Melintas yang Sepintas; Filsafat dan Basis Epistemologis
Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial
Oleh: Giyanto
Tulisan ini mencoba merefleksikan, dan bukan untuk menemukan hal-hal baru. Kali ini, kita akan membahas Epistemologi Ilmu Sosial. Setelah tertatih-tatih dalam memahami karya Ludwig von Mises yang diterjemahkan di Jurnal Akal dan Kehendak oleh Sukasah Syahdan, akhirnya saya berani untuk menulis hal ini. Selain frustasi memahami arti sifat statistik induktif dalam setiap metode kajian ilmu sosial, ini adalah bentuk kekecewaan dan frustasi atas ilmu yang saya pelajari, yaitu Ilmu Sosial.
Bertahun-tahun mempelajari Ilmu Sosial, seolah saya belum mendapatkan apa-apa. Setiap jurnal penelitian yang saya baca dari penelitian yang ada, hampir semuanya merekomendasikan hal yang sama; kurang adanya koordinasi antar lembaga/institusi sosial, jadi diharapkan setiap lembaga pemerintah melakukan koordinasi.
Setidaknya hasil itu, yang sering saya temukan dalam rekomendasi kajian ilmu sosial dalam mencoba memecahkan permasalahan sosial. Tidak ada solusi lain. Terlepas dari teori-teori besar Kuhn, Capra, dan lain sebagainya dalam usaha menjelaskan berbagai proses perkembangan ilmu pengetahuan, dengan kacamata yang sangat sederhana sebenarnya kita dapat melihat adanya ketidaksesuaian antara teori-teori Ilmu Sosial dan realitas sosial itu sendiri.
Faktor lain, yang saya kira lebih penting, ialah paradigma positivistik yang sudah bertahun-tahun menjangkiti pemikir-pemikir Ilmu Sosial. Ke-kurang percayadiri-an dalam menggunakan kajian deskriptif ataupun analisis non statistik sudah lama tumbuh dalam pikiran para ahli Ilmu Sosial. Ejekan-ejekan yang sering saya baca di buku-buku Filsafat Ilmu—misal Filsafat Ilmu karya Jujun Suryasumantri—oleh para pakar, saya kira telah memicu penyakit “kurang percaya diri” tersebut. Ejekan bahwa tanpa Matematika ataupun Statistik, Ilmu Sosial menjadi kurang sahih, menurut saya sangat tidak beralasan.
Logika Ilmu sosial sangat berbeda. Obyek kajian Ilmu Sosial tidak seperti obyek Ilmu Alam yang cenderung tetap. Obyek ilmu alam tidak memiliki relasi yang dinamis dengan variabel di luarnya, relasi yang ada cenderung tetap. Berbeda dengan kajian Ilmu Sosial yang mempunyai relasi yang tidak tetap terhadap variabel-variabel di luarnya. Seandainya manusia hanya dipengaruhi oleh variabel-variabel tetap diluarnya dan tidak berusaha untuk membalikkan stimulus yang ada, yang barangkali kemudian balik menanggapinya dengan respon secara timbal balik, saya kira itu bukan manusia, tapi lebih dekat dengan robot. Manusia yang harus menunggu stimuli sehingga memberikan respon, sekali lagi, saya kira itu bukan manusia.
Sependapat dengan Einstein ketika ditanya mengenai persoalan-persoalan epistemologis ilmu tentang tindakan manusia:
Bagaimana mungkin matematika, sebagai produk pikiran manusia yang tidak bergantung pada pengalaman apapun, dapat begitu pas dengan obyek-obyek realitas? Apakah akal manusia mampu menemukan, tanpa bantuan pengalaman, melalui akal semata ciri-ciri benda-benda yang nyata?
Dan jawabannya adalah:
”Sejauh teorema-teorema matematika mengacu pada realitas, maka tidaklah pasti, dan sejauh mereka pasti, mereka tidak mengacu pada realitas”.
Kecenderungan epistemologis yang muncul baru-baru ini merupakan reaksi ketidakpuasan dari patron metodologi yang ada. Keberanian para ahli Antropologi untuk memakai metode grounded search merupakan cikal bakal "pemberontakan” tersebut, walaupun ada sedikit "malu-malu" untuk menggunakannya. Yang juga—dan masih- menyerang akut saat ini, adalah virus yang sama, yang merasuk dalam Ilmu Ekonomi. Dan saya memprediksi virus-virus ketidakpuasan terhadap ketidakmampuan Ilmu Ekonomi dalam usaha memprediksi setiap permasalahan ekonomi, akan membawa kita (kembali) mengakui kesahihan metode yang barangkali dianggap purba, yaitu praksiologi.
Anjloknya bursa saham di Amerika Serikat telah membuat Negara-negara di seluruh dunia menjadi was-was. Berbagai analisis ekonomi yang saya baca masih cenderung dangkal. Padahal permasalahan tersebut sebenarnya hanya membutuhkan solusi sederhana yang telah seringkali disampaikan orang tua kita, yang secara ilmiah bukan "pakarnya”—setidaknya menurut pakar Ilmu Ekonomi. Atau, solusi tersebut dapat diungkap dari nilai-nilai klasik Cina maupun Jawa Kuno.
Tidak bermaksud menjadi kiri. Tulisan ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa yang kita yakini dalam epistemologi yang dipakai secara umum oleh ahli Ilmu Sosial sebenarnya semakin menjauhi kebenaran atau realitas itu sendiri. Dengan kata lain, saya sebenarnya lebih mengiyakan pandangan subyektfivitas a la Thomas Kuhn, atau yang lebih kontemporer barangkalai Fritjof Capra.
Entitas sosial, apabila dianalogikan ibarat sebuah sistem tubuh dalam logika biologi, atau jaring laba-laba dalam analogi Rothbard. Jadi, seandainya paradigma yang ada sekarang memakai paradigma empiris “obyektif” dengan kacamata ilmu pengetahuan alam, bukan tidak mungkin, para ahli ilmu sosial yang sekarang “menjabat” atau meneliti dan menulis di jurnal ilmiah telah melakukan sesuatu yang sia-sia dan menghabiskan waktu. Ini berarti terdapat satu generasi yang hilang—atau buta—terhadap pencerahan ilmu tentang manusia.
Saya menyadari konsekuensi mengatakan yang demikian. Apabila benar-benar diterapkan mengenai paradigma yang saya yakini, bukan tidak mungkin, semua struktur kelembagaan yang ada di dunia akademis berubah total. Dan ini, menurut saya, tidak akan mungkin dilakukan karena para akademisi akan lebih mementingkan kepentingannya sendiri atau hak mereka untuk ber-status quo, karena terkait dengan profesi, daripada benar-benar melakukan tanggungjawab ilmiah dalam memperjuangkan kebenaran secara ilmiah pula. (apalagi ide-ide tersebut hanya dikatakan oleh “anak kecil”, seperti kita)
Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hayek, bukankah tugas intelektual untuk “memasarkan ide” dan selalu mengingatkan setiap penyimpangan yang ada di masyarakat, termasuk dunia akademis? Mengenai peran untuk mendebatkannya, secara filosofis sudah dilakukan oleh orang-orang, yang setidaknya sudah saya sebut dalam tulisan ini.
Begitu banyak bukti-bukti mengenai subyektvitas Ilmu Sosial. Sejarah perjuangan Ideologi, ataupun sejarah penemuan teori-teori di bidang Ilmu Alam telah dapat menjadi bukti bagi seringnya ketersesatan perjalanan penegakan Ilmu Pengetahuan pada jalurnya. Nasib tragis yang dialami oleh Wegener dalam memperjuangkan teori continental drift bisa dijadikan kasus, atau nasib Galileo, Copernicus, dan begitu banyak teoritikus lainnya yang bernasib sama. Dan dalam bidang ekonomi, saya memprediksi pandangan-pandan Ludwig von Mises akan berdengung keras di dunia akademik Ekonomi setelah tersia-siakan oleh masyarakat akademis, yang tidak lepas dari pengaruh kepentingan-kepentingan politis. Dalam hal ini, saya yakin kebenaran akan berbicara dengan sendirinya entah suatu saat nanti.
Namun demikian, sebuah fakta sejarah kurang lengkap apabila dipergunakan sebagai bukti ilmiah. Bukti yang ada di depan mata, ialah mandulnya peran ilmuwan sosial di masyarakat umum. Bahkan seringkali orang-orang yang memiliki pengaruh ilmiah dalam ilmu sosial, biasanya adalah orang-orang “terpinggirkan” dalam dunia akademik. Bukankah ini merupakan bukti kecil dari fenomena tersebut? Contoh lain barangkali bisa dilihat dari produktivitas karya-karya sosial. Dari pengalaman saya sebagai pembaca, pandangan-pandangan sosial malah sering muncul dari mulut-mulut yang bukan ahlinya. Semisal yang sering menjadi kasus di Indonesia ialah profesi wartawan, sastrawan, peneliti lepas, pebisnis dan lain sebagainya.
Sebagai tambahan, hasrat untuk menyerukan kebenaran ilmiah sebenarnya sudah menjadi bawaan bagi setiap manusia yang berfikir. Dan apabila ada yang sebagian, atau bahkan kebanyakan diam, itu disebabkan keberadaan mereka di struktur internal organisasi, yang menerapkan paradigma yang cenderung represif terhadap orang-orang semacam itu. Toh apabila orang-orang yang “berfikir” tersebut mengetahui, mereka akan memilih diam daripada memilih melakukan “keributan” yang barangkali akan dicap “berisik” dan membikin onar—barangkali dalam bentuk ekstrim dituduh mencari popularitas.
Analisa lain yang saya tuduhkan, kalau bisa dikatakan sebagai gugatan, terkait keberadaan bangsa Indonesia yang dalam “kelahirannya” berbarengan, atau bisa dikatakan “disebabkan” oleh pertarungan ideologi-ideologi besar. Pengaruh sosialisme dari tahun 1945-1965, dan selanjutnya pengaruh liberalisme a la Anglo Saxon dari tahun 1966 sampai sekarang, masih menjadi landasan “darimana” gagasan itu seharusnya muncul, sehingga bisa dikatakan sahih. Apakah kesahihan sebuah ilmu hanya didasarkan pada latar belakang geografis, budaya, peradaban, atau apapun itu? Saya kira pandangan tersebut menandakan kesempitan befikir.
Sebuah paradigma seharusnya bisa diterima apabila dia dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada, dalam hal ini permasalahan sosial. Dan sekarang kita malah menjauhi dari idealisme tersebut.
Hal-hal di atas sebenarnya merupakan idealisme dari seorang yang frustasi. Lebih parahnya, bila melihat seretnya penerbitan berkala di dunia akademik, bisa dikatakan dunia akademik kita sebenarnya telah mati suri. Dari kasus yang sekarang saya temui, penerbitan-penerbitan jurnal malah lebih banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang berada di luar lingkaran akademik. Mereka sebagian berdiri disebabkan oleh berbagai motif. Namun, tanpa menyelidiki motif tersebut, seharusnya kita patut mengapresiasinya dengan pikiran terbuka.
Beberapa kasus tersebut, seharusnya menjadi refleksi semua pihak, termasuk intelektual, bahwa tanggungjawab ilmiah sebenarnya dapat diperankan oleh berbagai macam profesi, dan tidak harus sebagai filsuf yang seringkali diimpikan oleh para intelektual, jika hanya ingin meninggikan strata ilmiahnya.
Dari fakta tersebut, terlihat begitu jelas, sehingga mempengaruhi keyakinan saya pribadi untuk mengambil posisi, walaupun harus tertatih-tatih dengan cara berputar-putar berpindah profesi, hanya sekedar mencari dan terus mencari apa yang harus dan patut diperjuangkan. Selain ketersesatan penggunaan paradigma, kita juga telah kurang sesuai dalam menggunakan alur berfikir logis dalam upaya menelaah sumber permasalahan ilmu sosial.
Cerita singkat mengenai perjalanan panjang diakuinya teori continental drift barangkali bisa dijadikan inspirasi. Dari perspektif historis Ilmu Alam, saat Alfred Lothar Wegener menemukan teori continental drift, mula-mula dia hanya sekilas melihat gambaran peta Amerika Selatan dengan garis pantai barat Afrika yang begitu identik. Wegener membayangkan bahwa kedua benua tersebut pernah menyatu. Baru kemudian dia mengumpulkan detail-detail penemuan yang ada, untuk mendukung teorinya. Padahal, penelitian geologis telah lama dilakukan oleh para geolog yang hanya memfokuskan detail-detail geologi tanpa membayangkan gambaran muka bumi secara keseluruhan. Akhirnya argumen Wegener mendapat bantahan tanpa pengujian terlebih dahulu dari para ahli geologi yang merasa paling tahu pada bidang tersebut. Namun demikian, Wegener bersikap tak acuh dan menikmati bidangnya dalam Klimatologi. Hingga 60 tahun kemudian kebenaran ilmiah terungkap dan bukti-bukti yang mengarah bahwa benua itu bergerak semakin banyak.
Barangkali sejarah tersebut bisa terulang dengan cerita terbalik. Para ahli ilmu sosial, termasuk para ekonom, selama ini telah terlalu menyederhanakan dan terlalu menggeneralisasikan manusia melalui sederet angka-angka. Sekumpulan data administrasi yang belum tentu kesahihannya telah menjadi agregat-agregat yang dianggap mewakili manusia, tanpa menyelidiki pada tingkat mikro apa yang sebenarnya dilakukan manusia, apa alasan mereka melakukan sesuatu, dan bagaimana mereka bertindak untuk mencapai tujuan tersebut. Sehingga, hanya orang-orang jalanan atau praktisi yang mengetahui dengan jelas tapi—sangat disayangkan—mereka kurang mampu menyatakannya secara argumentatif, tertulis, dan mendasarkan pada teori yang sahih, untuk menjelaskan permasalahan yang dihadapinya.
Sebagai contoh, petani sering mendapati nilai harga beras mereka lebih rendah jika dibandingkan dengan barang kebutuhan konsumsi yang lain. Apabila sekarang harga beras ditingkat dasar mencapai Rp. 4000,- bisa jadi harga di tingkat konsumen mencapai Rp. 5.000,-. Walaupun begitu, dalam mekanisme pasar hal tersebut dapat diterima, karena jalur distribusi yang terlalu panjang. Namun, yang lebih memprihatinkan, dengan harga dasar Rp. 4000,- seandainya dibandingkan dengan harga komoditas lain serta ditambah faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam pertanian yang harganya terus naik, maka nilai beras dengan nominal yang demikian sangat tidak berarti. Akibatnya, dalam istilah ekonomi, akan terjadi defisit anggaran yang dialami petani. Tindakan yang sering ditempuh petani, dengan menyewakan salah satu sawahnya untuk menyokong biaya produksi pada tiap awal musim tanam. Dan hal tersebut terus berlarut-larut sehingga para petani tidak pernah mengalami keuntungan sama sekali disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya inflasif (semakin membuat rendah nilai barang, dalam hal ini beras). Belum lagi biaya-biaya keluarga seperti pendidikan, listrik, pajak dan lain sebagainya.
Permasalahan tindakan-tindakan manusia berdasarkan pilihan-pilihan yang demikian sulit, apakah ilmuwan sosial atau ahli ekonomi mengetahuinya? Saya masih ragu hal demikian diketahui oleh ilmuwan yang duduk manis di mimbar akademik yang sangat terhormat. Dan apakah data-data yang dianggap subyektif tersebut bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengambil kebijakan? Paling-paling yang digencarkan malah iklan pembayaran pajak agar tepat waktu. Suatu paradoks yang sering terjadi di hadapan kita.
Fenomena-fenomena pemiskinan secara sistematis tersebut sering dianggap sebagai hal yang remeh-temeh. Bahwa permasalahan sosial yang demikian, dianggap terjadi secara kasuistik dan parsial. Bukti yang bisa dianggap sahih ialah pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui angka-angka. Dengan demikian laporan pertanggungjawaban pemerintahan dapat diterima oleh rakyat yang diwakili oleh anggota legislatif melalui “data-data” yang telah dianalisis oleh kementrian ekonomi. Sebuah sandiwara yang selalu terulang setiap lima tahun sekali.
Memang tidak mudah menerapkan paradigma Individualisme Metodis dalam epistemologis Ilmu Sosial. Mises telah memperingatkan:
Meyakini bahwa keseluruhan kolektif itu dapat divisualisasikan adalah suatu ilusi. Keseleruhan kolektif tidak pernah dapat dilihat; kognisinya selalu merupakan hasil dari pemahaman atas makna yang diberikan manusia pada tindakannya. Kita memang dapat melihat keramaian, misalnya kerumunan manusia. Apakah kerumunan itu hanya sekedar pertemuan, ataukah sebuah badan teorganisasi, atau jenis lain dari entitas sosial, merupakan sebuah pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh pemahaman akan makna yang mereka berikan terhadap keberadaan tersebut. Dan makna ini selalu merupakan makna dari individunya. Bukankah indera kita, melainkan pemahaman kita, sebagai sebuah proses mental, yang membuat kita memahami entitas sosial.
Mises menambahkan :
Siapa saja yang bermaksud memulai kajian tentang tindakan manusia dari unit-unit kolektif, akan mendapati rintangan tak terperi berupa kenyataan bahwa setiap individu pada saat yang sama juga dapat merupakan bagian nyata dari beragam entitas kolektif. Persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh mulitiplisitas unit-unit sosial yang berkoeksistensi dan antagonismeantagonisme mutual mereka dapat diatasi hanya melalui individualisme metodologi.
Singkat kata, sekarang kita tidak hanya melakukan kesalahan terbesar abad ini, namun dengan menyengaja, kita, masyarakat ilmiah, telah membodohi masyarakat umum yang seharusnya tercerahkan oleh keberadaan ilmu pengetahuan.
Salah satu dosen pernah mengatakan dengan enteng; “bahwa abad dua puluh ialah abad kuantitatif”. Namun dalam hati saya mengatakan “abad dua puluh ialah abad kegelapan”. Memang sangat mudah melupakan sebuah kesalahan yang tidak merugikan diri sendiri.
Saat mengetahui fakta yang demikian, terasa sulit menerima bahwa yang selama ini kita lakukan sia-sia. Namun, setidaknya tumbuhnya kesadaran lebih awal akan menjadikannya lebih baik. Walaupun mengetahui bahwa kita keliru dalam melakukan permulaan, setidaknya satu hal penting adalah ahli ilmu sosial, termasuk ekonomi, sudah melakukan sesuatu dengan niat yang tulus.
Harapan dari penulisan ini bukan bermaksud meniadakan arti penting Ilmu Sosial maupun Ekonomi, tapi lebih pada pencarian dalam upaya mendekati kebenaran, sehinga Ilmu sosial menjadi lebih bermanfaat bagi kehidupan riil yang dapat membentuk kesadaran bagi umat manusia.
Dari ulasan di atas, suatu keharusan bagi ahli Ilmu Sosial untuk dapat memulai berusaha mengetahui dan menyelidiki tatanan sosial yang ada, dengan apa adanya, melalui penelitian-penelitian lanjut yang dilakukan peneliti atau penulis lain, sehingga dapat mendiagnosis permasalahan-permasalahan sosial dengan kacamata yang tepat. Dengan demikian, sedikit demi sedikit kita dapat mengetahui serta memanfaatkan modal sosial yang selama ini belum terurai jelas, agar dapat digunakan sebagai fondasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Logis Saja Sudah Cukup?
Oleh: Ahmad Fahmi Mubarok
Orang muda menghormati yang lebih tua, orang tua menyayangi yang lebih muda
Adagium yang akrab terdengar, mengingat takdir geografis yang senantiasa menuntut alam bawah sadar kita, bangsa Indonesia, untuk menerapkannya dalam setiap sudut kehidupan. Penerapan adagium tersebut terlihat dan sangat terasa mengiringi nuansa kehidupan bangsa Indonesia pada umumnya, dan sivitas akademika Unnes pada khususnya. Sedemikian indah ungkapan tersebut, tetapi simpang empat Unnes tak pernah tidak semrawut pada jam-jam peak, suara knalpot yang mengekor aliran musik Slipknot, pun kuliah yang tidak bisa serutin kartun Naruto—secara periodik seminggu sekali—karena alasan kesibukan staf pengajar. Lalu apakah ada yang salah dengan ungkapan tersebut?
Semua ilmu bersifat netral, dan praksis manusialah yang memberikannya kesan baik ataupun buruk. Merujuk pada kalimat di atas, adagium “Orang muda menghormati yang lebih tua, orang tua menyayangi yang lebih muda” tentu tidak ada yang salah di dalamnya, dan justru lebih condong ke arah baik. Bersoal-jawab mengenai fenomena tersebut, dimana terdapat kesenjangan das sein dengan das sollen, ada kemungkinan kekeliruan terletak dalam ranah praktiknya. Perlu diketahui, bahwa sebagai tuntunan norma, dua kalimat tersebut bersifat dwitunggal jika memang diinginkan untuk diterapkan dalam keseharian. Tetapi kenyataannya, terdapat pemenggalan kalimat, dan celakanya masing-masing pihak (muda dan tua) memegang erat kalimat yang seharusnya menjadi pegangan pihak lainnya. Kalimat “orang muda menghormati yang lebih tua”, yang seharusnya menjadi kunci bagi si muda, justru dipegang oleh mereka yang tua. Dan begitu berlaku sebaliknya. Demikian yang terjadi, sehingga Si muda terlebih dahulu menuntut agar disayangi oleh Si tua, dan Si tua tak henti-hentinya mengingatkan keharusan dan pentingnya penghormatan kepada dirinya. Saling menuntut berlanjut hingga saling menyalahkan tak lagi terhindarkan, melupakan bahwa yang terjadi hanyalah “kunci” yang tertukar.
Senada dengan fenomena ”kunci tertukar” di atas, kritik sebagai kontrol sosial pun bernasib sama jika dilihat dari prinsip bahwa semua ilmu berawal dari logika, dan berakhir dengan seni melalui tingkatan logis (benar-salah), etis (pantas-tidak pantas), dan estetis (indah-tidak indah) yang berlaku secara hierarkis. Selayaknya sebuah keluarga dimana orangtua mendidik anak-anaknya, maka keluarga besar Indonesia—dan Unnes, dalam lingkup yang lebih kecil—juga mempunyai tujuan mengupayakan pendidikan bagi rakyat. Dalam mengupayakan proses pendidikan yang dilakukan, tak jarang orangtua melakukan kesalahan yang menuai protes dari Si anak. Sampai disitu semua berjalan sebagai fenomena yang wajar-wajar saja bukan?
Namun ada sesuatu yang tertangkap dan tergolong tidak wajar ketika melihat cara penyampaian kritik sebagai bentuk protes, dan penyampaian tanggapan yang diberikan. Terkait dengan hierarki yang disebutkan sebelumnya, taraf logis menilai apa yang dilakukan orangtua dianggap salah, sehingga mendapatkan kritik. Seharusnya, hal ini sudah masuk dalam ranah etis, yang mempertimbangkan bagaimana cara penyampaian kritik yang pantas dan tidak menentang etika, agar selaras dengan prinsip hirarki logis-etis-estetis, mengingat status sivitas akademika yang disandang bersama. Jika hal itu bisa dilaksanakan dengan penuh kesadaran, bukan tidak mungkin akan terjalin hubungan yang indah (estetis) dan tidak terkesan urakan.
Sedikit menggeser kursi agar didapat angle yang berbeda, apa yang terjadi mungkin bukan lagi permasalahan salah pegang kunci maupun hirarki logis-etis-estetis. Namun sebagaimana prinsip probabilitas dalam dunia ilmiah, ada kemungkinan yang terjadi hanyalah saling menunjukkan eksistensi baik individu maupun golongan.
Secara psikologis pengakuan dan penerimaan sebagai tujuan dari pertunjukan eksistensi merupakan kebutuhan setiap manusia. Hanya saja sebagai makhluk yang berbudaya, manusia lebih suka jalan berliku untuk mencapai tujuan sekedar menghindari pertentangan dengan norma, nilai-nilai, dan hukum yang berlaku (kesemuanya masih perlu dibahas secara falsafi). Karena tuntutan sebagai makhluk yang berbudaya adalah dasar pembedaan manusia dan hewan, tak sepantasnyalah manusia memilih mengabaikan norma, aturan, dan hukum yang berlaku untuk mencapai tujuannya. Menunjukkan eksistensi dengan tetap memberikan jalan pada eksistensi lain, sebagaimana diungkapkan Voltaire dengan indah, ”aku tidak setuju denganmu, bukan berarti melarangmu untuk mengatakannya”.
Psikologi, Lagi dan Lagi
Oleh: Ahmad Fahmi Mubarok
Pada pukul 00:00, tengah malam, manusia menemukan bahasa sebagai alat komunikasi. Beberapa jam selanjutnya, tidak terlacak kejadian berarti, sampai kira-kira pukul 08:00 pagi, moyang manusia diketahui telah melukis di dinding-dinding gua. Setelah itu pun keadaan kembali lengang. 12 jam setelah itu, pada pukul 08:00 malam, orang Sumeria menemukan tulisan, dan Hieroglyph muncul 40 menit kemudian. Sementara itu, abjad hadir pada pukul 09:28, dan tulisan filsuf Yunani kuno diketahui pada beberapa menit selepas pukul 10:00 malam. Sampai pada jam ini, bisa dilihat bahwa 22 jam (dari 24 jam) telah berlalu, dengan biasa saja.
Selanjutnya, menjelang tengah malam Gutenberg menemukan mesin cetak. Dan momentum ini menjadi titik awal meningginya percepatan perkembangan teknologi. Telegraf, telepon, fonograf, ditemukan hampir pada menit yang sama. Tak lebih dari 2 menit berjalan, berturut-turut muncul inovasi berupa radio, film suara, komputer, xerografi, televisi berwarna. Dan pada menit-menit akhir sebelum tengah malam, ditemukan siaran FM stereofonik, satelit, gabungan telekomunikasi dengan komputer (WEB), handphone, laptop, robot yang mampu menangis, dan sebagainya. Inilah, tengah malam itu.
Barangkali demikian, yang ingin diungkapkan oleh Jalaludin Rahmat. Runtutan yang dimulai pada zaman Homo Cromagnon sampai pada tahun-tahun sekarang ini, yang kurang lebih berjarak 36000 tahun.
Lepas dari tepat atau tidaknya skala yang digunakan pada ringkasan tersebut, setidaknya ada 3 fenomena yang bisa ditangkap darinya. Yang pertama, berkaitan dengan percepatan (akselerasi). Kembali melihat ringkasan, selama 22 jam awal berlalu dengan biasa saja. Justru hanya dalam kurun 2 jam (akhir) itulah, “semuanya” ditemukan hingga seperti sekarang ini. Betapa terjadi kesenjangan kemajuan manusia (atau teknologi?) yang terjadi dalam kurun tersebut. Manusia menjadi sedemikian kreatif dan inovatif.
Yang kedua, adalah perubahan yang terjadi dengan akselerasi tinggi tersebut ternyata berkecenderungan untuk melipat realita. Jaringan WEB, handphone, laptop, MTV, dunia dalam berita, miniatur Negara (TMII), hanyalah beberapa dari sekian banyak penampakan dari kecenderungan tersebut. Adalah “ringkas dan mudah” yang menjadi zikir harian—atau mungkin bisa disebut “ideologi” jika dikaitkan dengan konsepsi Althusser.
Fenomena selanjutnya, adalah keberlanjutan dari fenomena pertama. Jika sebelumnya dikatakan bahwa manusia menjadi sedemikian kreatif dan inovatif, maka fenomena yang ketiga ini adalah kikisnya sifat kritis. Kritis yang hilang bukanlah kritis dalam arti “sekedar sinis”, melainkan kritis yang bersifat reflektif. Karena percepatan yang seperti ini telah tidak mengijinkan manusia untuk sekedar berpaling dari teknologi. Telah terjadi perubahan dalam sebuah percepatan, dan percepatan itu pun (yang berarti perubahan kecepatan) mengalami perubahan. Dan perpaduan antara dua hal tersebut lah (hilangnya sifat kritis dan larut dalam teknologi), yang menjadi unsur evolusi masyarakat pendiam dan tak peka.
Seperti yang telah terkatakan sebelumnya, yang menjadi orientasi di sini adalah percepatan itu sendiri, bukan lagi kreativitas atau melipat. Yang terjadi bukan lagi pembalap yang ingin memacu motornya secepat mungkin untuk menaiki podium, melainkan meng-nol-kan gaya gesek antara ban dan aspal, meng-nol-kan pengaruh gaya gravitasi, mendesain bentuk se-aerodinamis mungkin untuk meng-nol-kan tekanan udara. Keadaan yang mencerminkan sebuah kegilaan akan kecepatan dan percepatan maksimal; ekstase akan percepatan, sekaligus kegandrungan akan ke-nol-an; nihilitas. Perpaduan “sempurna” antara optimisitas, pesimisitas, nihilitas, fetishitas, sakralitas, profanitas, eksistensi, dan banalitas.
Teknopsikologi-psikoteknologi
Mungkin berawal dari sebuah pengandaian adanya garis korelasi antara fenomena-fenomena tersebut dengan psikologi, yang dilihat melalui kacamata analisis Alvin Toffler.
Toffler menyatakan bahwa setiap jenis teknologi menghasilkan lingkungan teknologi (teknosfer) yang khas. Teknologi menjadi penyedia akses bagi mengalir dan bertukarnya informasi, yang mewarnai budaya informasi (infosfer). Infosfer yang terbentuk, pada akhirnya juga akan membentuk, atau setidaknya mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial (sosiosfer). Dan karena “keterlanjuran” kodrat manusia sebagai makhluk sosial, maka perubahan sosiosfer juga berpengaruh masing-masing individu secara personal dalam ranah psikologis. Dan inilah, yang disebut lapisan psikosfer. Sambil lalu, analisis Toffler terlihat mantap dan seolah-olah mendeskripsikan fenomena global yang dihadapi oleh manusia sekarang ini.
Tetapi, benarkah semua manusia?
Apa yang dianalisis oleh Toffler, tentu saja berasal dari berbagai informasi diadapatkan dan dia ketahui, adalah apa yang bersentuhan dengannya, baik melalui pikir, rasa, maupun indera. Tetapi, tesis tentang Global village, istilah yang dipinjam dari Marshal McLuhan, bukanlah “tesis paska fenomena”. Tesis tersebut adalah sebuah prognosis (prediksi), dan tentu saja berdasarkan indikasi dan diagnosis yang dia temukan. Global Village, bukanlah sesuatu yang telah terjadi, dalam arti tidak semua rentang geografis yang berkelok-terjal bisa teratasi oleh jejaring teknologi.
Toffler mungkin lupa, masih ada kata “kesenjangan” di antara jutaan kata dalam kamus. Kata tersebut tetap menjadi lubang hitam dalam perbincangan kali ini. Akselerasi, justru bersesuaian dengan peribahasa Jawa kebat klewat gancang pincang. Berjalan begitu cepat, tetapi juga banyak yang terserak-tercecer olehnya. Agaknya Toffler terlalu meyakini keberlakuan konsep Mcluhan, dan menariknya terlalu jauh ke dalam ranah psikologi. Dia yang sama sekali tidak menyentuh tentang dirinya, mencoba meraba apa yang dia lihat, tetapi mengatakan telah memegang dirinya.
Meskipun dunia telah dilipat dalam televisi, tetapi lipatan itu tetap merupakan keadaan yang “seolah-olah”. Semua manusia tak pernah hidup dalam satu desa, yang global sekalipun. Kecepatan dan percepatan memang bisa “mereduksi” waktu, tetapi tak bisa mereduksi ruang (bahkan “mereduksi” pun tidak), sedangkan manusia hidup dalam dimensi ruang sekaligus waktu. Manusia, tetap berkeringat dan sesekali menghela nafas meski menaiki pesawat super untuk mengelilingi dunia. Dan laris-manisnya psikologi saat ini, justru memperlihatkan secara gamblang bergesernya refleksi, yang telah tergantikan oleh ucapan ”mari bersenang-senang”
Dostları ilə paylaş: |