Khot Arab.
“Allah tidak memerintahkan dengan suatu perintah melainkan syaitan menggoda dalam perintah itu dengan dua godaan baik kepada tafrith (mengurang-kurangkan) ataupun kepada mujawazah (berlebih-lebihan) dan syaitan tidak perduli, dengan yan gmana dari keduanya yang dia capai dari sesuatu yang ditambah atau dikurangi tersebut.”42
-
Contoh-contoh pemahaman dan amalan yang ifrath (melampaui batas) dalam menyikapi terhadap madzhab dan bermadzhab antara lain:
Menurut saya –wallahu a’lam- sebagai berikut :
-
Ta’ashub (fanatik) terhadap madzhab tertentu, sehingga dia bela madzhab yang diikutinya dan orang-orang yang semadzhab dengan nya baik dalam hal yang haq maupun yang batil.
-
meyakini bahwa madzhabnya adalah satu-satunya madzhab yang benar dalam semua persoalan tanpa mengembalikan kepad Al-Kitab dan Assunnah, dan menganggap madzhab lainnya adalah salah.
-
menganggap bahwa ulama yang sejati dan yang boleh diikuti serta yang boleh dituntut ilmunya adalah ulama-ulama yang berada dalam madzhabnya saja.
-
menganggap bahwa ulama yang sejati dan yangboleh diikuti serta yang boleh dituntut ilmunya adalah ulama-ulama yang berada dalam madzhabnya saja.
-
menganggap bahwa orang yang tidak menisbahkan diri dengan salah satu madzhab dari madzhab yang empat adalah syaitan dan tidak boleh diberikan wala’ kepadanya dan mesti dikenai sikap bara’ terhadapnya.
-
pemahaman bahwa shalat sendirian lebih afdhal daripada sholat dibelakang imam yang bermadzhab lain, seperti keyakinan sebagian orang yang bermadzhab Syafi’I terhadap imam yang bermadzhab Hanafi karena alasan tertentu.
-
menganggap bahwa kedudukan orang lain yang tidak semadzhab dengannya seperti kedudukan ahlul kitab, sehingga kaum wanita dari madzhabnya tidak boleh dinikahi oleh pengikut madzhab lain, tetapi kaum lelakinya boleh menikahi wanita mereka, seperti sikap sebagian orang yang bermadzhab Hanafi terhadap orang yang bermadzhab Syafi’i.
-
enggan dan tidak mau membaca dan mempelajari kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama’ yang bukan dari kalangan madzhabnya.
-
bersikap ghuluw terhadap para ulama dari kalangan madzhabnya baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, ghulu ialah berlebih-lebihan atau melampaui batas, dalam membesar-besarkan, menghormati, memuliakan dan sebagainya, diatas batas dan ketentuan syariat.
-
termasuk juga perbuatan yang melampaui batas dan berbuat dzalim terhadap madzhab adalah menisbahkan atau memasukkan perkara-perkara bid’ah baik yang mukaffirah, yang mufassiqoh, yang muharramah, maupun yang makruhah kepada madzhab-madzhab tertentu, padahal sebenarnya madzhab tersebut pada dasarnya berlepas diri dari perbuatan-perbuatan bid’ah dan mungkar itu, sebagai contoh misalnya sebagian orang atau golongan yang mengaku bermadzhab syafii yang mengamalkan berbagai amalan bid’ah yang tidak sedikit dari amalan bid’ah itu, yang bisa membawa kepada kekufuran dan kefasikan, seperti beristighotsah (meminta pertolongan) kepada orang-orang yang sudah mati, mengharapkan berkah dari mereka, mengkeramatkan kuburan-kuburan mereka dan membangun kubah-kubah diatasnya, meyakini adanya wali-wali yang mentadbir alam semesta, membentuk aliran-aliran thoriqot dan shufi yang carut-marut sesat dan menyesatkan, menciptakan sholawat-sholawat bid’ah, menjadikan kitab Al-Barzanji sebagai kitab pegangan dan pengamalan utamanya, mengadakan peringatan-peringatan hari-hari tertentu seperti hari kelahiran, kemaitan dan sebagainya dan sebagainya, lalu mereka menjadikan amalan-amalan yang carut marut tidak karuan ini sebagai ciri ke-Syafi’ian-nya, sedangkan tokoh-tokoh agung dari madzhab in, antara lain seperti : Imam Asy-Syafi’I (204 H), Imam Al Muzani (264 H), Imam ASy-Syairazi (476 H), Imam Ar-Rofi’I (623 H, Imam An-Nawawi (676 H), Imam Al-Adzra’I (783 H), Imam Al Muhalli (864 H), Imam Al-Barlisi (957 H), Al- Imam Al-Balyubi (1069 H) Imam Al Haitami (974 H), Imam Asy-Syarbini (977 H), Imam al Ghozali (505 H), Imam Al Muqri (837 H), Imam Al Anshori (926 H), Imam Ar-Ramli (957 H), Imam Al Ibadi (994 H) dan Imam Al Hafidz Ibnu Katsir (774 H) dan berpuluh-puluh imam lainnya, mereka berlepas diri dari perbuatan-perbuatan bid’ah tersebut.
Termasuk juga perbuatan mendzolimi madzhab Syafi’i khusunya terhadap pengasasnya (Imam yang agung Muhammad bin Idris Asy-Syafii rhm) yaitu memasukkan ilmul kalam, ilmu filsafat dan tashawuf, batil dalam madzhab asy-syafii, karena beliau benci dan mengecam perkara-perkara ini, beliau telah mentahdzir dan mewanti-wanti manusia jangan sampai meninggalkan ushul Arab atau Ushul Fiqih dan menjadikan ilmu mantiq sebagai jalan untuk memahami agama, Imam Asy-Syafii berkata,
Khot Arab.
“Alangkah bodohnya manusia dan mereka tidak berselisih kecuali karena meninggalkan Lisaanul A’rob (Bahasa Arab) dan cenderung kepada Lisan Aristoteles (Filsafat Aristoteles).”
Beliau rahimahullah berkata lagi, Hukumku terhadap ahlul kalam (Ahli Filsafat yang dicampurkan dalam ilmu mantiq dan ahli Filsafat murni), mereka dipukul dengan pelepah pohon kurma, diarak diatas unta dan dikelilingkan di kampung-kampung dan kabilah-kabilah dan diseru atas mereka, “Inilah balasan orang yang mengambil meninggalkan Al Kitab dan Assunnah dan menerima atau mengambil kalam (filsafat dan mantiq).” 43
Beliau berkata lagi, “dan begitu juga Imam Malik rhm, ulama kalam adalah orang-orang yang zindiq (orang-orang yang berpura-pura beriman, tetapi sebenarnya mereka kufur).44”
Beliau berkata mengenai orang shufi, “Aku telah berkawan dengan orang-orang shufi, maka aku tidak mengambil faedah dari mereka kecuali dua huruf saja, pertama ucapan mereka, waktu bagaikan pedang, maka jika kamu tidak memotongnya ia akan memotong kamu, kedua, kata-kata mereka, “Dirimu jika kamu tidak menyibukkkannya dengan yang haq, jika tidak ia akan menyibukkan kamu dengan yang batil.”45
Untuk menyelamatkan manusia dari bid’ah dholalah tersebut beliau telah menulis kitab ushulul fiqih yang agung, dan merupakan ushul yang pertama kali dibukukan dalam Islam, beliau tulisa diatas manhaj salafus-sholeh berdasarkan Al Quran dan Assunnah.
Akan tetapi yang aneh bin ajaib, justru para penulis ushul fiqih yang mendasarkan diri pada metode dan cara mutakallimin (ahlul kalam / filsafat) mayoritasnya dari orang-orang yang mengaku bermadzhab Imam Asy-Syafii, jika anda ingin mengetahui kitab-kitab tersebut antara lain sebagai berikut:
Mutakallimin pada pokoknya ada 5 (lima), tiga kitab milik Asyairah, dan dua kitab milik mu’tazilah, adapun tiga kitab milik Asyairah yaitu :
-
At-Taqrib wal Irsyad oleh Al-Qodhi Abu Bakar Al Baqlaani (Muhammad bin Ath-Thayyib), beliau I’tiqodnya bermadzhab Asy’ari berdalil denan akal dalam masalah iman, Badrudin Al-Zarkasyi (Abu Abdullah Muhammad bin Bahadir bin Abdullah Al Zarkasyi 794 H) penulis kitab Al-Bahrul Muhith, kitab Ushulul Fiqih dan kitab Al-Burhan fi Ulumil Quran, beliau menilai bahwa kitab At-Taqrib wal Irsyad merupakan kitab yang paling agung secara muthlaq dalam maudhu’ ini –wallahul musta’an-
-
Al-Burhan oleh Imam Al Haramain Abul Ma’ali Al Juwaini (478 H), beliau juga menulis Al-Waraqoot fil Ushulil Fiqh, kitab ringkas dan banyak syarahannya.
-
Al-Mushtashfa’ oleh Abu Hamid Al-Ghozali (505 H), beliau adalah murid Imam Al Haramain Al Juwaini, Imam Ghozali juga mempunyai kitab Ushul Fiqih lain yang sebelumnya yaitu “Al-Mankhul”
Adapun dua kitab Mu’tazilah yaitu :
-
Kitab Al-Umad oleh Al-Qodhi Abdul Jabbar bin Ahmad (415 H).
-
Kitab Mu’tamad oleh Abul Husain al Bashri (Muhammad bin Ali 436 H), beliau adalah murid Al-Qodhi Abdul Jabbar dan dia juga punya kitab ushul yang lain yaitu: Syarhu Kitabil Umad lil Qodhi Abdul Jabbar.
Inilah lima kitab Mutakallimin yang mendasari seluruh kitab-kitab fiqih mutakallimin lainnya, yang seluruhnya muncul pada abad kelima Hijriyah, namun Alhamdulillah di abad yang sama, Asy-Syaikh Abu Ishaq Asy-Syairazi Asy-Syafii (486 H) menulis dua buku ushul yang beliau namakan Al Tabshirah, dan Al-Luma’ beliau tulis dua buku ini tidak terikat dengan metode dan cara mutakallimin bahkan beliau menempuh cara salaf dalam banyak masalah-masalahnya.
Kemudian sebagian ulama menulis kitab ushul diatas metode dan cara mutakallimin bersandar diatas lima kitab diatas antara lain sebagai berikut:
-
Kitab Al Mahshul fi Ushulil Fiqih oleh Fahruddin bin Al-Khatib Ar-Razi. (Abu AbdullahMuhammad bin Umar bin Al-Husain (606 H)) penulis kitab At-Tafsirul Kabir.
-
Kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam oleh Syaifuddin Al-Amidi (Ali bin Abi Muhammad (631 H)) dan Al-Amidi meringkaskan bukunya Al-Ihkam dalam buku Muntahas Su’lif Fi Ilmil Ushul.
-
kitab Mukhtasharul Ushul oleh Abu Amru bin Al-Hajib (646 H) beliau ringkaskan kitab “Muntahas Su’li wal Amal fi Ilmail Ushul wal Jadal” dan ringkasan ini masyhur sekali mempunyai banyak syarah, antara lain, Syarhul Adhdhi li mukhtasaril muntaha oleh Al-Qodhi Adhdhuddin Abdurrahman Al-Haji (756 H) dan syarh Sa’duddin al taftazani (792 H) dan Hasyiyah lisy-Syarif Ali bin Muhammad Al-Junjaani (816 H).
-
Kitab Syarhu Tanqiihl Fushul fi Ikhtishorril Mahshul oleh Syihabuddin Al Quraafi (684 H), beliau juga punya kitab ushul lainnya yaitu: Adz-Dzaakirah.
-
Kitab Al-Minhaj judul lengkapnya, Minhajul Ushul ila Ilmil Ushul oleh Al-Baidhawi penulis tafsir (Al-Qodhi Abdullah bin Amar bin Muhammad bin Al-Baidhawi Asy-Syairazi (685 H)). Kitab ini mendapat perhatian dari banyak ulama dan dari syarahnya yang masyhur adalah sebagai berikut:
Al-Ibhaaj bisyarhi Minhajul Ushul lil Baidhawi oleh Tajuddin Abdul Wahhab As-Subki (771 H) dicetak 3 jilid dan As-Subki adalah penulis Jawaabul Jawaami’.
Nihayatus Su’li Syarhu Minhajil Ushul lil Baidhawi oleh Jamaaluddin Al Isnawi (772 H) penulis At-Tamhiid fil Qowaidil Ushuliyyah dan disana ada syarh Nihayatul Su’li yaitu Sulamul wushul li syarhi Nihayatus Su’li lil Isnawi oleh Muhammad Bakhit Al-Mu’thi dicetak dalam 4 jilid.
Inilah kitab-kitab Mutakallimin yang mendasarkan diri pada metode ilmiah filsafati diatasnya dan sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa para penulisnya mayoritasnya bermadzhab Syafii oleh karena itu cara dan metode ini sampai dikenali dengan nama Ath-Thoriqoh Asy-Syafiiyah, yang berlawanan dengan Ath-Thoriqotul Ahnaaf (Madzhab Hanafi).
Perbuatan-perbuatan bid’ah diatas yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang mengaku bermadzhab Asy-Syafii khususnya di negeri ini (Indonesia) adalah mencemarkan nama madzhab Asy-Syafii yang begitu agung, bahkan menurut sebagian ahlul ilmi yang munshif, madzhab syafii merupakan madzhab kedua dari madzhab yang empat yang paling mengikuti sunnah sesudah madzhab Hambali, akan tetapi akibat dari polah perbuatan orang-orang yang jahil, akhirnya madzhab yang agung dan mulia ini terkesan lain, yangmannna terkesan di masyarakat bahwa orangyang bermadzhab syafii itu sukanyamelakukan perkara-perkara bid’ah, sebagaimana yang telah disebutkan diatas, sehingga kalau ada orangyang enggan dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan bid’ah tesebut dikatakan dan dicap tidak layak mengaku bermadzhab Asy-Syafii maka ambillah pelajaran wahai saudara-saudaraku kaum muslimin khusunya yang bermadzhab Asy-Syafii, ikutilah jejak langkah dan manhaj ulama-ulama salaf kita, seperti Al-Imam As-Salafi Muhammad bin Idris Asy-Syafii Al-Imam As-Salafi Al Muhaddits Al-Hafiz Ibnu Katsir, Al Imam Ibnu Hajar al Maki Al Haitami dan lain sebagainya, rohimahumullahu ajmaiin.
Kembalilah kepada ilmu yang benar dan tinggalkan seala bentuk bid’ah dan syubuhat yang ada.
-
Contoh-contoh pemahaman dan amalan yang tafrith dan taqshir (mengurang-kurangkan dan sembrono) dalam menyikapi terhadap madzhab dan bermadzhab antara lain sebagai berikut :
-
Sikap anti terhadap madzhab dan bermadzhab (yang kami maksud bukan sikap tidak bermadzhab dengan salah satu dari madzhab yang empat). Dan dari sikap anti terhadapnya ini melahirkan beberapa sikap dan amalan yang negative seperti:
Bara’ (berlepas diri) dari segala sesuatu yang terdapat dalam madzhab-madzhab yang ada yang baik maupun yang buruk.
Tidak mengenali dan tidak mau berusaha mengenali ulama-ulama yang agung-agung yang terdapat dalam berbagai madzhab yang berjasa besar bagi Islam dan kaum muslimin.
Tidak mengenal beratus-ratus kitab yang terdapat dalam madzhab tersebut dalam berbagai bidang ilmu syar’i dengan demikian tidak terketuk untuk membacanya.
Acuh tak acuh untuk menyebut istilah ulama, ulama salaf, ulama Ahlussunah wal jamaah dan sebagainya serta kurang ada minat untuk mengikuti mereka, sebab sudah terserap dalam pemikirannya satu ajaran atau satu slogan, “Mau mengikuti Alquran dan Assunnah” bukan mengikuti ulama’ sebaliknya slogan sebagian golongan yang bermadzhab “Tidak mau menggunakan slogan mengikuti Alquran dan Assunnah, tetapi mereka mau mengikuti Ulama’” padahal sebetulnya yang benar adalah “Mengikuti Alquran dan Assunnah dengan mengikuti pemahaman para ulama’”
-
Membuat madzhab baru selain dari madzhab yang lima, yaitu madzhab ustadz dan kyainya tidak dapat dipertanggung jawabkandari segala seginya, I’tiqodnya, Tashawwurnya, Manhajnya, Ilmunya dan sebagainya, bahkan banyak syudzudznya dan dholalahnya serta tidak diakui keulamaannya oleh ulamaul muslimin.
-
Mengikuti sebagian ulama yang tidak bermadzhab yang mengaku sebagai pembaharu atau modernis atau reformis, tetapi sejatinya mereka adalah para penyeleweng dan penyesat sebagaimana yang sudah diterangkan sebelumnya.
-
memahami ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits Nabi saw mengikuti rasio dan akalnya sendiri, tanpa merujuk kepada penafsiran ulama-ulama salaf, maka mereka sesat dan menyesatkan.
-
Selanjutnya bagaimana sikap yang benar terhadap madzhab dan bermadzhab?
Adapun menurut saya –wallahu a’lam bis-showwab- sebagai berikut :
Tentang hukum bermadzhab, lebih baik dan lebih ashlah, kita mengikui pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm, yang mana menurut beliau, “Bermadzhab hukumnya Jaiz (boleh) dantidak wajib, dengan kata lain bermadzhab boleh dan tidak bermadzhab juga boleh, atau tidak wajib bermadzhab dan tidak wajib juga tidak bermadzhab.”
Tentang sikap-sikap lain, sangat tergantung pada keadaan masing-masing pribadi, dan kemampuannya, dari segi ilmu syar’I apakah anda seorang mujtahid ataukah muttabi’ ataukah muqollid?
Dan apakah anda berada dalam salah satu madzhab yang empat, ataukah bermadzhab Dzhohiri? Ataukah berada di luar itu semua?
-
Jika anda seorang mujtahid yang memenuhi syarat berijtihad yaitu:
-
Ma’rifah (mengetahui secara mendalam) Alquran dan ilmu-
-
Ma’rifah (mengetahui secara mendalam) hadits dan ilmu-ilmunya.
-
Ma’rifah (mengetahui secara mendalam) Ijtima’ dan Ikhtilaf.
-
Ma’rifah (mengetahui secara mendalam) bahasa Arab dan seluk beluknya.
-
Ma’rifah (mengetahui secara mendalam) Ushul Fiqih, khusunya Qiyas, Ta’arudh dan Tarjih,
Maka anda boleh berijtihad dengan melibatkan diri dalam salah satu madzhab yang ada, sebagaimana para mujtahidin yang terdapat dalam madzhab-madzhab, asalkan tidak taashub atau jika anda memang ornag yang tidak melibatkan diri dalam salah satu madzhab yagn ada, maka ikutilah jalan sebagaimana yang ditempuh oleh Asy-Syaukani (1250H) dan sebagainya, asalkan tidak bersikap anti madzhab, dan sebagai catatan pentingbahwa ijtihad anda tidak boleh menyelesihi ijma’ oleh karenaitu diantar disiplin ilmu yang wajib dilakukan seorang mujtahid apabila ia hendak berijtihad, dalam suatu masalah , dia wajib meneliti apakah dalam masalah tersebut sudah ada ijma’ atau belum? Jika telah ada ijma’ maka tidak ada ruangan baginya untuk berijtihad, sebagai contoh misalnya, tentang wujudnya Ahludz-Dzimmah (Kafir Dzimmi) merupakan ijma’ shohabah dan ulama sesudahnya, tiba-tiba muncul manusia-manusia yang mengaku sebagai mufakkir, ilmiawan, cendekiawan muslim dan sebagainya yang menyatakan bahwa berdasarkan ijtihadnya, maka pada masa kini ahludz-dzimmah tidak ada lagi dengan alasan ,akata mereka, “Karena orang-orang Ahlul-Kitab sudah sama-sama mempertahankan negara. Ijtihad yang seperti ini adalah ijtihad batil dan mardud disisi syariat Islam sebab bertentangan dengan ijma’.”
-
Jika anda seorang muttabi’ maka menjadilah muttabi’ yang sebaik-baiknya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu dengan mengetahui hujjah dalil dalam setiap masalah yang anda ikuti –kecuali dalam masalah-masalah tertentu terpaksa taqlid karena tidak ada kemampuan- apakah hujjahnya diambil dari Al-Kitab atau Assunnah atau Ijma’ atau Qias, anda mesti mengetahui, baik anda menjadi seorang muttabi’ dalam salah satu madzhab atau menjadikan seluruh ulama’ yang mu’tabar sebagai ikutan anda, hal ini tidak menjadi masalah asalkan anda mengerti hujjahnya dan tidak cenderung dan bermaksud untuk mengambil rukhshah-rukhshahnya saja dari pendaat-pendapat dan madzhab-madzhab para ulama-ulama yang ada.
Kemudian disarankan kepada para muttabi’ yang tidak mengikuti madzhab tertentu untuk meningkatkan dan menyempurnakan ittiba’nya agar membaca kitab-kitab fiqih dari madzhab, karena sebenarnya madzhab-madzhab yang ada adalah merupakan wasilah dan jalan yagn dapat mengantarkan kita untuk mengetahui hukum-hukum syariat, yang telah Allah dan Rasul-Nya saw, jelaskan.
Kenapa mesti membaca kitab-kitab fiqih yagn terdapat dalam madzhab? Sebab kitab-kitab tersebut banyak kelebihannya dibandingkan dengan kitab-kitab fiqih yang tidak bermadzhab, antara lain tahapannya jelas, tahapan pertama, tahapan kedua, dan ketiga, bahasan hampir merangkumi semua permasalahan, telah diteliti oleh banyak ulama’ dan lain sebagainya.
Asy-Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz Hafidzahullah menyarankan agar memilih kitab-kitab madzhab yang paling banyak sesuai dengan sunnah dalam hal ini menurut beliau menuykil dari pendapat Asy-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah madzhab Hambali46
Disamping itu untuk mengetahui pendapat-pendapat yang rajih mesti membaca kitab-kitab tarjih, adapun kitab-kitab tarjih yan gperlu dibaca adalah kitab-kitab Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim, Asy-Syaukani, dan Ibnu Hazm rhm, dan untuk menyempurnakan lagi, bacalah kitab-kitab fiqih madzhab yagn lain, madzhab Asy-Syafii, Maliki dan Hanafi. Buku-buku atau kitab-kitab yang dimaksud -alhamdulillah- kami telah tuliskan, seluruhnya nama-namanya dan pengarangnya, silakan merujuk kepada bahasan sebelumnya.
Denganmengikuti panduan dan kiat ini –Insya Allah- anda akan menjadi muttabi’ yang sebenarnya dan boleh jadi dengan izin allah anda akan meningkat ke martabat yang lebih atas lagi yaitu sebagai seorang mujtahid –Insya Allah-
Akan tetapi jika anda mengaku sebagai muttabi’ hanya dengan modal membaca satu-dua buku yang ditulis oleh ustadz atau kyai atau guru, anda sendiri, sedangkan anda tidak memahami apakah kyai anda tersebut mengikuti manhaj dan pemahaman salafussholeh ataukah, jika tidak bisa jadi ia bermanhaj salah, anda mengira diri anda telah mengikuti sunnah, akan tetapi pada hakekatnya and telah menyeleweng dan tersesat, dengan kesesatan yang jauh. –al-‘Iyadzubillah-
-
Jikalau anda seorang Muqollid, jadilah muqollid yang sebaik-baiknya sesuai dengan syara’ sebagaimana yang telah disebutkansebagiannya dalam bahasan sebelumnya. Anda wajib meyakini berdasarkan ilmu bahwa orang yang anda taqlidi itu benar-benar orang yang mengikuti Alquran dan Assunnah, dan mengikuti kebenaran, bukan ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’ tidak menjadi masalah apakah dia bermadzhab atau tidak, dan anda wajib menghindarkan dari enam taqlid yang tercela yang telah disebutkan diatas (silahkan lihat kembali halaman yang membahas tentang ini sebelumnya).
-
Menyikapi Wahhabi.
Secara garis besar manusia dalam menyikapi Wahabi bisa dibagikan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu : golongan yang kontra, golongan yang netral dan golongan yang pro.
-
Golongan yang Kontra.
Yang kami maksud dengan golongan yang kontra disini ialah, golongan dari kaum muslimin yang tidak suka kepada mereka, membenci mereka, memusuhi mereka secara lahir maupun batin, menjuluki mereka dengan julukan-julukan yang tidak selayaknya, seperti golongan khowarij, golongan yang mengkafirkan kaum muslimin, golongan yang tidak menyukai ulama’ golongan yang sesat, dan lain sebagainya. Golongan ini antara lain yaitu:
-
Orang awam yang jahil dan ta’ashub kepada madzhabnya, terutama dari kalangan madzhab Hanafi dan Syafii, mereka ini mendapat keterangan sepotong-sepotong dari sebagian guru yang mereka percayai, tentang wahabi yang berkesan buruk, disamping hebatnya, propaganda dari pihak-pihak yang tidak suka dan khawatir dengan gerakan mereka, khususnya penjajah kuffar barat, termasuk Inggris pada masa itu.
-
Sebagian orang yang sebenarnya, berilmu yang bermadzhab akan tetapi mereka tidak mendapatkan informasi yagn cukup tentang “wahabi” dan tidak mau berusaha memperoleh informasi yang sebenarnya, mereka hanya mencukupkan dengan penilaian satu atau dua ulamanya dalam kitab-kitab mereka yang bermuatan negatif, maka dengan sikap taashub ini mereka enggan membaca kitab-kitab dan risalah-risalah mereka, bahkan ada yang menilai sebagai buku-buku najis, sesat dan menyesatkan.
Ada satu kisah –wallahu a’lam- kebenarannya, katanya ada seorang alim di salah satu negeri yang tidak suka kepada Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rhm, maka ada seorang alim lain yang ingin menunjukkan kepadanya, siapa sebenarnya Muhammad bin Abdul Wahhab itu, dan apa risalah yang didakwahkannya, maka alim kedua itu menyuruh salah seorang pemuda untuk mengirimkan dan memberikan kitab-kitab tulisan Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rhm dengan taktik menghilangkan sampul atau cover depannya dan nama penulisnya, maka begitu alimpertama tersebut mendapatkan buku-buku itu dan membacanya, beliau mengagumi kehebatan isinya dan menanyakan kepada si pengirim tentang siapa penulis buku tersebut dan seterusnya, dari cerita yang singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa si alim tadi tidak suka, karena tidak mengenal yang sebenarnya,
-
Orang-orang yang merasa dirugikan kepentingannya karena terkena sasaran dakwah mereka, khususnya para thaghut dan penyokong-penyokongnya, pemuka-pemuka ahli bid’ah dan quburiyyin dan sebagainya.
-
Golongan yang Netral.
Yaitu golongan manusia yang bersikap masa bodoh terhadap mereka, ada dan tidaknya wahabi sama saja bagi mereka, golongan ini tidak memberikan wala’nya dan tidak pula mengenakan bara’nya terhadap wahabi, sikap seperti ini tercela di sisi syariat Islam, bahkan hukumnya haram (rujuk bahasan Al-Muwaalat wal Mu’aadaat atau Al-walaa’ wal Baraa’ dalam kitab-kitab yan gada)
Adapun golongan ini mayoritasnya adalah ahluddunya (orang yang hidupnya hanya untuk keduniaan) cinta dan bencinya suka danmarahnya, membela dan memusuhinya seluruhnya diasaskan pada kepentingan dunia.
-
Golongan yang Pro.
Yang kami maksud dengan golongan yang pro disini adalah dari kaum muslimin minimal mencintai “wahabi” dan tidak membenci mereka, golongan ini antara lain sebagai berikut:
-
Golongan awam yang bermadzhab Hambali.
-
Golongan awam yang tidak bermadzhab dengan salah satu dari madzhab yang empat.
-
Golongan yang tidak berta’ashub dengan madzhab yang memahami wahabi dengan sebenarnya.
-
Sebagian orang yagn munshif meskipun mereka berada di dalam madzhab Hanafi, Maliki, atau Syafi’I, adapun dalam mengikuti risalah dakwah yang dibawa oleh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-muridnya yang setia, golongan yang pro ini bisa dikelompokkan sebagai berikut:
-
Golongan yang mengikuti syiar dan slogannya saja, misalnya anti syirik, bid’ah, khurafat serta takhayul dan sebagainya, akan tetapi tidak dipraktekkan dalam amalan kecuali sebagian saja yang sesuai dengan seleranya, katanya anti itu semua, namun mereka masih merujuk pada buku-buku yang carut-marut seperti; Primbon, Mujarobat dan sebagainya, masih pergi ke dukun-dukun,, menyhimpan benda-benda klenik yang diyakini, bisa memberi manfaat dan madhorot, mengamalkan silat-silat yang dicampur dengan keyakinan-keyakinan syirik, masih percaya hitungan hari, hari baik, hari buruk dan nahas dan sebagainya.
-
Golongan yang mengikuti gigih mau kembali kepada tauhid dan sunnah dan berusaha menjauhi syirik, bid’ah, taqlid, khurafat dan takhayul dalam arti kata yang terbatas, belum mencakup segala aspek kehidupannya, hanya sebagian ibadah mahdhoh saja.
-
Golongan yang mengikuti hampir seluruh risalah dakwah yang dibawa mereka, kecuali takfir, qital dan sikap keras mereka terhadap ghullat Murji’ah dan bara’nya terhadap para thowaghit.
-
Golongan yang mengikuti risalah dakwah dan jihad mereka secara keseluruhan (kecuali yang bertentangan dengan Assunnah –jika ada-) dan golongan ini jumlahnya sedikit dan hari ini dibenci oleh seluruh manusia –kecuali yang dirahmati Allah
-
Sekarang Bagaiman Sikap Kita Terhadap Wahabi.
Menurut pendapat saya –wallahu a’lam bish-showwaab- bagi saudara-saudara kita yang bercita-cita terdaftar namanya dalam Firqoh Najiyyah (Kelompok yang Mendapatkan Pertolongan Allah Ta’ala) dan termasuk 70.000 (tujuh puluh ribu) atau 490.000.000 (empat ratus sembilan puluh juta.) yang diselamatkan dari siksa neraka, tidak boleh tidak dia harus menempuh jalan dan manhaj sebagaimana yang ditempuh oleh mereka, secara keseluruhannya, sebab golongan yang seperti mereka inilah yang paling layak menduduki kedudukan-kedudukan yang mulia lagi tinggi tersebut.
Diantara hadits-hadits yang meriwayatkankedudukan tersebut adalah sebagai berikut :
Dostları ilə paylaş: |