Menuju Surga Abadi
Imam Ash-Shâdiq as. senantiasa melakukan perlawanan terhadap Khalifah Al-Manshûr sang durjana. Al-Manshûr merasa terpojok dan tertekan lantaran perlawanan-perlawanannya tersebut. Akhirnya, ia meminumkan racun kepada Imam Ash-Shâdiq melalui tangan gubernurnya untuk daerah Yatsrib (Madinah). Imam Ash-Shâdiq mengalami rasa sakit yang sangat menyakitkan, dan maut pun menghampirinya dengan cepat. Selang beberapa masa, ruhnya yang suci itu menghadap Sang Pencipta sebagai ruh tersuci yang naik ke atas langit.
Tonggak Islam dan pemimpin kebangkitan pemikiran dan ilmiah-yang tidak tertandingi oleh siapa pun dalam kejeniusan dan keluasan ilmu pengetahuannya kecuali oleh nenek moyangnya itu-telah meninggal dunia. Putra dan washî-nya, Imam Al-Kâzhim as. melaksanakan ritual pemakamannya. Imam Al-Kâzhim memandikan jenazahnya, mengafani, menyalati, dan lalu menguburkannya di pemakaman Baqi' di samping kakeknya, Imam Zainul Abidin as. dan ayahnya, Imam Muhammad Al-Bâqir as. Dengan kepergiannya itu, ilmu pengetahuan dan segala sesuatu yang menjadi faktor keagungan umat manusia pun ikut terkuburkan pula.
Catatan Kaki:
Al-Imam As-Shâdiq as. Kama 'Arafahu 'Ulamâ' Al-Gharb, hal. 120-130.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 34.
Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as., jilid 1, hal. 38.
Al-Imam As-Shâdiq as. Kama 'Arafahu 'Ulamâ' Al-Gharb, hal. 112.
Wasîlah Al-Ma'âl fi Manâqib Al-?l, hal. 208.
( ) Al-Imam Ash-Shâdiq as., hal. 101-102.
( ) Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 131.
( ) Ja'far Ash-Shâdiq Mulhim Al-Kimiya', hal. 32.
Ja'far bin Muhammad as., hal. 59.
Al-Irsyâd, jilid 2, hal. 179; I'lam Al-Wara, jilid 1, hal. 535; Al-Mu'tabar, jilid 1, hal. 26.
Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 120.
Al-Ushûl Al-Fikriyah li Ats-Tsaqâfah Al-Islamiyah, jilid 1, hal. 203.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 134.
Al-Imam Ash-Shâdiq wa Al-Madzâhib Al-Arba'ah, jilid 1, hal. 62.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 135.
Ja'far bin Muhammad as., hal. 59.
Târîkh Al-Kufah, hal. 408.
( ) Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 136.
( ) Mustadrak Al-Wasa'il, jilid 17, hal. 292, hadis ke-292.
( ) Al-Imam Ash-Shâdiq Kama 'Arafahu Ulama' Al-Gharb, hal. 54; Jabir bin Hayyan wa Khulafa'uh, hal. 57.
( ) Mir'ah Al-Jinan, jilid 1, hal. 304; Al-A'lam, jilid 1, hal. 186.
( ) Adz-Dzari'ah, jilid 6, hal. 301-374.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 66.
Ath-Thabaqât Al-Kubrâ, jilid 1, hal. 32.
Nabâthi adalah sebuah kabilah Arab yang hidup di daerah pertengahan antara Kufah dan Bashrah-pen.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 66.
Manâqib Ali Abi Thalib, jilid 4, hal. 345; Amali Ath-Thusi, jilid 1, hal. 287.
Târîkh Al-Islam, jilid 6, hal. 45; Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 160; Tahdzîb Al-Kamâl, jilid 5, hal. 87.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 64.
Ibid.
Majmû'ah Warram, jilid 2, hal. 82.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 71.
Qurb Al-Isnâd, hal. 28.
Jamharah Al-Awliyâ', jilid 2, hal. 79.
Bahjah Al-Majâlis, jilid 1, hal. 394.
Da'âim Al-Islam, jilid 2, hal. 12.
Al-Ghâyât, hal. 100.
Ibid. hal. 85.
Jâmi' Al-Akhbâr, hal. 22.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 357.
Al-Hikam Al-Ja'fariyah, hal. 46.
Al-Mahâsin, hal. 209.
Majmû'ah Warram, jilid 2, hal. 185.
Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 366.
Ushûl Al-Kâfî, jilid 2, hal. 196.
Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 4, hal. 481.
Al-Imam Ash-Shâdiq as. wa Al-Madzâhib Al-Arba'ah, jilid 4, hal. 354.
Ibid. hal. 351.
Ibid. hal. 357.
Al-Mahâsin, hal. 207.
Tadzkirah Abi Hamdûn, hal. 85.
Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 116.
IMAM MUSA Al-KAZHIM
Kehidupan Imam Mûsâ bin Ja'far as. dipenuhi dengan pancaran cahaya, kemuliaan, dan perilaku cemerlang yang merefleksikan sepiritual, perjuangan, pengabdian, dan konsistensi Rasulullah saw. terhadap Islam. Berikut ini, kami paparkan sebagian dari sisi-sisi kehidupan imam yang satu ini.
Keluasan Ilmu
Para perawi hadis dan penulis biografi sepakat bahwa Imam Mûsâ as. adalah orang yang paling alim pada zamannya. Ia memiliki keluasan ilmu dan makrifat yang luar biasa. Banyak ulama dan perawi hadis yang meneguk ilmu pengetahuan darinya. Mereka berbondong-bondong menulis fatwa, mutiara hikmah, dan adab yang ia sampaikan. Imam Mûsâ as. di kalangan para imam Ahlul Bait as. adalah imam pertama yang mencetuskan bab halal dan haram dalam syariat Islam.
Pada masa itu, banyak ulama besar dan fuqaha yang menamatkan pelajaran dari madrasah Imam Mûsâ as. Kami telah menulis biografi para sahabat dan perawinya sebanyak 331 orang dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as. Sebagian dari mereka memiliki peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan pada masa itu. Dan sebagian yang lain terjun dalam dunia diskusi dan dialog dengan para ulama yang mengingkari imâmah, dan dengan ulama-ulama lain dari golongan dan mazhab yang berbeda-beda. Di antara sahabat Imam Mûsâ yang menonjol dalam dunia diskusi dan dialog adalah Hisyâm bin Hakam. Dia banyak melakukan diskusi dan dialog yang mengagumkan dengan para pengikut aliran Barâmikah.
Dalam sebuah dialog di pendopo kerajaan Bani Abbâsiyah, Hisyâm berhasil membuktikan keyakinan Syi'ah tentang konsep imâmah dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Kami telah memaparkan kisah ini dalam biografi Hisyâm bin Hakam yang terdapat dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2.
Dialog Imam Mûsâ as.
Imam Mûsâ as. sering melakukan dialog yang mengagumkan dan tangguh dengan para musuhnya dan sebagian ulama Yahudi dan Nasrani. Hal itu menunjukkan sejauh mana keluasan dan kekuatan ilmu pengetahuannya. Setiap orang yang pernah berdebat dengannya mengakui kelemahan dan kekalahan dirinya. Mereka bertekuk lutut di hadapan hujah-hujahnya dan mengakui keunggulan ilmunya atas ilmu mereka.
Berikut ini kami bawakan sebagian dialog Imam Mûsâ as. tersebut.
1. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Nafî' Al-Anshârî
Nafî' Al-Anshârî adalah salah seorang yang membenci Imam Mûsâ as. Dia sangat marah ketika melihat Imam Mûsâ as. begitu dihormati di pendopo kerajaan Bani Abbâsiyah.
Dalam suatu pertemuan, ketika hendak masuk menemui Hârûn, Imam Mûsâ as. disambut oleh penjaga pintu dengan penuh penghormatan. Nafî' bergegas berjalan. Pada waktu itu, ia disertai oleh Abdul Aziz. Nafî' bertanya kepadanya: "Siapakah orang ini?" Abdul Aziz menjawab: "Dia adalah pemuka keluarga Abu Thalib, Mûsâ bin Ja'far as."
Mendengar jawaban itu, Nafî' berkata: "Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih lemah dari kaum ini (Banni Abbâsiyah). Mereka menghormati seseorang yang bisa menggulingkan mereka dari takhta kerajaan. Jika dia keluar, aku akan mengganggunya."
Abdul Aziz melarang Nafî' untuk mengganggu Imam Mûsâ as. seraya berkata: "Jangan kau lakukan itu. Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait. Tidak ada seorang pun yang mengganggunya dengan ucapan, kecuali orang itu pasti dipecundangi dengan suatu jawaban yang akan tetap menjadi tanda kehinaannya untuk selama-lamannya."
Ketika Imam Mûsâ as. keluar dari ruang pertemuan Hârûn, Nafî' menghampirinya dan memegang kendali kudanya. Nafî' berkata: "Siapakah engkau?"
Imam Mûsâ manjawab: "Hai Fulan, jika kamu menginginkan nasabku, aku adalah putra Muhammad Habîbullâh, putra Ismail Dzabîhullâh, dan putra Ibrahim Khalîlullâh. Jika kamu menginginkan kota, maka aku berasal dari kota yang Allah swt. mewajibkan kaum muslimin dan kamu-bila kamu termasuk dari kalangan mereka-untuk melakukan ibadah haji kepadanya. Jika kamu menginginkan kebanggaan, demi Allah orang-orang musyrik kaumku tidak senang muslimin kaummu sebagai padanan mereka, sehingga mereka berkata, 'Hai Muhammad, keluarkanlah orang-orang yang sepadan dengan kami dari kalangan kaum Quraisy saja.' Hai fulan, lepaskanlah kendali kudaku!"
Nafî' pun mengaku kalah dan tampak marah sekali karena ia telah dipecundangi oleh Imam Mûsâ as.
2. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Abu Yusuf
Suatu hari Hârûn memerintahkan Abu Yusuf untuk bertanya kepada Imam Mûsâ as. tentang masalah fiqh. Hârûn berharapan Imam Mûsâ as. tidak mampu untuk menjawab sehingga kelemahan ini bisa dimanfaatkan untuk menghina dan memojokan Imam Mûsâ as. Hârûn pun mempertemukan Imam Mûsâ dengan Abu Yusuf. Abu Yusuf mulai bertanya kepada Imam Mûsâ as.: "Apa pendapatmu tentang bernaung bagi orang yang sedang melakukan ihram?"
"Tidak boleh", jawab Imam Mûsâ pendek.
Abu Yusuf bertanya lagi: "Bagaimana jika membangun kemah dan masuk ke dalam rumah?"
"Tidak masalah", jawab Imam Mûsâ.
Abu Yusuf menimpali: "Apa perbedaan antara keduanya?"
"Apakah wanita yang sedang haid wajib mengqadha salat?", Imam Mûsâ balik bertanya.
"Tidak", jawab Abu Yusuf.
Imam Mûsâ as. bertanya: "Apakah ia wajib mengqadha puasanya?"
"Ya", jawab Abu Yusuf.
"Mengapa?", tanya Imam Mûsâ lagi.
"Seperti itulah ketentuannya", jawab Abu Yusuf pendek.
Imam Mûsâ as. menimpali: "Begitu juga ketentuannya dalam masalah ini."
Abu Yusuf terdiam seribu bahasa. Ia tampak tidak berdaya di hadapan Imam Mûsâ as. Hârûn bertanya kepadanya: "Mengapa kamu tidak menjawab?"
Abu Yusuf berkata: "Dia telah membungkam mulutku dengan batu yang tajam."
Imam Mûsâ as. keluar dari pertemuan itu, sedangkan Hârûn Ar-Rasyîd kelihatan marah karena telah gagal menjatuhkan Imam Mûsâ as.
3. Bersama Hârûn Ar-Rasyîd
Hârûn menahan Imam Mûsâ as. dan memasukkannya ke dalam penjara selama beberapa tahun. Suatu hari, ia memeritahkan supaya Imam Mûsâ as. menghadap. Ketika Imam Mûsâ as. sudah menghadap, Hârûn berkata dengan suara keras karena marah: "Hai Mûsâ bin Ja'far, ada dua khalifah yang uang pajak diberikan kepada mereka."
Imam as. berpaling kepadanya dengan bersahabat dan lemah lembut seraya berkata: "Hai Amirul Mukminin, aku memperlindungkan kamu kepada Allah swt. dari menanggung dosaku dan dosamu dan dari menerima kebatilan dari musuh-musuh kami atas kami. Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa kami didustakan dari semenjak kematian Rasulullah saw. dengan sesuatu yang beliau ketahui ada di sisimu. Jika kamu meyakini tali kekerabatan antara kamu dengan Rasulullah saw., izinkan aku untuk menyampaikan satu hadis yang telah disampaikan oleh ayahku dari ayah-ayahnya dan berasal dari kakekku, Rasulullah saw."
Hârûn berkata: "Aku telah izinkan."
Imam Mûsâ as. berkata: "Ayahku memberitahukan kepadaku suatu hadis yang ia riwayatkan dari dari ayah-ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah saw. bahwa Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya jika rahim menyentuh rahim, maka ia akan bergerak dan bergoncang. Maka ulurkanlah tanganmu kepadaku.'"
Hârûn pasrah dan menjulurkan tangannya kepada Imam Mûsâ as. Lalu Hârûn menarik Imam Mûsâ ke arah dirinya dan memeluknya erat-erat sedang matanya berlinang air mata. Hârûn berkata kepada Imam Mûsâ as.: "Engkau benar dan benar juga kakekmu. Sesungguhnya darahku terasa bergerak dan nadiku bergetar sehingga aku pun pasrah dan air mataku bercucuran. Ada masalah yang hendak kutanyakan kepadamu. Masalah ini selalu bergejolak dalam hatiku dari dulu dan aku belum pernah menanyakannya kepada siapa pun. Jika kamu menjawab pertanyaanku ini, maka aku akan membebaskanmu dan aku tidak akan mempercayai ucapan siapa pun tentang dirimu. Sungguh aku mendengar bahwa kamu tidak pernah berbohong dan aku mempercayai hal itu. Maka jawablah pertanyaan yang ada dalam hatiku ini dengan sejujurnya."
Imam Mûsâ as. berkata: "Ilmu tentang hal itu tidak ada di sisiku. Tapi aku akan memberitahukan kepadamu tentang hal itu bila kamu menjamin keselamatanku."
Hârûn menjawab: "Kamu aman, jika kamu menjawab pertanyaanku dengan jujur dan meninggalkan taqiyah yang kamu yakini itu, hai keturunan Fathimah."
Imam Mûsâ as. berkata: "Tanyakanlah apa yang ingin kau inginkan."
Hârûn berkata: "Mengapa kalian diutamakan atas kami, padahal kalian dan kami berasal dari satu pohon? Bani Abdul Muthalib, ayah kami, dan ayah kalian adalah satu. Bani Abbâs dan kalian adalah keturunan Abu Thalib. Mereka berdua (Abu Thalib dan Abbâs) adalah paman Rasulullah saw. dan hubungan kekerabatan mereka berdua adalah sama?"
Imam Mûsâ as. menjawab: "Kami lebih dekat (kepada Rasulullah saw.)."
"Bagaimana bisa?", tukas Hârûn.
Imam Mûsâ as. menjawab: "Karena Abdullah dan Abu Thalib adalah saudara sekandung, sedangkan ayah kalian, Abbâs, tidak dilahirkan dari ibu Abdullah dan Abu Thalib."
Hârûn lebih lanjut bertanya: "Mengapa kalian mengaku dapat mewarisi Rasulullah, sedangkan seorang paman dapat menghalangi anak seorang paman yang lain (dari warisan)? Rasulullah saw. wafat dan Abu Thalib telah meninggal sebelum itu, sedangkan Abbâs, paman Rasulullah, masih hidup kala itu."
Imam Mûsâ as. menjawab: "Saya mohon Amirul Mukminin memaafkanku dari pertanyaan ini, dan silakan bertanya tentang masalah-masalah yang lain."
"Tidak! Kamu harus menjawabnya", jawab Hârûn bersikeras.
Imam Mûsâ as. menimpali: "JAmînlah keamanan bagiku!"
Hârûn menjawab: "Sudah aku jAmîn sebelum kita memulai dialog."
Imam Mûsâ as. menjawab: "Menurut pendapat Ali, jika anak kandung masih ada, baik laki-laki maupun perempuan, maka pewaris yang lain tidak berhak memperoleh harta warisan, kecuali kedua orang tua, suami, dan istri. Paman tidak berhak memperoleh harta warisan selama anak kandung masih hidup. Hanya saja, menurut pendapat Bani Taim, Bani 'Adî, dan Bani Umayyah, paman adalah seperti ayah. Pendapat mereka itu masing-masing tidak memiliki realita dan bukti dari Nabi saw."
Kemudian Imam Mûsâ as. menyebutkan pendapat para fuqaha pada zaman itu yang memiliki fatwa sama dengan fatwa kakeknya, Amirul Mukminin as., dalam masalah ini. Ia menambahkan: "Para fuqaha terdahulu Ahlusunah telah meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, 'Ali adalah paling alim di antara kalian (aqdhâkum).' Umar bin Khaththab juga berkata, 'Ali adalah orang yang paling alim di antara kita (aqdhânâ).' Dan kosa kata qadhâ' adalah kata benda yang meliputi segala sesuatu. Karena semua yang dipuji pada diri Nabi saw., seperti keahlian membaca, pengetahuan tentang kewajiban, dan ilmu pengetahuan termasuk dalam kategori qadhâ'."
Hârûn meminta supaya Imam Mûsâ as. menjelaskan masalah itu lebih rinci lagi. Imam Mûsâ as. berkata: "Sesungguhnya Nabi saw. tidak mewariskan kepada orang yang tidak berhijrah dan tidak pula menetapkan wilâyah untuknya sehingga dia berhijrah."
"Apa dalilmu", tanya Hârûn pendek.
Imam Mûsâ as. berkata: "Firman Allah swt., 'Dan orang-orang yang beriman akan tetapi tidak berhijrah, maka tidak ada sedikit pun wilâyah bagi kalian atas mereka sehingga mereka berhijrah.' Sesungguhnya pamanku, Abbâs, tidak berhijrah."
Hârûn pun marah seraya berkata kepada Imam Mûsâ as.: "Apakah engkau telah berfatwa kepada salah seorang dari musuh kami, ataukah engkau telah memberi tahu tentang hal ini kepada salah seorang di antara para fuqaha?"
Imam Mûsâ as. menjawab: "Tidak. Belum ada seorang pun yang bertanya tentang hal ini selain engkau."
Kemarahan Hârûn pun reda. Ia melanjutkan pertanyaannya: "Mengapa engkau izinkan orang-orang khusus dan umum untuk menisbahkan kalian kepada Rasulullah saw. dan memanggil kalian, 'Wahai putra Rasulullah.' Padahal kalian adalah keturunan Ali. Nasab keturunan seseorang hanya menyambung kepada ayahnya, sementara Fathimah hanyalah sebagai wadah, dan Rasulullah adalah kakekmu dari pihak ibu kalian?"
Imam Mûsâ as. menjawab pertanyaan Hârûn ini dengan hujah yang tegas. Ia berkata: "Jika seandainya Nabi saw. dihidupkan kembali dan melamar anak perempuanmu, apakah kamu akan menerima lamaran beliau?"
Hârûn menjawab: "Maha suci Allah! Mengapa aku tidak menerimanya? Bahkan aku akan berbangga diri dengan lamaran itu terhadap bangsa Arab, 'Ajam, dan suku Quraisy."
Imam Mûsâ menjawab as.: "Akan tetapi, beliau tidak akan melamar anakku dan aku juga tidak akan menikahkan anakku dengannya."
"Mengapa tidak?", tanya Hârûn pendek.
Imam Mûsâ as. menjawab: "Karena beliau telah melahirkanku dan tidak melahirkanmu."
Hârûn: "Bagus, hai Mûsâ. Tetapi bagaimana kalian mendakwa bahwa kalian adalah keturunan Nabi saw., padahal beliau tidak memiliki keturunan? Sesungguhnya nasab keturunan itu diukur melalui jalur pihak laki-laki, bukan melalui jalur pihak perempuan. Dan kalian adalah keturunan putrinya."
Imam Mûsâ as. menjawab: "Aku mohon kepadamu-berkat hubungan kekerabatan kita-agar kamu memaafkanku (dari pertanyaan ini)."
Hârûn menjawab: "Tidak, atau kamu mengajukan hujahmu tentang masalah ini, hai putra Ali as. Dan engkau, hai Mûsâ, adalah pemimpin dan imam zaman mereka. Aku tidak akan memaafkanmu."
Imam Mûsâ as. balik bertanya: "Apakah kamu mengizinkan aku menjawab?"
"Silakan", jawab Hârûn pendek.
Imam Mûsâ as. menjawab: "Allah swt. berfirman, '... dan dari keturunannya adalah Dâwûd, Sulaimân, Ayyûb, Yûsuf, Mûsâ, dan Hârûn. Begitulah kami membalas orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan (begitu juga) Zakariâ, Yahyâ, Isa, dan Ilyâs. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh.' Hai Amirul Mukminin, siapakah ayah Isa?"
Hârûn menjawab: "Isa tidak memiliki ayah."
Imam Mûsâ as. menjawab: "Allah memasukkannya ke dalam keturunan para nabi melalui jalur Maryam. Begitu juga Allah swt. memasukkan kami kepada keturunan Rasulullah saw. melalui ibu kami, Fathimah as."
Hârûn meminta hujah yang lebih rinci tentang masalah itu.
Maka Imam Mûsâ as. menambahkan: "Allah swt. berfirman, 'Barang siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), 'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan dirimu; kemudian marilah kita ber-mubâhalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.' Tak seorang pun yang berpendapat bahwa Nabi saw. memasukkan seseorang ke dalam Kisâ' ketika beliau ber-mubâhalah dengan kaum Nasrani, kecuali Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan, dan Husain."
Hujah Hârûn pun musnah dan Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. telah menutup seluruh celah yang dapat digunakan oleh Hârûn untuk melarikan diri.
Dengan dialog itu, kami tutup seri dialog Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Kami telah mengumpulkan dialog-dialog Imam Mûsâ as. dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1.
Karakter dan Jati Diri Imam Mûsâ Al-Kâzhim as.
Sesungguhnya karakter yang agung dan perilaku yang mulia adalah jati diri, ciri khas, dan bagian yang tak terpisahkan dari diri Imam Mûsâ as. Kami akan memaparkan sebagian karakter dan jati dirinya berikut ini:
1. Kehebatan Ilmu
Semua perawi hadis sepakat bahwa Imam Al-Kâzhim as. merupakan orang yang paling 'alim pada zamannya. Ilmunya tergolong kategori ilham seperti halnya ilmu para nabi dan washî. Para teolog Syi'ah telah membuktikan hal ini dengan beberapa dalil dan argumentasi. Ayahnya, Imam Ash-Shâdiq as. telah bersaksi akan kemampuan ilmu yang dimiliki oleh putranya itu. Imam Ash-Shâdiq as. pernah berkata kepada Isa: "Jika engkau bertanya kepada anakku ini tentang apa yang ada dalam mushaf ini, maka ia akan mampu menjawabnya."
Imam Ash-Shâdiq as. juga berkata: "Dia (Imam Mûsâ as.) memiliki hikmah, pemahaman, kedermawanan, dan makrifah atas segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia tentang masalah agama yang mereka perselisihkan."
Syaikh Mufid berkata: "Orang-orang telah meriwayatkan banyak sekali riwayat dari Abul Hasan Mûsâ as. Dan ia adalah orang yang paling faqih pada zamannya." Para ulama telah meriwayatkan dari Imam Mûsâ as. aneka ragam ilmu pengetahuan tekstual dan rasional sehingga ia terkenal di kalangan para perawi sebagai orang yang alim.
2. Zuhud Terhadap Dunia
Imam Mûsâ as. telah berpaling dengan sepenuh hati dari kegemerlapan dan perhiasan kehidupan. Ia hanya menfokuskan diri kepada Allah swt. dan senantiasa melakukan segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya. Ibrahim bin Abdul Hamid pernah bercerita tentang kezuhudan Imam Mûsâ as. Ia berkata: "Suatu hari aku masuk ke rumah Imam Mûsâ as. Pada waktu itu, ia sedang mengerjakan salat, dan tidak ada sesuatu apapun di dalam rumahnya kecuali sehelai kain kasar, pedang yang tergantung, dan mushaf."
Sungguh kehidupan Imam Mûsâ as. sangat zuhud. Rumahnya sangat sederhana, padahal ia menerima harta yang banyak dan hak-hak syar'î dari masyarakat Syi'ah. Ia menginfakkan semua harta itu untuk fakir miskin, orang-orang yang membutuhkan, dan untuk kepentingan di jalan dan keridaan Allah swt. Imam Mûsâ as. merasa kagum dengan kezuhudan sahabat Nabi, Abu Dzar. Ia pernah bercerita kepada para sahabatnya mengenai kehidupan Abu Dzar seraya berkata: "Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Dzar. Ia pernah berkata, 'Allah telah mencukupkan dunia bagiku sebagai sebuah kehinaan dengan dua adonan gandum; aku makan siang dengan satu adonan dan makan malam dengan adonan yang lain, dan dengan dua helai pakaian bulu yang kasar; satu helai kukenakan dan satu helai yang lain kugunakan sebagai penutup tubuhku."
Begitulah keturunan Nabi saw. yang satu ini hidup zuhud di dunia, berpaling dari keindahan, dan kegemerlapannya. Ia telah berhasil memaksa dirinya hidup renta hanya demi mengharap pahala Allah swt.
3. Kedermawanan
Salah satu karakter Imam Mûsâ as. yang luhur adalah ia telah menjadi buah bibir masyarakat luas dalam kedermawanan. Kaum fakir dan miskin berbondang-bondang mendatanginya untuk mendapatkan kebaikan dan kemurahannya. Keluarga Imam Mûsâ berkata: "Sangat aneh sekali curahan pemberian yang telah diberikan oleh Mûsâ, sementara ia dalam kekuarangan dan kefakiran."
Imam as. sering keluar di malam yang gelap gulita untuk memberikan santunan kepada orang-orang fakir dan miskin. Santunan yang ia selalu berikan mencapai dua ratus sampai empat ratus dinar. Orang-orang fakir di Madinah menikmati kebaikan, pemberian, dan santunannya. Pada jilid 1 buku Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., kami telah sebutkan segolongan orang fakir yang telah banyak dibantu oleh Imam Mûsâ Al-Kâzhim as.
Salah satu karakter Imam Kâzhim as. yang lain adalah keinginan untuk memenuhi kebetuhan orang lain. Ia tidak menunda-nunda untuk membantu orang yang membutuhkan. Ia dikenal dengan sifat mulia ini. Kaum lemah selalu mendatanginya demi meminta pertolongan darinya, dan Imam Al-Kâzhim as. senantiasa memenuhi kebutuhan mereka. Di antara mereka adalah seorang penduduk kota Rei. Ia memiliki utang yang menumpuk kepada negara. Ia menanyakan tentang penguasa daerah itu. Ia diberitahu bahwa penguasa itu adalah seorang Syi'ah Ahlul Bait as. Maka penghuni Rei itu berangkat ke Madinah untuk memohon petunjuk kepada Imam Mûsâ as. Imam Mûsâ as. mengutusnya kembali untuk menjumpai penguasa daerah tersebut dengan membawa sepucuk surat. Isi surat itu adalah berikut ini:
Camkanlah bahwa di bawah 'Arsy Allah swt. terdapat sebuah naungan yang tidak akan didiami kecuali oleh orang yang berbuat baik kepada saudara seimannya, meringankan kesusahanya, atau memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya. Dan orang ini adalah saudaramu. Wassalaam.
Penghuni Rei itu mengambil surat tersebut dan berangkat menjumpai penguasa daerah itu dengan membawa surat dari Imam Al-Kâzhim as. itu. Ketika sampai di istana, ia mengetuk pintu. Budah penguasa daerah itu keluar seraya bertanya: "Siapa kamu?"
Penghuni Rei itu menjawab: "Aku adalah utusan Ash-Shâbir (orang yang sabar), Mûsâ."
Dengan serta-merta budak itu masuk ke dalam istana untuk memberitahukan hal itu kepada tuannya. Sang tuan keluar dengan telanjang kaki dan segeral menanyakan keadaan Imam Al-Kâzhim as. Ia menyambut penghuni Rei itu dengan hangat dan penuh penghormatan. Penghuni Rei menyerahkan surat dari Imam Al-Kâzhim as. kepadanya. Penguasa daerah itu langsung menciumnya. Setelah membaca surat itu, ia menyuruh budaknya untuk membawakan semua harta (yang telah disita negara) dan memberikannya kepada penghuni Rei itu. Untuk harta yang tidak bisa diserahkan, penguasa daerah itu menyerahkan harganya. Dengan lembut lembut, ia bertanya: "Hai saudaraku, apakah aku telah membuatmu bahagia dengan ini?"
Penghuni Rei itu menjawab: "Ya, demi Allah. Bahkan lebih dari itu."
Kemudian penguasa daerah itu meminta buku yang berisi catatan seluruh utang penghuni Rei itu. Ia memerintahkan supaya semua utang itu dihapus dan penghuni Rei itu dinyatakan bebas. Penghuni Rei itu keluar dari istana dengan penuh gembira dan kembali ke kotanya. Tak lama kemudian, ia pergi ke Madinah dan memberitahukan seluruh kebaikan penguasa daerah itu kepada Imam Al-Kâzhim as. Imam Al-Kâzhim as. pun sangat bahagia. Penghuni Rei itu bertanya kepada Imam Al-Kâzhim as.: "Wahai tuanku, apakah Anda senang mendengar ini?"
Imam Al-Kâzhim as. menjawab: "Ya, demi Allah. Sungguh ia telah membuat aku dan Amirul Mukminin bahagia. Demi Allah, ia telah membuat Rasulullah saw. bahagia. Sungguh ia juga telah membuat Allah swt. bahagia."
Imam Al-Kâzhim as. terkenal dengan karakter ini. Fatwanya yang menyatakan bahwa kafarah seorang penguasa adalah berbuat baik kepada saudara-saudaranya telah tersebar luas di antara kaum Syi'ah.
Dostları ilə paylaş: |