Bekal penuntut ilmu adab penuntut ilmu dalam dirinya sendiri


Mencuri Adalah Sebuah Kezaliman



Yüklə 0,69 Mb.
səhifə4/8
tarix15.01.2019
ölçüsü0,69 Mb.
#96948
1   2   3   4   5   6   7   8

Mencuri Adalah Sebuah Kezaliman

Perbuatan mencuri merupakan tindak kedzaliman terhadap kaum muslimin. Kedzaliman terhadap harta mereka


Sufyan Ats Tsauri pernah berkata,

لأنْ تلقى الله تعالى بسبعين ذنباً فيما بينك وبينه؛ أهونُ عليك من أن تلقاه بذنب واحد فيما بينك وبين العباد

“Andai anda bertemu Allah dengan memikul 70 dosa yang kaitannya antara anda dan Dia, itu lebih ringan daripada engkau bertemu Allah, dengan membawa satu dosa, namun dosa itu kaitannya antara dirimu dengan manusia” (lihat: Tanbih al Ghofilin, hal. 380).

Karena Allah mudah bagiNya untuk mengampuni dosa-dosamu. Dia Tuhan yang Maha Pengampun lagi Penyayang. Adapun dosa kepada manusia, bila dia memaafkanmu, maka alhamdulillah. Namun bila tidak, maka harus ada sidang, untuk mengembalikan hak mereka yang terdzalimi.

Imam Syafi’i juga pernah berpesan,

بئس الزادُ إلى المَعادِ العدوانُ على العبادِ

“Seburuk-buruk bekal menuju hari kebangkitan, adalah dosa permusuhan dengan sesama hamba.” (Lihat: As Siyar 10/24)

Hak seorang muslim itu besar. Kedudukan mereka di hadapan Allah agung. Sampai-sampai dalam sebuah hadis dijelaskan, bahwa hancurnya dunia, itu lebih ringan disisi Allah dari pada terbunuhnya seorang mukmin.

Oleh karenanya, Islam melarang keras segala tindakan kedzaliman terhadap sesama muslim. Bahkan seluruh manusia. Baik dalam hal kehormatan, jiwa, raga, ataupun harta. Nabi kita –shallallahu ‘ alaihi wasallam – mengingatkan,

المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , و المهاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نهَى اللهُ عَنْهُ

Seorang muslim yang sempurna itu adalah, yang saudara semuslimnya terhindari dari keburukan lisan dan tangan nya. Dan orang yang berhijrah adalah, yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40 )

Dalam riwayat Tirmidzi dan An-Nasa’i dengan redaksi berikut :

و المؤمن من أمنة الناس على دمائهم و أموالهم

Seorang mu’min (yang sempurna) yaitu orang yang orang-orang merasa aman darah mereka dan harta mereka dari gangguannya”.

Bahkan ancaman Allah amat mengerikan.

إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih” (QS. Asy Syura: 42).

Bahkan tindakan dzalim kepada hewan saja, bisa fatal akibatnya, apalagi kepada manusia?! Terlebih lagi saudaranya sesama mukmin?! Tidakkah kita ingat sebuah hadis, yang menceritakan tentang seorang wanita disiksa di neraka, gara-gara mengurung seekor kucing..?!

Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda,

عذبت امرأة في هرة حبستها حتى ماتت جوعًا فدخلت فيها النار

Ada seorang perempuan disiksa karena seekor kucing yang dikurungnya hingga mati karena tindakannya tersebut ia masuk neraka. Wanita itu tidak memberi kucing tersebut makan, tidak pula minum ketika ia mengurungnya. Juga kucing tersebut tidak dibolehkan untuk memakan serangga-serangga di tanah” (HR. Bukhari no. 3482 dan Muslim no. 2242).

Dan tak ada yang meragukan bahwa perbuatan mencuri merupakan tindak kedzaliman terhadap kaum muslimin. Kedzaliman terhadap harta mereka. Allah ‘azzawajalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa : 29).

Dalam Shahih Muslim, dari sahabat Ali bin Tholib radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

لعن الله من غيّرَ منارَ الأرض.

Allah melaknat orang yang mengubah batas kepemilikan tanah“.

Doa Orang Terdzalimi Mutajab


Sebuah pesan yang selayaknya menumbuhkan rasa takut dalam benak kita, sebelum melangkah untuk berbuat dzalim; mencuri misalnya, adalah doa orang yang terdzalimi itu diijabahi oleh Allah. Siapapun dia. Bahkan orang kafir sekalipun, apalagi yang didzalimi adalah orang mukmin.

Dalam hadis Anas bin Malik radhiyallahu’anhu diterangkan, beliau menceritakan, “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

اتقوا دعوة المظلوم وإن كان كافراً فإنه ليس دونها حجاب

Takutlah kalian terhadap doa orang yang teraniaya. Meskipun ia orang kafir. Karena doa teraniaya itu tidak ada penghalang untuk terijabahi” (HR Ahmad 3/153 dilemahkan oleh Syueb al Aranuth).

Sadarilah, bahwa Allah tidaklah lengah dari gerak-gerikmu. Meski terbalut malam yang gelap, dalam kesunyian atau kesendirian, Allah melihatmu. Dan presidangan adil di hari Kiamat menanti.

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَار * مُهْطِعِينَ مُقْنِعِي رُءُوسِهِمْ لَا يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ ۖ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاءٌ

Dan janganlah sekali-kali kamu mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mangangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong” (QS. Ibrahim : 42-43).

Salah seorang pujangga pernah bersyair :

لاتظلمن إذا ما كنت مقتدراً …… فالظلم آخره يأتيك بالندم

نامت عيونك والمظلوم منتبه …… يدعو عليك وعين الله لم تنم



Jangan kau berbuat dzalim meski dirimu mampu melakukan…
Karena akhir dari kedzaliman adalah penyesalan…

Di saat aib-aibmu telah tertidur (terobati), namun orang yang kau dzalimi senantiasa terbangun..


Dia mendoakan keburukan untuk mu, sementara mata Allah tak pernah tertidur…

Masih Ada Kesempatan Untuk Berubah


Setelah mengetahui bahaya perbuatan zalim, akan lebih indah bila kita pikirkan langkah selanjutnya, yaitu bagaimana menemukan solusi untuk berubah.

Jalan hidup ini bukan hanya satu. Manusia, dengan akal dan nuraninya, serta wahyu yang Allah turunkan sebagai pedoman untuk mereka, mereka diberi pilihan untuk menentukan langkah.

Dan Allah ‘azza wa jalla, menetapkan sebuah jalan, sebagai solusi bagi para pelaku dosa, untuk kembali pada jalan yang diridoi dan menjadi hambaNya yang mulia. Jalan tersebut adalah jalan taubat. Allah ‘azza wa jalla menerima taubat orang kembali kepadaNya, meski ia membaca dosa sebesar gunung sekalipun. Dalam Alquran, Allah memberi kabar gembira,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Az Zumar: 53).

Hanya, bila kesalahan berkaitan dengan hak manusia, maka cara bertaubatnya dengan mengembalikan hak tersebut kepada yang memiliki, atau meminta kehalalannya. Kemudian memohon ampunan kepada Allah ta’ala atas kesalahannya, disertai penyesalan dan tekad untuk tidak mengulangi kembali.

Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam bersabda,

من كانت عنده لأخيه مظلمة فليتحلله اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ من حسناته بقدر مظلمته فإن لم يكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه

Barang siapa yang ada sangkut paut kezaliman dengan saudaranya, baik berkaitan dengan kehormatan atau lainnya, maka mintalah dihalalkan daripadanya pada hari ini. Sebelum tidak berlaku lagi dinar dan dirham (mata uang). Jika dia punya amal shalih, maka diambilkan darinya sesuai kadar kezalimannya. Dan jika tidak memiliki amal kebaikan lagi, maka diambillah sebagian dari dosa-dosa saudaranya itu dan ditimpakan kepadanya.” (HR.Bukhari).

Wabillah at taufiq (hanya Allah yang dapat memberi taufik) ….

***
Disempurnakan pada pagi hari di hari jumat, 10 Jumadal Ula 1437 H. Madinah An Nabawiyyah.

Disusun oleh : Ahmad Anshor



Sumber: https://muslim.or.id/27506-mencuri-adalah-sebuah-kezaliman.html

SEMESTER II

70 DOSA BESAR ATAU KABA`IR DALAM ISLAM:

  1. Menyekutukan Allah atau Syirik

  2. Membunuh Manusia

  3. Melakukan Sihir

  4. Meninggalkan Shalat

  5. Tidak Mengeluarkan Zakat

  6. Tidak Berpuasa ketika bulan Ramadhan tanpa alasan yang kuat

  7. Tidak Mengerjakan Haji Walaupun Berkecukupan

  8. Durhaka Kepada Ibu Bapa

  9. Memutuskan Silaturahim

  10. Berzina

  11. Melakukan Sodomi atau Homoseksual

  12. Memakan Riba

  13. Memakan Harta Anak Yatim

  14. Mendustakan Allah S.W.T dan Rasul-Nya

  15. Lari dari Medan Perang

  16. Pemimpin Yang Penipu dan Kejam

  17. Sombong

  18. Saksi Palsu

  19. Meminum minuman beralkohol

  20. Berjudi

  21. Menuduh orang baik melakukan Zina

  22. Menipu harta rampasan Perang

  23. Mencuri

  24. Merampok

  25. Sumpah Palsu

  26. Berlaku Zalim

  27. Pemungut cukai yang Zalim

  28. Makan dari harta yang Haram

  29. Bunuh Diri

  30. Berbohong

  31. Hakim yang Tidak adil

  32. Memberi dan menerima sogok

  33. Wanita yang menyerupai Lelaki dan sebaliknya juga

  34. Membiarkan istri, anaknya atau anggota keluarganya yang lain berbuat mesum dan Memfasilitasi anggota keluarganya tersebut untuk berbuat mesum

  35. Menikahi wanita yang telah bercerai agar wanita tersebut nantinya bisa kembali menikah dengan suaminya terdahulu

  36. Tidak melindungi pakaian dan tubuhnya dari terkena hadas kecil seperti air kencing atau kotoran

  37. Riya atau suka pamer

  38. Ulama yang memiliki ilmu namun tidak mau mengamalkan ilmunya tersebut untuk orang lain

  39. Berkhianat

  40. Mengungkit-Ungkit Pemberian

  41. Mangingkari Takdir Allah SWT

  42. Mencari-cari Kesalahan Orang lain

  43. Menyebarkan Fitnah

  44. Mengutuk Umat Islam

  45. Mengingkari Janji

  46. Percaya Kepada Sihir dan Nujum

  47. Durhaka kepada Suami

  48. Membuat patung

  49. Menamparkan pipi dan meratap jika terkena bala

  50. Menggangu Orang lain

  51. Berbuat Zalim terhadap yg lemah

  52. Menggangu Tetangga

  53. Menyakiti dan Memaki Orang Islam

  54. Derhaka kepada Hamba Allah S.W.T dan menggangap dirinya baik

  55. Memakai pakaian labuhkan Pakaian

  56. Lelaki yang memakai Sutera dan Emas

  57. Seorang hamba (budak) yang lari dari Tuannya

  58. Sembelihan Untuk Selain Dari Allah S.W.T

  59. Seorang yang mengaku bahwa seseorang itu adalah ayahnya namun dia tahu bahwa itu tidak benar

  60. Berdebat dan Bermusuhan

  61. Enggan Memberikan Kelebihan Air

  62. Mengurangi Timbangan

  63. Merasa Aman Dari Kemurkaan Allah S.W.T

  64. Putus Asa Dari Rahmat Allah S.W.T

  65. Meninggalkan Sholat Berjemaah tanpa alasan yang kuat

  66. Meninggalkan Sholat Jumaat tanpa alasan yang kuat

  67. Merebut hak warisan yang bukan miliknya

  68. Menipu

  69. Mengintip Rahasia dan Membuka Rahasia Orang Lain

  70. Mencela Nabi dan Para Sahabat Beliau

77 CABANG IMAN 4

  1. Iman kepada Allah Azza wa Jalla

  2. Iman kepada para rasul Allah seluruhnya

  3. Iman kepada para malaikat

  4. Iman kepada Al-Qur’an dan segenap kitab suci yang telah diturunkan sebelumnya

  5. Iman bahwa qadar – yang baik ataupun yang buruk – adalah berasal dari Allah

  6. Iman kepada Hari Akhir

  7. Iman kepada Hari Berbangkit sesudah mati

  8. Iman kepada Hari Dikumpulkannya Manusia sesudah mereka dibangkitkan dari kubur

  9. Iman bahwa tempat kembalinya mukmin adalah Surga, dan bahwa tempat kembali orang kafir adalah Neraka

  10. Iman kepada wajibnya mencintai Allah

  11. Iman kepada wajibnya takut kepada Allah

  12. Iman kepada wajibnya berharap kepada Allah

  13. Iman kepada wajibnya tawakkal kepada Allah

  14. Iman kepada wajibnya mencintai Nabi saw

  15. Iman kepada wajibnya mengagungkan dan memuliakan Nabi saw

  16. Cinta kepada din, sehingga ia lebih suka terbebas dari Neraka daripada kafir

  17. Menuntut ilmu, yakni ilmu syar’i

  18. Menyebarkan ilmu, berdasarkan firman Allah : “Agar engkau menjelaskannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya”

  19. Mengagungkan Al-Qur’an, dengan cara mempelajari dan mengajarkannya, menjaga hukum-hukumnya, mengetahui halal haramnya, memuliakan para ahli dan huffazh-nya, serta takut pada ancaman-ancamannya

  20. Thaharah

  21. Sholat lima waktu

  22. Zakat

  23. Puasa

  24. I’tikaf

  25. Haji

  26. Jihad

  27. Menyusun kekuatan fii sabilillah

  28. Tegar di hadapan musuh, tidak lari dari medan peperangan

  29. Menunaikan khumus

  30. Membebaskan budak dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah

  31. Menunaikan kaffarat wajib : kaffarat pembunuhan, kaffarat zhihar, kaffarat sumpah, kaffarat bersetubuh di bulan Ramadhan ; demikian pula fidyah

  32. Menepati akad

  33. Mensyukuri nikmat Allah

  34. Menjaga lisan

  35. Menunaikan amanah

  36. Tidak melakukan pembunuhan dan kejahatan terhadap jiwa manusia

  37. Menjaga kemaluan dan kehormatan diri

  38. Menjaga diri dari mengambil harta orang lain secara bathil

  39. Menjauhi makanan dan minuman yang haram, serta bersikap wara’ dalam masalah tersebut

  40. Menjauhi pakaian, perhiasan, dan perabotan yang diharamkan oleh Allah

  41. Menjauhi permainan dan hal-hal sia-sia yang bertentangan dengan syariat Islam

  42. Sederhana dalam penghidupan (nafkah) dan menjauhi harta yang tidak halal

  43. Tidak benci, iri, dan dengki

  44. Tidak menyakiti atau mengganggu manusia

  45. Ikhlas dalam beramal karena Allah semata, dan tidak riya’

  46. Senang dan bahagia dengan kebaikan, sedih dan menyesal dengan keburukan

  47. Segera bertaubat ketika berbuat dosa

  48. Berkurban : hadyu, idul adh-ha, aqiqah

  49. Menaati ulul amri

  50. Berpegang teguh pada jamaah

  51. Menghukumi diantara manusia dengan adil

  52. Amar ma’ruf nahi munkar

  53. Tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa

  54. Malu

  55. Berbakti kepada kedua orang tua

  56. Menyambung kekerabatan (silaturrahim)

  57. Berakhlaq mulia

  58. Berlaku ihsan kepada para budak

  59. Budak yang menunaikan kewajibannya terhadap majikannya

  60. Menunaikan kewajiban terhadap anak dan isteri

  61. Mendekatkan diri kepada ahli din, mencintai mereka, dan menyebarkan salam diantara mereka

  62. Menjawab salam

  63. Mengunjungi orang yang sakit

  64. Mensholati mayit yang beragama Islam

  65. Mendoakan orang yang bersin

  66. Menjauhkan diri dari orang-orang kafir dan para pembuat kerusakan, serta bersikap tegas terhadap mereka

  67. Memuliakan tetangga

  68. Memuliakan tamu

  69. Menutupi kesalahan (dosa) orang lain

  70. Sabar terhadap musibah ataupun kelezatan dan kesenangan

  71. Zuhud dan tidak panjang angan-angan

  72. Ghirah dan Kelemahlembutan

  73. Berpaling dari perkara yang sia-sia

  74. Berbuat yang terbaik

  75. Menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua

  76. Mendamaikan yang bersengketa

  77. Mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia juga mencintainya untuk dirinya sendiri, dan membenci sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia juga membencinya untuk dirinya sendiri





SUFI DAN TASAWWUF

  1. ARTI TASAWWUF

Ada beberapa teori tentang asal dari kata Tasawwuf antara lain adalah :

    1. Berasal dari kata shafw, artinya bersih atau shafai. Kemungkinan ini dikuatkan, oleh karena tujuan hidup kaum Shufi adalah kebersihan lahir dan batin menuju maghfirah dan ridha Allah.

    2. Berasal dari kata shaffah, yaitu suatu kamar di samping masjid Rasulullah di kota Madinatul Munawwarah, kamar mana disediakan melulu untuk para shahabat yang aktif di bidang ilmiyah, dimana makan dan minum mereka ditanggung oleh orang-orang yang mampu dalam kota Madinah. Para shahabat yang pernah tinggal di situ, antara lain adalah : Abu Dardak, Abu Zarr, Abu Hurairah.

    3. Berasal dari kata Shaff, yaitu barisan di kala sembahyang. Oleh karena orang-orang yang kuat imannya serta suci batinnya, biasanya sembahyang memilih shaff (barisan) yang di muka dalam berjama’ah.

    4. Berasal dari kata shaufanah, yaitu sebangsa buah-buahan kecil berbulu-bulu yang banyak sekali tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dimana pakaian kaum Shuffi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaannya.

Terma-terma dari Shofw atau Shafad, dari Shaffah, dari Shaff, dari Shahufanah, hingga saat ini, belumlah dapat sampai menggoyahkan pendapat yang menyatakan, bahwa Tasawwuf itu berasal dari bab Tafa’ul, yaitu : Tafa’ala – Yatafa’alu – Tafa’ulan, imbangannya ialah : Tashawwafa – Yatashawwafu – Tashawwufan. Tashawwafar rajulu : seorang laki-laki telah mentasawwuf, maksudnya : Telah berpindah halnya dari pada kehidupan biasa, kepada kehidupan Shufi. Jadi, Tashawwafar rajulu, berarti : Qad saarar rajulu Shaufan. Apa sebabnya? Sebab para Shufi, bilamana telah memasuki lingkungan tasawwuf, mereka mempunyai simbol pakaian dari bulu; tentunya belumlah wool, tetapi hampir-hampir menyamai goni dalam kesederhanaannya.

Maksudnya, membuang pakaian yang mewah bagi diri, lalu berganti dengan pakaian dari bulu. Kesimpulannya : asal kata yang terdekat adalah shuufan atau bulu. Tashfijatul quluub, artinya : membersihkan atau menggosok hati, sedangkan orangnya sendiri bernama Shufi.



  1. DEFINISI TASAWWUF

Banyak para ahli memberikan definisi tasawwuf, di sini kita kemukakan lima rangkai definisi tasawwuf, yaitu :

    1. Seorang Shufi ialah oran gyang telah bersih hatinya, semata-mata untuk Allah – (Basj bin Al Harist Al Haafi).

    2. Shufi ialah orang yang telah memilih Al Haqq (Allah) semata-mata untuk dirinya. –(Bandar bin Al Husain).

    3. Tasawwuf, ialah mengambil hakikat dan putus asa dari apa yang ada dalam tangan sesama makhluk – (Ma’ruf Al Karachi)

    4. Tasawwuf, ialah masuk kedalam budi menurut contoh yang ditinggalkan Nabi dan keluar dari pada budi yang rendah. – (Abu Muhammad Al Jurairai)

    5. Tasawwuf, ialah membersihkan jiwa dari pengaruh benda atau alam, supaya dia mudah menuju kepada Tuhan. – (Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrulah).

Dengan demikian teranglah kepada kita, bahwa Tasawwuf itu adalah agama dan kemudian barulah merupakan ilmu tersendiri, barulah geemeancipatie dan gedifferentiatie. Sama halnya seperti Hadits adalah agama, barulah merupakan ilmu tersendiri sesudah tahun 156 Hijriah.

Terma Tasawwuf sendiri barulah ada pada tahun 150 Hijriah dimana secara selektif orang menyelidiki, bahwa yang pertama-tama sekali digelari orang dengan Shufi ialah Abu Hasyim Shufi Al Kuufi (berasal dari Kufah), meninggal dunia pada tahun 150 Hijriah / 761 Masehi.

Sama halnya dengan Hadits dan Tasawwuf tadi, juga Tafsir, Fiqih, Ilmu Kalaam adalah agama di zaman Rasulllah saw. maka satu demi satu masing-masing merupakan ilmu-ilmu tersendiri tersusun secara sistematik.

Memang di zaman Rasulullah saw. kata Tasawwuf belumlah ada, akan tetapi tiadalah berarti bahwa sistem Tasawwuf balum ada pada kala itu, karena sejak zaman Rasul, tendens ke arah kehidupan Tasawwuf sudah ada, malah sebelum keangkatan beliau sebagai Rasul sudah ada.



  1. PENGARUH TASAWWUF

Tasawwuf sangatlah besar pengaruhnya dalam membentuk cara hidup dan cara berfikir bagi mereka yang beragama, baik pengaruh itu berupa kebaikan ataupun keburukan.

Pada kebaikannya, ialah menyebabkan orang menjadi ikhlas dalam beramal atau berjuang, semata-mata karena Allah, tidak karena maksud yang lain.

Pada keburukannya, ialah tiada kurangnya pula ekses-ekses yang buruk-buruk yang timbul akibat Tasawwuf, misalnya :

Orang lalu benar-benar menyingkirkan dirinya dari pergaulan masyarakat ramai dan secara mutlak memandang bahwa dunia adalah semata-mata hanya merusakkan, padahal dunia adalah tempat beramal, bekerja dan berjuang untuk kebahagiaan masyarakat ummat di dunia dan untuk kebahagiaan diri pribadi di akhirat nantinya.

Untuk kebahagiaan ummat, karena agama Islam itu adalah Dienun wa Daulatun, adalah Agama dan Negara. Sering terjadi lapangan mistik sebagai tempat lawan-lawan Islam yang dengan aktifnya merek memasukkan i’tiqad ummat dan melemahkan potensi Islam dalam perjuangannya.

Keistimewaan dari ilmu Tasawwuf adalah bahwa ilmu itu lebih berat kepada zauq atau perasaan, jadi lebih dekat kepada seni dari pada kepada filsafat.

Kalau orang selalu mempelajari, membaca buku-buku tentang Tasawwuf, biasanya agak terpengaruh oleh ajaran-ajaran Tasawwuf, maka lambat laun orang itu akan juga berfikir, berbuat dan berlaku menurut ajaran-ajarannya.

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah 5

Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah Allah Subhanahu wata’ala sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alai wassallam empat belas abad yang lalu.

 Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah r kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka :

 افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

 

Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.



Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allahsubhaanahu wa ta’alaYang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allahsubhaanahu wa ta’alaMaha Mempunyai Hikmah dibelakang hal tersebut.

 Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut. 6 Beliau berkata : “(Perpecahan dan perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah subhaanahu wa ta’ala guna menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.

 Allah  berfirman :

ألم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُوْلُوْا آمَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُون وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِين َ(العنكبوت 1-3) 

Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankabut : 29 / 1-3).

 Dan Allah  berfirman  :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ  (هود : 118-119)

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. (QS. Hud : 10 / 118-119)



وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ (اللأنعام : 35)

Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-‘An’am : 6 / 35).”

 Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasululullah r :

 قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ

Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.

 Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-  :

 خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ    يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ] وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ      [

 “Pada suatu hari Rasulullah r menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”. 7



Pengertian as-Sunnah Secara Bahasa (Etimologi)

As-Sunnah  secara bahasa berasal dari kata: "sanna yasinnu", dan "yasunnu sannan", dan "masnuun" yaitu yang disunnahkan. Sedang "sanna amr" artinya menerangkan (menjelaskan) perkara.

As-Sunnah juga mempunyai  arti "at-Thariqah" (jalan/metode/pandangan hidup) dan "as-Sirah" (perilaku) yang terpuji dan tercela. Seperti sabda Rasulullah SAW, 

"Sungguh kamu  akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no 3456, 7320 dan Muslim no. 2669 dari Sahabat Abu Sa'id al-Khudri).

Lafazh "sanana" maknanya adalah (pandangan hidup mereka dalam urusan agama dan dunia). 



"Barangsiapa memberi contoh suatu sunnah (perilaku) yang baik dalam Islam, maka baginya pahala kebaikan tersebut dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi sesuatu apapun dari pahala mereka. Dan barang siapa memberi contoh sunnah (perilaku) yang jelak dalam Islam ...." (HR. Muslim). ((HR. Muslim no. 1017, at-Tirmidzi no. 2675, Ibnu Majah no. 203, ad-Darimi no. 514, Ahmad (IV/357), an-Nasa-i no. 2553, dan yang lainnya dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah.

Hadist selengkapnya adalah sebagai berikut,

"Dari al-Mundzir  bin jarir, dari bapaknya, dia berkata, "Kami pernah berada bersama Rasulullah SAW pada permulaan terik siang. Dia berkata, ‘Lalu datanglah kepada Rasulullah SAW suatu kaum dalam keadaan tidak beralas kaki dan telanjang, hanya memakai kain selimut (yang nampak dari yang memakainya hanya bagian kepala saja) atua mantel dari karung sambil menyandang pedang, kebanyakan mereka  dari kabilah Mudhar, bahkan semuanya dari Mudhar. Melihat kondisi demikian raut wajah Rasulullah SAW menjadi berubah (karena merasa iba) karena melihat kefakiran yang menimpa mereka. Lalu  beliau masuk kemudian keluar, kemudian  menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan dan iqamah. Rasulullah SAW lalu mengerjakan shalat kemudian dikuti dengan berkhutbah, sambil bersabda : ‘Hai sekalain manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, .... sampai akhir ayat ‘Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu,' (An-Nisaa': 1) juga membaca ayat dalam surat Al-Hasyr, ‘Hari orang-orang  yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memeprhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah....' (Al-Hasyr: 18).

(Karena mendengar khutbah Nabi tersebut) Kemudian ada seseorang bershadaqah dari dinarnya, diharmnya, pakaiannya, dari satu sha' (kira-kira 3 kg) gandumnya, satu sha' kurma, sampai-sampai beliau mengatakan walaupun hanya dengan setengah butir kurma kering.' Dia berkata: "Kemudian seorang laki-laki dari Kaum Anshar membawa  membawa sekantung penuh kurma, hampir-hampir telapak tangannya tidak kuat untuk membawahnya, bahkan benar-benar lemah, maka hal itu diikuti silih berganti oleh banyak orang. Sampai-sampai aku melihat dua tumpukan makanan dan pakaian yang sangat banyak. Akupun melihat raut wajah Rasulullah SAW bergembira seakan-akan bersinar cerah sekali,  kemudian beliau bersabda: "Barangsiapa  yang mencontohkan suatu sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahala sunnah tersebut dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa mencontoh suatu sunnah yang jelek/buruk dalam Islam, maka dosanya akan ditanggungnya dan juga dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.')



"Barangsiapa memberi contoh suatu sunnah (perilaku) yang baik dalam Islam, maka baginya pahala kebaikan tersebut dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi sesuatu apapaun dari pahalam mereka. Dan barangsiapa memberi contoh sunnah (perilaku) yang jelak dalam Islam ...."

Lafazh "sunnah" maknanya adalah "sirah" (perilaku). (Lihat kamus bahasa, Lisaanul ‘Arab, Mukhtaarush Shihaah dan al-Qaamuusul Muhith: (bab: Sannana).



Pengertian as-Sunnah Secara Istilah (Terminologi)

Yaitu petunjuk yang telah ditempuh oleh rasulullah SAW dan para Sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu, ‘aqidah, perkataan, perbuatan maupun ketetapan.

As-Sunnah juga digunakan untuk menyebut sunnah-sunnah (yang berhubungan dengan) ibadah dan ‘aqidah. Lawan kata "sunnah" adalah "bid'ah". 

Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelahkau, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaknya kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur Rasyidin dimana mereka itu telah mendapat hidayah." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Syaikh al-Albani). (HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat keternagan hadits selengkapnya di dalam Irwaa-ul Ghaliil no. 2455 oleh Syaikh al-Albani. 



Pengertian Jama'ah Secara Bahasa (Etimologi)

Jama'ah diambil dari kata "jama'a" artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian dengan sebagian lain. Seperti kalimat "jama'tuhu" (saya telah mengumpulkannya); "fajtama'a" (maka berkumpul).

Dan kata tersebut berasal dari kata "ijtima'" (perkumpulan), ia lawan kata dari "tafarruq" (perceraian) dan juga lawan kata dari "furqah" (perpecahan).

Jama'ah adalah sekelompok orang banyak; dan dikatakan juga sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.

Dan jama'ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah. 8 

Pengertian Jama'ah Secara Istilah (Terminologi):

Yaitu kelompok kaum muslimin ini, dan mereka adalah pendahulu ummat ini dari kalangan para sahabat, tabi'in dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat; dimana mereka berkumpul berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dan mereka berjalan sesuai dengan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW baik secara lahir maupun bathin.

Allah Ta'ala telah memeringahkan kaum Mukminin dan menganjurkan mereka agar berkumpul, bersatu dan tolong-menolong. Dan Allah melarang mereka dari perpecahan, perselisihan dan permusuhan. Allah SAW berfirman: "Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Ali Imran: 103). 

Dia berfirman pula, "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka." (Ali Imran: 105). 

Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (golongan), tujuh puluh dua tempatnya di dalam Neraka dan satu tempatnya di dalam Surga, yaitu ‘al-Jama'ah." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Imam al-Albani). (HR. Abu Dawud no. 4597, Ahmat (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi (II/241). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Dishahihkan pula oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahadadiitsish Shahiihah no. 203.204). 

Beliau juga bersabda, "Hendaknya kalian bersatu, dan janganlah bercerai-berai. Karena sesungguhnya syaitan itu bersama seorang, dan dia dari dua orang lebih jauh. Barangsiapa menginginkan di tengah-tengah Surga, maka hendaknya ia berjama'ah (bersatu)!" (HR Ahmad, dalam Musnadnya, dan dishahihkan oleh Imam al-Albani dalam kitab Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim). (HR. At-Tirmidzi no. 2165, Ahmad (I/18), lafazh ini milik at-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim dan bersamanya kitab Zhilaalul Jannah fi Takhrij as-Sunnah no. 88). 

Seorang Sahabat yang mulia bernama ‘Abullah bin Mas'ud r.a. berkata, "Al-Jama'ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian." (Diriwayatkan oleh al-Lalika-i dalam kitabnya, Syarah Ushul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah). (Syarah Ushuulil I'tiqaad karya al-Lalika-i no. 160 dan al-Baa'its ‘alaa Inkaaril Bida' wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman). 

Jadi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, adalah mereka yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejak dan jalan mereka, baik dalam hal ‘aqidah, perkataan maupun perbuatan, juga mereka yang istiqamah (konsisten) dalam ber-ittiba' (mengikuti Sunnah Nabi SAW) dan menjauhi perbuatan bid'ah. Mereka itulah golongan yang tetap menang dan senantiasa ditolong oleh Allah sampai hari Kiamat. Oleh karena itu mengikuti mereka (Salafush Shalih) berarti mendapatkan petunjuk, sedang berselisih terhadapnya berarti kesesatan. 



Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai karakteristik dan keistimewaan, di antaranya :

    1. Mereka mempunyai sikap wasathiyah (pertengahan) di antara ifraath (melampaui batas) dan tafriith (menyia-nyiakan); dan di antara berlebihan dan sewenang-wenang, baik dalam masalah ‘aqidah, hukum atau akhlak. Maka mereka berada di pertengahan antara golongan-golongan lain, sebagaimana juga ummat ini berada dipertengahan antara agama-agama yang ada.

    2. Sumber pengambilan pedoman bagi mereka hanyalah al-Qur-an dan as-Sunnah, Mereka pun memperhatikan keduanya dan bersikap taslim (menyerah) terhadap nash-nashnya dan memahaminya sesuai dengan manhaj Salaf.

    3. Mereka tidak mempunyai iman yang diagungkan, yang semua perkataannya diambil dari meninggalkan apa yang bertentangan dengan kecuali perkataan Rasulullah SAW. Dan Ahli Sunnah itulah yang paling mengerti dengan keadaan Rasulullah SAW  perkataan dan perbuatannya. Oleh karena itu, merekalah yang paling mencintai sunnah, yang paling peduli untuk mengikuti dan paling lolal terhadap para pengikutnya.

    4. Mereka meninggalkan persengketaan dan pertengkaran dalam agama sekaligus menjauhi orang-orang yang terlibat di dalamnnya, meninggalkan perdebatan dan pertengkaran dalam permasalahan tentang halal dan haram. Mereka masuk ke dalam dien (Islam) secara total.

    5. Mereka mengagungkan para Salafush Shalih dan berkeyakinan bahwa metode Salaf itulah yang lebih selamat, paling dalam pengetahuannya dan sangat bijaksana.

    6. Mereka  menolak ta'wil (penyelewengan suatu nash dari makna yang sebenarnya) dan menyerahkan diri kepada syari'at, dengan mendahulukan nash yang shahih daripada akl (logika) belaka dan menundukkan akal di bawah nash.

    7. Mereka memadukan antara nash-nash dalam suatu permasalahan dan mengembalikan (ayat-ayat) yang mutasyabihat (ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian/tidak jelas) kepada yang muhkam (ayat-ayat yang jelas dan tegas maksudnya).

    8. Mereka merupakan  figur teladan orang-orang yang shalih, memberikan petunjuk ke arah jalan yang benar dan lurus, dengan kegigihan mereka di atas kebenaran, tidak membolak-balikkan urusan ‘aqidah kemudian bersepakat atas penyimpangannya. Mereka memadukan antara ilmu dan ibadah, antara tawakkal  kepada Allah dan ikhtiar (berusaha), antara berlebih-lebihan dan wara' dalam urusan dunia, antara cemas dan harap, cinta dan benci, antara sikap kasih sayang dan lemah lembut kepada kaum mukminin dengan sikap keras dan kasar kepada orang kafir, serta tidak ada perselisihan diantara mereka walaupun di tempat dan zaman yang berbeda.

    9. Mereka tidak menggunakan sebutan selain Islam, Sunnah dan Jama'ah.

    10. Mereka peduli untuk menyebarkan ‘aqidah yang benar, agama yang lurus, mengajarkannya kepada manusia, memberkan bimbingan dan nasehat kepadanya serta memperhatikan urusan mereka.

    11. Mereka adalah orang-orang yang paling sabar atas perkataan, ‘aqidah dan dakwahnya.

    12. Mereka sangat peduli terhadap persatuan dan jama'ah, menyeru dan menghimbau manusia kepadanya serta menjauhkan perselisihan, perpecahan dan memberikan peringatan kepada manusia dari hal tersebut.

    13. Allah Ta'ala menjaga mereka dari sikap saling mengkafirkan sesama mereka, kemudian mereka menghukumi orang selain mereka berdasarkan ilmu dan keadilan.

    14. Mereka saling mencintai dan mengasihi sesama mereka, saling tolong menolong diantara mereka, saling menutupi kekurangan sebagian lainnya. Mereka tidak loyal dan memusuhi kecuali atas dasar agama.

Secara garis besarnya, ahlus sunnah wal jama'ah adalah manusia yang paling baik akhlaknya, sangat peduli terhadap kesucian jiwa  mereka dengan berbuat ketaatan kepada Allah Ta'ala, paling luas wawasannya, paling jauh pandangan, paling lapang dadanya dengan khilaf (perbedaan pendapat) dan paling mengetahui tentang adab-adab  dan prinsip-prinsip khilaf.

Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Secara Ringkas

Bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah suatu golongan yang telah Rasulullah SAW janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin.



Inilah pengertian yang lebih khusus  dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Maka tidak termasuk dalam makna ini semua golongan ahli bid'ah dan orang-orang yang mengikuti keinginan nafsunya, seperti  Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Rafidhah (Syiah) dan lain-lainnya dari ahli bid'ah yang meniru jalan mereka.

Maka sunnah adalah lawan kata bid'ah, sedangkan jama'ah lawan kata firqah (gologan). Itulah yang dimaksudkan dalam hadits-hadits tentang kewajiban berjama'ah dan larangan bercerai-berai.

Inilah yang dimaksudkan oleh "Turjumanul Qur-an (juru bicara al-Qur-an)" yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. dalam menafsirkan firman Allah Ta'ala, "Pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula maka yang hitam muram". (Ali Imran: 106).

Beliau berkata, "Muka yang putih berseri adalah muka Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan muka yang hitam muram adalah muka ahlil bid'ah dan furqah (perselisihan)." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juzsubhaanahu wa ta’alahal. 390 (QS. Ali Imran: 106).

sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 50 -60.

ALIRAN SESAT DI DUNIA DAN DI INDONESIA

Qodariyah Vs Jabariyah 9

Setelah Nabi saw wafat, umat Islam berusaha menegakkan sunah dalam keputusan-keputusan hukum dan aqidah. Akibat munculnya sutuasi baru sebagai dampak ekspansi wilayah Islam, maka muncul pula kebutuhan akan keputusan-keputusan terhadap hal-hal yang belum ada ketentuan sunah atasnya dan perlunya bimbingan ke arah masa depan. Kondisi ini melatarbelakangi timbulnya beberapa permasalahan baru yang melahirkan cara pandang dan pendapat yang berbeda-beda. Satu diantara permasalahan tersebut adalah perihal status orang mukmin yang berdosa besar.

Khawarij dalam permasalahn ini menetapkan bahwa pelaku dosa besar secara mutlak terlepas dari status sebagai mukmin, sedangkan Murji'ah menyerahkan permasalahan ini kepada kebijaksanaan Alloh swt untuk diputuskan pada hari akhir.Selain itu permasalahan pertanggungjawaban dosa ini mendorong timbulnya aliran Qodariyah yang menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan absolut. Manusia merupakan pencipta atas perbuatannya dan sepenuhnya akan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Reaksi terhadap pandangan Qodariyah ini ditandai dengan munculnya aliran Jabariyah yang berpendapat bahwa perbuatan manusia benar-benar telah ditentukan. Untuk lebih jelasnya tentang aliran Jabariyah dan Qodariyah akan dipaparkan dalam pembahasan berikut.

JABARIYAH (FATALISM/PREDESTINATION)

Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Sedangkan menurut Al-Syahrastani Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakekat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Alloh swt. Pendiri aliran Jabariyah yaitu Ja'ad bin Dirham dan Jahm bin Shafwan. Ja'ad orang pertama yang memperkenalkan ajaran Jabariyah atau Predestination (keterpaksaan) manusia, maka Jahm bin Shafwan adalah orang pertama yang menyebarkannya, sehingga aliran ini sering disebut juga dengan aliran Jahamiyah. Dia seorang mawali (budak yang sudah dimerdekakan) yang berasal dari Khurasan (Iran) dan menetap di Kufah (Iraq). Alirannya lahir di Tirmiz (Iran utara). Jahm bin Shafwan dibunuh oleh Salma bin Ahwaz Al-Mazini penguasa yang ditunjuk oleh Bani Umayyah di Marwa (kini wilayah Turkmenistan, Rusia). Dia dibunuh bukan karena ajaran yang dikemukakannya, tapi karena keterlibatannya dalam tindakan pemberontakan terhadap Bani Umayyah

.
Ajaran-ajaran pokok aliran Jabariyah yaitu :



  1. Masalah sifat Alloh swt. Jahm bin Shafwan tidak membenarkan Alloh swt diberi sifat-sifat yang terdapat pada makhluk-Nya. Yang demikian itu membawa penyerupaan Alloh swt dengan ciptaan-Nya. Namun diakui pula bahwa banyak ayat Al-Qur'an yang menyebutkan Alloh swt mendengar, melihat, berbicara dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut tidak dilihat secara lahiriyah (tekstual) melainkan dipahami secara konstekstual.

  2. Tentang Surga dan Neraka.Surga dan neraka serta aktivitas penghuninya akan berakhir. Firman Alloh swt yang berbunyi (mereka kekal di dalamnya) disebutkan majas, bukan kekekalan yang sesungguhnya sebab yang kekal hanyalah Alloh swt. Dalam ayat lain Alloh swt berfirman :

Artinya : " Mereka (penghuni surga dan neraka) kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali Alloh swt menghendaki yang lain …".(QS. 11 : 107 - 108).

Ayat tersebut mengandung syarat dan pengecualian kekekalan surga dan neraka. Bagi Jabariyah pahala dan siksaan pun merupakan paksaan karena didasarkan pada keyakinan bahwa manusia tidak memiliki pilihan dan daya. Manusia dalam paham ini hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang.


  1. Masalah Iman dan Kufur.Iman dan kekafiran bergantung sepenuhnya kepada keyakinan di dalam hati dan orang yang telah mengenal baik dengan Alloh swt kemudian ingkar dengan lidahnya tidak akan menjadi kufur karenanya. Bahkan juga tidak menjadi kafir sungguh pun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran Yahudi atau Nasrani kemudian mati, bagi Alloh swt orang demikian tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna. Firman Alloh swt :Artinya :

"Bukanlah kamu yang menghendaki, tetapi Allohlah yang menghendaki". (QS. Al-Ihsan : 30).

  1. Tentang Qudrot dan Irodat Manusia. Manusia tidak mampu melakukan suatu perbuatan, tidak memiliki kemauan, kemampuan dan pilihan. Allohlah pencipta semua perbuatannya sebagaimana terjadi pada benda-benda. Misalnya manusia membaca, menulis, mendengar maka hal itu sama saja dengan Alloh swt membuat pohon tumbuh, berbuah, air mengalir dan sebagainya.

Firman Alloh swt :Artinya : "Dan Allohlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat". (QS. As-Shaffat : 96).Ketika manusia dikatakan bahwa berbeda dengan benda mati karena manusia mempunyai kekuatan, kehendak dan pilihan, Allohlah yang menciptakan dalam diri manusia kekuatan atau daya, kehendak dan pilihan yang dengannya manusia bertindak. Dengan melihat pendapat Jabariyah seperti yang disebutkan di atas, maka apakah artinya Alloh swt mengutus Rosul dan menurunkan al-Qur'an yang penuh dengan perintah, larangan, janji dan ancaman ? Tidakkah itu menjadi sia-sia belaka ? Semuanya itu tidak sia-sia, karena semuanya itu pun untuk menjalankan ketentuan Alloh swt. Keadaan itu tidak bedanya dengan Alloh swt menurunkan hujan, menerbitkan matahari, bulan dan sebagainya.

QODARIYAH (FREE WILL AND FREE ACT)

Qodariyah berasal dari kata qodara yang berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sedangkan sebagai aliran dalam ilmu kalam, qodariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Tentang kapan munculnya Qodariyah dalam Islam, secara pasti tidak diketahui. Namun ada sementara para ahli yang menghubungkan paham Qodariyah ini dengan kaum Khawarij. Tokoh pemikir pertama kali yang menyatakan paham Qodariyah adalah Ma'bad Al-Jauhani yang kemudian diikuti oleh Ghailan Al-Dimasyqi. Ma'bad Al-Jauhani adalah seorang ahli hadits dan tafsir Al-Qur'an, tetapi kemudian ia dianggap sesat dan membuat pendapat-pendapat yang salah serta batal. Setelah diketahui pemerintah waktu itu, ia dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan pada tahun 80 H. Imam Nawawi mengatakan bahwa aliran Qodariyah saat ini sudah lenyap. Ajaran pokoknya sebagaimana yang dikemukakan oleh Ghailan Al-Dimasyqi yaitu bahwa manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri. Manusia tidak dikendalikan seperti wayang yang digerakkan oleh dalang tetapi dapat memilih.

Beberapa dalil yang digunakan aliran Qodariyah :

Artinya : "Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat". (QS. As-Sajdah : 40).

Artinya : "Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah". (QS. Al-Kahfi : 29).

Mu’tazilah

Sejarah Munculnya Mu’tazilah

Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48)

Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah -pen). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29)

Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. 10

(Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil-Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.)



Mengapa Disebut Mu’tazilah?

Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.

Asy-Syihristani t berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”

Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “ اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.11


Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42)



Asas dan Landasan Mu’tazilah

Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun.


Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:



Landasan Pertama: At-Tauhid

Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).


Bantahan:


1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun dalil mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yangsam’i: bahwa Allah berfirman:begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah

إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٍ 0 إِنَّه هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ 0 وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ 0 ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ 0 فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ0

Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16)

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى0 الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى0 وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى0 وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى0 فَجَعَلَه غُثَآءً أَحْوَى


“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5)

Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat … “ (Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)



  1. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). (Untuk lebih rincinya lihat kitab At- Tadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal.79-81)

Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.


Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan)

Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak :. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala(masyi’ah) Allah



وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ

Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)



وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)


Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.


Bantahan:


Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan :itu satu. Dasarnya adalah firman Allah

فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)

Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315)

Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak berfirman:lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah



وَمَا تَشَآءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَآءَ اللهُ

Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)



وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat.” (Ash-Shaaffaat: 96)


Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan yangitu mereka jadikan sebagai kedok untuk mengingkari kehendak Allah . Atas dasar inilah mereka lebihmerupakan bagian dari taqdir Allah pantas disebut dengan Qadariyyah, Majusiyyah, dan orang-orang yang zalim.




Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id

Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allahsubhaanahu wa ta’alauntuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.

Bantahan:
1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang , karena termasuk pelecehan terhadapdemikian itu kepada Allah Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:

إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعادَ

Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya).” (Ali ‘Imran: 9)


Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.


Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Terlebih lagi Dia telah menyatakan:



إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذاَلِكَ لِمَنْ يَشَآء

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi ‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).


2. Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari). 12



Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan

Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).

Bantahan:
1.Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan :kemaksiatan, sebagaimana firman Allah

وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُه زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا

Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)

Dan juga firman-Nya:

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ۰وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوْا وَهُمْ كَافِرُوْنَ

Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)


Dan firman-Nya:



لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيْمًا

Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Al-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.” (Al-Fath: 4)



وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلاَّ مَلاَئِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلاَّ فِتْنَةً لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوْا إِيْمَانًا وَلاَ يَرْتَابَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَلِيَقُوْلَ الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُوْنَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ إِلاَّ هُوَ وَمَا هِيَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْبَشَرِ

Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mu’min itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (Al-Muddatstsir: 31)

الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)



وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)…” (Al-Baqarah: 260)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Keimanan itu (mempunyai) enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)

2. Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:



وَ إِنْ طَآءِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya…” (Al-Hujurat: 9)




Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.


Bantahan:


Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:



يَآءَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الأَمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih rincinya, lihat majalah Asy–Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa]

Sesatkah Mu’tazilah?

Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al Qur’an dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai, seperti:

- Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.

- Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.

-Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.

- Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).

Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa’ bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar Firraddi Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah)

Dari sini terlihat betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah. 13 Wallahu a’lam bish-shawab.



Yüklə 0,69 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin