Lhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-29, masih berada di bawah Kitab A



Yüklə 1,07 Mb.
səhifə27/31
tarix06.08.2018
ölçüsü1,07 Mb.
#67437
1   ...   23   24   25   26   27   28   29   30   31

LAKUM TUFLIHUUN". Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan carilah jalan menuju kepada-Nya, dan berjuanglah pada jalan-Nya agar kamu selalu mendapat kebahagiaan". (QS. Al Maidah: 35) Abul Said Al-Khudri.ra meriwayatkan bahwa Rasalullah saw bersabda, "Barang siapa keluar dari rumahnya menuju Masjid untuk menunaikan shalat, kemudian membaca doa berikut: "Ya sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan semua orang yang memohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu dengan berkat perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar (menuju Masjid) dengan sikap angkuh, sombong, riya’ ataupun sum'ah. Aku keluar (menuju Masjid) demi menghindari murka-Mu dan mengharapkan ridha-Mu. Oleh karena itu, kumohon Engkau berkenan melindungiku dari siksa Neraka, dan mengampuni semua dosaku. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau." (Barang siapa membaca doa ini), maka Allah menyambutnya dengan wajah-Nya dan 70 ribu Malaikat memohonkan ampun untuknya." (HR Ibnu Majah dan Ahmad) Sejumlah ulama besar dalam Ilmu Hadis, para Muhadist, menyatakan Hadis ini sebagai Hadis Sahih dan Hasan, di antaranya adalah: Ibnu Khuzaimah, Mundziri, Abul Hasan (guru Mundziri), Al Ibnu Hajar, Syarafuddin Ad-Dimyathi, 'Abdul Ghani Al­Maqdisi dan Ibnu Abi Hatim." Dalam Hadis di atas disebutkan dengan jelas bahwa Nabi Muhammad saw bertawassul dengan kemuliaan semua orang yang berdoa memohon kepada Allah, baik mereka yang masih hidup, telah meninggal dunia, maupun yang belum lahir di muka bumi ini. Dalam kitab Al-Kabir wal Awsath, Al-Imam Thabrani rhm. meriwayatkan sejarah Fathimah binti Asad.rha, Ibu Sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika wafat, Rasulullah saw memberikan pakaiannya untuk dijadikan kain kafan. Kemudian beliau memerintahkan Usamah bin Zaid, Abu Ayyub Al-Ansharl, 'Umar bin Khaththab dan seorang pemuda berkulit hitam untuk menggali lubang kubur. Mereka pun melaksanakan perintah Rasul saw. Namun, ketika hendak menggali liang lahat, Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk berhenti. Kemudian dengan kedua tangannya yang mulia, beliau sendiri yang menggali liang lahat dan membuang tanahnya. Setelah selesai, beliau berbaring di dasar kubur dan kemudian berkata: "Allah adalah yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah Mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad dan bimbinglah dia untuk mengucapkan hujjahnya serta luaskanlah kuburnya, dengan hak (kemuliaan) Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari semua yang berjiwa kasih." Setelah itu Rasulullah saw menshalatkan jenazah beliau dan memakamkannya dibantu oleh 'Abbas dan Abu Bakar Ash­Shiddiq. (HR Thabrani) Menurut Al-Hafidzh Al-Ghimari.rhm Hadis di atas merupakan Hadis Hasan, sedangkan menurut Ibnu Hibban.rhm adalah Hadis Sahih. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari sahabat Anas.ra. Lalu, diriwayatkan pula Ibnu Abi Syaibah dari sahabat Jabir.ra, dan diriwayatkan pula Ibnu Abdul Barr dari sahbat Ibnu Abbas.ra Dalam Hadis di atas disebutkan dengan jelas bahwa Rasalullah saw bertawassul dengan diri beliau sendiri dan dengan semua Nabi sebelum beliau. Dalam sebuah riwayat, Sayidina 'Umar bin Khaththab ra menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Ketika Adam berbuat kesalahan, beliau berkata, 'Duhai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Muhammad agar Engkau mengampuniku." Allah pun berkata, 'Hai Adam, bagaimana kau dapat mengenal Muhammad sedangkan ia belum Kuciptakan.' Adam menjawab, 'Duhai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan Tangan-Mu dan Engkau tiupkan kepadaku dari Ruh-Mu, kutengadahkan kepalaku dan kulihat pada tiang-tiang Arsy tercantum tulisan yang berbunyi “Laa ilaha illallahu Muhammadun Rasulullah”, Aku pun tahu bahwa tidak mungkin Engkau sandarkan sebuah nama dengan nama-Mu, kecuali ia adalah makhluk yang paling Engkau cintai.' Allah berfirman, "Kau benar hai Adam, sesungguhnya dia (Nabi Muhammad saw) adalah makhluk yang paling Kucintai. Berdoalah kepadaku dengan (bertawassul dengan) kemuliaannya, sesungguhnya aku telah mengampunimu. Dan andaikata bukan karena Muhammad, aku tidak akan menciptakanmu.” (HR Hakim) Beberapa ulama Muhadist besar dalam Ilmu Hadis menyatakan Hadis ini sebagai Hadis Sahih, di antaranya adalah: Imam Hakim, Al-Hafidz Qasthalani, Zarqani, As-Subki, Al-Hafidz Al-Haitsami. Dalam Hadis di atas disebutkan dengan jelas bahwa Nabi Adam AS bertawassul dengan Nabi Muhammad saw bahkan jauh hari sebelum beliau saw diciptakan oleh Allah SWT. Sahabat Bilal bin Harits juga pernah berwasilah dengan Nabi Muhammad saw.. dimana nabi itu sudah wafat, sebagaimana diterangkan dalam hadits dibawah ini: "INNAN NAASA ASHAABAHUM QAHTHUN FII KHILAAFATI UMARA RADHIYALLAAHU 'ANHU FA JAA-A BILAALUN BIN HAARIST, WAKAANA MIN ASH HAABII RASUULILLAAHI SHALLALLAAHU 'ALAIHI WASALLAMA ILA QABRIN NABIYYI SHALLALLAAHU 'ALAIHI WASALLAM WAQAALA: YAA RASULULLAAH, ISTASYQI LI UMMATIKA FAINNAHUM HA LAKUU" Artinya: "Bahwasannya musim kemarau menimpa manusia pada zaman khalifah Umar ra. maka seorang sahabat nabi, bernama Bilal bin Harits datang ke makam nabi saw. dan beliau berkata: Ya Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka hampir binasa". (HR. Baihaqi dan Ibnu syaibah dengan sanad shahih). Allah SWT sudah memerintah kita melakukan tawassul/wasilah, Allah SWT mengenalkan kita pada Iman dan Islam dengan perantara makhluk-Nya, yaitu Nabi Muhammad saw sebagai perantara pertama kita kepada Allah SWT, lalu perantara kedua adalah para sahabat, lalu perantara ketiga adalah para tabi’in, demikian berpuluh puluh perantara sampai pada guru kita, yang mengajarkan kita islam, shalat, puasa, zakat dll, barangkali perantara kita adalah ayah ibu kita, namun diatas mereka ada perantara, demikian bersambung hingga Nabi saw, sampailah kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah/patuhlah kepada Allah SWT dan carilah perantara yang dapat mendekatkan kepada Allah SWT dan berjuanglah di jalan Allah SWT, agar kamu mendapatkan keberuntungan” (QS.Al-Maidah-35). Ayat ini jelas menganjurkan kita untuk mengambil perantara antara kita dengan Allah, dan Rasul saw adalah sebaik baik perantara, dan beliau saw sendiri bersabda : “Barangsiapa yang mendengar adzan lalu menjawab dengan doa : “Wahai Allah Tuhan Pemilik Dakwah yang sempurna ini, dan shalat yang dijalankan ini, berilah Muhammad (saw) hak menjadi perantara dan limpahkan anugerah, dan bangkitkan untuknya Kedudukan yang terpuji sebagaimana yang telah kau janjikan padanya”. Maka halal baginya syafaatku” (Shahih Bukhari hadits no.589 dan hadits no.4442) Hadits ini jelas bahwa Rasul saw menunjukkan bahwa beliau saw tak melarang tawassul pada beliau saw, bahkan orang yang mendoakan hak tawassul untuk beliau saw sudah dijanjikan syafaat beliau saw. Tawassul ini boleh kepada amal shalih, misalnya doa : “Wahai Allah, demi amal perbuatanku yang saat itu kabulkanlah doaku”, sebagaimana telah teriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam hadits yang panjang menceritakan tiga orang yang terperangkap di goa dan masing masing bertawassul pada amal shalihnya. Dan boleh juga tawassul pada Nabi saw atau orang lainnya, sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab ra, bahwa Umar bin Khattab ra shalat istisqa lalu berdoa kepada Allah dengan doa : “wahai Allah.., sungguh kami telah mengambil perantara (bertawassul) pada Mu dengan Nabi kami Muhammad saw agar kau turunkan hujan lalu kau turunkan hujan, maka kini kami mengambil perantara (bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas bin Abdul Muttalib ra) yang melihat beliau sang Nabi saw maka turunkanlah hujan” maka hujan pun turun dengan derasnya. (Shahih Bukhari hadits no.964 dan hadits no.3507). Riwayat diatas menunjukkan bahwa : Para sahabat besar bertawassul pada Nabi saw dan dikabulkan Allah SWT. . Para sahabat besar bertawassul satu sama lain antara mereka dan dikabulkan Allah SWT. . Para sahabat besar bertawassul pada keluarga Nabi saw (perhatikan ucapan Umar ra : “Dengan Paman nabi” (saw). Kenapa beliau tak ucapkan namanya saja?, misalnya Demi Abbas bin Abdul Muttalib ra, namun justru beliau tak mengucapkan nama, tapi mengucapkan sebutan “Paman Nabi” dalam doanya kepada Allah, dan Allah mengabulkan doanya, menunjukkan bahwa Tawassul pada keluarga Nabi saw adalah perbuatan Sahabat besar, dan dikabulkan Allah. . Para sahabat besar bertawassul pada kemuliaan sahabatnya yang melihat Rasul saw, perhatikan ucapan Umar bin Khattab ra : “dengan pamannya yang melihatnya” (dengan paman nabi saw yang melihat Nabi saw) jelaslah bahwa melihat Rasul saw mempunyai kemuliaan tersendiri di sisi Umar bin Khattab ra hingga beliau menyebutnya dalam doanya, maka melihat Rasul saw adalah kemuliaan yang ditawassuli Umar ra dan dikabulkan Allah. Dan boleh tawassul pada benda, sebagaimana Rasulullah saw bertawassul pada tanah dan air liur sebagian muslimin untuk kesembuhan, sebagaimana doa beliau saw ketika ada yang sakit : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin tuhan kami” (shahih Bukhari hadits no.541 3, dan Shahih Muslim hadits no.2194), ucapan beliau saw : “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa beliau saw bertawassul dengan air liur mukminin yang dengan itu dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah SWT tentunya, sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya, juga beliau bertawassul pada tanah, menunjukkan diperbolehkannya bertawassul pada benda mati atau apa saja karena semuanya mengandung kemuliaan Allah SWT, seluruh alam ini menyimpan kekuatan Allah dan seluruh alam ini berasal dari cahaya Allah SWT. Riwayat lain ketika datangnya seorang buta pada Rasul saw, seraya mengadukan kebutaannya dan minta didoakan agar sembuh, maka Rasul saw menyarankannya agar bersabar, namun orang ini tetap meminta agar Rasul saw berdoa untuk kesembuhannya, maka Rasul saw memerintahkannya untuk berwudhu, lalu shalat dua rakaat, lalu Rasul saw mengajarkan doa ini padanya, ucapkanlah : “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (Shahih Ibn Khuzaimah hadits no.1219, Mustadrak ala shahihain hadits no.1180 dan ia berkata hadits ini shahih dengan syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim). Hadits diatas ini jelas-jelas Rasul saw mengajarkan orang buta ini agar berdoa dengan doa tersebut, Rasul saw yang mengajarkan padanya, bukan orang buta itu yang membuat-buat doa ini, tapi Rasul saw yang mengajarkannya agar berdoa dengan doa itu, sebagaimana juga Rasul saw mengajarkan ummatnya bershalawat padanya, bersalam padanya. Lalu muncullah pendapat saudara-saudara kita, bahwa tawassul hanya boleh pada Nabi saw, pendapat ini tentunya keliru, karena Umar bin Khattab ra bertawassul pada Abbas bin Abdul Muttalib ra. Sebagaimana riwayat Shahih Bukhari diatas, bahkan Rasul saw bertawassul pada tanah dan air liur. Adapula pendapat mengatakan tawassul hanya boleh pada yang hidup, pendapat ini ditentang dengan riwayat shahih berikut : “telah datang kepada Utsman bin Hanif.ra seorang yang mengadukan bahwa Utsman bin Affan.ra tidak memperhatikan kebutuhannya, maka berkatalah Utsman bin Hanif ra : “berwudulah, lalu shalatlah dua rakaat di masjid, lalu berdoalah dengan doa : “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (doa yang sama dengan riwayat diatas)”, nanti selepas kau lakukan itu maka ikutlah denganku ke suatu tempat. Maka orang itupun melakukannya lalu Utsman bin Hanif ra mengajaknya keluar masjid dan menuju rumah Utsman bin Affan.ra, lalu orang itu masuk dan sebelum ia berkata apa-apa Utsman bin Affan lebih dulu bertanya padanya : “apa hajatmu?”, orang itu menyebutkan hajatnya maka Utsman bin Affan ra memberinya. Dan orang itu keluar menemui Ustman bin Hanif ra dan berkata : “kau bicara apa pada Utsman bin Affan sampai ia segera mengabulkan hajatku ya. . ?”, maka berkata Utsman bin Hanif ra : “aku tak bicara apa-apa pada Utsman bin Affan.ra tentangmu, Cuma aku menyaksikan Rasul saw mengajarkan doa itu pada orang buta dan sembuh”. (Majmu’ Zawaid Juz 2 hal 279). Tentunya doa ini dibaca setelah wafatnya Rasul saw, dan itu diajarkan oleh Utsman bin Hanif.ra kepada orang tersebut dan dikabulkan Allah. Ucapan : Wahai Muhammad.. dalam doa tawassul itu banyak dipungkiri oleh sebagian saudara-saudara kita, mereka berkata kenapa memanggil orang yang sudah mati?, kita menjawabnya : sungguh kita setiap shalat mengucapkan salam pada Nabi saw yang telah wafat : Assalamu alaika ayyuhannabiyyu… (Salam sejahtera atasmu wahai nabi……), dan nabi saw menjawabnya, sebagaimana sabda beliau saw : “tiadalah seseorang bersalam kepadaku, kecuali Allah mengembalikan ruh-ku hingga aku menjawab salamnya” (HR Sunan Imam Baihaqiy Alkubra hadits no.10.050) Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw, tak pula oleh ‘ijma (kesepakatan) para Sahabat Radhiyallahu’anhum, tak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para ulama serta imam-imam besar Muhadditsin, bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, sahabat radhiyallahu’anhum mengamalkannya. Mereka berdoa dengan perantara atau tanpa perantara, tak ada yang mempermasalahkannya apalagi menentangnya bahkan mengharamkannya atau bahkan memusyrikan orang yang mengamalkannya. Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian, justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa-apa kecuali karena hanya Allah memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat di hadapan Allah, berarti si hidup itu sebanding dengan Allah?, si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah?, Tidak saudaraku.. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah SWT. Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah SWT dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah SWT. Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah SWT atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah SWT. Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat. Sebagai contoh dari bertawassul, seorang pengemis datang pada seorang saudagar kaya dan dermawan, kebetulan almarhumah istri saudagar itu adalah tetangganya, lalu saat ia mengemis pada saudagar itu ia berkata “Berilah hajat saya tuan …saya adalah tetangga dekat amarhumah istri tuan…” maka tentunya si saudagar akan memberi lebih pada si pengemis karena ia tetangga mendiang istrinya, Nah… bukankah hal ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati? Bagaimana dengan pandangan yang mengatakan orang mati tak bisa memberi manfaat?, Jelas-jelas saudagar itu akan sangat menghormati atau mengabulkan hajat si pengemis, atau memberinya uang lebih, karena ia menyebut nama orang yang ia cintai walau sudah wafat. Walaupun seandainya ia tak memberi, namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan Ar-Rahman Ar-Rahiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyantun?, istri saudagar yang telah wafat itu tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang urusan hajat si pengemis pada si saudagar, NAMUN TENTUNYA SI PENGEMIS MENDAPAT MANFAAT BESAR DARI ORANG YANG TELAH WAFAT, entah apa yang membuat pemikiran saudara-saudara kita menyempit hingga tak mampu mengambil permisalan mudah seperti ini. Saudara-saudaraku, boleh berdoa dengan tanpa perantara, boleh berdoa dengan perantara, boleh berdoa dengan perantara orang shalih, boleh berdoa dengan perantara amal kita yang shalih, boleh berdoa dengan perantara nabi saw, boleh pada shalihin, boleh pada benda, misalnya “Wahai Allah Demi kemuliaan Ka’bah”, atau “Wahai Allah Demi kemuliaan Arafat”, dlsb, tak ada larangan mengenai ini dari Allah, tidak pula dari Rasul saw, tidak pula dari sahabat, tidak pula dari Tabi’in, tidak pula dari Imam-Imam dan muhadditsin, bahkan sebaliknya Allah menganjurkannya, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat mengamalkannya, demikian hingga kini. Dengan demikian, bertawassul dengan berdo’a dan mempergunakan wasilah, baik dengan iman, amal shaleh dan dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT jelas tidak disalahkan oleh agama bahkan dibenarkan. Lalu, bertawassul bukan berarti meminta kepada yang dijadikan wasilah, tetapi memohon agar yang dijadikan wasilah memberikan keberkahan untuk diterima do’a para pemohonnya. Selanjutnya, bertawassul dengan wasilah yang disenangi Allah, atau berdo’a dengan menyebut sesuatu yang disenangi Allah, tentu Allah akan menyenangi kita, dan meridloinya. Maka apa yang disenangi Allah, seyogyanya disebut dalam do’a I’tikadkan bahwa ziarah ke makam waliyullah atau orang saleh karena mengikuti Sunnah Nabi SAW untuk bertawasul, yaitu mencari jalan atau wasilah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan perantaraan para Nabi/Rasul, Wali Allah, Ulama atau ahli kubur yang shaleh agar Allah mengabulkan doa kita, ditempat yang dicintai-Nya karena adanya kuburan kekasih Allah tersebut. Seperti halnya kabulnya/ijabahnya doa di tempat-tempat suci yang dicintai-Nya ; pintu ka’bah, Maqam Ibrahim, Hijir Ismail, Raudhah, Hajar Aswad, dsb. Tawassul dalam Berdoa Dalam berdoa, kita terkadang melakukan tawassul. Tawassul artinya mengambil wasilah, sedangkan wasilah itu sendiri artinya perantara atau penghubung. Adanya wasilah dalam kehidupan sudah merupakan sunatullah. Dengan apa kita menulis? Dengan apa kita membaca? Dengan apa kita menyeberangi sungai? Dengan apa kita mengambil ilmu pengetahuan? Dengan apa kita berwudhu' dan mandi? Untuk melakukan itu semua kita menggunakan perantara. Bahkan dalam keadaan sakit pun kita perlu ber-wasilah kepada dokter, agar bisa di-obati merupakan ikhtiar/usaha agar kita bisa sembuh, yang mana sebagai orang beriman tetap ber-itikad bahwa dokter-obat itu perantara (wasilah/sebab) sedangkan yang menyembuhkan hanyalah Allah Ta’ala Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dalam kebiasaan manusia, jika seorang berhajat kepada seseorang yang kurang atau tidak dikenalnya, ia berwasilah dengan menyebut nama atau keduduk­an orang yang dicintai oleh orang itu. Dalam bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah kita pun dapat menyebut nama atau ke­dudukan orang-orang yang dicintai-Nya, dengan ha­rapan doa kita dapat dikabulkan. Inilah yang dinamai tawassul dalam berdoa. Jadi, bukan berarti kita berdoa kepada orang itu, dalam arti meminta kepadanya agar ia memenuhi kebutuhan kita. Kita hanya berdoa kepada Allah, hanya saja kita bertawassul dengan menyebut nama atau kedudukan orang yang dicintai­Nya. Berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah dengan wasilah kekasih-Nya, seperti Rasulullah SAW, adalah dibolehkan. Demikian pula berwasilah dengan amal shalih kita, atau berwasilah menyebut kedudukan seorang wali, ulama amilin (ulama yang mengamalkan ilmunya), dan orang-orang shalih, atau menyebut nama mereka. dan juga diriwayatkan : “seorang laki-laki yang buta datang kepada Nabi SAW, lalu berkata : “doakanlah supaya Allah menyembuhkanku”. Nabi menjawab; jika engkau kehendaki, aku doakan dan jika engkau mau bersabar itu lebih baik. Maka lelaki itu berkata,”doakanlah”, kemudian nabi SAW menyuruh berwudhu dengan sempurna, lalu diajarkan doa, “Allahumma inna nas’aluka wa natawasalu ilayka bi Nabiyyika nabiyyi rahmah. Yaa Sayyidi Ya Rasulullah innaa atawajjahu bika ilaa rabbika fi hajatina kulliha li tuqdhaalii. Allahumma syafi’hu fiyyaa’ (artinya : Ya Allah, sungguh kami memohon kepada-Mu dan kami bertawasul dengan perantaraan Nabi-Mu, Nabi yang penyayang. Ya junjungan kami, Ya Rasulullah, Sesungguhnya kami berperantara denganmu kepada Allah agar seluruh hajat kebutuhan kami terpenuhi. Ya Allahu, kami memohon Syafaat-Mu kepada Rasulullah untuk kami); maka kembalilah lelaki itu dan telah melihat kembali matanya.” (HR Bukhari, Ibnu Majah, An-Nasa’i, Turmudzi, Baihaqi, Thabrani dan Al-Hakim) disebutkan pula isnad yang shahih oleh Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi di dalam kitab jami’us Kabir was saghir. Perhatian ; Untuk dapat mengetahui makna ayat-ayat Al-Quran dengan benar serta hadist Baginda Nabi SAW, kita harus bertanya kepada ahlinya, yaitu para mufassir (ahli tafsir) dan para Muhaddist (ahli Hadist). Orang-orang yang mengartikan Al-Quran dengan pemikirannya sendiri tanpa dilandasi ilmu yang luas, diancam oleh baginda Muhammad saw dalam sabdanya: "Barang siapa berbicara tentang (ayat-ayat) yang terdapat dalam Al-Quran tanpa dilandasi ilmu, maka hendaknya dia mengambil tempatnya di Neraka." (HR Tirmidzi dan Ahmad) Inilah prinsip dasar yang harus kita pegang, berbicara dengan ilmu, bukan dengan nafsu dan emosi. Cobalah untuk mendengarkan uraian para ulama dalam menafsirkan ayat tersebut. Oleh karenanya ada baiknya kita merujuk kepada keterangan beliau-beliau para guru kita yang mulia, mengenai ziarah kubur para Wali Allah atau shalihin ; Di dalam Islam, ziarah kubur merupakan bagian dari kegiatan keagamaan. Ziarah kubur, terutama ke makam para Nabi dan orang-orang saleh memiliki banyak keutamaan dan juga membawa pengaruh yang baik bagi ruhani para peziarah. Melihat kompleks pemakaman yang sunyi senyap, gundukan tanah di atasnya dan batu nisan yang tersusun rapi, akan membuat hati yang keras menjadi lembut dan tergerak untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian. Demikian itulah memang salah satu tujuan dan hikmah ziarah kubur yang disyariatkan oleh Islam. Imam Qurthubi.rhm (Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi) seorang mufassir (ahli Tafsir) besar, di dalam tafsirnya Al­ Jami’ Li Ahkamil Quran, juz.20, Darul Ihyait Turatsil 'Arabi, hal 171. menyebutkan: Para ulama menyebutkan bahwa barang siapa ingin mengobati penyakit hatinya dan menundukkan nafsunya dengan belenggu ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia banyak mengingat kematian —yang dapat menghancurkan aneka kenikmatan, menceraiberaikan berbagai perkumpulan dan membuat anak lelaki maupun wanita menjadi yatim menyaksikan orang-orang yang akan meninggal dunia (sekarat) dan menziarahi kubur kaum Muslimin. Tarikh Baghdad, Karya al Imam al Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Ali; yang lebih dikenal dengan al Khathib al Baghdadi (w 463 H) menerangkan bahwa Imam Syafi’i pun berziarah ke Makam Imam Abu Hanifah, bahkan bertawassul kepadanya. — dengan sanadnya —- berkata: Aku mendengar Imam asy Syafi’i berkata: Sesungguhnya saya benar-benar melakukan tabarruk (mencari berkah) kepada Imam Abu Hanifah, aku mendatangi makamnya setiap hari untuk ziarah, jika ada suatu masalah yang menimpaku maka aku shalat dua raka’at dan aku mendatangi makam Imam Abu Hanifah, aku meminta kepada Allah agar terselesaikan urusanku di samping makam beliau, hingga tidak jauh setelah itu maka keinginanku telah dikabulkan”. Disebutkan bahwa di sana (komplek makam Imam Abu Hanifah) terdapat makam salah seorang anak Sahabat Ali bin Abi Thalib, dan banyak orang menziarahinya untuk mendapatkan berkah di sana. Imam Ibrahim al Harbi berkata: “Makam Imam Ma’ruf al Karkhi adalah obat yang mujarab”. Dalam beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa di komplek pemakaman tempat Imam Abu Hanifah dikuburkan (Kufah) terdapat salah salah seorang anak cucu dari Imam Ali bin Abi Thalib yang sering dijadikan tempat ziarah dan mencari berkah oleh orang-orang Islam. Sayidina Al-Imam Quthbil Kabir Sayid Ali bin Abu Bakar as-Sakran.rhm didalam kitab Ma’arijul Hidayah, hal 37-38 menjelaskan tentang cara berziarah para Wali Allah dan manfaatnya ; Imam Nawawi.rhm berkata, "Kita dianjurkan untuk banyak membaca ayat-ayat Al-Quran, dzikir dan doa bagi orang-orang yang berada di kubur tersebut dan bagi semua muslim yang telah meninggal dunia. Kita juga dianjurkan untuk sering berziarah dan berhenti di kubur orang-orang yang saleh dan mulia." Imam Fakhrur Rozi rhm—Setelah berbicara tentang cara memperoleh manfaat dari ziarah kubur berdasarkan dalil-dalil aqli—berkata, "Sesungguhnya ketika seseorang pergi ke kubur manusia yang kuat (imannya) dan sempurna hatinya, serta berdiri sejenak di depan makamnya, maka dia akan memperoleh kesan yang membekas dalam dirinya. Peziarah tersebut akan memiliki ikatan dengan yang diziarahi dan sebaliknya. Pada saat itulah jiwa kedua makhluk itu bertemu. Kedua jiwa itu seperti cermin yang kilap dan saling berhadapan, sehingga sinar cermin yang satu akan diterima dan dipantulkan oleh cermin yang lain. Semua pengetahuan, ilmu, akhlak mulia, kekhusyukan dan keridhaan peziarah kepada ketentuan Allah akan menjadi cahaya yang memantul dan diterima oleh ruh yang diziarahi. Dan semua ilmu dan perilaku mulia yang diziarahi akan menjadi cahaya yang memantul dan diterima oleh ruh peziarah sebagai sebuah cahaya. Dengan cara seperti inilah sebuah ziarah dapat memberikan manfaat yang sangat besar dan kesenangan yang luar biasa bagi ruh peziarah dan yang diziarahi. Dan inilah sebab utama disyariatkannya ziarah. Di samping manfaat di atas, peziarah juga akan mendapatkan berbagai manfaat tersirat lainnya. Dan yang mengetahui berbagai hakikat secara sempurna hanyalah Allah." Al-Imam Abdullah bin Alwy al-Haddad.rhm didalam kitabnya “Sabilul Adzkar” menyebutkan · Dan di antara yang memberi manfaat Allah dengannya bagi si mati di dalam kuburnya dan yang menolak azab kubur daripada si mati ialah doa, istighfar dan sedekah bagi si mati (yakni atas nama si mati atau buat si mati). Dan perkara ini telah banyak warid datangnya dalam berbagai khabar/hadis dan atsar serta telah dilihat dalam banyak mimpi-mimpi yang baik oleh orang-orang sholih dan baik. · Dalam sebuah hadits dinyatakan:- “Bahawasanya Sa`ad bin ‘Ubaadah r.a. berkata kepada Junjungan Rasulullah s.a.w.: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dalam keadaan mengejut, dan jika sekiranya dia sempat bercakap nescaya dia akan bersedekah (yakni dia akan menyuruh untuk bersedekah), maka adakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah bagi pihaknya ?” Junjungan s.a.w. bersabda: “Ya.” Maka Sa`ad pun menggali sebuah telaga dan berkata:- “(Telaga) ini buat ibu Sa`ad (yakni disedekahkan atas nama ibunya).” · Dan telah berkata seseorang kepada Junjungan s.a.w.:- “Wahai RasulAllah, bahawasanya telah meninggal kedua ibubapaku, maka adakah tinggal sesuatu (amalan) yang boleh aku baktikan buat keduanya ?” Junjungan s.a.w. menjawab: ” Empat amalan:- (1) berdoa buat keduanya; (2) istighfar buat keduanya; (3) menunaikan janji yang telah dibuat oleh mereka sewaktu hidup; dan (4) menghubung silatur rahim yang tidak tersambung melainkan dengan perantaraan kedua mereka.” · Dan telah diriwayatkan bahawa Junjungan s.a.w. bersabda:- “Jika sekiranya tidak ada orang hidup nescaya binasalah orang mati,” iaitu jika tidak sampai kepada si mati akan doa, istighfar dan permohonan rahmat daripada orang hidup kepada mereka. · Dan Junjungan s.a.w. bersabda: “Umatku adalah umat yang dirahmati, mereka masuk ke dalam kubur dengan membawa dosa seumpama gunung, tetapi keluar dari kubur dalam keadaan telah diampuni dosa-dosa tersebut dengan sebab istighfar orang-orang yang hidup buat orang-orang yang mati.” · Dan diriwayatkan bahawasanya hadia-hadiah orang-orang hidup kepada orang-orang mati yang berupa sedekah-sedekah, doa-doa dan bacaan-bacaan al-Qur`an datang kepada mereka dibawa oleh para malaikat dalam talam-talam daripada cahaya yang ditudung dengan kain sutera syurga dan para malaikat berkata kepada si mati (yang ditujukan hadiah tersebut): ” Inilah hadiah yang dikirim kepada mu oleh si polan,” maka si penerima tersebut akan berasa gembira dan bersukacita dengan hadiah tersebut. Guru kita yang mulia al-Walid Abah, al-Arifbillah Mawlana al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Ba’alawy, Ra’is Am (Ketua Umum) Idarah ‘aliyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah, dari berbagai penjelasan beliau yang di muat dalam majalah al-Kisah pada rubrik konsultasi spiritual menjelaskan ; Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Doa para alim ulama dalam ziarah kubur pasti ada dasar-­dasarnya. Ketakutan seorang ulama itu kepada Allah (Swt) sangat tinggi. Jadi mereka tidak mau berbuat sesuatu yang mengada-ada, yang tidak ada dasarnya, yang mengundang pertanggungjawaban di hari Kemudian. Contoh, mengambil sepotong ayat, tA$s%ur ãNà6š/u‘ þ’ÎTqãã÷Š$# ó=ÉftGó™r& ö/ä3s9 4 ¨bÎ) šúïÏ%©!$# tbrçŽÉ9õ3tGó¡o„ ô`tã ’ÎAyŠ$t6Ïã tbqè=äzô‰u‹y™ tL©èygy_ šúï̍Åz#yŠ ÇÏÉÈ 60. dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina". (QS AI-Mukmin: 60). Lalu bab perintah ziarah kubur dalam Hadist, "Dahulu aku melarang kamu ziarah kubur, sekarang berziarahlah." Namun banyak orang yang mamotong Hadist ini, dan tidak dilanjutkan, jadi bunyinya hanya, "Aku telah melarang kamu berziarah kubur." Kalau tidak dilanjutkan, akan mengundang pertanyaan. Karena, dalam uslub (tata Bahasa) dalam kali­mat yang didahului dengan kata kerja madhi' (past tense, kata kerja lampau), kalau kata kerja lampau itu diucapkan, selalu mengundang pertanyaan: Lalu sekarang bagaimana? "Dulu aku melarang kamu berziarah kubur", mestinya orang bertanya, sekarang bagaimana. Di sini, Hadist itu diianjutkan oleh Rasulullah, "sekarang berziarahlah." Tujuan orang berziarah, pertama, mengingatkan kembali kepada kita bahwa setiap manusia akan kembali kepada Allah. Kedua, mengingatkan kita, apa yang harus kita bawa (bekal) ketika keluar dari dunia yang fana ini. Ketiga, dzikr al-maut bertujuan untuk membangkitkan amal saleh, bukan untuk memupuk rasa takut mati, tapi takut kalau mati dalam keadaan yang buruk. Berziarah kubur akan mendorong kita mengubah sikap serta amal yang tidak baik. Adapun doa-doa ziarah kubur, karena ada perintah dari Allah "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan", sangat luas. Kita bisa minta kepada Allah dengan perantaraan bacaan surah Al-Fatihah. Atau dengan lantaran bacaan Al-Qur'an yang lain. Dan pahala bacaan. Al-Qur'an itu kita hadiahkan kepada para ulama yang kita cintai. Siapakah yang mengatakan doa seperti ini tidak sampai kepada Allah (Swt)? Kita tidak bisa mengklaim suatu doa itu sampai atau tidak kepada Allah, yang bisa mengetahui hanya Allah. Apalagi tentang mendoakan orang lain, shalat lima waktu kita saja kita tidak tahu, apakah diterima Allah atau tidak. Itu hak Allah SWT. Jadi, perlu diingat, tidak ada satu tindakan pun yang dilakukan para wali maupun ulama yang saleh akan menyimpang dari keteladan Nabi dan para sahabat. Bacaan,"Salamullah ya sadah" merupakan bagian dari ajaran Rasulullah (saw). Rasulullah kalau berziarah kubur mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum, ya ahlul kubur, wal mukminin wal mukminat." Ada lagi Hadist, "Ya daril kaumul mukminin". Artinya, kalau Rasulullah memberikan salam kepada ahli kubur, berarti ahli kubur itu mendengar apa yang diucapkan Rasulullah. Bahkan telapak sandalnya saja mereka mendengar. Para ahli kubur mendengar setiap telapak kaki yang masuk ke kuburan. Apalagi orang membaca doa. Apalagi orang membaca AI-Qur'an. Apalagi orang membaca tahlil. Dari situlah, ungkapan "Assalamu'alaikum, ya darul mukminin" di dalamnya diteruskan oleh para alim ulama, "Salamullah, ya sadah minar-rahman yaghsyakum, ibadallah ji'nakum, qashadnakum thalabnakum". Itulah di antaranya luasnya doa ziarah kubur yang artinya, Semoga Allah memberikan keselamatan, wahai orang yang mulia, (keselamatan) dari Yang Maha Pengasih. Itu semua merupakan doa, permintaan kepada Allah Ta’ala, untuk siapa yang diziarahi, yaitu orang-orang yang dekat kepada Allah SWT. Seperti kita mengucapkan kalimat "Assalamu'alaika ayyuhan nabiyyu warrahmatullahi wabaraktuh, assalamu'alaina wa'ala ‘ibadillahish-shalihin”. "Assalamu'alaina" di sini memiliki arti yang luas. Sebab di sini lafalnya jamak. Namun secara terperinci sudah merangkum semuanya, dan diucapkan lagi oleh Baginda Nabi, karena cintanya Rasulullah kepada para salihin. Sedang di dalam kalimat tersebut, para salihin sudah termasuk di dalamnya. Seperti ketika shalat, kita senantiasa mengu­capkan "Ihdinash-shirathal mustaqim, atau "tunjukkanlah kami jalan yang lurus." Di sini lafal tersebut menggunakan kata "kami", bukan "saya", untuk menunjukkan bahwa subjeknya umat Islam secara umum. Perlu diketahui, barakah itu mutlak milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ngalap berkah kepada orang-orang yang dekat kepada Allah (Swt), maksudnya ngalap berkah kepada orang-orang yang telah mendapatkan barakah dari Allah, sehingga hidupnya bermanfaat, banyak amalnya. Karena itulah, selain hidupnya barakah, ilmu yang diajarkan juga membawa barakah. Terbukti dengan banyaknya murid yang mengikuti jejaknya, dan murid itu pun mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, dan seterusnya. Kalau berziarah kepada awliya, para wali, jangan lupa, yang utama adalah belajar mengoreksi diri atau introspeksi diri sendiri. Pertama, kita patut merenung tentang pemilik makam yang kita ziarahi. Meski sudah dikubur, beliau tetap mendapat kehormatan dari keluarga, para murid, serta umat Islam, dikunjungi dan didoakan. Kedua, kita harus ingat, ketika melihat makam tersebut, kita juga sadar bahwa nantinya kita pun akan menemui ajal, sebagaimana pemilik makam tersebut. Jadi, yang terpenting adalah, apakah kita sudah menyiapkan bekal untuk menuju alam akhirat. Dan, apakah bekal kita sudah cukup untuk menghadapi pertanyaan malaikat serta timbangan amal di akhirat nanti. Ketika di makam itu, bacalah Al-Qur'an, dzikrullah, dan shalawat. Pahala-pahala bacaan itu semoga menjadi penyebab turunnya rahmat dari Allah (Swt). Diharapkan, pahala bacaan itu akan menambah pahala kepada orang yang diziarahi, dan nantinya akan mengalirkan pahala kepada yang menziarahinya. itulah di antaranya hikmah yang dapat kita petik dari ngalap berkah di makam para wali. Berziarah akan membuat kita sadar betapa kehidupan di dunia ini tidak akan kekal. Semua yang bernyawa pasti akan kembali ke haribaan Allah. Ini yang disebut dzikrul maut, atau mengingat mati yang akan mempertebal iman dan mencegah diri dari maksiat. Sedang berziarah ke makam awliya' adalah wujud kecintaan kita terhadap orang-orang yang alim, shalih, dan banyak berjasa dalam menegakkan dakwah. Bagi yang meyakini, boleh-boleh saja berziarah wali dengan hitungan, seperti halnya membaca wirid dengan hitungan tertentu. Tetapi, tidak ada aturan bilangan dalam berziarah. Lalu mengapa kita sebaiknya memper­banyak berziarah ke makam awliya; bukan makam orang Islam biasa atau masyarakat awam? Yang paling mudah jawabannya adalah agar kita bisa lebih mawas diri dan merasa malu kepada mereka, serta meng­amalkan, banyak keteladanan dari mereka. Betapa tidak Para awliya' (kekasih Allah) yang sudah lama meninggal saja masih sangat dicintai Allah dan hamba-hamba-Nya, terbukti dari masih banyaknya orang yang mau men­ziarahinya. Bukan hanya itu, keberkahan Allah untuk sang wali juga terlihat dari ma­sih terus mengalirnya keberkahan kepada orang banyak yang tinggal atau berjualan di sekitar komplek pemakaman, misalnya. Yang juga tak kalah menarik untuk di­ambil pelajaran adalah aktivitas peziarah. Begitu masuk kompleks makam, mereka langsung duduk dan membaca ayat-ayat suci Al-Quran, dzikir, tahlil dan doa. Secara tidak langsung mereka yang sudah me­ninggal saja masih berdakwah atau meng­ajak banyak orang yang masih hidup untuk beribadah kepada Allah SWT. Dari situ kita bisa merenungi diri bagai­mana dengan kita? Kita yang masih hidup berdakwah atau mengajak satu-dua orang lain untuk beribadah saja susahnya setengah mati. Kita juga patut bertanya kepada kita sendiri akan seperti apakah keadaan kita kelak setelah meninggal dunia? Adakah orang yang mau beziarah ke makam kita dan mendoakan kita? Atau, lebih pedih lagi, jangan-jangan karena banyaknya dosa kita, sekedar mengingat nama kita pun orang-orang sudah tak mau lagi. Sekali lagi, inilah fungsi utama berziarah. Dzikrul maut atau mengingat mati insya Allah akan mempertebal iman kita, serta menambah kecintaan kita kepada Allah, rasul-Nya, dan para awliya' kekasih-Nya. Berziarah kubur waliyullah dengan i'tiqad yang benar juga akan menambah kedalaman pengetahuan agama dan aqidah kita. Rasu­lullah (saw) sering berdoa, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mutawatir, "Allahuma inni as'aluka bihaqqis­sa'ilin," atau artinya, “Ya Allah, aku mohon kepadamu dengan haknya orang-orang yang ahli meminta kepadamu. Ini termasuk kalimat tawassul. Satuan Bahasa "Ihdina" (Tunjukkanlah kepada kami) juga bisa mengandung tawassul, karena kalimat itu tidak menun­jukkan satu orang, tetapi juga termasuk orang yang telah mati, orang yang sedang sakit, atau orang yang tengah sekarat. Kalau arti "lhdina" ini diperluas, ia bermakna "agar semua kaum muslimin yang telah meninggal mendapatkan jalan yang lurus (baik), sedang yang masih hidup men­dapatkan jalan kebaikan". Dalam kalimat yang didahului “ihdina" juga bisa termasuk kaum muslimin maupun muslimat, mukminin ataupun mukminat. Pada zaman Nabi Musa, ketika terjadi peperangan, ada pengikut beliau yang bertawassul dengan Tabut (kotak wasiat). Di dalam tabut itu ternyata ada pakaian-pakaian para nabi zaman dahulu. Tabut tersebut bekas kotak penyimpanan barang-barang milik para nabi, seperti tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dan serpihan Taurat yang robek ketika diletakkan oleh Nabi Musa. Setiap Bani Israel membawa tabut. Bani Isreal selalu memenangkan pertempuran dengan orang-orang yang memeranyi mereka. Inilah yang dipakai bangsa Israel untuk bertawassul. Tawassul itu menunjukkan kerendahan hati seseorang. Ini dilakukan orang yang banyak amalnya tapi menganggap amalnya di sisi Allah masih kurang dan masih banyak dosanya. Tawassul itu mendidik kita menghilangkan sifat egois. Meski kita banyak amalnya, kita tetap menggandeng orang yang saleh di sisi-Nya. Bukan kita minta kepada or­ang tersebut, tetapi kita tetap minta kepada Allah dengan ditemani orang saleh itu. Mari kita kembali kepada ajaran para ulama kita. Mengapa mereka menyandang sebutan "al-mukhlisun", or­ang-orang yang ikhlas? Mereka mampu mengamalkan perbuatan yang saleh tetapi tidak membanggakan diri bahwa apa yang dilakukan itu adalah perbuatan saleh, sebab apa yang mereka lakukan semata-mata karena anugerah Allah. Kewajiban lainnya adalah mereka itu "abdullah", hamba Allah, sehingga semata-mata mengabdi kepada-Nya. Dari sinilah kita berangkat belajar ikhlas. Selanjutnya, kekurangan-­kekurangan yang ada dalam diri kita jangan sering kita lalaikan. Kita harus introspeksi atau muhasabbah. Semua itu yang menyempurnakan adalah Allah. Tanpa petunjuk dan fadhilah-Nya, apa yang dilakukan manusia tidak ada artinya. Kita bisa memiliki sesuatu karena kita diberi oleh Allah. Karena itulah, apa yang kita miliki kita kembalikan kepada­Nya, sebagai Yang Maha Pemberi. Kita perbanyak menggapai pahala dari Allah, semata-mata karena sifat ikhlas kita kepada Allah. Al-’Allamah Al-Faqih Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith, menjelaskan dalam kitabnya AJWIBATUL GHALIYAH : Apakah para nabi hidup dalam kubur mereka? Para nabi, demikian pula orang-orang yang mati syahid, hidup dalam kubur mereka dengan kehidupan alam barzakh. Mereka mengetahui apa yang dikehendaki Allah untuk mereka ketahui, yang terkait dengan keadaan-keadaan alam ini, Al-Qur’an yang mulia menegaskan adanya kehidupan orang-orang yang mati syahid di alam barzakh mereka. Allah SWT berfirmah, “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” – QS Al- Baqarah (2): 154. Tidak diragukan bahwa kehidupan para nabi AS dan orang-orang pilihan yang mewarisi mereka lebih utuh dan lebih sempuma daripada kehidupan orang- orang yang mati syahid, karena mereka memiliki tingkatari yang lebih tinggi diban- ding orang-orang yang mati syahid. Dalilnya adalah firman Allah SWT, “Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” – QS An-Nisa’ (4): 69. Apakah adanya kehidupan mereka juga dinyatakan dengan jelas dalam as-sunnah? Ya, dalam hadjs-hadis sahih dinyata­kan bahwa mereka tetap dalam kondisi hidup dan bahwasanya bumi tidak memakan jasad mereka. Dari Anas RA, Nabi SAW bersabda, “Pada malam saat aku mengalamjsra’, aku menemui Musa yang sedang berdiri di atas kubur- nya di bukit pasir merah.” – Disampaikan oleh Muslim (2385). Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara hari-hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at. Maka, perbanyaklah shalawat kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian di­sampaikan kepadaku.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana shalawat kami disampaikan kepadamu sedang engkau sudah menjadi tulang belulang?” Maksudnya, sudah usang. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi bumi memakan ja­sad para nabi.” – Disampaikan oleh Abu Daud (1047), An-Nasa’i (1374), Ibnu Majah (1085), Ad-Darimi (1572), dan Ahmad (4: 8) dari hadits Aus bin Aus RA. Isnadnya shahih menurut Al-Allamah Arnauth dalam penjelasannya terhadap Al-Musnad. Disebutkan pula dalam riwayat bah­wa mereka pun bershalawat dan amal kebajikan mereka tetap berlaku seperti kehidupan mereka. Di antaranya adalah sabda Nabi SAW, “Para nabi hidup di kubur mereka, mereka shalat.” Disampaikan oleh Abu Ya’la dalam kitabnya, Al-Musnad (6:147), dari hadits Anas bin Malik RA. Pentahqiqnya mengatakan, “Isnadnya shahih.” Ulama mengatakan, ini tidak bertentangan dengan ketentuan yang menyatakan bahwa akhirat bukan negeri taklif (pembebanan) kewajiban tidak pula amal. Namun demikian amal dapat terjadi tanpa ada pembebanan, tapi hanya untuk dinikmati. Sebagaimana kehidupan para nabi AS yang telah dipaparkan di atas juga tidak bertentangan dengan sabda Nabi SAW, “Tidaklah ada seorang yang memberi salam kepadaku melainkan Allah merigembalikan ruhku kepadaku hingga aku dapat menjawab salamnya.” – Disam- paikan oleh Abu Daud (2041), Ahmad (2: 527), dan Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (2: 215) dari hadits Abu Hurairah RA. Makna pengembalian di sini adalah pengembalian makna ruh dari segi bah­wa Rasulullaji SAW merasakan adanya salam dari seorang di antara umat beliau yang memberi salam kepada beliau. Hadits ini mengungkapkan sebagian (dengan lingkup kalimat ruh), namun yang dimaksud adalah keseluruhan (diri Rasulullah SAW secara utuh). Dalam hadits ini terdapat kata yang dinisbahkan tapi tidak disebutkan, yaitu maksudnya: Allah mengembalikan makna ruh atau hal-hal yang berkaitan dengannya, se­perti bicara. Allah lebih mengetahui. Di antara ulama ada yang mengata­kan, konsekuensi dari pengembalian ini menjadikan ruh Nabi SAW senantiasa berada dalam tubuh beliau yang mulia, karena di antara makhluk yang ada tidak lepas dari adanya orang yang bershalawat di antara umat beliau. Dari Aisyah RA, ia mengatakan, “Aku masuk rumahku yang di dalamnya Rasulullah SAW dan bapakku (Abu Bakar RA) dimakamkan. Aku pun meletakkan (menanggalkan) pakaianku. Aku menga­takan, sesungguhnya dia adalah suamiku dan bapakku. Begitu Umar dimakamkan bersama mereka, demi Allah, tidaklah aku masuk melainkan aku dalam keadaan berpakaian yang tertutup rapat lantaran malu kepada Umar.” – Disampaikan oleh Imam Ahmad (6: 202) dan Hakim (3:63,4: 8). Ini menunjukkan bahwa Sayyidatuna Aisyah RA tidak ragu bahwa Sayyidina Umar melihatnya. Maka dari itu, dia menjaga diri dengan menutup rapat auratnya jika hendak menemuinya setelah dima­kamkan di rumahnya. “Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke makam para wali dengan tujuan mencari berkah?” Berkah (barokah) diartikan dengan tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna mencari tambahnya kebaikan atau ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan. Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ “. رواه ابن حبان (١٩١٢) وأبو نعيم في “الحلية” (٨/١٧٢) و الحاكم في “المستدرك” (١/٦٢) و الضياء في “المختارة” (٦٤/٣٥/٢) و قال الحاكم : “صحيح على شرط البخاري” . و وافقه الذهبي. “Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.) Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua. Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali. Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits: أَنَّ مُوْسَى u قَالَ: رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ اْلأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ وَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الْكَثِيْبِ الْأَحْمَرِ». “Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.” Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata: وَفِيْهِ اسْتِحْبَابُ مَعْرِفَةِ قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ لِزِيَارَتِهَا وَالْقِيَامِ بِحَقِّهَا، وَقَدْ ذَكَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِقَبْرِ السَّيِّدِ مُوْسَى u عَلاَمَةً هِيَ مَوْجُوْدَةٌ فِيْ قَبْرٍ مَشْهُوْرٍ عِنْدَ النَّاسِ اْلآَنَ بِأَنَّهُ قَبْرُهُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمَوْضِعَ الْمَذْكُوْرَ هُوَ الَّذِيْ أَشَارَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ. “Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]). Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ (٧/٤٦). وَفِيْ رِوَايَةٍ « فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ الْقُبُوْرَ فَلْيَزُرْ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُنَا اْلآَخِرَةَ». “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang hendak ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut dapat mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh al-Shalihin [bab 66]). Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «اَلاَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ» رواه البيهقي. “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya’, [1]). Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ فَإِذَا أَنَا مِتُّ عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَإِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ وَإِنْ رَأَيْتُ غَيْرَ ذَلِكَ اِسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ » رَوَاهُ الْبَزَّارُ. “Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar, [1925]). Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini: وَلاَ يَدْخُلُ فِيْ هَذَا الْبَابِ (أَيْ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ عِنْدَ السَّلَفِ) مَا يُرْوَى مِنْ أَنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلاَمِ مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَوْ قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ بْنِ الْمُسَيَّبِ كَانَ يَسْمَعُاْلأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ الْحَرَّةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ وَاْلأَمْرُأَجَلُّ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْظَمُ وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَا يُرْوَى أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَشَكَا إِلَيْهِ الْجَدَبَ عَامَ الرَّمَادَةِ فَرَآهُ وَهُوَ يَأْمُرُهُ أَنْ يَأْتِيَ عُمَرَ فَيَأْمُرَهُأَنْ يَخْرُجَ فَيَسْتَسْقِي النَّاسُ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ هَذَا الْبَابِ وَمِثْلُ هَذَا يَقَعُ كَثِيْرًا لِمَنْهُوَ دُوْنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَعْرِفُ مِنْ هَذِهِ الْوَقَائِعِ كَثِيْرًا. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم ١/٣٧٣). “Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373). Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata: وَقَالَ الْحَافِظُ اَبُوْ بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ اَخْبَرَنَا اَبُوْ نَصْرٍ بْنُ قَتَادَةَ وَاَبُوْ بَكْرٍ الْفَارِسِيُّقَالَا حَدَّثَنَا اَبُوْ عُمَرِ بْنِ مَطَرٍ حَدَّثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ عَلِيٍّ الذُّهْلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُيَحْيَى حَدَّثَنَا اَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ اَبِيْ صَالِحٍ عَنْ مَالِكٍ قَالَ اَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌفِيْ زَمَنِ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَيَارَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ اللهَ لِاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَقَالَ اِيْتِ عُمَرَ فَأَقْرِءْهُ مِنِّي السَّلاَمَ وَاَخْبِرْهُمْ اِنَّهُمْ مُسْقَوْنَ وَقُلْلَهُ عَلَيْكَ بِالْكَيْسِ الْكَيْسِ فَاَتَى الرَّجُلُ فَاَخْبَرَ عُمَرَ فَقَالَ يَارَبِّ مَا آَلُوْا اِلاَّ مَا عَجَزْتُعَنْهُ، وَهَذَا اِسْنَادٌ صَحِيْحٌ. (الحافظ ابن كثير، البداية والنهاية ٧/٩۲ وقال في جامع المسانيد ١/۲٣٣: اسناده جيد قوي، وروى هذا الحديث ابن ابي خيثمة. انظر: الاصابة ٣/٤٨٤، والخليلي في الارشاد ١/٣١٣ وابن عبد البر في الاستيعاب ۲/٤٦٤ وصححه الحافظ ابن حجر في “ فتح الباري “ ۲/٤٩٥. “Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495). Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya. Umat sepakat, ziarah kubur merupa­kan ritus yang dianjurkan untuk menda­patkan penyadaran dan pelajaran. Ziarah kubur tetap merupakan ketentuan yang dianjurkan di berbagai wilayah dan negeri. Apa hukum ziarah kubur? Ziarah kubur bagi laki-laki adalah sun­nah yang dianjurkan. Ziarah kubur pernah dilarang di masa permulaan Islam, tapi kemudian larangan ini di­hapus berdasarkan sabda Rasulullah SAW dan perbuatan beliau. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, (sekarang) hendaknya kalian berziarah kubur.” – Disampaikan oleh Muslim (977) dan lainnya. Pada satu riwayat terdapat tambah­an redaksi, “Sesungguhnya ziarah kubur memperlembut hati, membuat air mata bercucuran, dan mengingatkan pada akhirat.” – Tambahan ini disampaikan oleh Ahmad (3: 237), Abu Ya’la (6: 371), Al-Hakim (2: 532), dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (4: 77) dan Asy-Syu’ab (7: 15). Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW keluar menuju Pemakaman Baqi’. Di sana beliau mengucapkan, “Keselamat­an bagimu di persemayaman kaum mukminin. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah, ampunilah penghuni Baqi’ Al-Gharqad.” – Disampaikan oleh Muslim (974). Para ulama, semoga Allah merah­mati mereka, mengatakan, ziarah kubur merupakan kebiasaan Nabi SAW, dan sahabat-sahabat beliau pun melakukan ziarah kubur saat beliau masih hidup. Nabi SAW juga mengajari mereka tata cara ziarah kubur. Umat sepakat, ziarah kubur merupa­kan ritus yang dianjurkan untuk menda­patkan penyadaran dan pelajaran. Ziarah kubur tetap merupakan ketentuan yang dianjurkan di berbagai wilayah dan negeri. Apa hukum ziarah kubur bagi kaum wanita? Ulama menyatakan, ziarah kubur bagi kaum wanita hukumnya makruh, karena dikhawatirkan akan mengalami trauma, lantaran kaum wanita sering merasa sedih dan kurang tabah dalam menghadapi berbagai musibah. Namun ada pengecualian pada ku­bur para nabi, orang shalih, dan ulama. Kaum wanita dianjurkan berziarah di kubur mereka untuk bertabarruk. Meskipun demikian, di antara ulama ada yang memberi keringanan bagi kaum wanita untuk berziarah kubur se­cara mut­lak. Ini berdasarkan hadits yang menya­takan bahwa Rasulullah SAW melihat se­orang wanita di pemakaman sambil me­nangis di atas kubur anaknya. Beliau ber­sabda kepada wanita itu, “Bertaqwalah kepada Allah dan bersa­barlah.” – Disam­paikan oleh Al-Bukhari (1194) dan Muslim (926) dari hadits Anas RA. Beliau me­nyu­ruhnya bersabar dan tidak memung­kiri keberadaannya di pemakaman. Ini juga dapat dikaitkan dengan makna ha­dits “Dulu aku me­larang kalian ber­ziarah kubur, maka (se­karang) hendak­nya kalian ber­zia­rah ku­bur,” dengan ketentuan: makna­nya ber­laku umum bagi kaum pria mau­pun kaum wanita. Dalam hadits juga dinyatakan, Nabi SAW mengajari Aisyah RA doa saat ber­ziarah kubur. Beliau bersabda kepada­nya, “Ucapkanlah, ‘Keselamatan bagi ka­lian, wahai penghuni pemakaman kaum mukminin dan muslimin, dan se­moga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian di antara kita, dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian’.” – Disampaikan oleh Muslim (973). Seandainya ziarah kubur tidak di­anjurkan kepada Aisyah RA, niscaya beliau tidak mengajarinya doa ziarah kubur. Dalam Al-Mushannaf, karya Abdur­razzaq Ash-Shan’ani, dinyatakan, Fa­thimah Az-Zahra RA berziarah ke ma­kam pamannya, Hamzah, di Uhud pada setiap Jum’at. Disampaikan oleh Abdur­razzaq dalam Al-Mushannaf (6713) dari Sufyan bin Uyainah, dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya RA. Bagaimana kita memahami sabda Rasulullah SAW, “Allah melaknat wanita-wanita peziarah kubur.”? – Disampaikan oleh At-Tirmidzi (1056), Ibnu Majah (1576), Ahmad (2: 337) dan lainnya dari hadits Abu Hurairah RA. Disampaikan pula oleh Ibnu Majah (1575) dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (4: 78) dari hadits Ibnu Abbas RA. Juga disampaikan oleh Ibnu Majah (1574) dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (4: 42) dari hadits Hassan bin Tsabit RA. Maksud hadits tersebut, menurut ulama ahli tahqiq, jika ziarah mereka un­tuk menyebut-nyebut keutamaan mayit, menangis, dan meratapinya sebagai­mana tradisi yang mereka lakukan pada masa Jahiliyyah, ziarah kubur seperti itu dilarang, sesuai kesepakatan ulama. Adapun jika ziarah kubur mereka tidak mengandung perkara-perkara ter­sebut, tidak dilarang, dan tidak termasuk dalam ancaman laknat dalam hadits di atas. Sebagian ulama menafsirkan bahwa hadits tersebut disampaikan sebelum ada keringanan. Apa hukum wisata untuk ziarah ke kubur Nabi SAW, serta kepada para nabi dan wali? Menziarahi Nabi SAW termasuk ibadah yang paling agung, demikian pula dengan wisata untuk berziarah ke kubur beliau, merupakan ibadah yang dianjur­kan, sebagaimana dianjurkan pula berziarah ke kubur para nabi, wali, dan orang yang mati syahid, untuk berta­baruk dan menggapai hikmah. Ziarah kubur ini juga mengandung berbagai kebaikan, keberkahan, dan anugerah yang sangat melimpah, se­bagaimana yang dikehendaki Allah SWT. Dengan demikian berwisata untuk tujuan ziarah ini mengandung faidah yang sangat berharga. Maka, sudah se­layaknya ziarah ini mendapat perhatian yang semestinya dengan tetap menerapkan adab-adabnya dan tidak boleh dibiarkan adanya ziarah ke kubur mereka dengan tujuan untuk mendapatkan suatu perkara bid’ah, karena manusia dianjurkan untuk berziarah tapi mengingkari bid’ah serta menghilangkannya. Apa dalil dianjurkannya wisata untuk ziarah kubur? Dalilnya adalah firman Allah SWT, “Dan sungguh, sekiranya mereka sete­lah menzhalimi diri mereka sendiri da­tang kepadamu (Muhammad), lalu me­mohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” – QS An-Nisa’ (4): 64. Dalam hadits dinyatakan, Nabi SAW hidup di kubur beliau. Dengan demikian, mendatangi kubur beliau setelah beliau wafat seperti mendatangi beliau saat beliau masih hidup. Di antara dalil-dalilnya, sabda Nabi SAW, “Siapa yang menunaikan ibadah haji lantas berziarah ke kuburku setelah wafatku, ia bagai menziarahiku saat hidupku.” Dan sabda Nabi SAW, “Siapa yang menunaikan ibadah haji dan tidak menziarahiku, sesungguhnya dia telah mengabaikanku.” – Hadits pertama di­sampaikan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (12: 406) dan Al-Awsath (3: 351), Ad-Daraquthni (2: 278), Al-Baihaqi da­lam As-Sunan Al-Kubra (5: 246) dan Asy-Syu’ab (3: 488) dari hadits Ibnu Umar RA. Hadits kedua disampaikan oleh Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin (3: 73). Apa makna sabda Nabi SAW, “Tidak ditekankan bepergian kecuali ke tiga masjid”? – Disampaikan oleh Al-Bukhari (1132) dan Muslim (1397) dari hadits Abu Hurairah RA. Maksud hadits ini bukan sebagai pe­larangan terhadap penekanan beper­gian secara mutlak kecuali ke masjid-masjid yang dimaksud. Sebab, jika demikian, konsekuensinya tidak ditekankan pula bepergian ke Arafah, Mina, mengunjungi kedua orangtua, mencari ilmu, jihad, dan berdagang, misalnya. Makna ini tidak disampaikan oleh seorang pun. Tapi, makna hadits tersebut adalah: tidak layak menekankan bepergian ke masjid-masjid lantaran keutamaannya, karena masjid-masjid itu semuanya sama terkait keutamaannya, kecuali tiga masjid (Masjidil Aqsha, Masjidil Haram, Masjid Nabawi), yang pahala shalat di dalamnya dilipatgandakan. Memburu berkah? “Dan untuk hal yang demikian itu, hendaklah orang-orang saling berlomba-lomba.” (QS Al-Muthaffifin: 26). Memburu berkah? Ya,karena mencari keberkahan itu berarti mencari ziyadah al-khayr (tambahan kebaikan) dan merupakan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sebelum mengulas hadits-hadits seputar berkah, mari kita awali dengan petikan ayat berikut ini. “Dan untuk hal yang demikian itu, hendaklah orang-orang saling berlomba-lomba.” (QS Al-Muthaffifin: 26). Yang dimaksud dengan “hal yang demikian itu” adalah sesuatu yang bertalian dengan urusan kenikmatan surga. Para mufassirin menjelaskan, hendaknya manusia berlomba-lomba demi memperoleh kenikmatan yang Allah berikan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal shalih, baik kenik­mat­an yang dimaksud dalam ayat ini ke­nikmatan ukhrawi (kenikmatan surgawi) maupun kenikmatan saat hidup di dunia yang baik. Al-Imam An-Nawawi mema­sukkan potongan ayat ini sebagai dalil an­juran atau dorongan bagi manusia untuk mencari nikmatnya keberkahan Rasulul­lah SAW, yang merupakan bagian dari kenikmatan yang Allah berikan bagi umat Baginda Rasulullah SAW. Dari Sahl bin Sa‘d RA, bahwasanya Rasulullah SAW diberi minuman, lalu beliau meminumnya. Di sebelah kanannya ada seorang anak remaja, dan sebelah kirinya ada beberapa orang tua. Maka beliau berkata kepada si anak remaja, “Apakah boleh aku berikan minuman ini kepada orang-orang tua itu?” Si remaja ini berkata, “Tidak, demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak mau bagianku dar

Yüklə 1,07 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   23   24   25   26   27   28   29   30   31




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin