan back up agunan aset sang pengusaha—menurut pendapat Caplan.

Berbeda dengan paham penganut sistem Perbankan Deposit dengan cadangan emas. Mereka, Mises-Rothbard dkk, dengan prinsip hak milik mengatakan bahwa seharusnya jumlah deposit Bank harus setara dengan jumlah ”nota uang” yang beredar di pasar, ataupun setara dengan jumlah uang yang dipinjamkan kepada pengusaha. Jadi tidak ada ”perlipatan” nilai uang di Per-bank-an. Terlepas efek buruk sistem FRB yang dapat memicu terjadinya krisis. Saya akan mencoba menyoroti dari sisi prinsip filsafat pasar bebas yang saya pahami.

Salah satu prinsip dasar paham pasar bebas adalah adanya pengakuan hak milik pribadi. Dalam sistem ini, apabila diterapkan dalam konsep sistem perbankan kita, maka sang penabung memiliki hak penuh terhadap tabungannya. Seorang Banker harus secara penuh menjamin keamanan simpanan sang nasabah. Adapun resiko apabila terjadi kehilangan, perampokan, ataupun kredit macet adalah resiko yang memang seharusnya ditanggung oleh Banker. Ini adalah sesuatu yang wajar dalam berbisnis. Kalaupun ada gagal bayar kredit dari seorang pengusaha, seharusnya yang dikorbankan bukanlah sang nasabah yang menabung di Bank. Tanggungjawab tersebut sepenuhnya harus dipikul bersama oleh Banker yang meminjamkan dana dan juga pengusaha yang meminjam uang di Bank tersebut. Bukan sebaliknya, harus dipikul oleh nasabah dengan kehilangan dananya—hal ini yang pernah kita lihat ketika terjadi “rush” tahun 2007, nasabah dibatasi pengambilan dananya cuma Rp. 20 juta. Apakah ini namanya disebut keadilan? Ketika orang mengambil hak miliknya tapi dilarang pemerintah melalui pembatasan jaminan.

Kembali ke argumen Caplan. Menurut saya, Bryan Caplan—tokoh idola para ekonom 'liberal' kita—tidak dapat membedakan antara menabung dan berinvestasi. Ketika seseorang berniat menabung, apa yang diharapkannya adalah mengurangi ketidakpastian masa depan. Sehingga dirinya menyimpan sebagian dananya untuk mengurangi resiko masa depan.

Berbeda dengan berinvestasi. Seorang investor dengan sengaja mengambil resiko untuk mendapat keuntungan. Jadi dalam benak sang investor, dia akan siap menanggung segala apapun resiko asalkan dia mendapat keuntungan. Apabila suatu saat sang investor tidak dapat mendapakan kembali dananya, dia akan siap dengan konsekuensi tersebut. Dan apabila dia mendapatkan keuntungan berdasarkan resiko yang dia ambil, itu juga merupakan balasan yang setimpal atas pilihannya.

Jadi menurut saya, Bryan Caplan, melalui sistem FRB yang didukungnya, menumpangtindihkan antara tujuan menabung dengan investasi. Dengan kata lain, dengan sistem FRB, sang penabung harus ikut menanggung segala resiko yang menjadi pilihan sengaja sang investor.

Jadi disini, menurut saya, sistem FRB yang mengklaim diri bahwa dirinya adalah penganut pasar bebas yang menjamin kepemilikan individu, tidak dapat dikatakan sebagai liberal sejati. Barangkali benar apa yang dikatan oleh seorang teman, bahwa musuh terbesar bagi gerakan liberalisme adalah kaum liberal itu sendiri!



Setelah Postmodernisme

Oleh : Edi Subkhan


Sebuah karya besar yang patut kita apresiasi dan menjadi bahan rujukan dalam cultural studies adalah Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan oleh Yasraf Amir Piliang (2004), terutama terbitan paling akhir oleh Jalasutra. Dalam pengantarnya, penerbit Jalasutra menyatakan bahwa, “...banyak pemikir kontemporer yang diulas cukup panjang dan ‘cair’ pemikirannya oleh Yasraf, ternyata nyaris ‘tak tersentuh’ dan ‘tak diulas detail’ oleh penulis kebudayaan lainnya” (2004: 34).

Dunia yang Dilipat berangkat dari realitas baru, yang tercipta akibat pemadatan, pemampatan, peringkasan, pengecilan, dan percepatan dunia. Betapa tidak, merunut pada logika Yasraf, berjilid-jilid buku yang dulu memenuhi satu lemari, sekarang dimampatkan dalam sebuah flashdisk seukuran jari kelingking kita; mengirim surat dari Demak ke Denmark tak perlu menunggu berhari-hari, dalam hitungan detik lewat e-mail, surat kita sudah sampai; kita pun tak perlu berdesak-desakan mengantre tiket film di bioskop, karena film-film bermutu telah dimampatkan dalam bentuk home theatre (VCD, televisi). Dengan kata lain batas-batas kebudayaan itu kini seakan runtuh, dan kita sekarang hidup dalam dunia yang telah kehilangan batas. Tidak ada lagi batas antara realitas dan fantasi, antara asli dan tiruan, antara kenyataan dan simulacrum, antara seni dan kitch, antara normalitas dan abnormalitas, antara feminin dan maskulin. Batas-batas tersebut telah didekonstruksi, dan meninggalkan sebuah dunia dengan segala hal yang berada di dalamnya tumpang tindih, campur aduk, bahkan seakan-akan kemampuan untuk membuat kategori, klasifikasi, dan taksonomi hilang (2004: 37).

Realitas baru tersebut, dengan mengambil perspektif budaya, disebut Yasraf sebagai panorama kebudayaan yang seakan-akan bagaikan tubuh tanpa organ, atau setidak-tidaknya tubuh yang mengalami kekacauan organisme. Fenomena ini telah meninggalkan berbagai enigma (teka-teki, misteri) yang harus dicari jawabannya, berbagai ketidakpastian harus dicarikan tafsirannya, dan berbagai indeterminasi harus dicarikan maknanya. Realitas baru ini tiada lain adalah produk dari modernitas yang meyakini manusia dan kesadaran sebagai sentrum dan motor penggerak kemajuan peradaban. Yasraf menyatakan, bahwa para pemikir posmodern seperti Lyotard, Jameson, Hyssen pada umumnya melihat perspektif yang sama mengenai peralihan dari modernitas menuju posmodernitas. Mereka rata-rata sepakat bahwa sifat-sifat kemajuan, rasionalitas, dan universalitas yang mencirikan modernitas dianggap telah berakhir. Dan konon kita kemudian memasuki wacana posmodernitas yang dicirikan oleh titik balik kemajuan, irasionalitas, dan pluralitas, dan perjalanan ke masa lalu.

Peralihan dari Narasi Besar (metanarasi) seperti komunisme, imperalisme, feminisme etnosentrisme, eurosentrisme ke arah narasi-narasi kecil seperti kebudayaan, lokal, dan etnik merupakan ciri dari kondisi posmodernitas seperti yang digambarkan oleh Lyotard, sebetulnya masih belum dibuktikan oleh pelbagai realitas yang ada. Yasraf menyatakan bahwa yang terjadi di negara-negara Eropa Timur adalah disintegrasi menjadi negara-negara kecil yang merdeka, yang justru berkembang pesat adalah kebudayaan kapitalisme global beserta ekses prostitusi, diskotik, McDonald, komodifikasi olahraga, industrialisasi budaya, dan sebagainya.

Di titik inilah Yasraf bergerak melewati posmodernitas menuju ke arah ekstrimitas, yakni suatu kondisi ketika segala sesuatu berkembang melampaui batas ilmiahnya, ketika segala sesuatu bergerak melewati maksimumnya, ketika segala sesuatu meloncat meninggalkan titik terjauhnya. Yasraf mencontohkan operasi plastik, misalnya, adalah kondisi ketika rekayasa tubuh telah berkembang melampaui sifat alamiah dari tubuh itu sendiri; kloning (reproduksi organis lewat rekayasa genetika) adalah kondisi ketika rekayasa reproduksi telah melewati sifat alamiahnya dari reproduksi itu sendiri; teledildonik, yaitu ketika seks melalui dan/atau terhadap jaringan komputer adalah kondisi ketika kegiatan seks tidak lagi berada di dalam seksualitas yang alamiah; lagi, perkembangan Super Mall misalnya, adalah suatu kondisi ketika pasar bukan lagi sekadar transaksi jual-beli, tetapi telah berkembang menjadi arena difusi kebudayaan, penanaman nilai-nilai, dan transaksi gaya hidup.

Di titik inilah Yasraf menyatakan, bahwa yang dihadapi sekarang bukanlah berhentinya pergerakan sosial-budaya sebagaimana dicirikan oleh diskursus seni posmodern, melainkan semakin meningkatnya percepatan sosial dan kebudayaan, sehingga ia berkembang ke arah titik melampaui sosial dan kebudayaan itu sendiri. Memang sifat-sifat modernitas seperti kemajuan, rasionalitas, dan universalitas sebenarnya belum berakhir. Dengan menyitir Jean Badrillard, semuanya berkembang ke arah hyper, yaitu kondisi ketika setiap sifat atau aktivitas sosial berkembang ke arah titik ekstrim, ke arah kondisi melampaui batas-batas alamiahnya. Wacana sosial dan kebudayaan sekarang menuju pada kondisi hipermodernitas (hypermodernity), yaitu kondisi ketika segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo kehidupan menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana bertumbuh ke arah ekstrim.

Globalisasi telah menggiring ke arah berakhirnya sosial atau lenyapnya batas-batas sosial. Konsep seperti integrasi, nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan solidaritas, tampak semakin kehilangan realitasnya, dan pada akhirnya menjadi mitos. Proses akhir sosial ini dipercepat dan mencapai keadaan maksimalnya di tangan media dan informasi seperti televisi dan internet yang menciptakan berbagai simulasi relasi sosial. Sekarang yang ada bukanlah komunitas yang diikat oleh satu ideologi tertentu, melainkan individu-individu yang satu sama lain saling berlomba dalam sebuah arena duel, kontes tantangan, rayuan, dan godaan masyarakat konsumer (bukan konflik sosial sebagaimana yang dikatakan Marx). Batas antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa tak dapat dipilah lagi ketika majalah porno, video biru, atau disket cyberporn yang dapat dibaca baik oleh anak-anak maupun orang dewasa; batas antara proletariat dan borjuis lenyap dalam arena konsumerisme; batas antara penguasa dan teroris lenyap di tangan simulasi teroris sebagaimana teror yang direkayasa oleh penguasa sendiri; dan batas antara kebenaran dan kepalsuan lenyap di tangan hiperealitas media dan informasi.

Di era hipermodernitas ini, salah satunya adalah, realitas kebudayaan sarat oleh citraan (image) yang datang dan pergi silih berganti dengan kecepatan tinggi. Sebagaimana gejala obesitas atau kegemukan yang melanda masyarakat kontemporer, kita pun kini berada di dalam semacam obesitas citraan dan informasi, yakni semacam kelimpahruahan informasi dan citraan. Dengan kata lain, kita dikepung oleh informasi dan citraan dari segala penjuru. Tak hanya citraan di dalam media, tetapi dunia sehari-hari kita pun sudah berubah menjadi citraan-citraan. Segala sesuatu tampak berada di atas panggung, di atas arena, di dalam layar; segala sesuatu berlomba-lomba di dalam satu duel citraan, setiap citraan menantang citraan-citraan lainnya dalam sebuah kontes, di dalam sebuah rekayasa citraan. Kesegaran informasi dan kecepatan citraan telah menembus batas-batas teritorial, sehingga tidak ada lagi batas-batas teritorial atau ruang yang dapat menahan agresivitas informasi dan fantasmogoria citraan yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi. Orang yang merasa aman di dalam rumahnya yang dilindungi oleh alarm sistem modern dan pintu otomatis, ternyata tidak aman dari agresi televisi yang mengubah, meringkas, mengemas, dan merepdoduksi bencana alam, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, kekerasan, kebrutalan, kesadisan, keserakahan, kecabulan, ketidakacuhan yang berada di mana-mana dan secara simultan membawa dan menghadirkannya di atas panggung tontonan rumah.

Bagi Yasraf, berakhirnya berakhir karena pertumbuhan, kemajuan, dan kebaruan sebagai ciri modernitas telah kehilangan spirit. Dengan kata lain, modernitas telah kehilangan tujuan teleologisnya, dan kini menjadi bagian rutin dari masyarakat konsumer yang bergantung pada produksi secara terus menerus yang dengan demikian sangat bergantung pada kemajuan rutin semata. Intinya, modernitas telah bergerak melewati batas tujuan teleologisnya (misalnya masyarakat adil makmur atau masyarakat tanpa kelas) dan kini menghamba pada masyarakat konsumer atau kapitalisme global, yang disebut Yasraf sebagai masyarakat fatalistik yang telah kehilangan arah tujuan, dan semata menggantungkan serta menghanyutkan diri di dalam irama produksi dan konsumsi, pergantian gaya dan gaya hidup, dalam penampakan dan prestise. Yang diinginkan oleh masyarakat konsumer dan kapitalisme adalah perkembangbiakan kapital, percepatan produksi dan konsumsi, dan pergantian seperti image, produk, kebaruan yang tanpa henti-hentinya. Setiap kategori tidak saja berkembang biak dalam tempo yang tinggi, akan tetapi mereka juga rentan terkena kontaminasi. Dalam ranah sosial dan kebudayaan, seks tidak lagi berada di dalam seks itu sendiri, tetapi di mana-mana. Politik tidak lagi terbatas pada jagad politik itu sendiri, tetapi di mana-mana. Semuanya telah mengkontaminasi ranah kehidupan lainnya, seperti ekonomi, sains, seni, dan olahraga.

Dengan penjelasan tersebut, Yasraf menyatakan bahwa sangat tidak memadai dan sulit rasanya untuk berpijak pada penjelasan mengenai kondisi sosial setelah berakhirnya modernitas sebagai satu kondisi titik balik sejarah dan pluralisme radikal, sebagaimana diklaim oleh para pendukung posmodernitas. Yasraf menyatakan bahwa dalam millenium ketiga tersebut, terdapat realitas baru kebudayaan. Pertama, dari abad teknologi ke abad citraan; kedua, dari era mekanik ke era mikroelektronik; ketiga, dari realitas ke hiperealitas; keempat, dari order menuju chaos; dan kelima, dari space menuju hyperspace. Dalam membahas itu semua, Yasraf mengemukakan beberapa indikator untuk membahas kondisi tersebut; pertama, bahwa perkembangan sistem teknologi tampaknya akan terus berlanjut dan akan memengaruhi keputusan-keputusan estetik. Ia bahkan berkembang ke arah complex system bahkan ke arah chaos, bersamaan dengan itu akan tercipta pula semacam kompleksitas kebudayaan, baik dalam objek, teknologi, metodologi, dan idiom. Kedua, tekanan ekonomi pasar bebas telah merubah konsep manusia posmodern tentang waktu, diri, individu, keluarga, masyarakat, ruang, waktu, bangsa, dan negara. Ekonomi pasar bebas menuntut bahwa cara-cara fragmentasi budaya, kelenyapan batas, pastiche, kolase yang mencirikan posmodernisme tampaknya akan terus berlanjut pada abad ke-21. Namun, sekali lagi ia akan berhadapan dan dipengaruhi oleh batasan-batasan moral. Ketiga, tekanan moral menyangkut kemanusiaan dan lingkungan yang terus meningkat, termasuk tekanan-tekanan pada objek kebudayaan.

Dengan tiga indikator tersebut, maka Yasraf merasa diperlukan pendekatan baru kebudayaan harus diterapkan menghadapi perkembangan tersebut. Metodologi baru harus dikembangkan, yang mampu menangani data yang kompleks, halusinatif, kontradiktif, serta terus berubah. Dengan agak memberanikan diri, Yasraf menyatakan bahwa realitas kebudayaan abad ke-21 merupakan perkawinan yang harmonis antara faktor ekonomi, teknologi, dan etika, menggantikan perkawinan yang meriah antara teknologi simulasi dan libido yang menandai kebudayaan posmodernisme. Yang mungkin terjadi adalah semacam titik balik dari kondisi yang sebelumnya diciptakan oleh posmodernisme, yaitu dari kondisi abnormalitas ke arah normalitas etika, dari vulgaritas ke arah italitas bentuk, dari amoral ke arah revitalisasi moral, dari despiritualisasi ke arah respiritualisasi kebudayaan. Tanda-tanda ke arah ini semakin tampak akhir-akhir ini, dengan berpalingnya kembali masyarakat pada kearifan-kearifan masa lalu, pada kekuatan-kekuatan supranatural, pada keputusan-keputusan irasional, pada agama.

Panoptikon Dan "Emoh Sosial": Menyapa Foucault


Oleh: Muhammad Taufiqurrohman
Saya bermula dari sebuah kegelisahan yang sederhana dan jamak. Kita seringkali mengeluh begini, “orang-orang pada sadar bahwa ada masalah di lingkungannya dan juga sadar bahwa dia juga menjadi korban dari masalah itu, tetapi; mengapa semua diam dan tak mau beraksi untuk merubah keadaan?”.

Anda bisa menginventarisir contoh masalah macam ini di lingkungan mana saja. Coba kita lihat di lingkungan mahasiswa, misalnya. Di banyak kelas, para mahasiswa sudah gerah sekali dengan para dosen yang sering bolos dan kalau memberi nilai semaunya sendiri. Belum lagi kualitas si dosen yang sekualitas guru TK. Maka terjadilah perbincangan kecil diantara mereka di kantin, di kos, di masjid, di jalan-jalan bahkan di saat dosen sedang mengajar mereka. Hasutan, cacian, makian, cercaan, sumpah serapah terlontarkan di ruang-ruang kecil mereka. Tetapi apakah mereka berani berbuat sesuatu untuk melakukan perubahan keadaan di ruang-ruang publik baik secara tersisitematis atau secara “manual”? Misalnya mengajak dosen bicara empat mata, mendatangi dosen mengajak dialog, melakukan protes terbuka apalagi demonstrasi? Mengapa ini terjadi bahkan pada sebuah lingkungan yang sangat kecil?

Di lingkungan yang lebih luas kita bisa menyaksikan fenomena serupa. Catat saja, di lingkungan fakultas, universitas, kepala desa, kabupaten, provinsi, negara bahkan hubungan antar negara. Berapa banyak orang yang mengeluhkan kenaikan biaya SPP tetapi berapa banyak yang mau menyuarakannya. Berapa banyak orang yang mencaci keputusan kenaikan BBM tetapi berapa banyak yang melakukan demonstrasi. Berapa banyak yang mengumpat Amerika tetapi berapa banyak yang berani turun ke jalan. Berapa banyak lagi kasus-kasus serupa terjadi dengan juga berapa banyak orang-orang yang terlibat memperjuangkannya?

Tiba-tiba kita merasa sampai pada sebuah jalan buntu yang sepertinya “normal” tapi rancu dan aneh; orang-orang sadar menjadi korban tetapi mereka diam tak bersuara dan tak berbuat sesuatu. Mengapa fakta yang janggal bin aneh ini terjadi di banyak tempat dimana-mana dari dulu hingga sekarang?

Hampir semua kita yang merasa peduli pada “masalah bersama” atau “masalah sosial” dengan setengah frustasi pasti pernah merasakan perasaan yang sama seperti itu. Juga, pasti muncul pertanyaan yang sama; mengapa bisa begitu? Apa hal-hal yang menyebabkannya? Bagaimana membuat orang-orang tersebut sadar dan berani merubah keadaan? Apakah saya hanya akan berhenti pada pertanyaan-pertanyaan ini?

Bagi anda yang percaya dengan teori konstruksi sosial maka mari kita telusuri bersama masalah ini dengan saya. Pertama-tama, sebuah konstruksi sosial pasti berkaitan dengan konteks yang melahirkannya. Di mana dan kapan semua fakta “emoh sosial” tadi terjadi. Kita menjawabnya bahwa era kapitalisme lanjutlah yang melahirkan masyarakat yang demikian. Jika iya, bagaimanakah mekanisme kapitalisme lanjut bekerja melahirkan masyarakat yang “emoh sosial” seperti tadi? Bisa-bisanya kapitalisme lanjut mengindividualkan manusia sekaligus juga menjadikannya sebagai korban dari sistem yang dibuatnya itu?

Lalu saya bertemu dengan “sejarah kecil” tentang salah satu teori Michael Foucault, yaitu teori Panoptikon. Apa itu Panoptikon? Sederhananya, Panoptikon adalah mekanisme produksi kekuasaan melalui internalisasi pengawasan. Anda pasti tahu bahwa pengawasan selalu mensyaratkan pengetahuan. Seorang bapak yang mengawasai anaknya pasti juga mengetahui anaknya. Soalnya adalah jika ternyata si bapak hanya sekali mengawasi dan memergoki anaknya pacaran tetapi ternyata si anak selalu merasa terus diawasi oleh bapaknya dimanapun dia berada saat pacaran. Inilah panoptikon.

Sebenarnya, Foucault belajar dari proposal Jeremy Bentham, seorang filsuf Inggris, tentang konsep penjara modern di abad ke 16 yang dia beri nama Panoptikon. Inti dari konsep penjara yang digagasnya adalah para tahanan merasa selalu diawasi oleh penjaga walaupun pengawasan sudah tidak berjalan. Hal ini dimungkinkan karena desain penjara tersebut membuat para penjaga dapat melihat para tahanan tetapi tidak sebaliknya. Artinya, para tahanan tidak dapat melihat para tahanan dikarenakan desain penjara yang memang begitu. Apa intinya, relasi pengetahun dengan kekuasaan atas tubuh melalui internalisasi pengetahuan. Sedikit saja dari apa yang dikatakan Foucault dalam Discipline and Punish: “.... he(the prisoner) always becomes the object of information, but never be a subject of communication… “ (….dia—tahanan—selalu menjadi obyek informasi, tetapi tidak pernah menjadi subyek komunikasi).

Lalu, apa yang memungkinkan semua itu terjadi? Adalah modernisme. Anda tahu, bagaimana konsep hukuman zaman pra-modern adalah hukuman yang visible (kasat mata) seperti hukum pancung, hukum ditindih gajah, hukum ditarik kuda, dll. Ada pergesaran “konsep” tentang apa itu hukuman yang mengiringi lahirnya modernisme. Juga berbagai macam hal mulai tentang kegilaan, seksualitas, kesehatan, dll. Ini satu fakta (Lain waktu kita bicara detail soal ini). Dan bagaimanakah modernisme dengan segala konsep yang belum pernah ada di zaman sebelumnya berkaitan dengan kapitalisme? Bagaimanakah Foucault berbicara tentang relasi kekuasaan dan pengetahuan dan modernisme dan kapitalisme dalam sebuah tema kecil benama Panoptikon? Lalu bagaimanakah semua itu berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan kita diatas tadi?

Setelah bermain-main dengan Foucault nanti, pertanyaan yang juga cukup penting adalah bagaimana membuat tahanan sadar untuk tidak hanya menjadi objek informasi tapi juga menjadi subyek komunikasi (anda bisa mengganti kata “tahanan” itu dengan siswa, pasien, tawanan, warga, mahasiswa, dosen, aktivis, buruh, dll dan dalam tingkat tertentu adalah instansi-instansi misalnya instansi Fakultas Bau Sekali di bawah pengawasan Universitas Neng Nong Ning Glung atau negara Indonesia dibawah imperialisme Amerika dan PBB, dll). Bagaimana cara mengubah posisi obyek-subyek tersebut? Bagaimanakah subyek dikaitkan dengan segala konsep yang dihasilkan modernisme semacam penjara, rumah sakit, perusahaan, dll? Juga, terlebih jika dikaitkan dengan kapitalisme lanjut?

Saya mengira-ngira jawabannya nanti adalah seputar bagaimana membuat sistem panoptikon itu tidak berjalan. Salah satu caranya adalah dengan pengabaian sistem panoptikon tersebut. Bagaimanakah mekanisme pengabaian tersebut? Lalu apakah dampak dari pengabaian itu yang tidak terhitungkan sebelumnya? Yaitu, sesuatu yang sangat dekat dengan “kebudayaan” kita, yaitu kolektivitas. Tapi bukan kolektivitas “seolah-olah” melainkan kolektivitas yang sadar. Bagaimana bisa?

Kira-kira, bagi saya selanjutnya adalah bahwa tidak begitu penting lagi berbicara tentang kolektivitas atau individualitas. Yang penting bagi saya kemudian adalah apakah kolektivitas “yang sadar” ataukah hanya kolektivitas “seolah-olah” hasil disciplinary/“aturan-aturan”? Kolektivitas yang sadar, saya kira itu pilihan bagi semua yang resah tentang “emoh sosial’ tadi. Soalnya kemudian adalah mungkinkah impian akan kolektivitas sadar itu terjadi? Dan setujukah anda jika saya menyatakan bahwa semua itu terserah pada diri anda sendiri sepenuhnya?


Etika dalam Sketsa Sistem Peradilan Pidana


Oleh : Awaludin Marwan

Perhatian yang sering ditujukan pada sistem peradilan pidana sebagian besar terletak pada penegakan hukum (law enforcement). Persoalannya bukanlah terletak pada diskursus tentang subtansi hukum (legal subtance), bukan pula budaya hukum (legal culture), melainkan menitik beratkan pada stuktur hukum (legal strukture). Penegakan hukum dibutuhkan mesin-mesin yang berupa aparat penegak hukum yang kuat dan mumpuni.

Betapa kita bisa melihat, tiada gunanya kebijakan di bidang hukum pidana menuai tingkatan kesempurnaan yang paling tinggi, namun tidak di dukung aparat yang mampu melaksanakannya. Sama halnya merumuskan kebijakan yang mubazir. Maka pelaksanaan regulasi hukum ini sepatutnya diimbangi dengan kemampuan aparat pelaksana dalam peng-implemantasi-an.

Banyak perhatian ditujukan dalam rangka mengkontsruksi bangunan terbaik struktur hukum atau aparat pendukung hukum. Karena posisinya paling strategis di dalam penegakan hukum, jadi aparat hukum pantas menjadi pilar penyangga lemah-kuatnya hukum di jalankan. Sebagaimana yang di tegaskan oleh Normand M. Garland dan Gilbert B. Struckey. Mereka mengkonstatasikan sebagai berikut :

...The law enforcement officer plays a key role in the succesful prosecution of criminal defendant. During the investigation of a crime, officer interview witness, perverse the crime scene, and collect physical evidence, all of wich is essential in proving a defencent gulty beyond a reasonable doubt at trial. Sometimes officer whould like to avoid appearing in court on their days off, required to cancel or cut their vacations short, or have to give up their precius hours of sleep to be court. Also many officers, like most wtness, ae apprehensive about appearing in court. Nonetheless, the officer must overcome al of these difficulties and do his or her best when this all-important final phase of the criminal process”

Ya, aparat penegak hukum memainkan peranan cukup “vital”. Karenanya melingkupi pembuktian yang memunculkan fakta-fakta di persidangan dapat di singkapnya. Investigasi, wawancara saksi-saksi, pengumpulan bukti-bukti persidangan, yang tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan. Proses pembuktian yang komponen cukup vital tak bisa dipisahkan dari proses di pengadilan ataupun bagi seseorang yang mendapatkan keadilan. Penegak hukum harus memiliki kemampuan dan kapasitas untuk melakukan semuanya itu, menegakan hukum dan menjalankan elemen teknis dalam proses sistem peradilan pidana.

Kendati demikian, pada kenyataannya pencapaian aparat hukum untuk melaksanakan kententuan regulatif banyak menemui kebuntuan. Di antara sebab yang muncul akibat ketidakberdayaan atau ketidakcakapan aparat penegak hukum, juga ada faktor lain yang berupa sikap-sikap oknum atau sekelompok dari struktur penegak hukum (aparat) yang melakukan perbuatan tidak wajar. Penyimpangan, kelalaian, kesalahan, dan bahkan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia–kekerasan pada pemeriksaan, penghilangan barang bukti, penerimaan suap, dst–yang perlu untuk direkontruksi, dekonstruksi dan kontruksi akan kajian terhadap struktur hukum (aparat penegak hukum).

Yang tertinggal, ataupun mungkin tidak banyak begitu diperhatikan, adalah konsep etika yang diakulturasikan bersamaan dengan teks-teks hukum dan aturan main (rule of play) di dalam membina struktur hukum (aparat penegakan hukum). Etika hakim, jaksa, polisi, pengacara, mungkin telah ada dalam teks, namun eksistensinya tidak pernah dibicarakan secara mendalam dan bahkan tak menyentuh esensi dari produk etis itu sendiri. Meskipun demikian, teks etika implisit ini sekurang-kurangnya memiliki pengaruh dalam menentukan sikap dan tindakan aparat penegak hukum. Di dalam kekuarangan teori dan konsep etika di teks-teks kode etik aparat penegak hukum, pelanggaran kode etik ataupun lapisan struktur komisi penegakan etika profesi sudah memperlihatkan banyak kemajuan. Etika menawarkan jalan menuju ke profesionalisme dan keadilan di dunia hukum. Hal senada di tegaskan oleh, Sam Souryal, bahwa ”Code of ethics serve two major purposes. First, they provide moral guildelines for practitioners of criminal justice….Second, codes of ethics define professionalism behavior in the work place”.

Nah, disamping etika bisa mendekatkan proses yang mengarahkan ke jalan menuju keadilan, keberadaan etika akan meningkaktkan profesionalisme aparat penegak hukum. Professionalisme menduduki posisi yang cukup penting dalam melaksanakan dan mengimprovisasi jalannya hukum ke arah yang manusiawi dan baik. Dua jaminan yang dikemukakan oleh etika cukup menggiurkan, yakni keadilan dan profesionalisme. Tidak ada tujuan lain dalam penegakan hokum,kecuali keadilan. Sedangkan penegakan hukum yang baik tersebut tak akan bisa dimungkinkan terjadi apabila aparat penegak hukumnya tidak memiliki profesionalisme.

Profesionalisme menentukan perkembangan hukum yang lebih hidup di dalam penegakan hukum. Hukum yang tak hanya terbujur kaku berupa teks-teks yang tidak bisa dilaksanakan, namun benar-benar diperlukan dan dirasakan pelaksanaan. Bukan tidak mungkin, kode etik dibanyak bidang profesi dirumuskan guna meningkatkan profesionalisme dibidang profesi tersebut supaya bisa orang menjalankan apa yang seharusnya dan apa yang sepatutnya, tidak hanya mati kaku karena terdapat ketidakberdayaan dalam menginterpretasikan teks-teks undang-undang dan kebingungan melaksanakannya, namun ada semangat dari metanarasi yang berupa hembusan etis guna membangkitkan sikap dan tindakan yang baik, benar dan juga tepat.

Etika menempatkan profesionalisme dan pencarian keadilan sebagai hal penting bagi institusi, guna meningkatkan fungsinya dalam masyarakat pada umumnya. Karena kedua halnya yang tak bisa dipisahkan dalam menerapkan etika dalam penegakan hukum, yakni yang disebut oleh Souryal sebagai The Dual Essence of Criminal Justice: The Social Order and the Moral Order. Bagaimana moral individual yang mencapai sikap dan tindakan etis bagi aparat ini mampu di kombinasikan ke luar dan membaur dengan moral kolektif kemasyarakat? Souryal memungkinkan bagaimana moral individual aparat bisa di satukan dengan apa yang di sebut moral masyarakat. Dia mengutarakan bahwa:

...the demographic and social differences among communities, affluennt or unverprivileged as the case may be, require different approaches at the administration of justice.....”

Dapat kita lihat bahwasanya kebutuhan yang dapat kita tangkap dari segmentasi pengelompokan masyarakat, atau singkatnya kepentingan sosial kemasyarakatan, sangat mempengaruhi guna menyempurnakan kinerja dan struktur penegak hukum. Tidak hanya guna menjalankan hukum, tapi penggapaian keadilan secara bersama-sama. Struktur dan kinerja aparat penegak hukum haruslah sesuai dengan kebutuhan, keinginan, dan harapan masyarakat terhadap hukum. Memang Souryal menyampaikan etika itu hingga pada pencapaian etis dari konsepsi yang di tawarkan oleh Stoiscism (epictetus); material hedonism (Arristippus), intellectual hedonism (Epicurus), knowledge (Plato), moral character (Aristoteles), religion (St. Augustine), nature & power (Hobbes & Nietzsche), duty & reason (Kant), utilitarianism (Bentham&Mill), dan social justice (Rawls). Namun yang terpenting dalam sketsa sistem peradilan pidana itu adalah kuatnya refleksi diri oleh penegak hukum, tranformasi, artikulasi, dan agregasinya dengan kepentingan, kebutuhan, keinginan, dan harapan masyarakat. Itu saja.

Tentang Kata, Kemudian Makna (?)


Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok

Pada ujian tengah semester beberapa minggu lalu, dalam mata kuliah Komunikasi Antar Pribadi, saya mendapatkan soal yang kurang lebih berbunyi begini: “Bahasa, sebagai alat komunikasi, selalu bersifat multiple meaning. Jelaskan hal tersebut, disertai contoh!”.

Jika tidak salah, multiple meaning dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan “mempunyai arti banyak”. Dalam pengandaian ini, hubungan antara kata-makna diandaikan sebuah hubungan yang mutlak, bahwa kata selalu mempunyai makna tertentu, dan makna itu tidaklah tunggal. Kata, sebagai penanda (signifier) selalu merujuk pada sesuatu, yang disebut petanda (signified), yang tidak tunggal.

Kata “kursi” misalnya, selalu merujuk pada benda yang bisa diduduki, berbentuk angka 4 terbalik.

Dalam konstruk semacam ini, kemudian saya bertanya-tanya. Jika kata adalah anasir dari bahasa yang memang mempunyai fitrah sebagai alat komunikasi manusia, lalu (dan tetapi) di mana letak peran manusia dalam relasi kata-makna tersebut? Paradigma semacam itu justru menganggap kata dan bahasa sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya, telah selesai, dan berdiri sendiri. Dan manusia, dianggap seperti tong, yang hanya bisa menampung apapun yang dimasukkan ke dalamnya. Manusia, dipandang sebagai sesuatu—bukan seseorang—yang takk punya kemampuan apapun. Tapi bisakah, bahasa dilepaskan dari manusia?

Kita, manusia, berhubungan dengan diri sendiri dan liyan (yang lain), melalui satu proses, yang disebut “komunikasi”. Sedang alat yang digunakan adalah “bahasa”. Bahasa yang saya maksudkan di sini, tentu saja bahasa sebagai fungsi—bukan definisi—yang bukan sekedar susunan kata, tetapi juga bahasa tulis, cakap, dan laku. Bahasa di sini adalah sesuatu (dalam bentuk apapun) yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan “apa yang ingin disampaikan”. Dalam bahasa, sebagai alat komunikasi, selalu ada pengirim, penerima, dan maksud (pesan) itu sendiri.

Saya, melalui tulisan ini, berbicara kepada Anda, dengan maksud tertentu. Kemudian Anda berusaha untuk memahami, dan meraba-raba apa yang saya maksudkan. Apa yang Anda lakukan tersebut, adalah suatu proses, yang disebut “menafsir; menginterpretasikan”. Anda, manusia, adalah “seseorang”, bukan sekedar “sesuatu”, dan karena itu selalu membawa kemampuan untuk mendistorsi. Di sinilah, titik sentral yang membuat ”makna” (sengaja saya bubuhi tanda petik) kata selalu bersifat dinamis dan tak pernah sampai titik yang final. Sehingga rabaan Anda tentang “apa yang saya maksudkan”, bisa berakhir secara penuh, tidak penuh, lebih dari penuh, atau justru sama sekali berbeda dari “apa yang saya maksudkan”. Selalu ada distorsi dalam proses komunikasi.

Mungkin demikian, yang dimaksudkan oleh Jaqcues Derrida, bahwa makna sebuah kata, tidak pernah hadir secara utuh. Makna, hanya diandaikan hadir, dan itu disebutnya sebagai “metafisika kehadiran”. Seperti ketika berjalan di atas tanah yang agak basah, akan ada bekas jejak yang terbentuk. Dan makna kata adalah jejak-jejak tersebut, yang jika kita telusuri, kita hanya menemukan jejak lagi, dan lagi.

Juga Roland Barthes, dengan langkah yang lebih jauh, mengatakan bahwa “penulis telah mati”. Maksud saya, mungkin Barthes ingin mengatakan bahwa dalam sebuah proses komunikasi, pengirim pesan telah mati, dan yang hidup hanya tinggal penerima pesan, melalui penafsiran yang dilakukannya. Makna bukan tidak ada, melainkan selalu tersembunyi dalam kepala pengirim pesan, adalah maksud si pengirim pesan. Sedangkan si pengirim pesan tak bisa menyampaikannya tanpa melalui bahasa. Di sisi lain, penerima pesan pun tak bisa langsung menerima makna. Dia hanya bisa mengira-ira (melalui tafsir dan interpretasi) maksud dari kata yang disampaikan oleh si pengirim pesan.

Saya, menuliskan panjang lebar, dengan rangkaian banyak kata (dan pengandaian makna) semacam ini, terkait dengan trajektori hidup saya, dari lahir sampai sekarang. Juga Anda, yang membaca dan menafsirkan apa yang saya tulis, mempunyai trajektori hidup yang tentu berbeda dengan saya. Manusia selalu sudah berada dalam konstruk budaya, bahasa, struktur pergaulan, dan sebagainya. Tetapi saya bisa bercakap lancar dengan teman-teman saya, juga dengan Anda, karena keuntungan atas keterlemparan kita di dunia. Hal ini terjadi karena adanya persinggungan dalam trajektori hidup kita, bahwa saya dan Anda, sama-sama terlempar di ruang geografis yang sama (kota Semarang, misalnya), dalam bahasa yang sama (setidaknya bahasa Jawa dan Indonesia, misalnya). Dan kita, yang terlahir dengan semua yang sudah ada—dalam hal ini adalah budaya dan bahasa—dalam berkomunikasi, secara tidak langsung telah menyepakati “makna” tersebut.

Sebagai contoh, dalam Kompas Mahasiswa edisi Oktober 2008, terdapat sebuah artikel berjudul “Diskursi Homoseksual”. Saya, yang secara kebetulan berposisi sebagai pembaca, sebenarnya tidak pernah menemui kata “diskursi” sebelumnya, dan mungkin kata tersebut memang tidak ada di dalam kamus Bahasa Indonesia jika saya berusaha mencarinya. Tetapi, sebelumnya saya pernah menemui kata “diskursus”, sehingga saya memutuskan untuk memahami “diskursi” sebagai “diskursus”. Hal yang sama juga terjadi saat saya membaca tabloid Nuansa (entah edisi berapa, saya lupa), yang terdapat artikel berjudul “Prestisisme Intelektual”. Seperti kata “diskursi”, saya pun mengalami kesulitan dalam mengira-ira makna kata tersebut. Kemudian saya mencoba memahami artikel tersebut, dan menyimpulkan “mungkin yang dimaksud penulisnya adalah “elitisme”, bukan “prestisisme”, lepas dari ketidaksetujuan saya terhadap alur pikir penulis artikel tersebut.

Dari contoh tersebut terlihat bahwa manusia, dan secara tidak langsung budaya, memberikan pengaruh besar dalam proses ke-tidakselesaian bahasa. Meskipun kata “diskursi” dan “prestisisme” bukanlah kata yang wajar digunakan, toh kata tersebut terlanjur digunakan (hal ini juga bertalian dengan pengaruh ”kuasa”, dan memang tidak dibahas di sini) Dengan proses yang identik, maka akan selalu lahir kata baru dalam bahasa tertentu. Dan makna yang dirujuk dalam setiap kata, selalu dalam posisi mengambang, yang dengan leluasa ditarik ke sana atau ke sini.

Saya ingin mengajak Anda membayangkan, bahwa kita (hanya saya dan hanya Anda) adalah manusia pertama di Bumi. Kemudian saya berucap “palu” seraya menunjuk pada tubuh saya, dan berucap “sandal” seraya menunjuk pada Anda. Mungkin saja, sampai keturunan kita berkembang menjadi ribuan, kata “palu” adalah “saya”, dan “sandal” adalah berarti “Anda”, dalam pemahaman kita sekarang.

Kata, bagi saya tidak tepat jika disebut multiple meaning. Kata, dalam keterkaitannya dengan makna, selalu bersifat multitafsir, karena terdapat jarak, antara ”apa yang dimaksud” oleh pengirim pesan dengan apa yang ditangkap oleh penerima pesan. Dan dalam jarak tersebut, hanya penerima pesanlah, yang bisa selalu aktif, untuk terus menelusuri jejak-jejak makna.




Yüklə 0,77 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   13




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin