Embun Pagi Nglindur


Kesunyian Intelektual di Kampus



Yüklə 0,77 Mb.
səhifə2/13
tarix06.08.2018
ölçüsü0,77 Mb.
#67448
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   13

Kesunyian Intelektual di Kampus


Sketsa di atas hanya sekadar menggambarkan betapa indahnya tugas seorang intelektual. Senjata mereka adalah buah pikiran, yang idealnya dituangkan dalam bentuk tulisan, agar “abadi”. Di negeri ini amat sunyi karya-karya tulis intelektual yang indikatornya ditunjukkan oleh rendahnya buku-buku yang diterbitkan. Negara Dunia Ketiga sekelas India saja sudah menghasilkan pemenang Nobel untuk karya tulis sastra, sedangkan kita belum apa-apa. Demikian juga di tingkat Asia Tenggara saja, jumlah buku terbitan di negeri ini masih jauh tertinggal.

Dalam lingkup yang lebih sempit, di kalangan kampus, banyak terjadi kemandegan intelektual. Para mahasiswa banyak mengalami kesulitan untuk menuangkan karya ilmiah, jangankan dalam bentuk skripsi atau tugas akhir, untuk sekadar membuat “paper” saja banyak diantara mereka yang harus menjiplak dan mengobrak-abrik bursa buku bekas di Pasar Johar (yang menjual sripsi loakan). Demikian pula para Guru Besar yang mestinya jadi panutan juga tengah dilanda kesunyian intelektual. Ia sibuk menjabat di kantor pemerintahan atau kampus, mengasong ilmu di berbagai perguruan tinggi, atau sibuk berseminar dengan makalah yang sama di berbagai tempat dan hanya mengandalkan lesannya saja.

Di Universitas Brawijaya Malang beberapa waktu silam terjadi sesuatu yang lucu sekaligus menyedihkan. Panitia seminar dibuat terbahak-bahak ketika seorang Guru Besar ternama di Indonesia, membawakan makalah yang sama persis dengan tahun lalu dan di tempat yang sama. Fakta ini menunjukkan betapa rendahnya produktivitasnya. Kalangan intelektual di berbagai perguruan tinggi tenggelam dalam budaya lisan dan kesunyian intelektual—lihat pula Amin Sweeny, dalam “A Full Hearing (1987)”

Dalam hitungan matematis, ber “lisan-ria” dalam berbagai seminar memang menguntungkan secara material, karena honornya besar. Bandingkan dengan kalau ia membuat buku bermutu, ia harus “bertapa” lama, itupun belum tentu laku dijual. Karenanya wajar di negeri ini tidak ada buku-buku bermutu yang dihasilkan kaum intelektual. Di satu perguruan tinggi hanya ada satu atau dua orang dosen yang rajin menulis (padahal jumlah dosennya ribuan orang), apalagi kaum mahasiswa.

Sebagian besar kaum mahasiswa juga sudah banyak yang terjebak di dunia “kapitalistik”. Berangkat ke kampus hanya sekadar “ritual” saja, tanpa niatan tulus untuk mengembangkan intelektualitasnya. Indikatornya jelas, ia malas mengerjakan tugas, malas membeli buku, malas membaca, malas menulis, malas berdiskusi dalam kelas, dst. Mereka umumnya hanya sibuk menyembah simbol-simbol keilmuan tanpa “nafsu’ dan perasaan untuk mengembangkannya. Targetnya sederhana, dapat “simbol” intelektual yang berupa ijazah, diterima bekerja di pabrik dengan harapan hidup kaya raya sebagaimana diajarkan di TV-TV swasta negeri ini.

Membaca dan Membaca


Ketika Nabi Muhammad bertapa di Gua Hira, perintah Allah yang pertama yang diterimanya adalah perintah “bacalah”. Apa yang dibaca karena Quran belum ada? Jelas yang harus dibaca adalah persoalan dan fenomena yang ada di sekelilingnya. Anehnya yang banyak mengamalkan budaya membaca adalah bukan umat Muhammad, namun bangsa Barat. Kalau kita rajin melihat acara “Dunia Binatang” di TV misalnya, alangkah mengagumkannya seorang peneliti atau calon doktor rela hidup puluhan tahun di hutan hanya untuk melihat perilaku monyet atau seekor laba-laba. Demikian pula seorang antropolog wanita asal AS bahkan rela menjadi isteri seorang kepala suku di Lembah Baliem Irian Jaya “hanya” agar ia lebih mudah untuk mempelajari perilaku suku tersebut.

Adakah di negeri ini seorang ilmuwan berperilaku “gila” sebagaimana ditunjukkan bangsa Barat tersebut? Jelas hampir tidak ada. Bangsa ini malas “membaca”, dan itu dimulai sejak SD dengan kurikulum resmi pula! Kurikulum sejak SD mengajarkan bahwa yang penting untuk bekal sekolah adalah “hafal” dan bukan mengerti. Siswa harus duduk manis dan menurut perintah guru, tidak boleh banyak cerita apalagi protes. Pelajaran mengarang atau reportase, bahkan mendongeng sudah lama raib dari dunia persekolahan. Hasilnya adalah “robot-robot” setia yang miskin kreativitas.

Kata Paulo Freire dalam “Cultural Action for Freedom”, ada setidaknya tiga tingkat kesadaran manusia. Yang pertama adalah kesadaran separuh intransitif dengan ciri-ciri manusia yang masih tenggelam dalam proses sejarah. Kungkungannya hanya soal “survival biologis”, soal kelangsungan hidupnya, dan pengertiannya masih sebatas pada penjelasan magis di luar kekuasaan manusia, serta belum sampai pada pemahaman hakekat hidup. Jadi masih fatalistik. Kesadaran tingkat kedua adalah transitif-naif. Cirinya ia sebenarnya sudah bisa “membaca” fenomena realitas, namun cara berpikirnya masih naif. Ia masih condong ke masa lampau, masih suka condong ke elite, suka budaya instant dan kurang menghargai proses, suka menerima dalam bentuk jadi tanpa susah-susah dengan mengusahakannya sendiri, masih emosional, cengeng, tidak suka berpolemik, tidak mau beradu argumentasi, dsb.

Sedangkan taraf yang ketiga adalah kesadaran transitif-kritis. Ciri orang yang sampai pada tahap ini adalah: ia sudah mampu mengkritisi fenomena di sekitarnya. Segala sesuatu yang ditangkap inderanya dipikirkan matang, detil dan teliti sebelum diambil tindakan. Mereka yang masuk kategori ini tidak begitu saja puas menerima pendapat orang lain atau opini sebelum ada dialog dengan argumentasi rasional. Mereka mampu menerima segala sesuatu yang dianggap benar dan secara sadar bersama subyek lain mendalami realitas dan berusaha mengubahnya dalam suatu proses dialogis terus menerus.

Tidak ada jaminan jika seseorang sudah sampai taraf ketiga ini tidak akan tergelincir ke tingkat pertama. Hal ini terjadi jika orang tidak bersedia terus mengasah kepekaan nurani dan akal pikirannya. Saya tidak tahu pasti berapa persen kaum intelektual kampus sanggup berada di tataran level ketiga ini. Kalau intelektual kampus hanya berhenti di level pertama atau kedua, dapat dipastikan dunia pendidikan yang diharapkan Freire sebagai salah satu instrumen pembebasan akan limbung.


Yüklə 0,77 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   13




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin