Khot Arab.
Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a dari Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini diatas permulaan setiap seratus tahun orang yang memperbaharui baginya agamanya.” (H.R Abu Dawud Al-Hakim dan Ath-Thabrani).
Berkata Ibnu Hajar sebagai catatan atau notasi atas perkataan Az-Zuhri dalam hal Umar bin Abdul Aziz sebagai Mujaddid yang pertama, ini menunjukkan bahwa hadits ini berarti masyhur pada masa itu, dan menguatkan sanadnya dan berarti sanadnya kuat karena rijal (perawi-perawi)nya Tsiqqoh (terpercaya).11
Catatan Penting: Ingat! bahwa istilah Mujaddid yang berkembang sekarang mengandung dua makna, mujaddid yang haq sebagaimana yang telah disebutkan, dan ada mujaddid yang batil yang biasa disebut dengan istilah modernis atau reformis, adapun batilnya yaitu; membuat tajdid atau pembaharuandengan memasukkan perkara-perkara dari luar Islam ke dalam ajaran Islam, atau menggabungkan system Islam dengan system-sistem yang batil seperti sosialisme, sekulerisme, kapitalisme, liberalisme, demokrasi dan lain sebagainya, sebagaimana yang dilakukan oleh Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Rosyid Ridho, dan orang-orang yang sejenisnya, atau kalau sekarang ini seperti Muhammad Ghozali, Huwaidi Al Ghanusyi, Al Qordhowi, At-Turabi, Jalbi.12 Dan orang-orang yang semisalnya yang pada masa kini bertebaran dimana-mana. Orang-orang ini minder ketika menghadapi tamadun dan peradaban syaitan barat maupun timur, maka membuat model Islam yang bisa diterima mereka, perbuatan yang seperti ini, tida pantas disebut tajdid danorangnya tidak layak digelari “Mujaddid” –Wallahu a’lam-
-
Diantara tajdid atau pembaharuan yang dilakukan para da’I dan mujaddid Ad-Dakwah An-Najdiyah yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab –Rohimahullahu ajmaiin-adalah seperti pemurnian tauhid dari segala bentuk syirik, khurafat, takhayyul dan dari segala I’tiqod dan keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan tauhid yang benar, menyeru kembali kepada As-Sunnah dengan menjauhi segala bentuk bid’ah, ta’ashub dan sikap taqlid (kecuali yang terpaksa dan tidak ada kemampuan), mereka tegas sekali dalam masalah iman dan kufur, masalah wala’ dan bara’muwaalat dan mu’aadat dan merekalah yang berjasa pertama kali menghimpun maudhu’ yang urgen ini, dalam sebuah kitab tersendiri, mereka tegas dalam menentang dan melawan thaghut dan begitu juga tegas dalam takfir (mengkafirkan) dengan dosa-dosa yang mukaffirah, at-takfirul muthlaq maupun takfirul ta’yiin baik terhadap individu kelompok maupun pemerintahan, mereka yang pertama kali mengkafirkan pemerintahan khilafah atau daulah Utsmaniyah13 di Turki, karena tidak berhukum dengan yang diturunkan Allah, sekitar tahun 1840-an Masehi, pemerintah Utsmaniyah mulai mengimpor Undang-Undang Perdagangan dan peraturan sipil, dan pada akhirnya pada tahun 1840 M, dengan resmi mengganti hukum hudud syar’i dengan undang-undang pidana negara kafir sekuler Perancis, maka dengan ini para ulama’ dakwah Najdiyah menyatakan kufurnya Daulah Utsmaniyah.14 Dan masih banyak lagi contoh-contoh ketegasan mereka dalam takfir (mengkafirkan) sesuai dengan sunnah dan manhaj salaf. Camkan ucapan Asy-Syaikh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dibawah ini;
Berkata Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dalam rangka menasehati para pengikutnya dan mengkritik para penentang dakwahnya (Akan tetapi mereka hari ini membantah kalian dengan satu syubhat (kekaburan), mereka mengatakan, “Semua ini benar” maksudnya semua urusan Ad-Dien yang didakwahkan oleh beliau dan para pengikutnya sedangkan di sisi lain mereka katakan “Kami bersaksi sesungguhnya ia adalah dari agama Allah dan Rasul-Nya kecuali At-takfir dan Al-Qital (pengkafiran dan perang)”). “Sungguh aku heran terhadap orang yang tidak bisa menjawab masalah ini, kalau mereka mengakui bahwasanya ini adalah agama Allah dan Rasul-Nya, bagaiman atidak kufur orang yang mengingkarinya, dan yang membunuh orang yang memerintah dengannya, (menyuruh kepada agama) dan memenjarakan mereka? Bagaimana tidak kufur, orang yang datang kepada Ahlusy-Syirik utnuk menghasung (menggalakkan) mereka agar memerangi agama mereka dan menghiasinya untuk mereka serta menggalakkan mereka untuk membunuh orang-orang yang bertauhid dan mengambil harta mereka? Bagaimana dia tidak kufur, sedangkan dia bersaksi bahwasanya yang dia galakkan itu adalah sesuatu yang dikecam Rasulullah saw? Dan yang dilarang olehnya serta yang mereka namakan syirik dengan Allah, dan dia bersaksi bahwa sesuatu yang dia benci dan membenci para ahlinya, dan menyuruh orang-orang musyrikin untuk membunuh mereka itu merupakan agama Allah.15
Beliau berkata lagi dengan panjang leber, antara lain petikannya, “Adapun Ahlussunnah, maka madzhab mereka bahwasanya seoran gmuslim tidak kafir melainkan dengan syirik, dan kami tidak mengkafirkan para thaghut-thaghut dan pengikut mereka kecuali dengan syirik, dan kamu adalah seoran glelaki yang paling bodoh, kamu menyangka bahwa orang yang sholat dan mengaku muslim tidak akan kufur”16.
Beliau berkata lagi, “Kalau kita mau menghitung jumlah orang yang dikafirkan oleh para ulama’ meskipun mereka mengaku Islam dan yang mereka fatwakan kemurtadannya dan dibunuh tentu akan panjang pembahasannya, akan tetapi cukup sebagai contoh saja apa yang berlaku pada kisah Bani Ubaid raja-raja Mesir dan kelompok mereka, mereka mengaku sebagai ahlul bait, mereka menunaikan sholat Jum’at dan jamaah dan melantik, para qodhi dan mufti, meksipun demikian para ulama’ telah berijma’ diatas kufurnya mereka dan murtadnya serta memerangi mereka…dan seterusnya.”
Dan lain sebagainya, masih banyak lagi.
Denganketegasan beliau dan para pengikutnya dalam masalah-masalah ushuluddin tersebut, mereka dimusuhi oleh berbagai kalangan manusia kecuali yang dirahmati Allah, yang muslim, yang kafir, baik kafir tulen maupun yang murtad, khususnya dari kalangan penguasa, ulama-ulama’ su’ dan para abid-abid yang jahil, inilah musuh-musuh dan para penentang kebenaran di sepanjang zaman dan di setiap tempat.
Berkata Al-Alim Al Hafidz Al Faqih Al Mujahid dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mubarok rhm,
Khot Arab.
“Dan tiadalah yang merusak agama itu melainkan para raja-raja dan ulama-ulama’ su’ dan para pendeta-pendetanya.”
Karena tegasnya mereka dalam mendzhahirkan permusuhannya dan bara’nya serta takfir dan qitalnya terhadap ahlul kufr, ahlul isyrak dan murtaddin, tersebarlah berbagai tuduhan dan kecaman terhadap mereka, antara lain tuduhan yang masih termasuk ringan, mereka dituduh sebagai golongan khawarij yang menyeru kepada mengkafirkan kaum muslimin dan memerangi mereka, sampai Muhammad Amin bin Umar (1252 H) yang terkenal dengan nama Ibnu Abidin dalam kitabnya, “Raddul Muhtar ‘Alad Durril Muhtar” (Hasyiyah Ibnu Abidin), kitab yang termasyhur sebagai pegangan bagi orang-orang akhir dari kalangan madzhab Hanafi, dalam bahasan bab khowarij dia menyebutkan bahwa termasuk jenis-jenis Khowarij adalah para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab di Najd dan dia mengeluarkan kata-kata kecaman yang amat pedas (lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 3/309).
Dan yang perlu diingat, sudah menjadi sunnatullah bahwa tuduhan-tuduhan semacam ini senantiasa dialamatkan terhadap para penyeru kebenaran khususnya yang menyeru kepada jihad kapanpun dan dimanapun terutama lagi pada zaman sekarang ini.
-
Untuk memahami manhaj dakwah Al-Imam yang agung ini dan para pengikutnya secara utuh tidak cukup dengan membaca Kitabut-Tauhid yang ditulis oleh beliau saja, karena itu baru sebagian dari prinsip-prinsip dakwah mereka, maka untuk menggenapinya perlu dibaca risalah-risalah mereka yang lainnya, antara lain sebagai berikut:
-
Ar-Rasaailusy-Syakhsiyyah (Risalah-Risalah Pribadi) Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. (kitab ini adalah bagian kelima dari kitab-kitab karangan beliau.)
-
Ar-Rasaailu Autsaqi’ural Iman (Risalah Ikatan Iman yang Paling Kuat.) oleh Al-Imam Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
-
Risalah Hukmi muwaalati Ahlil Isyraak (Risalah hukumnya loyalitas kepada orang-orang musyrik). Oleh cucu beliau yaitu Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab (1233 H).
-
Majmu’atut-Tauhid oleh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab (Diantara kandungannya adalah: Risalah makna Thoghut wa ruusi anwaa’ihi (Makna Thaghut dan macam-macam kepala-kepala thaghut.)).
-
Risalah Bayaanin Najaati wal fihaaki min muwaalatil Murtaddin wa Ahlil Isyraak (Risalah menerangkan penyelamatan dan pembebasan dari bermuwaalaat (memberi tahu loyalitas) kepada orang-orang murtad dan orang-orang musyrik) oleh Asy-Syaikh Hammud bin Atiq (1301 H).
-
Dan lebih bagus lagi jika ditambah dengan membaca;
-
Fatwa-fatwa ulama’ Ad-Dakwah An-Najdiyah misalnya, Ad-Duraarus Sunniyah fil Ajwibatin Najdiyyah, yang dikumpulkan oleh Abdurrahman bin Qosim.
-
Kitab Dawaa’ul Munaawi’iina li Da’watisy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab oleh Abdul Aziz Abdul Lathif
-
Adapun madzhab fiqih ulama’ Ad-Dakwah An-Najdiyah mereka menjadikan buku-buku fiqih madzhab Hambali sebagai pegangan utamanya karena mereka memahami bahwasanya madzhab Hambali yang paling banyak sesuai dengan As-Sunnah dan mereka tidak taashshub, artinya mengambil juga dan menerima dari madzhab-madzhab lain yang sesuai dengan Alquran dan Assunnah. Mereka juga menjadikan buku-buku tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Al-Allamah Ibnul Qoyyim Al Jauziyah sebagai bagian dari rujukan-rujukan utama mereka, maka yang berjasa menghimpun dan membukukan fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebanyak 37 jilid (2 jilid untuk indeks dan daftar isi), yaitu salah seorang ulama’ dari Najd (Asy-Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim An-Najdi Al Hambali) namun demikian mereka juga tidak mengambil segala yang terdapat dalam kitab beliau berdua, yang tidak sesuai dengan Assunnah beliau tinggalkan, sebagai contoh, Syaikhul Islam berpendapat adanya “Ad-Daarul Murakhabah” (Negara yang campuran atau kombinasi, maka bukan negara Islam dan bukan pula negara kafir), ini jawabn beliau sewaktu ditanya kedudukan “Mardin” (suatu negeri yang pada hari ini terletak di sebelah tenggara Turki, dekat dengan perbatasan Syiria.) (Lihat Majmu’ Fatawa 28/240-241).
Penamaan ini tidak diterima oleh para ulama’ Ad-Dakwah An-Najdiyah termasuk murid beliau Ibnu Muflih (Abu Abdullah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi Al Hambali (763 H)), karena menurut mereka pembagian negara menurut syariat hanya ada dua yaitu negara Islam dan negara kafir, tidak ada yang ketiga, maka penamaan negara yang ketiga adalah suatu muhadats (hal-hal baru), jadi yang campur itu sifat penduduknya, bukan nama negeri atau negaranya.17
Demikianlah penjelasan ringkas tentang, wahabi, untuk lebih jelasnya silahkan membaca buku-buku tulisan ulama dari kalangan mereka yang sebagiannya telah saya sebutkan diatas –Insya Allah- dengan membaca buku-buku tersebut anda akan memahami siapa mereka yang sebenarnya, dan anda akan mengetahui bahwasanya kebanyakan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan terhadap mereka hanyalah sebuah fitnah dan rekayasa pihak-pihak yang tidak suka dengan kebenaran yang dibawa mereka.
-
Bagaimana Sikap Kita Terhadap Madzhab dan Wahabi.
-
Menyikapi Madzhab.
-
Pesan dan Pernyataan Tokoh-Tokoh Agung Madzhab yang Empat Sebagai Berikut.
-
Al Imam Abu Hanifah rhm (150 H) berkata:
Khot Arab.
Artinya : Apabila aku mengucapkan suatu ucapan (pendapat) dan kitab Allah (Alquran) menyelisihinya, maka tinggalkan ucapanku karena Kitab Allah. Dikatakan, “Apabila sabda Rasulullah saw, menyelisihinya?” beliau berkata, “Tinggalkan ucapanku karena khabar (hadits) Rasulullah saw.” Dikatakan, “Apabila ucapan para sahabat menyelisihinya?” beliau berkata, “Tinggalkan ucapanku karena ucapan para sahabat.” (Lihat Fiqhul Majid hal 34).
Dalam riwayat lain beliau mengatakan, Khot Arab.
Artinya : “Apabila ada hadits shahih, maka dia adalah madzhabku”
-
Al Imam Malik bin Anas rhm (179 H) berkata;
Khot Arab.
Artinya: “Setiap orang ucapannya bisa diambil dan ditinggalkan kecuali Rasulullah saw.” Lihat Fathul Majid hal 341.
Dalam riwayat lain dikatakan, Khot Arab
Artinya: “Kecuali orang yang berada di dalam kubur ini (maksudnya Rasulullah saw)”
-
Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I rhm (204 H) berkata:
Khot Arab.
Artinya : “Kaum muslimin telah berijma’ bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah saw, dia tidak akan meninggalkannya karena ucapan seseorang dari manusia.” (Lihat I’lamul Muwaqiin oleh Ibnul Qoyyim I/8)
Dalam riwayat lain beliau rhm mengatakan, “Apabila hadits shahih, maka dia adalah madzhabku.”
-
Al-Imam Ahmad bin Hambal rhm (241 H) berkata;
Khot Arab.
Artinya : “Aku heran terhadap suatu kaum, mereka mengetahui isnad dan shahnya (hadits shohih) namun bermadzhab (mengikuti pendapat) kepada pendapat Sufyan, sedang Allah ta’ala berfirman (Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih) Al-Hajj: 64. Tahukah kamu apa fitnah itu? Fitnah adalah syirik, bisa jadi jika dia menolak sebagian sabdanya, terjadi dalam hatinya sesuatu yang menyimpang (menyeleweng) maka dia binasa (hancur).”18
Dan dalam riwayat yang lain beliau berkata, “ Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah saw, maka dia berada ditepi jurang kebinasaan (kehancuran).”
-
Martabat mukallaf (orang yang dibebani kewajiban.)
Yang kami maksud disini adalah tingkatan-tingkatan manusia ditinjau dari segi pemahaman mereka terhadap syariat dan kefaqihan mereka dalam Ad-Dien (Agama) Allah swt, dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga golongan yaitu 1. Mujtahid, 2, Muttabi, 3. Muqollid.
Keterangan tentang masalah ini memenuhi kitab-kitab para ulama’-ulama’ kita dalam berbagai madzhab Ahlussunnah wal Jamaah bagi saudara kita yang ingin memahami secara detail dan lengkap dipersilahkan untuk merujuk kepada kitab-kitab tersebut, adapun dalam risalah singkat ini , kami akan tuliskan keterangan nya dengan ringkas sebagai panduan secara global saja.
-
Mujtahid (Orang yang berijtihad).
Mujtahid ialah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian utnuk mengistinbath (mengeluarkan kesimpulan), hukum-hukum dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya saw, disyaratkan dia adalah seorang muslim, baligh, berakal dan adil19 (menjauhi segala dosa besar dan tidak selalu melanggar dosa-dosa kecil), dia seorang faqih, mengetahui nash=nash hukukm-hukum dari Alkitab dan Assunnah, mengetahui (‘alim) dalam bahasa Arab, dan Ushul Fiqih, mengenal masalah-masalah Ijma’ sehingga ijtihad dan fatwanya tidak menyelisihiijma’ mengetahui naasikh (yang memansukhkan) dan mansukh (yang dimansukhkan) serta asbabun nuzul (sebab turunnya nash), mengetahui maqbul (bisa diterima sebagai dalil) serta mengerti qoidah-qoidah jarh dan ta’dil (sifat-sifat perawi hadits yang cacat dan adil). Dan berfatwa dan mengadili (menjadi qodhi atau hakim), dan bisa jadi dalam keadaan tetentu menjadi fardhu ain atasnya untuk berfatwa dan mengadili.
-
Muttabi’ (Orang yang mengikuti).
Muttabi’ ialah orang yang memiliki bagian kemampuan untuk mengkaji, akan tetapi tidak mencapai martabat ijtihad.berkata Asy-Syathibi rhm, “Muttabi’ adalahorang yangtidak mencapai taraf yang dicapai para mujtahidin, akan tetapi memahami dalil dan tempatnya, dan kefahamannya layak atau mampu dipergunakan untuk mentarjih dengan perkara-perkara yang dirajihkan (diutamakan) yang mu’tabar padanya, seperti tahqiqul manath (menetapkan gantungan hukum) dan sebagainya ” Al-I’tishom 2/343.
Berkata Abu Ishaq Asy-Syathibi (790 H) lagi, “Adapun apabila muttabi’ itu seoran gyang mempunyai pandangan (naadzir) dalam ilmu dan cerdas dalam menerima apa yang disampaikan kepadanya, seperti ahlul ilmi pada zaman kita, maka sesungguhnya sampai kepada kebenaran adalah mudah, karena manquulaat (ilmu-ilmu para ulama) telah tertulis dalam kitab-kitab, baik yang berada dalam hafalannya, mapuun yang tersedia dalam kitab yang dia bisa mentahqiqnya dengan membaca dan mengkajinya. ”
Berkata al-Khaththib Al Bagdadi (463 H) rhm, Maka jika dikatakan, seseorang, “Bagaimana pendapatmu perihal orang yang meminta fatwa dari kalangan awam apabila terdapat dua mufti (orang yang berfatwa) kepadanya dan keduanya berselisih pendapatnya, maka apa dalam masalah ini, ada dua keadaan yaitu pertama, jika orang awam itu memiliki kemampuan akal dan sempurna pemahmannya, jika diperluan berfikir dia mampu berfikir dan jika dituntut memahaminya dia mampu memahami, maka orangyang seperti ini harus bertanya kepada orang-orang yang berselisih, tentang madzhab-madzhab (pendapat-pendapat) mereka dan hujjah-hujjah mereka, lalu dia mengambil dari pendapat-pendapat itu yang paling rajih (utama-kuat) menurutnya. Adapun bagi orang yang akalnya terbatas dan pemahamannya tidak sempurna, dia boleh taqlid kepada yang lebih afdhol (dari kedua mufti tersebut menurut penilaiannya.)”20
Pada dasarnya dalam semua itu bahwasanya kita diperintahkan, Allah ta’ala mengikuti syariat yang diturunkan kepada Rasulullah saw, bukan yang lainnya, Allah ta’ala berfirman,
Khot Arab
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti wali-wali selain-Nya, amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)” (Al-A’raaf (7): 7)
Akan tetapi Allah Ta’ala berfirman, (Al-Baqoroh (2): 286).
Khot Arab.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Dan Rasulullah saw bersabda,
Khot Arab.
“Apa yang aku larang bagimu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kepadamu dengannya, maka tunaikanlah darinya semampumu” (H.S.R Al-Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu jumhur bermadzhab bahwa ijtihad itu menerima bagian-bagian, maka kadangkala manusia mampu berijtihad dalam bab-bab atau masalah-masalah tertentu dan dia taqlid dalam masalah lain.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm, “Ijtihad itu bukannya perkara yang tunggal, yang tidak menerima bagian-bagian, akan tetapi kadangkala seseoran gitu menjadi mujtahid dalam satu macam (fann) bab dan masalah dan tidak dalam suatu macam bab dan masalah lain atau pada setiap orang yang berijtihad ijtihadnya sesuai dengan kemampuan. ”21
Berkata Asy-Syaikh Asy-Syanqithi rhm, “Kebenaran yang tidak perlu diragukan lagi, bahwasanya setiap orang yang mempunyai kemampuan dari kalangan kaum muslimin, untuk belajar dan memahami serta mengerti makna-makna Al-Kitab dan Assunnah, dia wajib mempelajari keduanya dan mengamalkan dengan apa yang dia ketahui dari keduanya, adapun beramal dengan keduanya dibarengi kebodohannya, dengan apa yang dia amalkan dengannya dari keduanya, maka dilarang menurut ijma’ adapun apa yang dia ketahui dari keduanya berdasarkan ilmu yang benar, maka dia berhak beramal dengannya walaupun satu ayat ataupun satu hadits.”22.
Beliau berkata lagi, “Sah mengetahui sebuah hadits dan beramal dengannya, mengetahui satu ayat dan beramal dengannya dan hal itu tidak tergantung diatas pencapaiannya terhadap semua syarat-syarat ijtihad”23
Beliau berkata lagi, “Nash-nash yang dzhohir-dzohir dari yang umum dan muthlaq dan sebagainya, tidak boleh meninggalkannya kecuali apabila terdapat dalil lain yang mentakhshish dan mentaqyid dan wajib tunduk kepadanya, bukan hanya sekedar adanya kemungkinan secara umum (Muthlaqul Ihtimal).”24
Maka bagi seorang muslim yang telah jelas baginya dalil yang terhindar (selamat) dari segala yang kontra dengannya, dia tidak boleh meninggalkannya dan tidak beramal dengannya, dengan alasan bahwa si fulan tidak mengamalkan dengan dalil tersebut sedangkan dia lebih alim daripada dirinya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagai penolakan terhadap hujjah yang seperti ini, “Sungguh manusia telah meninggalkan ucapan (pendapat) Umar dan Ibnu Mas’ud dalam masalah tayammum bagi orang yang junub dan mereka mengambil pendapat orang yang lebih rendah daripada keduanya seperti Abu Musa al-Asy’ari dan lainnya, karena dia berhujjah dengan AlKitab dan Assunnah-dan seterusnya sehingga kata-katanya-…Seandainya pintu ini dibuka, yakni melawan nash karena amalan dan pendapat Fulan niscaya wajiblah berpaling dari perintah Allah dan Rasul-Nya dan yang tersisa setiap imam dimata para pengikutnya kedudukannya seperti kedudukan Nabi saw pada umatnya, ini adalah mengganti (merubah) agama menyerupai orang-orang Nasrani yang merubah agamanya yang dicela Allah ta’ala di dalam firman-Nya surat At-Taubah ayat 31.”25
Berkata Asy-Syaikh Utsaimin rhm, mengenai Muttabi’, “Dan bagi seorang muttabi’ boleh mengambil dengan perkara-perkara yang umum-umum dan yang muthlaq-muthlaq serta dengan apa yang sampai kepadanya, akan tetapi dia wajib berhati-hati dalam perkara-perkara itu dan jangan sampai bermalas-malasan bertanya kepada orang yang lebih tinggi daripadanya dari ahlul ilmi”26
Dan diantara ulama pada masa kini yang menetapkan adanya martabat ittiba’ adalah As-Syaikh Athiyah Salim, beliau berkata, “Seluruh manusia keadaannya tidak keluar dari tiga keadaan :
-
Baik dia seorang mujtahid dengan ijtihad yang muthlaq-jika ada- atau ijtihad dalam madzhab atau ijtihad dalam fatwa, semua ini merupakan istilah yang telah dikenali di kalangan pakar ilmu Ushul.
-
Atau dia seorang muttabi’ yang mengambil pendapat orang alim dengan mengetahui dalilnya.
-
Atau dia seorang muqollid.”27
Dan sikap atau amalan seorang muttabi disebut ittiba’ adapun definisi ittiba’ secara ringkas ialah mengikuti pendapat yang benar, atau betulnya pendapat itu disaksikan dengan dalil, maka muttabi’ itu beramalberdasarkanilmu dan diatas bashirah, dengan kebenaran apa yang dia amalkan dengannya dan dia menjadi orang yang mengikuti dalil syar’i.
Allah ta’ala berfirman:
Khot Arab.
“…Katakanlah, Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku Alquran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf : 203). Demikian juga dengan Al-A’raf ayat 3, Al-An’am ayat 106 dan 155.28
-
Muqollid (Orang yang taqlid).
Muqollid ialah seorang awam yang tidak berilmu dan tidak mempunyai keahlian untuk mengkaji dalil-dalil dan kedudukan-kedudukannya, adapun yang difardhukan kepadanya, sebagaimana firman Allah ta’ala;
Khot Arab.
Artinya : “Maka tanyakanlah olehmu kepada ahlud-dzikir (orang-orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui” (Al-Anbiyaa: 7).
Berkata Al Qurthuby, tidak ada perselisihan dikalangan ulamabahwa orang awam harus taqlid kepada para ulamanya dan sesungguhnya merekalah yang dimaksudkan dalam firman Allah azza wa Jalla Khot arab, mereka berijma bersepakat bahwa orang buta wajib taqlid kepada yang lainnya dari oran gyang terpercaya untuk menunjukkan arah kiblat apabila musykil baginya, maka demikian pula halnya orang yang tidak ada ilmu, baginya dan tidak memiliki pandangan atau pengetahuan dengan makna apa yang dia beragama dengannya, dia harus taqlid kepada orang alimnya, begitu juga tidak ada perselisihan dikalangan ulama’ bahwasanya orang awam tidak boleh berfatwa, karena jahilnya dengan makna-makna yang darinya diperbolehkan menghalalkan dan mengharamkan.29”
Berkata Abu Ishaq Asy-Syathibi rhm, “Ucapan (pendapat) seorang mujtahid adalah merupakan dalil bagi seorang awam.”.30
Berkata Asy-Syaukani rhm (1250 H) tentang taqlid, “Taqlid ialah beramal dengan ucapan pendapat orang lain tanpa berhujjah, maka terkeluar yakni dari sebutan taqlid yang tercela, beramal dengan sabda Rasulullah saw, beramal dengan ijma dan rujuknyaqodhi kepada kesaksian orang-orang yang adil, karena sesungguhnya telah tegak hujjah dalam hal-hal tersebut.”31
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm (728 H), “Dan yang diatasnya (yang dipegang) jumhur ummah, bahwasanya ijtihad itu boleh secara global dan taqlid itu boleh secara global, mereka tidak mewajibkan ijtihad atas setiap orang dan tidak mengharamkan taqlid, mereka tidak mewajibkan taqlid atas setiap orang dan tidak mengharamkan Ijtihad dan sesungguhnya ijtihad itu boleh bagi orang yang mampu berijtihad dan taqlid itu boleh bagi orang yang tidak mampu (lemah) untuk berijtihad.”32
Berkata ibnul Qoyyim Al jauziyah rhm, (751 H), “Adapun Taqlid yang dilakukan oleh orang yang mencurahkan kesungguhannya dalam mengikuti apa yang diturunkan Allah dan tersembunyi sebagiannya atasnya lalu dia taqlid dalam perkara itu kepada orang yang lebih mengetahui daripadanya, maka hal ini terpuji dan tidak tercela, mendapat pahala dan tidak berdosa.”33
Berkata Ibnu Qudamah rhm, “Adapun Taqlid dalam masalah furu’ adalah boleh menurut ijma’”34
Adapun definisi taqlid menurut ulama jika disimpulkan ialah : Menerima ucapan (pendapat) dengan tanpa hujjah dan itu bukan merupakan jalan kepada ilmu (untuk mencapai ilmu) tidak dalam yang ushul (yang pokok-pokok) dan tidak pula dalam hal yang furu’ (cabang-cabang).35
Yang dimaksud dengan hujjah dalam syariat adalah dalil-dalil syara’ yang telah disepakati jumhur ada empat,
-
Al-Kitab, 2. Assunnah. 3. Al-Ijma’ (Yang Mu’tabar). Dan 4. Al-Qiyas (Yang Shohih).
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwasanya taqlid ada dua macam yaitu Mahmud (terpuji) dan Madzmum (tercela), adapun taqlid yang tercela antara lain sebagai berikut:
-
Apabila seseorang mampu berijtihad (berdalil), tetapi dia menyeleweng kepada bertaqlid saja.36
-
Apabila dia mampu menjadi seorang muttabi’ (yakni bertanya tentang dalil masalahnya dan memahaminya), tetapi dia mencukupkan diri dengan taqlid saja37
-
Apabila telah jelas baginya hujah dan dalilnyabahwasanya yang benar menyelisihi pendapat orang yang di taqlidinya dan dia tidak mau merujuk kepada yang benar. Maka dalam keadaan seperti ini dia berdosa dengan dosa yang besar dan menurut Ibnu Hazm rhm, dia menjadi orang yang fasik.38
-
Bertaqlid kepada orang yang tidak layak ditaqlidi, karena dia tidak ahli berfatwa atau orang yang taqlid tidak memiliki sama sekali keahlian orang yang ditaqlidinya.39
-
Apabila orang yang taqlid meyakini wajibnya bertaqlid kepada orang yang ditaqlidi saja.40
-
Apabila seorang muqollid sedang diuji dengan adanya pendapat lain yang menyelisihi pendapat yang dia taqlidi, lalu dia tidak berusaha meneliti mana diantara keduanya yang benar.41
-
Sikap manusia terhadap madzhab dan bermadzhab.
Kalau kita perhatikan keadaan kaum muslimin yang berada di sekitar kita di belahan bumi Allah di Indonesia, begitu juga kebanyakan, bumi-bumi yang lain, mayoritasnya dalam menyikapi masalah ini tidak terlepas dan terhindar dari fitnah “Ifrath atau Muzawajah” (berlebih-lebihan atau melampaui batas) dan tafrith atau taqshir (mengurang-kurangkan dan sembrono), kecuali yang dirahmati Allah yakni yang menyikapinya dengan adil, wasath, tidak ifrath dan tidak tafrith dan orang yang seperti ini minoritas jumlahnya.
Sungguh benar apa yang dikatakan sebagian salaf.
Dostları ilə paylaş: |