Korespondensi kosmologi dan psikologi


Membangun Spiritualitas: Peran Manusia dalam Kosmos



Yüklə 464,36 Kb.
səhifə3/6
tarix26.10.2017
ölçüsü464,36 Kb.
#14025
1   2   3   4   5   6

Membangun Spiritualitas: Peran Manusia dalam Kosmos

Struktur kepribadian manusia, yang di dalamnya terungkap berbagai fakultas spiritual, menjadi kajian para sufi dan banyak pemikir muslim lainnya. Fakultas-fakultas spiritual itu diteliti, karena dengannya para pencari kebenaran melakukan aktivitasnya, baik dalam pengertian melakukan pendakian spiritual ataupun dalam meningkatkan fakultas-fakultas spiritual itu sendiri. Mereka juga tertarik dengan sebuah hadis Nabi yang sangat terkenal dalam kalangan tradisi sufistik: "Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya." Mereka berupaya menemukan asosiasi-asoiasi yang mungkin dalam keterkaitan manusia dengan Tuhan dan dengan alam semesta (kosmos), dengan maksud untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang tiga realitas: Tuhan sebagai metakosmos, alam semesta sebagai makrokosmos, dan manusia sebagai mikrokosmos.

Sebagaimana ditunjukkan dalam al-Qur'an, bahwa Allah akan menunjukkan kepada manusia tanda-tanda-Nya di segenap cakrawala dan dalam diri manusia sendiri, maka itu berarti bahwa tanda-tanda Tuhan dapat ditemukan dalam kedua realitas, kosmos dan manusia. Oleh karena itu, para pemikir muslim mendekatkan diri kepada Allah dengan terlebih dahulu atau secara simultan merenungkan tanda-tanda Allah dalam diri manusia dan dalam alam semesta.

Jika dalam perspektif kosmologi spiritual kosmos dibedakan dalam dua tataran, yaitu kosmos spiritual (alam ruhani) dan kosmos fisikal (alam materi), maka dalam dunia manusia (mikrokosmos) terdapat pula padanannya, yaitu dua unsur kepribadian manusia, yaitu jiwa (ruhani) dan badannya. Ruhani manusia membentuk hubungan keserasian dengan bagian alam spiritual dari kosmos, dan badan manusia membentuk hubungan keserasian dengan alam fisik kosmos. Lebih dari itu, asosiasi-asosiasi yang dapat dibuat dalam hubungan dengan realitas-realitas itu jauh lebih rumit dan mencakup semuanya, misalnya keserasian antara format fisik manusia dengan format ruhaminya. Dengan demikian, sifat-sifat dan karakteristik alam spiritual selaras pula dengan alam materi, dan dunia jiwa manusia juga selaras dengan karakteristik fisiknya.24 Hubungan-hubungan ini tentunya juga akan dengan sendirinya selaras dengan Tuhan, sebagaimana diungkapkan dalam al-Qur'an bahwa Dialah yang z}a>hir dan ba>t}in. Keselarasan ini menyiratkan adanya keteraturan di mana saja, dan itulah rancangan besar Allah, yang mau tidak mau harus dapat disimpulkan memiliki signifikansi yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Allah menciptakan alam semesta dan kemudian menyempurnakannya, boleh jadi penyempurnaan itu berkaitan dengan penciptaan manusia yang memiliki kualitas-kualitas ilahiah dan kosmologis secara menyeluruh (jam‘iyyah), dan seperti halnya Tuhan, manusia juga menjadi pusat dalam keteraturan alam semesta. Sachiko Murata menyimpulkan mengenai ini:

Karena sentralitas dan "sifat serba menyeluruh" (jam‘iyyah) situasi manusia, maka hanya manusia sajalah yang bisa mengacaukan harmoni atau keselarasan dan keseimbangan yang secara natural terjalin antara Allah dan kosmos. Lagi pula, disebabkan oleh situasi perantara yang mereka miliki, kenyataan bahwa mereka adalah wakil-wakil Allah, maka hanya manusia sajalah yang bisa menjalin harmoni dan keseimbangan yang sempurna antara Allah dan ciptaan (makhluk).25

Konsekuensi dari kesimpulan penalaran ini adalah keharusan manusia untuk mempertahankan keselarasan dalam hubungan-hubungan kosmologis, di mana ia menjalankan peran sentralnya. Keselarasan yang pertama kali harus diupayakan adalah keselarasan dalam diri manusia sendiri, yang mencakup keselarasan dalam struktur ruhaninya yang merupakan lokus dari segala upayanya. Keselarasan dan juga keseimbangan ruhani diperlukan, sekurang-kurangnya untuk mewujudkan superioritas jiwa atau ruhani manusia atas badan, yang dengan sendirinya akan berarti kekuatan jiwa akan dapat mengendalikan gerakan badan. Jika dikaitkan dengan bentuk-bentuk hubungan analogis dalam kosmos, yang berlaku baik dalam dunia fisik mapun dalam dunia ruhani, berupa hubungan atas-bawah atau hubungan aktif-reseptif, maka dalam diri manusia terdapat juga bentuk-bentuk hubungan seperti itu. Hubungan seperti ini dapat, misalnya, disimpulkan dari sebuah hadis Nabi yang menyebutkan adanya segumpal daging yang disebut jantung yang keberadaannya begitu berpengaruh kepada kualitas-kualitas fisik, yang jika ia sehat akan sehatlah seluruh anggota badan, dan sebaliknya. Dalam dunia ruhani atau dunia jiwa manusia, keadaan ini pun terjadi, di mana hati dipandang sebagai pusat acuan aktivitas ruhani, yang posisinya sama esensialnya dengan jantung bagi tubuh.

Kembali kepada persoalan fakultas spiritual manusia. Fakultas-fakultas spiritual mencakup ruh (ar-ru>h}), akal (al-‘aql), hati (al-qalb), jiwa (an-nafs), dan hawa nafsu (al-hawa>). Deskripsi ini sedikit berbeda jika dibandingkan dengan pandangan para filosof muslim pada umumnya, seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina. Al-Kindi, misalnya, menyebutkan tiga daya jiwa, yaitu: (1) daya syahwat/seks (al-quwwat as-syahwa>niyyah), (2) daya marah/agresi (al-quwwat al-ghad}abiyyah), dan (3) daya pikir (al-quwwat al-‘a>qilah). Teori jiwa yang lebih rinci dalam perspektif filsafat dapat dijumpai pada pandangan al-Farabi dan Ibnu Sina.26

Fakultas-fakultas spiritual ini biasanya dijelaskan dalam sebuah struktur, yaitu struktur spiritual, mungkin mengikuti analogi struktur kosmologi spiritual. Struktur spiritual ini, dalam pemikiran Islam—yang mencakup tinjauan kosmologis dan psikologis—dipandang memiliki keselarasan tertentu dengan struktur fisik manusia yang terdiri dari, misalnya, kepala, leher, dada, perut, organ pembuangan, paha, betis, dan kaki. Dalam spiritualitas atau jiwa manusia, yang mencerminkan sisi batin Allah, terdapat juga hubungan-hubungan, korespondensi-korespondensi, atau analogi-analogi kualitatif, seperti telah dijelaskan di atas. Dengan demikian ada hubungan-hubungan atas-bawah, aktif-reseptif, keseluruhan-bagian, kesederhanaan-kemajemukan, dan lain-lain. Rumitnya struktur kepribadian manusia, baik fisik maupun—lebih-lebih lagi—ruhaninya menjadikan kesimpulan-kesimpulan para pengkaji bersifat tentatif, dalam arti masih menyisakan ruang bagi pandangan dan penemuan lainnya, yang mungkin lebih akurat.

Peran sentral manusia di dalam kosmos—seperti disinggung di atas—mengandung pengertian bahwa hanya manusialah yang paling menentukan keserasian sekaligus kekacauan kosmos. Keserasian dan kekacauan kosmos dapat terwujud setelah sebelumnya manusia menciptakan atau membangun keselarasan atau kekacauan dunia spiritual yang ada di dalam dirinya. Dunia spiritual manusia mencakup beberapa fakultas, yang secara struktural menjalankan fungsi-fungsi aktif-reseptif dalam aras atas-bawah. Semuanya akan berjalan serasi jika strukturnya dapat dipertahankan sesuai dengan fitrah penciptaannya, atau sebaliknya.

1. Ruh (ar-Ru>h})

Dibandingkan dengan fakultas spiritual lainnya, ru>h} dalam diri manusia dipandang merupakan substansi spiritualitas manusia, bahkan diklaim sebagai inti keberadaannya. Dalam sejarah penciptaan manusia (dalam hal ini disimbolkan oleh penciptaan Adam), ru>h} merupakan unsur spiritual ilahiah yang dihembuskan ke dalam bentuk lahiriah manusia yang terbuat dari tanah. Seperti disinggung di beberapa tempat dalam tulisan ini, bahan baku penciptaan fisik manusia dari tanah menjadi simbol asal kejadian manusia yang rendah dan gelap; sedangkan dimensi spiritual manusia yang dihidupkan dengan ruh ilahiah merupakan simbol keagungan dan cahaya di dalam dirinya. Dengan demikian, berdasarkan simbolisasi tersebut, kepribadian manusia secara eksistensial terentang dari dimensi rendah dan gelap hingga dimensi yang paling tinggi dan bercahaya. Karena alasan ini pula maka secara spiritual manusia dapat menjangkau Cahaya sesungguhnya, yaitu Allah.

Dalam sebuah hadis Nabi, diceritakan bahwa setelah manusia melalui tahapan penciptaan di dalam perut ibunya, mulai dari tahap segumpal darah (‘alaqah), kemudian tahap segumpal daging (mud}ghah), sampai kepada proses penyempurnaan dengan meniupkan ar-Ru>h} ke dalam unsur fisik manusia. Setelah itu, Allah memerintahkan untuk menuliskan empat keputusan (kalimat), yaitu rizki, ajal, amal, dan sengsara-bahagianya.27 Ditiupkannnya ru>h} ke dalam jasad manusia mengandung pula pengertian menghidupkan jasad mati manusia, sehingga dengan demikian ruh dipandang sebagai substansi yang menghidupkan.28

Fungsi menghidupkan dari ru>h} selanjutnya akan berarti bahwa cahaya spiritual dari ruh memberi efek menghidupkan spiritualitas manusia, di samping mengangkat spiritualitas ke taraf yang lebih tinggi. Dari sudut pandang lain, fungsi ini pun mengandung arti bahwa ruh yang tinggi dalam spiritualitas manusia bersifat aktif dalam hubungannya dengan fakultas spiritual lain di bawahnya.29 Dalam sebuah riwayat, ruh yang ditiupkan ke dalam fisik manusia dimulai dari kepala menuju dada. Dalam dada (s}adr) ada hati (qalb) yang merupakan pusat spiritualitas manusia, dan memperoleh kehidupan dari ru>h} ini.30 Sebaliknya, hati harus mencari cahaya yang menghidupkannya dari ru>h}, sebagai lambang reseptivitasnya kepada fakultas yang lebih tinggi. Hal ini analog dengan kenyataan spiritual bahwa wahyu atau al-Qur'an yang kadang disebut sebagai ar-Ru>h} di sampaikan oleh Alla>h (juga disebut sebagai ar-Ru>h}) melalui ar-Ru>h} al-Ami>n atau ar-Ru>h} al-Qudus, di mana wahyu atau al-Qur'an menghidupkan spiritualitas, atau menghidupkan fakultas-fakultaas spiritual, termasuk menghidupkan hati.31

Dalam al-Qur'an banyak ditemukan kata ru>h} dengan beberapa variasi.32 Varian tersebut menyebabkan tafsiran-tafsirannya juga beragam, seperti frase ru>h}i>, yang bisa ditafsirkan sebagai "ru>h} Allah" atau "ru>h} ciptaan Allah."33 Atau, terma ru>h dalam firman Allah يلقي الروح من أمره yang bisa ditafsirkan dengan wahyu al-Qur'an atau kenabian (nubuwwah).34 Ru>h} dalam al-Qur'an terutama mengandung konotasi mulia, agung dan penting. Kata ini tidak terlalu terkait dengan konsep yang berada di balik istilah "roh" dalam bahasa Indonesia, yang sebaliknya membawa banyak konotasi yang kurang baik.

2. Akal (al-'Aql)

Dalam pemikiran Islam, terma akal banyak diperbincangkan baik dalam kajian hukum, teologi dan filsafat, maupun dalam kajian tasawuf. Dalam kajian hukum Islam, akal dipertentangkan dengan naqal, yakni sebagai sumber atau pembuktian sebuah kebenaran. Dalam teologi dan filsafat Islam, di satu sisi akal dikontraskan dengan wahyu sebagai cara memperoleh pengetahuan tentang yang benar, termasuk dalam hal pembuktian adanya Tuhan, di sisi lain dalam filsafat Islam, akal menjadi simbolisasi bagi wujud-wujud spiritual yang beremanasi dari Tuhan. Sedangkan dalam kajian tasawuf, sufisme, atau psikologi spiritual, akal dipandang sebagai sebuah fakultas spiritual manusia, yang secara relatif kedudukannya analog dengan kedudukan akal dalam kosmologi spiritual.

Dari segi bahasa kata ‘aql berarti "ikatan, batasan, atau menahan," di samping arti sebagai daya berpikir, akal pikiran.35 Sedangkan dari sudut pandang tasawuf, barangkali definisi yang dibuat Amatullah Armstrong cukup memadai untuk pembahasan lebih lanjut, yaitu:

Al-‘Aql adalah intelek atau fakultas penalaran. Kata ‘aql berasal dari ‘iqa>l yang berarti "belenggu". Akal membelenggu dan mencengkeram manusia dan menghalangi dirinya dalam menemupun tahap-tahap akhir menempuh kenaikan menuju Allah (mi‘ra>j). Dalam kenaikan menuju Allah (mi‘ra>j) ini, terdapat suatu tempat yang disebut dengan "Pohon Teratai di Batas Terjauh" (Sidrat al-Muntaha>) yang menunjukkan "tempat" akal (belenggu) harus ditinggalkan. Dari tempat ini, sang penempuh Jalan Spiritual (sa>lik) meneruskan perjalanan dengan cinta (‘isyq), kerinduan (syawq), dan ketakjuban (hayrah). Pada waktu mi‘ra>j Nabi Muhammad Saw. , di sidrat al-muntaha> inilah sahabatnya, Malaikat Jibril, berhenti karena takut hancur dan musnah. Kedudukan takut adalah kedudukan tertinggi yang bisa dicapai oleh akal.36

Ada tiga hal yang penting di catatan dari definisi di atas, yaitu: pertama, akal sebagai fakultas spiritual manusia—yaitu fakultas penalaran; kedua, dalam kerangka pendekatan diri kepada Allah, akal dibedakan dengan cinta, kerinduan, dan ketakjuban. Akal dipandang tidak dapat mengatarkan orang untuk sampai ke taraf terdekat—apalagi menyatu—dengan Allah; dan ketiga, berbeda dengan karakteristik pembahasan terdahulu mengenai ar-ru>h}, di mana Malaikat Jibril disimbolkan dengan ar-Ru>h}, dalam definisi ini—yang tampak mengambil jalan pikiran filsafat—memandang Malaikat Jibril sebagai simbol akal, sebagaimana dalam filsafat Islam Malaikat Jibril diidentifikasi sebagai Akal Kesepuluh, atau Akal Aktual, yakni akal yang paling dekat dengan dunia atau dengan kehidupan manusia.

Memperhatikan pengertian bahwa akal tidak dapat mengantarkan manusia ke taraf terdekat dengan Allah, tentunya tidak dapat diterima oleh kalangan rasional yang berpegang teguh kepada keyakinan bahwa akal merupakan fakultas spiritual yang paling tinggi di samping paling dihargai dari sudut pandang agama, karena akal dapat menjadi alat untuk menemukan atau sekurang-kurangnya untuk membuktikan kebenaran. Keberatan itu adalah sah dari sudut pandang rasional. Namun, dari sudut pandang spiritual, argumen bahwa akal tidak dapat mengantarkan seseorang untuk mencapai taaf terdekat dengan Allah juga dapat dibenarkan. Untuk ini, dapat diambil titik tolak dari defisni ‘aql, misalnya menurut Asy-Syafi‘i> dan Abi ‘Abdilla>h dari Muja>hid bahwa akal adalah alat untuk membedakan baik-buruk, benar-salah (al-‘aql a>lat at-tamyi>z), atau definisi Abi> al-‘Abba>s al-Qalansi> bahwa akal adalah kekuatan untuk membedakan (al-‘aql quwwat at-tamyi>z) baik-buruk, benar-salah, dan semacamnya.37 Juga dapat diambil pendapat bahwa akal adalah sesuatu yang dengannya diketahui yang benar (al-h}aq) dari yang salah (al-ba>t}il).38 Dari definisi-definisi di atas, terlihat jelas bahwa dalam akal masih terkandung dualitas-dualitas, kendatipun hanya merupakan dualitas konseptual. Dalam pandangan spiritual, seseorang yang ingin mendekat kepada—atau menyatu dengan—Allah, Zat Yang Mahaesa, ia harus meninggalkan multiplisitas dan dualitas-dualitas, dan memusatkan diri pada kesatuan, yakni dengan memandang bahwa semuanya satu dan berasal dari Yang Esa.

Al-Qur'an maupun hadis menggunakan istilah ‘aql ini untuk menyampaikan pengertian tertentu. Kata yang berakar pada ‘aql di dalam al-Qur'an berjumlah 49 kata, dan selalu dalam bentuk verbal. Selalu dalam bentuk verbal itu boleh jadi memiliki rahasia tertentu, misalnya bahwa akal itu tidak boleh berhenti bekerja untuk menjamin dinamika dan berlangsungnya kehidupan manusia, sekurang-kurangnya dinamika kehidupan spiritualnya. Akal dalam dunia spiritual (makrokosmos), yang dalam filsafat Islam menjadi simbol malaikat atau jiwa-jiwa universal, misalnya, tidak boleh berhenti bekerja, untuk menjamin pemeliharaan Allah yang terus menerus terhadap alam semesta. Demikian juga, dalam kehidupan spiritual manusia (mikrokosmos), aktivitas fakultas akal ini haruslah bersifat terus menerus, atau bersifat imperatif harus tetap difungsikan. Sebuah hadis Nabi yang sangat populer menunjukkan pentingnya akal ini dalam keberagamaan, yaitu "Agama (ad-di>n) itu adalah akal (al-‘aql); tidak ada agama bagi orang yang tak memiliki akal."39 Juga beberapa hadis Nabi yang dikutip Yunasril Ali, berturut-turut riwayat Ima>m Tirmi>z\i>, Abu> Nu‘aim, dan Ibn Mih}ba>r, yaitu: "Allah tidak menciptakan makhluk yang lebih mulia daripada ‘aql." "Apabila manusia mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai kebaikan (al-birr), maka dekatkanlah dirimu dengan akalmu." Dalam riwayat terakhir diceritakan bahwa ‘Umar, Ubay ibn Ka‘ab, dan Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah mengenai orang yang paling perilmu, paling berkualitas dalam pengabdiannya, dan paling utama. Nabi menjawab: "orang yang berakal."40 Selain hadis-hadis di atas, ada juga hadis yang biasanya dipegang oleh para filosof dan tradisi kearifan, yang tampaknya menonjolkan pengertian kosmologisnya, yaitu hadis yang menyatakan akal sebagai makhluk yang pertama kali diciptakan Allah.41

Banyak pengarang menekankan akal sebagai alat untuk memperoleh kebijaksanaan (wisdom) atau hikmah,42 seperti dalam filsafat. Pandangan ini sejalan dengan banyak pandangan ulama yang menghubungkan akal (al-‘aql) dengan hikmah (al-h}ikmah), misalnya pendapat Muja>hid bahwa al-h}ikmah adalah akal, pemahaman (al-fiqh), dan kebenaran dalam bicara (as}-s}awa>b fi> al-kala>m), yang bukan termasuk kualitas kenabian (min ghayr an-nubuwwah). Demikian juga pendapat Zayd Ibnu Aslam bahwa al-h}ikmah sebagai akal dalam agama Allah. 43

Seorang mufasir terkemuka, Abdullah Yusuf Ali, dengan berdasarkan pada Qs. 22:46, menghubungkan hati dengan pikiran (kerja akal). Akal dalam arti inteligensi merupakan salah satu fungsi hati (heart, qalb).44 Dengan mengembangkan akal dan keterampilan, manusia dapat menciptakan peradaban material yang mengagumkan; namun, dalam pengembangan itu manusia tidak boleh mengabaikan persoalan moral, karena kemajuan peradaban material itu tidak akan dapat menyelamatkan masyarakat dari hukum moral Allah.45 Namun, di sisi lain, menurut Yusuf Ali, salah satu dari tiga faktor yang menjerumuskan manusia kepada kesesatan adalah kesalahan inteligensi (the defect of intelligence) atau kelalaian (carelesness). Yang lain adalah karena pengaruh kejahatan setan (misled or deceived by evil spirit), dan karena mengikuti nafsu (selfish desire).46 Akal merupakan alat penalaran (reasoning) yang dapat dipergunakan untuk memahami makna sebenarnya dari kebaikan dan keburukan serta perbedaan keduanya.47 Akal yang dangkal tidak dapat memahami kebijaksanaan dan kebaikan Allah. Akan demikian hanya melihat sepintas ketidakteraturan dalam ciptaan.48

Dalam komentar-komnetar di atas, Yusuf Ali tampak tidak tertarik dengan spekulasi kosmologis dalam filsafat yang memberi tekanan pada makna akal dalam kosmologi ruhani, baik sebagai wujud-wujud turunan dari Wujud Pertama, maupun dalam pengertian malaikat-malaikat. Yusuf Ali, sebaliknya menekankan akal dalam pengertian inteligensi dalam diri manusia, atau dalam tataran mikrokosmik. Kendatipun perhatiannya pada tataran mikrokosmik, Yusuf Ali menekankan pula hubungan akal dengan Tuhan, di mana ia menyatakan bahwa akal atau inteligensi adalah anugerah Allah, sama seperti eksistensi-eksistensi lainnya berupa fakultas-fakultas spiritual dalam diri manusia.

Dalam hubungannya dengan fakultas hati, menurut Yusuf Ali, akal merupakan bagian dari hati, sehingga akal dianggap menjadi salah satu fungsi hati. Dengan demikian, jika disimpulkan bahwa akal merupakan fakultas spiritual untuk mencapai kebijaksanaan (widom, al-h}ikmah), maka kebijakasanaan itu dengan sendirinya merupakan produk aktivitas hati. Kesan yang muncul dari pemahaman bahwa akal adalah bagian dari hati adalah bahwa hati memiliki wilayah lebih besar dari akan, yaitu bahwa hati memiliki dua sayaf fungsi: inteligensi dan afeksi atau feeling. Sebaliknya dari ini adalah pandangan Al-Ghazali dari pemikir muslim dan F.W. Bailes. Baik al-Ghaza>li> maupun Bailes memandang bahwa berfikir sebagai aktivitas akal dibedakan menjadi fikir dan rasa. Bailes menyebutnya sebagai pikir objektif dan pikir subjektif.49

Pendapat terakhir ini menyiratkan bahwa akal memiliki cakupan hati. Pemikiran-pemikiran yang berbeda atau berkebalikan seperti ini sudah lazim dalam pemikiran Islam, karena terma akal, hati, dan ruh dalam al-Qur'an dipandang menjelaskan satu substansi dengan nama berbeda, yang disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda.50 Pemikir muslim dari kelompok filosof dan dari kalangan tradisi kearifan seringkali menghubungkan antara akal dalam kosmologi spiritual dengan akal dalam mikrokosmos, misalnya akal dalam makrokosmos dianalogikan dengan akal atau inteligensi manusia, dan dilawankan dengan hawa nafsu (caprice). Akal dihubungkan juga dengan Nabi dalam jiwa manusia, sehingga disebutkan bahwa akal adalah fakultas malakuti (angelic faculty) yang bercahaya (luminous) dalam diri manusia.51
3. Hati (al-Qalb)

Kendatipun istilah ru>h}, akal, dan hati dapat dipertukarkan, namun kebanyakan ahli memilih istilah hati, dan karenanya hati menjadi lebih pupuler daripada yang lain untuk menunjukkan inti spiritualitas manusia. Bahkan, kesan umum menggunakan hati sebagai cermin personalitas seseorang. Ketika orang menyebut seseorang berhati baik, kesan yang muncul dalam pikiran adalah bahwa keseluruhan aspek kepribadian orang dimaksud menjadi terkesan baik. Tidak demikian jika orang menyatakan seseorang cerdas, maka sebutan itu kesannya hanyalah sebagian dari personalitas orang yang dimaksud. Bagaimanapun, hati adalah fakutas spiritual manusia, atau sekurang-kurangnya dipandang sebagai bagian dari kepribadian seseorang. Di bawah ini akan dibahas berturut-turut Pengertian hati, keadaan-keadaan hati, dan bagaimana memelihara hati.

Al-Qur'an menyebut menyebut hati dengan tiga terma populer, yaitu al-qalb- al-qulu>b, as}-s}adr-as}-s}udu>r52 serta al-fu'a>d-al-af'idah.53 Sebagian ada yang memberikan tambahan al-lubb­-al-alba>b untuk hati, seperti dalam frase ulu> al-alba>b.54 Kata qalb dengan berbagai variasinya sekurang-kurangnya 112 kali.55 Kata-kata itu dengan sendirinya dapat dijadikan bahan utama untuk memahami perspektif al-Qur'an mengenai hati sebagai salah satu fakultas spiritual manusia.

Dari segi bahasa, qalb (kata benda untuk qalaba) berarti hati, lubuk hati, jantung, inti, kekuatan, semangat keberanian. Qalb juga dimaknai akal, istilah yang oleh psikologi biasanya dibedakan dari hati.56 Sementara itu, akar kata qalaba mengandung pengertian antara lain merubah, membalikkan, menjadikan yang ba>t}in menjadi z}a>hir, menumbangkan, mempertimbangkan, terbalik, dan lain-lain.57 Sebagian besar, kalau bukan seluruh, penulis spiritualitas merujuk kepada makna bahasa dari qalb ini, dan juga menjadikan qalb ini sebagai terma utama untuk hati, dibandingkan dengan shadr atau fu'a>d.58 S{adr (bahasa Indonesia, dada) berarti bagian atas atau depan dari segala sesuatu, dada, permulaan, buah dada. S{adr juga dimaknai sama dengan fu'a>d. Sedangkan kata fu'a>d itu sendiri berarti hati, akal, pikiran.59 Dengan demikian, berdasarkan pengertian bahasa, qalb, s}adr, dan fu'a>d merujuk kepada substansi yang sama. Oleh karenanya, para pengarang menganalisis perbedaan sudut tinjauan untuk hati ini, misalnya dengan menunjukkan struktur hati, di mana s}adr berada pada lapisan luar, qalb dan fu'a>d masing-masing secara berurutan menempati struktur hati yang lebih dalam.60

Untuk masuk ke dalam pengertian istilah, kebanyakan penulis—kemungkinan besar mengikuti al-Ghaza>li>—membuat pembedaan antara hati fisik (bagian dari fisiologis manusia) dan hati spiritual (bagian dari psikologi atau spiritualitas manusia). Dari sudut pandang kearifan Islam, terutama menurut perspektif kalangan kosmolog Islam, apa saja yang terdapat di dalam diri manusia memiliki signifikansi, baik dalam hubungannya dengan aspek-aspek di dalam struktur mikrokosmiknya maupun di dalam struktur makrokosmik. Badan manusia memiliki keselarasan dengan spiritualitasnya. Dengan demikian, hati fisik (yang merujuk kepada jantung) berhubungan, sekurang-kurangnya dalam hubungan simbolik dan analogis, dengan hati spiritual. Jalaluddin Rakhmat, misalnya, menjelaskan bahwa qalb memiliki dua makna: fisik dan ruhani. Dengan demikian Ada qalb dalam bentuk fisik dan ada qalb dalam bentuk ruh.61 Hati fisik adalah sebuah organ vital tubuh, yaitu jantung. Jalaluddin Rahmat merujuk pengertiannya kepada sebuah hadis Nabi yang menyebut hati fisik ini sebagai mud}ghah, segumpal daging. "Ketahuilah, di dalam jasad ini ada segumpal daging (mud}ghah); jika ia baik maka baiklah seluruh jasad; sebaliknya, jika rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, itulah hati (qalb, dalam arti jantung, pen.)."

Hubungan antara hati fisik dengan hati spiritual diungkapkan, misalnya oleh Robert Frager dengan penjelasannya berikut:

Hati batiniah berfungsi hampir sama dengan hati jasmaniah. Hati jasmaniah terletak di titik pusat batang tubuh; hati batiniah terletak di antara diri-rendah dan jiwa. Hati jasmaniah mengatur fisik; hati batiniah mengtur psikis. Hati jasmaniah memelihara tubuh dengan mengirimkan darah segar dan beroksigen kepada tiap sel dan organ di dalam tubuh. Ia juga menerima darah kotor memlalui pembuluh darah. Demikian pula, hati batiniah memlihara jiwa dengan memancarkan kearifan dan cahaya, dan ia juga menyucikan kepribadian dan sifat-sifat buruk. Hati memiliki satu wajah menghadap ke dunia spiritual, dan satu wajah lagi menghadap ke dunia diri-rendah dan sifat-sifat buruk kita.

Jika hati jasmaniah terluka, maka kita menjadi sakit. Jika mengalami kerusakan berat, maka kita pun meninggal dunia. Jika hati batiniah kita terjangkit sifat-sifat buruk dari nafs (atau diri-rendah), maka kita akan sakit secara spiritual. Jika hati tersebut secara keseluruhan didominasi oleh nafs, maka kehidupan spiritual kita pun akan mati.62

Jalaluddin Rakhmat mengambil hubungan analogi dari hati fisik yang disebutkan dalam sebuah hadis Nabi dengan hati spiritual.

Ketika Nabi mengatakan, "Ada segumpal daging dalam tubuh," Nabi juga melambangkan peran hati dalam kesehatan jiwa. Sebagaimana jantung memegang peranan penting dalam kesehatan tubuh, maka begitu pula hati. Ia memegang peranan amat penting dalam kesehatan ruhani kita. Kalau hati rusak, maka seluruh ruhani kita rusak; dan kalau kalau hati kita baik, maka seluruh ruhani kita baik.63

Yusuf Ali mengungkapkan secara agak samar hubungan antara hati fisik (physical heart) dengan hati spiritual ini dalam salah satu catatannya, yaitu:

A picture of horror. The evil ones, when they realise the situation, will be dazed; their eyes will stare without expression, and never move back; their necks will be outstretched; their heads uplifted in terror of the Judgment from on High; and their hearts become empty of all hope or intelligence as the physical heart might become empty of blood when the circulation stops. In this state they will press forward to Judgment.64

Dalam catatan tafsir Yusuf Ali tersebut, akibat kejahatannya, hati orang yang zalim akan kehilangan segala harapan dan kecerdasan, seperti halnya hati fisik yang kehabisan darah ketika peredaran darahnya berhenti. Yusuf Ali menyebutkan beberapa catatan mengenai pengertian hati, yaitu:


  1. Hati manusia adalah tempat harapan dan ketakutannya, fondasi kehidupan moral dan spiritualnya.65

  2. Hati merupakan tempat kasih-sayang dan kenikmatan.66

  3. Hati merupakan tempat fakultas akal (inteligence) dan pemahaman, jug tempat kasih sayang (affection), dan emosi (emotions).67

  4. Hati bukan hanya merupakan tempat kasih sayang, melainkan juga tempat ingatan dan pemahaman.68

  5. Hati (atau dalam hal ini dada) adalah tempat kasih-sayang, emosi, dan perasaan, seperti ketakutan, sakit, dan putus asa.69

  6. Hati … mencakup fakultas akal dan fakultas perasaan (the faculty of feeling). Pengaruh yang ditimbulkannya adalah kebenaran murni, tidak ada ilusi di dalamnya.70

Jika dirangkum, pengertian hati (baik untuk kata qalb, s}adr, atau fu'a>d) menurut Yusuf Ali adalah inti kemanusian (the very core of their being),71 tempat fakultas inteligensi, memori, pemahaman, juga tempat afeksi, emosi, dan perasaan (feeling). Hati juga merupakan tempat kenikmatan (seat of joy). Jika dikaitkan dengan pandangan mutakhir mengenai kecerdasan manusia, maka hati dalam pemahaman Yusuf Ali mencakup kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). Oleh karena kecerdasan spiritual (SQ) merangkum dua jenis kecerdasan, IQ dan EQ, maka hati merupakan pusat kecerdasan spiritual.72 Sebagai pusat kecerdasan spiritual, hati memiliki kedudukan dan menjalankan fungsi yang sentral pula dalam diri manusia. Seperti hati fisik (jantung) yang mengatur peredaran darah ke seluruh tubuh, maka hati spiritual memimpin dan mengatur spiritualitas manusia.

Majdi al-Hilali> menunjukkan cakupan fungsional yang lebih luas lagi, meliputi pengaturan fisik, seperti dalam penjelasannya:

Hati adalah hakikat keberadaan manusia. Hati adalah raja yang selalu ditaati dan dipatuhi perintahnya. Akal, nafsu, dan anggota badan semuanya menjadi prajurit yang harus mengikuti dan mentaati hati. Mereka harus bersedia melaksanakan semua perintah hati dan bersedia meninggalkan semua larangannya.

Karena kedudukannya, maka hati berhak menentukan keputusan. Akal, nafsu, dan anggota badan manusia sebagai prajurit hanya menjadi pelaksana keputusan itu. Karena itu, jika hati manusia itu baik maka seluruh tubuh manusia akan menjadi baik. Sebaliknya, jika hati manusia rusak, maka seluruh tubuhnya pun akan rusak.73

Pandangan bahwa hati menjadi pusat spiritualitas manusia, dan merangkum fakultas rasional dan emosional, ini selanjutnya akan menghapuskan teori—biasanya dalam teologi Islam—yang menciptakan polarisasi antara hati dan akal. Di sisi lain, pandangan ini mempertahankan pembedaan bahwa fakultas rasional dan emosional keduanya terdapat di hati. Dengan demikian, pandangan ini berbeda dengan pandangan rasional pada umumnya yang memandang fakultas fikir atau rasional terdapat di otak.74

Keadaan-Keadaan Hati

Kedudukan hati sebagai pusat spiritualitas manusia menunjukkan pentingnya fakultas ini dalam keseluruhan hidup manusia. Dalam al-Qur'an hati menjadi lokus perbagai perlakuan, yang hal itu terjadi karena ia menempati sentralitas manusia sebagai individu. Karena itu, hati, sesuai dengan makna bahasanya, mengalami proses yang senantiasa berubah-ubah, tergantung dari bagaimana manusia memanage hatinya untuk menerima atau menolak berbagai perlakuan yang diterimanya. Hukum moral dan spiritual yang ditetapkan Allah sepenuhnya berlaku dalam hati manusia.



Al-Qur'an mendeskripsikan hati (yang mewakili personalitas manusia) dengan berbagai keadaan, seperti:

  1. Hati yang dikunci mati oleh Allah karena bertindak kafir. Hati yang dikunci mati tersebut menyebabkan orang tidak dapat mendengarkan (la> yasma‘u>n) ajaran Allah,75 tidak dapat memahami (la> yafqahu>n) tanda-tanda Allah,76 dan tidak dapat mengetahui (lâ ya‘lamu>n) kebenaran.77 Allah juga mengunci mati hati orang yang melampaui batas (mu‘tadu>n),78 juga karena mereka memperturutkan nafsu (al-hawa>).79

  2. Hati yang di dalamnya ada penyakit (marad}), dan Allah menambah penyakitnya karena berlaku dusta (kiz\b). Akibatnya adalah siksa yang pedih (‘aza>b-un ‘ali>m).80

  3. Hati yang menjadi keras (qaswah, qasa>wah, atau qa>siyah) seperti batu atau lebih keras lagi, misalnya karena sebelumnya melanggar janji dan menerima laknat Allah.81 Hati menjadi semakin keras adalah juga karena tidak mau merendahkan diri setelah mencapat siksa karena kesalahan sebelumnya. Akibat selanjutnya, setan menghias indah segala perilakunya.82 Celaka bagi orang yang keras hatinya.83

  4. Hati yang tertutup (ghulf, gila>f), sebuah pengakuan menolah ajaran Allah.84 Ada pula hati yang di atasnya Allah meletakkan tutup ('akinnah), sehingga tidak dapat memahami tanda-tanda Allah.85 Ada pula tutup (ra>na) yang terjadi atas hatidisebabkan oleh perbuatan jahat.86

  5. Hati yang menyimpan kecenderungan sesat (zaigh), yang memilih ayat-ayat yang samar (mutasya>biha>t) daripada ayat yang jelas (muh}kama>t), dengan maksud menyesatkan orang lain.87 Tapi, sebaliknya ada hati yang menyimpan kecenderungan baik.88

  6. Hati yang disatukan, sehingga orang menjadi bersaudara.89

  7. Hati yang tenang atau ditenangkan (t}uma'ni>nah), misalnya oleh kabar gembira (busyra>) dari Allah.90 Hati orang beriman tenang karena mengingat Allah, dan Allah menanamkan ketenangan (sakînah) di dalamnya.91 Sebaliknya, hati orang yang kafir kepada Allah dan hari kemudian akan kesal ketika Allah disebut-sebut.92

  8. Hati orang kafir yang dicengkeram rasa takut karena melakukan tindakan syirik yang mengundang siksa neraka.93 Allah juga yang memasukkan rasa takut (ra'b) ke dalam hati.94

  9. Hati yang menyimpan rasa penyesalan (h}asrah) yang ditimbulkan oleh Allah di dalamnya.95

  10. Ada hati yang kosong iman,96 ada pula yang berisi iman.97

  11. Hati yang bergetar karena mengingat Allah dan bertambah iman dan tawakkalnya kepada Allah ketika dibacakan ayat-ayat-Nya. Inilah hati orang yang beriman.98

  12. Hati yang dikuatkan,99 dan yang dihilangkan panas (ghayz})-nya oleh Allah.100

  13. Hati yang menyimpan keraguan (rayb) dan karenanya bimbang (yataraddadu>n).101

  14. Hati menjadi tempat menyembunyikan rahasia diri, kendatipun Allah pasti mengetahuinya. 102

  15. Hati yang ada nifa>q-nya karena ingkar dan berdusta.103

  16. Hati yang di dalamnya ada keingkaran (munkirah), sehingga melahirkan kesombongan.104

  17. Hati yang bertaqwa (taqwa> al-qulu>b), yang menyebabkan seseorang mengagungkan Tanda-tanda (sya‘a>’ir) Allah.105

  18. Hati yang buta tidak melihat Tanda-tanda Allah.106

  19. Hati orang kafir berada dalam kesesatan (ghamrah).107

Penjelasan al-Qur'an di atas menunjukkan bahwa keadaan-keadaan hati merupakan hasil timbal balik antara tindakan atau perilaku manusia dan akibat-akibat hukum spiritual yang secara otomatis mengenainya. Dengan kata lain, keadaan hati ditentukan oleh dua hal: perbuatan manusia dan hukum spiritual Allah. Kedua hal tersebut dapat menciptakan keadaan hati manusia sehat, sakit, keras, mati, kuat, lemah, fungsional dan disfungsional. Oleh karena hukum spiritual itu berjalan otomatis, maka keadaan-keadaan hati seperti tersebut di atas sepenuhnya tergantung kepada bagaimana manusia memanagenya. Seperti halnya hati fisik yang kehidupannya tergantung kepada, misalnya, nutrisi dan vitamin yang relevan bagi kesehatannya; demikian juga hati spiritual membutuhkan tindakan dan perlakuan moral dan spiritual yang sesuai untuk menjamin kesehatan dan kelangsungan hidupnya.

Memperhatikan modus penjelasan al-Qur'an mengenai hati, sebagaimana diuraikan di atas, tampak sekali bahwa sebagian besar ayat-ayat al-Qur'an mengungkapkan keadaan-keadaan hati yang kurang baik karena berbagai bentuk kelakuan manusia yang menodai pusat kehidupan moral dan spiritualnya sendiri. Tampaknya hanya satu kata kunci untuk menjamin kesehatan hati, dan yang akan menyelamatkan kehidupan manusia, adalah mengikuti cahaya iman dengan sikap pasrah; sedangkan faktor yang merusak hati adalah sebanyak macam dan bentuk tindakan menyimpang manusia dari tuntutan hukum moral dan spiritual.



Tafsi>r al-Qurt}ubi> secara elaboratif memerinci keadaan-keadaan hati orang kafir, yang keadaan-keadannya tergantung kepada tingkat kekafirannya, atau tingkat keburukan tindak pengingkarannya. Disebutkan oleh Qurt}ubi>,108 yang dialamatkan kepada pendapat kaum esoteris (ahl al-ma‘a>ni>) yang menjelaskan sepuluh macam keadaan hati orang kafir, yaitu: ingkar (al-inka>r), 109 rendah atau bersifat merendahkan (al-h}amiyyah),110 berpaling (al-ins}ira>f),111 keras (al-qasa>wah), 112 mati (al-mawt),113 kotor (ar-rayn),114 sakit (al-marad}), 115 sempit (ad}-d}ayyiq),116 terkunci (at}-t}ab‘),117 dan terkunci mati (al-khatm).118

Hati menjadi kedap terutama disebabkan oleh sikap seseorang yang dengan sengaja menutupi hatinya dari cahaya kebenaran (deliberate rejection of Truth). Mata dan telinganya dengan sengaja tidak difungsikan untuk melihat Tanda-tanda Allah dan untuk mendengarkan ajaran-Nya. Dengan demikian ia tidak memiliki kemauan untuk memahami kebenaran, memahami Allah dan wahyu-Nya. Oreng tersebut dengan sengaja pula mengunci hati dan pikiran mereka, sehingga tak ada pengaruh cahaya spiritual yang mampu menembus hatinya.119

Hati dari segi penciptaan memang suci dan bersih dari noda. Karena kesuciannya, hati bersifat memancarkan cahaya (luminous) dan merupakan lokus intervensi spiritual Allah dalam spiritualitas manusia.
4. Jiwa (al-Nafs)

Nafs dijumpai dalam al-Qur'an sebanyak 140 kali.120 Dari penggunaan al-Qur'an, diketahui bahwa nafs merujuk kepada "diri" manusia, atau sesuatu yang menyangkut jatidiri, dan sesuatu yang berada di dalam diri manusia yang dapat mewakili keberadaannya. Dari penjelasan al-Qur'an, ada juga kesan yang kuat bahwa nafs adalah sisi spiritual manusia yang diperbedakan dengan sisi jasmaniahnya, misalnya dalam polarisasi jiwa-raga, atau nafsani-jasmani, di samping ada pula polarisasi ruhani-jasmani.

Nafs menjadi wacana dalam pemikiran Islam, sekurang-kurangnya karena nafs ini disebutkan dalam kitab suci, yang menjadi sumber dan rujukan dalam pemikiran umat Islam. Banyak hal yang dapat dipelajari dari al-Qur'an mengenai nafs ini, tentunya dengan melakukan analisis bagaimana al-Qur'an menggunakan istilah ini. Dari sekian pengungkapan al-Qur'an mengenai nafs, terdapat beberapa tema pokok yang mengungkap sifat dan keberadaan nafs ini, yaitu antara lain:


      1. Nafs adalah personifikasi diri manusia yang menerima konsekuensi disebabkan oleh perbuatan-perbuatan manusia. Karakteristik ini berarti bahwa perbuatan manusia yang baik akan berakibat baik bagi nafs-nya; sebaliknya, jika buruk akan buruk pula nafs-nya.121

      2. Segala yang buruk dari nafs manusia; sebaliknya, segala yang baik berasal dari Allah.122

      3. Ada perbedaan, sekurang-kurangnya ada jarak, antara manusia dan nafs-nya, ketika al-Qur'an berbicara mengenai manusia yang berbuat zhalim kepada nafs-nya.123

      4. Mengingat Allah dalam nafs,124 dan Allah tahu apa yang diperbuat oleh nafs.125

      5. Setiap nafs manusia merasakan kematian (za>’iqat al-mawt).126

      6. Selain nafs untuk manusia, ada juga penggunaan nafs untuk Allah.127

Dalam pemikiran hukum Islam, nafs dipandang mewakili personalitas manusia, dan di ssi lain nafs adalah manusia itu sendiri, atau sekurang-kurangnya berarti "nyawa" atau "jiwa," seperti dalam persoalan qis}as} atau masalah jinayat lainnya. Sedangkan dalam pemikiran spiritual Islam (tasawuf), seperti halnya ru>h}, akal, dan hati, nafs menjadi fokus perhatian; namun berbeda dengan tiga entitas lainnya yang mengesankan sebagai fakultas bercahaya dari manusia, nafs sebaliknya dipandang sebagai fakultas spiritual yang cenderung merusak.

Sebelum membahas hal ini, di bawah ini dikemukakan pengertian nafs menurut beberapa penulis:

(1) Said Hawwa berpendapat bahwa nafs adalah ruh yang telah menyatu dengan jasad.128

(2) Robert Frager menyebutkan bahwa nafs dalam psikologi sufi diterjemahkan sebagai diri (self), atau ego, atau jiwa (soul). Makna lain dari nafs adalah "intisari" dan "nafas." Dan, penggunaan yang lebih umum, nafs adalah diri, seperti dalam kata dirimu atau diriku.129

(3) William C. Chittick menjelaskan bahwa pada umumnya nafs diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan soul (jiwa) atau self (diri). Rumi seringkali menggunakan nafs sebagai jiwa binatang, dan kadang merujuk kepada tingkatan jiwa yang lebih tinggi. Para sufi mengggunakan nafs dalam pengertian nafs al-'ammaa>rah. Sedangkan Chittick sendiri memilih kata ego untuk terjemahan nafs.130

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka nafs dapat dipahami sebagai "diri", jiwa, atau "ego" manusia. Dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan spiritual, maka nafs manusia adalah sumber kejahatan.



Perkembangan Nafs

Pendapat yang populer mengenai perkembangan nafs ini adalah teori tiga tingkatan perkembangan jiwa berdasarkan al-Qur'an, seperti sering digambarkan oleh kebanyakan penulis sufi, yaitu: (1) jiwa amma>rah, (2) jiwa lawwa>mah, dan jiwa mut}ma‘innah. Jiwa amma>rah (the unregenerate soul, an-nafs al-amma>rah) disebutkan dalam Qs. 12:53.

Jiwa amma>rah adalah jiwa yang mencari kepuasan dari memperturutkan kehendak-kehendak nafsu rendah dan duniawi (the lower eartly desires). Jiwa amma>rah yang disebutkan pada Qs. 12:53 menurut Yusuf Ali adalah jiwa yang cenderung kepada kejahatan (prone to evil), memaksa (impelling), keras kepala (headstrong), bernafsu-berkeinginan keras (passionate).131 Lebih tinggi dari ini adalah jiwa lawwa>mah, seperti disebut dalam Qs. 75:2. Jiwa lawwa>mah (the self-reproaching soul, an-nafs al-lawwa>mah), menurut Yusuf Ali adalah jiwa yang memiliki kesadaran mengenai dosa dan menghindarinya. Sedangkan kesadaran akan dosa seperti yang terdapat dalam jiwa lawwa>mah, menurut Yusuf Ali, secara intrinsik sudah ada jiwa atau ruhani manusia, tentunya jika ia tidak menekan atau menindas suara batinnya (the inner voice) di dalam jiwanya.132 Sedangkan jiwa mut}ma'innah (the righteous soul, an-nafs al-mut}ma'innah) adalah jiwa yang memasuki tempat yang dijanjikan (surga) dan menerima sambutannya, di mana jiwa tersebut bebas dari sakit, susah, khawatir, kepayahan, kekecewaan, keinginan, atau hawa nafsu; juga dalam kedamaian, dalam kepuasan yang sempurna.133

Teori klasifikasi jiwa seperti ini bukanlah satu-satunya penjelasan, karena masih ada teori yang membagi jiwa lebih dari tiga macam, seperti yang dilakukan oleh Robert Frager yang membuat teori tujuh tingkat jiwa, yaitu (1) jiwa tirani, (2) jiwa penuh penyesalan, (3) jiwa terilhami, (4) jiwa tenteram, (5) jiwa yang ridha, (6) jiwa diridhai, dan (7) jiwa suci.134 Teori tujuh tingkat jiwa di atas, dengan demikian, berarti menambahkan empat kategori jiwa selain tiga macam jiwa yang sudah disebutkan sebelumnya. Empat jiwa lainnya adalah jiwa terilhami, jiwa rid}a>, jiwa dirid}ai, dan jiwa suci. Jiwa terilhami didasarkan pada Qs. 91:7-10; jiwa rid}a didasarkan pada Qs. 89:27-30; sdangkan jiwa diridhai dan jiwa suci tidak disebutkan landasarn Qur'a>ni>-nya, melainkan menyebutkan pernyataan para sufi, seperti Ibnu 'Arabi. Yang menarik dari penjelasan Frager adalah penggambarannya dalam bentuk figur-figur untuk masing-masing tingkat perkembangan jiwa. Pada prinsipnya ia membuat figur-figur jiwa itu dalam kerangka hubungan atas-bawah, di mana Tuhan berada pada struktur paling atas, sedangkan alam bawah sadar-bawah terdapat pada struktur paling bawah.



5. Hawa Nafsu (Al-Hawa>)

Dari segi bahasa hawa nafsu (al-hawa> atau hawa> an-nafs) atau kata-kata yang seakar dengan dengannya mengandung makna rendah, jatuh dan menjatuhkan, keinginan, kesenangan, juga angin, bertiup. Hawa> mengadung makna positif seperti cinta, dan mendaki atau naik.135 Yusuf Ali tampaknya merujuk juga kepada makna bahasa, sehingga ia menyetujui makna al-hawa> sebagai "goes down (or sets)", or "rise."136 Al-hawa> diartikan sebagai syahwat hati (lust of heart), keinginan (desire, seperti vain desire, lower desire), keingainan yang besar, nafsu (passion atau impulse), juga diterjemahkan dalam bentuk kata kerja sebagai melakukan sesuatu yang membinasakan (do perish, seperti dalam Qs. 20:81) dan menjadi rendah, atau melakukan perbuatan yang membuat seseorang secara spiritual menjadi rendah (go down, seperti dalam Qs. 53:1). Dapat juga dikatakan bahwa al-hawa> adalah keinginan-keinginan rendah, nafsu-nafsu duniawi, kehendak jahat, dan syahwati.

Dari segi istilah, Majdi al-Hilali> menyebutkan bahwa hawa nafsu (al-hawa>) berarti sesuatu yang nafsu cenderung kepadanya.137 Berdasarkan pengertian singkat ini, al-hawa> terkesan dibedakan dengan nafs, namun berhubungan dengannya.138 Nafs memiliki kecenderungan, sementara al-hawa> merupakan objek atau sasaran kecenderungan nafs. Namun, kebanyakan penulis justeru menekankan hawa nafsu ini dalam pengertian nafsu jahat, atau kejahatan-kejahatan nafsu. Sementara itu, Yusuf Ali seringkali menerjemahkan dan menafsirkan al-hawa> dalam pengertian jiwa yang mementingkan diri sendiri (selfish soul) dan kehendak duniawi (earthly desire atau worldly desire).

Karakteristik

Al-Qur'an memakai istilah al-hawa> ini secara tersendiri sekitar 38 kali.139 Di bawah ini dijelaskan mengenai karakteristik hawa nafsu sebagaimana al-Qur'an menggunakan dan memaknainya, yaitu:



  1. Al-Qur'an menggunakan kata al-hawa> dalam arti kosong,140 turun,141 hancur,142 dan jurang neraka.143

  2. Hawa nafsu adalah keinginan diri atau keinginan yang berasal dari diri (nafs);144 juga keingainan yang berasal dari lubuk hati (fu'a>d, af‘idah).145 Keinginan dari dalam diri (nafs) merupakan keinginan kepada keburukan; sedangkan keinginan dari lubuk hati merupakan keinginan kepada hal yang positif, kecuali jika hati telah dibuat lalai oleh Allah.

  3. Berulang kali disebutkan larangan dan celaan mengikuti hawa nafsu (al-hawa>), dan celaan yang lebih keras ditujukan kepada mereka yang menyembah atau mempertuhankan hawa nafsu. Larangan dan celaan ini terjadi karena hawa nafsu memiliki karakter atau secara relasional bertentangan dengan kebenaran, keadilan, kebaikan, petunjuk atau bimbingan, iman, dan ilmu. Hawa nafsu juga menempati posisi yang bertentangan atau menentang Allah serta agen-agen spiritual, seperti nabi dan rasul Allah.146

  4. Hawa nafsu di samping bertentangan dengan hal-hal yang positif; sebaliknya, juga berhubungan dengan atau merupakan suatu kejahatan dan keburukan. Di antaranya adalah bahwa hawa nafsu mendorong kepada kesombongan diri, menolak kebenaran, menolak keadilan, menolak petunjuk, sesat dan menyesatkan, mengada-ada dengan larangan dan perintah Allah, menjual agama, kurang ajar kepada Allah, menoleh kepada yang rendah dan duniawi.147

  5. Mengikuti hawa nafsu mengandung pengertian berbuat kezhaliman terhadap diri sendiri. Hal ini, karena mengikuti hawa nafsu mengakibatkan rusaknya fakultas-fakultas spiritual, seperti pendengaran, penglihatan, dan hati.148 Oleh karena itu, mengikuti hawa nafsu, di samping mengakibatkan tertutupnya rahmat dan pemeliharaan Allah, juga akan mendatangkan kebinasaan.149

  6. Keadaan yang paling buruk diandaikan oleh al-Qur'an, yaitu jika kebenaran (al-haqq), yang menurut hukum spiritual seharusnya selalu berada pada struktur atas spiritualitas, harus mengikuti hawa nafsu (al-hawa>), yang menempati struktur terendah spiritualitas, maka segalanya akan kacau dan musnah. Dengan demikian manusia yang mengikut hawa nafsunya dengan sendirinya berarti mengacaukan struktur spiritualitas dirinya dan akan merusak segalanya dalam kehidupan spiritual.150

Dengan demikian, dalam perspektif al-Qur'an hawa nafsu berupa keinginan-keingainan atau sesuatu yang diinginkan oleh manusia hanyalah keinginan-keinginan kosong, sesuatu yang tidak berguna dan sia-sia. Bahkan lebih dari itu, keinginan-keingainan hawa nafsu hampir selalu bersifat menjatuhkan spiritualitas manusia, atau memilih sesuatu yang dapat menyesatkan dan merusak spiritualitas. Spiritualitas dibangun dan ditingkatkan degan mengikuti jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, dan petunjuk; sedangkan hawa nafsu sebaliknya menarik semakin rendah spiritualitas manusia dengan perhatian-perhatiannya yang mengarah ke dunia rendah atau keinginan-keinginan rendah.

Oleh karena itu, sangatlah wajar jika Allah dalam al-Qur'an senantiasa mengingatkan manusia agar tidak mengikuti hawa nafsu atau semata-mata keinginan diri (selfish desire), melainkan menyesuaikan kehendak dan keinginannya dengan mengikuti Kehendak-Nya. Defek utama mengikuti hawa nafsu adalah rusaknya—dengan sendirinya menjadikan tidak berfungsi—fakultas-fakultas spiritual. Inilah defek mengikuti hawa nafsu. Fakultas-fakultas spiritual yang sudah rusak dengan sendirinya pula akan merusak keteraturan dan keseimbangan dalam kehidupan manusia secara keseluruhan.

Para penulis spiritualitas selalu memberikan perhatian yang besar kepada hawa nafsu ini, sama dengan perhatian besar kepada makhluk spiritual penyesat, yaitu Iblis dan setan. Menurut beberapa penulis, seperti Sachiko Muarata dan William C. Chittick, kedudukan setan dalam makrokosmos paralel atau analog dengan kedudukan hawa nafsu dalam mikrookosmos. Dari segi lain, berbagai godaan setan—makhluk makrokosmos—hanya mungkin apabila ia memiliki lokus atau wilayah yang dapat dikuasai di dalam diri manusia.151 Oleh karena itu, eksistensi setan dan hawa nafsu selalu terkait, di mana tidak mungkin eksis salah satunya tanpa yang lain, dan hal ini di satu sisi mencerminkan keteraturan tatanan dunia ciptaan Allah.

Penutup

Hubungan-hubungan analogis dalam berbagai tataran eksistensial antara manusia dan kosmos menunjukkan bahwa manusia yang mewakili keseluruhan (totalitas, jam’iyyah) dapat melakukan apa saja kepada kosmos yang mewakili bagian dari keseluruhan. Manusia karenanya dapat mengacaukan kosmos di samping mampu menjamin harmoni alam semesta. Pendidikan yang baik adalah yang dapat menjalankan peran membimbing manusia untuk membantunya memahami kesempurnaan diri dan untuk bertindak menurut ajaran Allah. Kesempurnaan ciptaan manusia mengikuti hukum ketentuan Allah yang disebut al-amr at-takwi>ni> (Perintah Penciptaan), sedangkan ketentuan Allah dalam wahyu yang mengajarkan manusia untuk menyelaraskan kesempurnaan penciptaannya disebut al-amr at-takli>fi> (Perintah Petunjuk). Dengan demikian pendidikan agama tetap bersifat substansial dan signifikan untuk dijalankan. Argumen yang paling jelas bagi perlunya pendidikan agama ini adalah bahwa dengan bermodalkan kesempurnaan penciptaan, manusia seringkali malah menempuh jalan menyimpang yang justeru merusak kesempurnaan diri sekaligus pada saat yang sama berarti mengacaukan keseimbangan psikologis dan kosmologis.

Hubungan-hubungan aktif-reseptif yang selaras pada kosmos dan pada diri manusia menunjukkan bahwa baik dalam diri manusia maupun alam semesta, bahkan dalam Diri Allah. Sifat-sifat jala>liyyah Allah bersifat aktif, sementara sifat-sifat jama>liyyah-Nya bersifat reseptif. Namun, terbukti sifat-sifat jama>liyyah-Nya melampaui sifat-sitaf Jala>liyyah-Nya, seperti dalam hadis qudsi disebutkan: “Rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.” Menguasai alam semesta adalah aktualisasi aktivitas manusia; namun memeliharanya dengan penuh kasih sayang adalah sikap mulia yang harus diutamakan. Mengapa? Karena dengan kasih sayang, segala keutamaan kosmos akan terbentang sebagai anugerah yang menguntungkan kehidupan manusia. Demikian juga, dalam konteks psikologi manusia, ruh, akal, dan hatinya yang berada pada struktur atas atau tinggi dari spiritualitasnya bersifat aktif dalam hubungannya dengan struktur bawah, yaitu nafs. Nafs pada saat yang sama harus bersifat reseptif terhadap cahaya cari tataran atas spiritualitasnya, bukan malah sebaliknya menjadikan kecenderugan-kecenderungan rendahnya menjadi acuan.

Dalam hubungan-hubungan aktif-reseptif ini, dalam kerangka pendidikan, teraktualisasi misalnya pada perlunya kepemimpinan progresif dan aktif dalam hubungannya dengan warga, sementara warga perlu bersikap reseptif dalam hubungannya dengan pemimpin. Sikap reseptif ini penting di samping untuk membentuk keselarasan kosmologis pada sebuah dunia, juga untuk memberikan kesempatan kepada pimpinan untuk menunjukkan pengabdiannya kepada seluruh warga. Namun, sebagai manusia yang membawakan totalitas, setiap manusia apa pun kedudukannya dalam struktur harus dapat memelihara sikap-sikap akktif-reseptif ini, seperti hanya Allah yang bukan saja memberi tetapi juga menerima. Allah mencurahkan rahmat, sekaligus juga menerima tawbat.

Hubungan-hubungan atas-bawah yang terdapat di dalam kosmos dan di dalam diri manusia menunjukkan bahwa dalam kerangka kependidikan, setiap manusia memiliki kesempatan yang sangat luas untuk meningkat ke taraf setinggi-tingginya; dan sebaliknya untuk menurun kepada taraf serendah-rendahnya. Kenyataan ah}sani taqwi>m­-nya menyiratkan peluang naik ke atas, sebaliknya asal kejadian dari tanahnya membuka peluang kembali ke asal kejadian sebagai makhluk mati. Dengan demikian, pendidikan haruslah menghidupkan, sekaligus meningkatkan taraf kemanusiaan, dan sebaliknya juga menjaga dekadensi dan stagnasi kehidupan. Pendidikan menentukan tercapainya al-insa>n al-ka>mil yang substansinya berada pada ruhnya, yang sekaligus menyiratkan jati dirinya yang mulia dan tinggi, yang dapat menjalankan peran sentralnya di dalam kosmos sebagai penyelaras. Inilah yang tersimpul dalam tugas kekhalifahannya di muka bumi ini. Walla>hu a’lam

_____________





Yüklə 464,36 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin