Mereka lupa atau tidak tahu bahawa Rasulullah s.a.w tidak mengirimkan Mu'az r.a sendirian tetapi mengirimkan Abu Musa Al Asy’ary r.a bersamanya. Baginda s.a.w bersabda kepada keduanya, “Gembirakanlah mereka dan jangan kalian buat mereka lari. Mudahkan mereka dan jangan kalian menyusahkan. Bertolong-tolonglah kalian dan jangan berselisih.”
Juga beliau mengirimkan Ali bin Abi Talib dan Khalid bin Sa’id bin al Ash r.huma. Bersama mereka baginda s.a.w mengirimkan rombongan besar untuk dakwah, ta'lim dan memutuskan perkara diantara manusia.
Tentang pembatasan masa keluar yang mereka katakan sebagai Bidaah, adalah peraturan dakwah sebagaimana peraturan sekolah dan universiti yang mengenal batasan masa belajar dan kerehatan, untuk menyiapkan bekal dan perbelanjaan selama masa keluar. Apakah dengan demikian, orang-orang Tabligh dianggap membuat bida’ah kerena mereka mengatur hari-hari untuk kepentingan dan khuruj fi sabilillah (keluar di jalan Allah)?
Alhamdulillah.
Ditulis oleh Sheikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy,
Mudir di Masjid Nabawi dan Universiti Madinah Al-Munawarrah
Demikianlah sekilas ‘Apa itu Jamaah Tabligh’ dan beberapa pendapat ulama mengenainya. Uraian di atas setidaknya menyibak keasingan Jamaah Tabligh dan membuka hati terhadap maksud dan tujuan Jamaah Tabligh, yang semata-mata gerakan keimanan atas diri dan umat. Umar bin khattab ra. berkata, “Janganlah kamu berprasangka buruk terhadap kalimat yang keluar dari saudaramu mukmin, kecuali dengan prasangka yang baik selama kamu dapati kemungkinan untuk memahaminya dengan pemahaman yang baik.”
Wallauhua'lam bishowab.
Zaenul HalikOktober 13, 2014 12:44 PM
-
pertanyaan antum saya akan jawab.
1. Pendiri dan Misi Pendiriannya?
JAWAB : Pendirinya adalah Maulana Saad, bilau adalah keturunan Sayidina Abu Bakar R.A.
Misi, Bliau ingin membuat jaya kembali Umat Islam kembali pada Masa Rasulullah, Islam di atas puncak kejayaan, tapi kejayaan Islam saat ini tidak dengan menghunus pedang atau pertumpahan darah, melainkan kasih sayang.
2. Kenapa kita ikut Jemaah Tabligh setiap kali kita dikunjungi oleh mereka???
JAWAB : Karena kalo tidak di ajak secara langsung naik ke masjid untuk sholat berjemaah, maka saodara2 muslim kita tidak akan sholat berjemaah di masjid, atau mungkin saja dia tidak akan sholat, bukankah mngajak orang untuk taat pada ALLAH SWT itu pahalanya sangat besar sekali?? dan Islam ini adalah agama mahal, tidak semua orang mendapatkan hidayah dan taufiq, termasuk orang2 Islam sendiri sekarang banyak menjadi biang kerok daripada kemungkaran dan kemaksiatan. Bukankah itu mengundang murka ALLAH?
3. Adakah di contohkan Nabi, dan 3generali terakhir? sebutkan hadist-hadist sholehnya.
JAWAB : Wahai M. Dafa Aulia, (saya tidak tau M di mana anda, apakah itu Muhammad atau Martinus) kalo anda saat ini memeluk agama Islam, itu buka karena Islam di bawa angin atau banjir hingga sampai ke Indonesia, tapi Rasulullah itu mengirim 12000 sahabat terbaik utk menyebarkan agama Islam ke seluruh Dunia. dan nasehat menasehati dalam kebaikan, ketaqwaan, dan kesabaran itu adalah perintah ALLAH. Jika anda msih bertanya mana Hadistnya, saya rasa anda tidak pernah membaca AL-QUR'AN apa lagi mengamalkannya, membaca saja anda tidak pernah. Ini saya sampaikan, saya tidak akan mengutarakan hadist tapi lgsung AL-QUR'AN yg memang firman ALLAH. anda baca Suraht AL ASHR
dari Al Qur’an yaitu surat Al Ashr. Allah berfirman:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka), kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)
Antum beriman saja masih merugi, kalo antum tidak beramal Sholeh, antum Beramal sholeh pun jga masih merugi bila antum tidak menasehati orang lain dan mengajak orang lain untuk beramal sholeh. Ingat M. Dafa, jika antum taat beribadah kepada Allah, tpi tetangga2 antum banyak yang melakukan kemaksiatan dan kemungkaran dan antum tau itu semua, tapi antum hanya diam saja bahkan membiarkan, antum sama celakanya dengn orang itu. Karena saat di Yaumil hisab besok, orang itu akan menuntut anda,mereka akan bilang kepada Allah " Ya Allah, aku memang berbuat maksiat dan kemungkaran, tapi aku memiliki tetangga yang taat beribadah kepadamu, tapi dia hanya asyik beribadah sendiri, dia tidak menasehatiku untk kembali ke jalanMU sedangkan dia tau, bahwa perbuatanku mengundangMU."
Antum akan di tuntut seperti itu nanti, dan antum tidak bisa membela diri, karena yang di katakan tetangga antum itu memang benar kenyataannya. Lalu antum akan sama2 nyemplung ke neraka
M Daffa AuliaSeptember 23, 2013 11:19 AM
Sesama saudara semuslim emang kita harus saling mengingatkan dalam iman dan kebaikan. Tolak ukur iabdah dan perilaku kita adalah mencontohi Nabi Kita Nabi Muhammad SAWW. Di luar itu tidak kecuali diperintahkan nabi kita.
Mungkin beberapa hal yang perlu saya pertanyakan kepada saudara-saudariku Jamah Tablig.
1. Dasar dan landasan pendirian Jamaah Tabligh?
2. Siapa pendiri dan asal pendiri Jamaah Tabligh?
3. Kenapa Jamaah tabligh tidak pernah mengadakan suatu kajian yang mendalam tentang Ajaran Islam?? Yang selalu dipakai adalah buku Fadillah Amal.
4. Kenapa dalam berdakwah selalu mengajak orang untuk ikut kelompok jamaah tablig??
5. Apakah cara dakwah yang dijalankan sudah sepenuhnya sesuai dakwahnya Rosululloh dan para sahabat?? Karena kita tidak disuruh nabi kita untuk mengikuti nabi nabi terdahulu, kecuali dipertintahkan seperti puasa nabi Daud!!
Trima kasih
-
Pencari KebenaranOktober 20, 2013 1:41 PM
Suami adalah pemimpin bagi keluarganya (istri & anak). Jika istri mengeluarkan unek2 seperti mama Iqbal (atau mama-mama yg lain), yg jd pertanyaan adalah bagaimana suami membimbing istri?. Jika iman suami makin bertambah baik stlh ikut Jamaah Tabligh, mestinya imannya suami mampu memberikan pencerahan kpd istri, bukan imannya istri yg pertanyakan. apalagi secara khusus mama Iqbal mau disamakan dgn istri Nabi Ibrahim (Siti Hajjar), itu berarti (secara umum) menyamakan setiap istri punya iman yg sama dgn Siti Hajar.
Tiap kita aadalh pemimpin bg dirinya sendiri (anggota tubuh yg dikendalikan oleh hati), berikutnya adalah pemimpin bg keluarga (istri, anak-anak, orang tua, saudara-saudaranya), lalu kecenderungan pemimpin pd lingkungan tempat tinggal (masyarakat, tetangga, dll). Lalu sejauh mana iman kita mampu memberikan kontribusi pada mereka?
Sy mendukung siapa saja yg berdakwah dijalan Allah, tentunya didasarkan pada aturan Allah dan Rasulnya, bukan kata fulan bin fulan. Seberapa sering ayat ayat Allah menanyakan kpda kita "seberapa jauh akal kita gunakan utk memahami ayat ayat Allah". Iman memang tdk bisa dibuktikan dgn akal, tapi akal memiliki peran untuk memunculkan iman.
Jika Allah STW menghendaki semua manusia beriman, niscaya tidak ada manusia yang berbeda akidah, pemahaman yg berbeda, tdk ada golongan. Tapi realitasnya, Allah menjadikan manusia berbeda imannya sebagai langkah untuk mengetahui siapa yang paling banyak amalnya (ikhlas dan sesuai dgn aturan Allah dan Rasulnya, bukan kata si fulan bin fulan). Hakikatnya suatu kebenaran hanya Allah yg tahu, manusia hanya merealisasikan kebenaran trsebut melalui aturan-aturan-Nya (syariatnya). Hakikat yg utama, tp syariat jgn dilupakan.
-
hasda gorontaloFebruari 07, 2014 8:12 PM
Allah SWT. memeberikan amanah kepada kita adalah keluarga, anak dan istri..
kita ini manusia biasa bukan golongan ulama atau nabi..
seyogyanya, kita berdakwah untuk diri sendiri dan keluarga dan orang sekitar dulu..
-
Zaenul HalikOktober 13, 2014 1:23 PM
ya memang begitu adanya, kami terdiri dari Pensiunan, Polisi, karyawan, pejabat, seniman,dll. Yang tidak suka itu adalah golongan WAHABI saja, jika ada yang tidak suka dengan kami berarti mreka WAHABI yang cara dakwahnya dengan membunuh orang. anda bisa brosing "SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI" dan miliki bukunya.
Balas
-
ilham suangApril 22, 2013 9:24 AM
Afwan akhiy.. Tdk ada itu itu org yg khuruj lantas tdk meninggalkan bekal untuk anak dan istrinya. Sblm khuruj, seseorng akan di tafakkud dulu apakah cukup bekal yg akan Dia bawa dan yg akan ditinggalkan buat keluarga. Tapi akhlak yg terbaik ad kalo memang antum mendapatkan klrg yg ditinggal khuruj itu kekurangan, ya monggo disedekahilah.. Memberi minum anjing yg kehausan sj, seorng pelacur bisa masuk sorga.. Apalagi manusia yg ditinggal suaminya untuk urusan agama.. Afwan.. Kalo mau tahu ttg usaha Da'wah, tabayyun akhiy... Terjun langsung ikut 3 hr dulu atau satu hari sj menyertai Jamaah yg lagi gerak, agar tdk termakan fitnah
Balas
Balasan
-
rinaldi yunusMei 31, 2013 1:11 AM
ngasih minum anjing, pelacur masuk surga, eanak bener tuh!! kayak Tuhan aja lu
-
nanang slametDesember 02, 2013 2:40 PM
Baca buku "Jalan Pintas Ke Surga" kisahnya ada disitu. Kalo diceritain disini, puanjang banget
-
Zaenul HalikOktober 13, 2014 1:43 PM
KISAH SEORANG PELACUR YANG MASUK SURGA ….
25 Apr
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim … Pada zaman kenabian Isa alayhissalaam, banyak terjadi kerusakan karena ulah kaisar Romawi yang zalim. Kelaparan dan kemisikinan merajalela di negeri Palestina.
Berbagai cara dilakukan oleh rakyat terutama para kaum miskin untuk melawan kelaparan dan kemiskinan itu. Seorang ibu terpaksa menjual anaknya seperti menjual pisang goreng.
Perampokan, pembunuhan, penganiayaan tak kenal peri kemanusiaan lagi. Sementara ketika nabi Isa a.s menyampaikan dakwahnya kepada rakyat, tentara Romawi selalu mengejar-ngejar beliau.
Sesekali nabi Isa a.s mengumpulkan para orang miskin itu, dan membagi-bagikan roti dan gandum kepada mereka. Namun tak urung para tentara Romawi terus menggusur dan menganiaya mereka.
Kehidupan rakyat sudah benar-benar tak menentu. Laki-laki banyak sekali yang meninggalkan rumah dan keluarga mereka, entah pergi ke mana. Pelacuran tumbuh di mana-mana. Setiap orang harus mempertahankan dirinya dari serangan lapar.
Suatu ketika terlihat seorang perempuan muda berjalan terseok-seok seolah menahan rasa letih. Sudah terlalu jauh ia menyusuri sepanjang jalan, untuk mencari sesuap nasi. Menawarkan diri kepada siapa saja yang mau, meski dengan harga yang murah.
Perempuan muda itu terlihat terlalu tua dibandingkan dengan usia sebenarnya. Wajahnya kuyu diguyur penderitaan panjang. Ia tidak mempunyai keluarga, kerabat ataupun sanak saudara lainnya. Orang-orang sekelilingnya menjauhinya. Bila bertemu dengan perempuan tersebut, mereka melengos menjauhinya karena jijik melihatnya.
Namun perempuan itu tidak peduli, karena pengalaman dan penderitaan mengajarinya untuk bisa tabah. Segala ejekan dan caci maki manusia diabaikannya. Ia berjalan dan berjalan, seolah tak ada pemberhentiannya.
Ia tak pernah yakin, perjalanannya akan berakhir. Tapi ia terus berusaha melenggak-lenggok menawarkan diri. Namun sepanjang jalan itu sunyi saja, sementara panas masih terus membakar dirinya. Entah sudah berapa jauh ia berjalan, namun tak seorangpun juga yang mendekatinya.
Lapar dan haus terus menyerangnya. Dadanya terasa sesak dengan nafas yang terengah-engah kelelahan yang amat sangat. Betapa lapar dan hausnya ia…
Akhirnya sampailah ia di sebuah desa yang sunyi. Desa itu sedemikian gersangnya hingga sehelai rumputpun tak tumbuh lagi. Perempuan lacur itu memandang ke arah kejauhan. Matanya nanar melihat kepulan debu yang bertebaran di udara. Kepalanya mulai terasa terayun-ayun dibalut kesuraman wajahnya yang kuyu.
Dalam pandangan dan rasa hausnya yang sangat itu, ia melihat sebuah sumur di batas desa yang sepi. Sumur itu ditumbuhi rerumputan dan ilalang kering dan rusak di sana-sini. Pelacur itu berhenti di pinggirnya sambil menyandarkan tubuhnya yang sangat letih. Rasa hauslah yang membawanya ke tepi sumur tua itu.
Sesaat ia menjengukkan kepalanya ke dalam sumur tua itu. Tak tampak apa-apa, hanya sekilas bayangan air memantul dari permukaannya. Mukanya tampak menyemburat senang, namun bagaimana harus mengambil air sepercik dari dalam sumur yang curam ? Perempuan itu kembali terduduk.
Tiba-tiba ia melepaskan stagennya yang mengikat perutnya, lalu dibuka sebelah sepatunya. Sepatu itu diikatnya dengan stagen, lalu dijulurkannya ke dalam sumur. Ia mencoba mengais air yang hanya tersisa sedikit itu dengan sepatu kumalnya. Betapa hausnya ia, betapa dahaganya ia.
Air yang tersisa sedikit dalam sumur itu pun tercabik, lalu ia menarik stagen itu perlahan-lahan agar tidak tumpah. Namun tiba-tiba ia merasakan kain bajunya ditarik-tarik dari belakang.
Ketika ia menoleh, dilihatnya seekor anjing dengan lidahnya terjulur ingin meloncat masuk ke dalam sumur itu. Sang pelacur pun tertegun melihat anjing yang sangat kehausan itu, sementara tenggorokannya sendiri serasa terbakar karena dahaga yang sangat.
-
Zaenul HalikOktober 13, 2014 1:44 PM
Sepercik air kotor sudah ada dalam sepatunya. Kemudian ketika ia akan mereguknya, anjing itu mengibas-ngibaskan ekornya sambil merintih.
Pelacur itupun mengurungkan niatnya untuk mereguk air itu. Dielusnya kepala hewan itu dengan penuh kasih. Si anjing memandangi air yang berada dalam sepatu.
Lalu perempuan itu meregukkan air yang hanya sedikit itu ke dalam mulut sang anjing. Air pun habis masuk ke dalam mulut sang anjing, dan perempuan itu pun seketika terkulai roboh sambil tangannya masih memegang sepatu …
Melihat perempuan itu tergeletak tak bernafas lagi, sang anjing menjilat-jilat wajahnya, seolah menyesal telah mereguk air yang semula akan direguk perempuan itu. Pelacur itu benar-benar telah meninggal.
Para malaikat pun turun ke bumi menyaksikan jasad sang pelacur. Malaikat Raqib dan Atid sibuk mencatat-catat, sementara malaikat Malik dan Ridwan saling berebut.
Malik – si penjaga neraka – sangat ingin membawa perempuan lacur itu ke neraka, sementara Ridwan – si penjara surga – mencoba mempertahankannya. Ia ingin membawa pelacur itu ke surga. Akhirnya persoalan itu mereka hadapkan kepada Allah.
“Ya Allah, sudah semestinya pelacur itu mendapatkan siksaan di neraka, karena sepanjang hidupnya menentang larangan-Mu, ” kata Malik.
” Tidak !” bantah Ridwan. Kemudian Ridwan berkata kepada Allah, ” Ya Allah, bukankah hamba-Mu si pelacur itu termasuk seorang wanita yang Ikhlas melepaskan nyawanya daripada melepaskan nyawa anjing yang kehausan, sementara ia sendiri melepaskan kehausan yang amat sangat ? “
Mendengar perkataan Ridwan, Allah lalu berfirman, ” Kau benar, wahai Ridwan, wanita itu telah menebus dosa-dosanya dengan mengorbankan nyawanya demi makhluk-Ku yang lain. Bawalah ia ke surga, Aku meridhoinya .. “
Seketika malaikat Malik kaget dan terpana mendengar Firman Allah itu, sementara malaikat Ridwan merasa gembira. Ia pun membawa hamba Allah itu memasuki surga.
Lalu bergemalah suara takbir, para malaikat berbaris memberi hormat kepada wanita, sang hamba Allah, yang Ikhlas itu.
(# Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah SAW berabda, “Telah diampuni seorang wanita pezina yang lewat di depan anjing yang menjulurkan lidahnya pada sebuah sumur. Dia berkata, “Anjing ini hampir mati kehausan”. Lalu dilepasnya sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungnya lalu diberinya minum. Maka diampuni wanita itu karena memberi minum. (HR Bukhari))
(dikutip dari Kumpulan Kisah Zaman Nabi dan Para Sahabat : ” Jalan Pintas ke Surga “, penerbit Mizan)
Wallahu a’lam bish-shawab …
#Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah ..
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, …
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat …
… Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci …
Balas
-
Ustadz AputApril 30, 2013 5:35 PM
Cuma syaitan yg melemahkan orang yg keluar di jalan Allah SWT.
Balas
-
aghis nemesisMei 16, 2013 2:42 AM
Aneh ya manusia jaman sekarang..?
Diajak untuk Berbuat baik saja Susah, mereka cuma mau mengingatkan kembali iman kita....meramaikan kembali Mesjid2 yg kebanyakan kosong
Tapi banyak dipandang negatif oleh orang, disangkanya Teroris, Sesat, lari dari tanggung jawab, dsb,
Padahal kebanyakan dari mereka, Prof,Ir, Dr, tentara, PNS, Guru, Dll. cuma mereka ambil cuti saja untuk meluangkan waktunya mengajak kepada kebaikan...
mari kita sama sama berjuang entah dari golongan manapun anda.. untuk menegakkan kembali Khilafah di muka bumi ini,, dibawah satu bendera
"la ilaha illa Allah"
Takbirrrrrrrrr.....!!!!!!!!
Balas
Balasan
-
M Daffa AuliaSeptember 23, 2013 11:29 AM
Pertanyaanku adalah kenapa setelah mengingatkan mereka juga mengajak untuk ikut dalam kelompok mereka??? Tidakkah banyak pilihan hidup beriman yang benar?? Apakah mengikuti cara hidup Jamaah Tabligh itulah yang benar menurut Alloh dan Rosulnya????
-
Bayu PutraMei 17, 2014 9:07 AM
Kami tidak mengatakan jamaah tabligh yang paling benar.
Tapi usaha dakwah inilah yang paling mendekati dengan apa yang Rasul dan para sahabat lakukan terdahulu. Yaitu dengan mendatangi rumah rumah dan mengingatkan kpd yg benar.
bukannya dakwah lewat microfon atau buletin buletin
Balas
-
Zaenul HalikOktober 13, 2014 2:00 PM
APANYA YANG SUNAT Mr. Irgi anda muslim atau non muslim.?? Ini kewajiban buka sunat, anda pernah baca qur'an nggak?? atau jangan2 anda tidak pernah.
dari Al Qur’an yaitu surat Al Ashr. Allah berfirman:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka), kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)
Antum beriman saja masih merugi, kalo antum tidak beramal Sholeh, antum Beramal sholeh pun jga masih merugi bila antum tidak menasehati orang lain dan mengajak orang lain untuk beramal sholeh. Ingat Mr. Irgy Pradita, jika antum taat beribadah kepada Allah, tpi tetangga2 antum banyak yang melakukan kemaksiatan dan kemungkaran dan antum tau itu semua, tapi antum hanya diam saja bahkan membiarkan, antum sama celakanya dengn orang itu. Karena saat di Yaumil hisab besok, orang itu akan menuntut anda,mereka akan bilang kepada Allah " Ya Allah, aku memang berbuat maksiat dan kemungkaran, tapi aku memiliki tetangga yang taat beribadah kepadamu, tapi dia hanya asyik beribadah sendiri, dia tidak menasehatiku untk kembali ke jalanMU sedangkan dia tau, bahwa perbuatanku mengundang murkaMU.
Lalu dengan apa antum akan membela diri mendengar tuntutan seperti itu kepada Allah? ya pada akhirnya antum sama org2 tetangga antum yg berbuat maksiat itu sama2 nyemplung ke neraka, karena tidak ada lagi nasehat menasehati. memang benar sabda Nabi, akan datang suatu masa Islam hanya akan tinggal nama, Qur'an hanya tinggal tulisan, tidak ada yang mengamalkan, hanya membaca saja yang banyak termasuk antum saya rasa hanya sekedar pembaca alqu'an bukan pengamal.
Balas
-
Yayan HeryanaOktober 01, 2013 10:41 AM
-
Alhamdulilah setelah ikut 3 hari , Allah kasih manisnya Iman pada saya, nikmatnya sholat sambil nangis inget dosa, apalagi pada saat bayan menceritakan kampung akhirat dan hinanya Dunia fana ini. walaupun istri awalnya gk paham stelah sy ikut 3 hr lihat perubahan saya jadi faham. Trima kAsih Ya Allah atas petunjuk
melati taqwaJuli 22, 2014 1:42 PM
Diberi Petunjuk dari Mimpi, Khuruj pun Diwajibkan
Jamaah Tabligh, Kaum Pengelana
JAMAAH Tabligh didirikan oleh Syeikh Muhammad Ilyas bin Syeikh Muhammad Ismail, bermazhab Hanafi, Dyupandi, al-Jisyti, Kandahlawi (1303-1364 H). Syeikh Ilyas dilahirkan di Kandahlah sebuah desa di Saharnapur, India.
Ilyas sebelumnya seorang pimpinan militer Pakistan yang belajar ilmu agama, menuntut ilmu di desanya, kemudian pindah ke Delhi sampai berhasil menyelesaikan pelajarannya di sekolah Dioband, kemudian diterima di Jam’iyah Islamiyah fakultas syari’ah selesai tahun 1398 H.
Sekolah Dioband ini merupakan sekolah terbesar untuk pengikut Imam Hanafi di anak benua India yang didirikan pada tahun 1283H/1867M.
Di Indonesia, hanya membutuhkan waktu dua dekade, Jamaah Tabligh (JT) sudah menggurita. Hampir tidak ada kota di Indonesia yang belum tersentuh oleh model dakwah mereka.
Tanda kebesaran dan keluasan pengaruhnya sudah ditunjukkan pada saat mengadakan “pertemuan nasional” di Pesantren Al-Fatah Desa Temboro, Magetan, Jawa Timur pada tahun 2004.
Kenyataan ini sungguh di luar dugaan untuk sebuah organisasi yang relatif baru dan tidak mempunyai akar di Indonesia.
Merebaknya JT sebenarnya hanyalah salah satu sekuen dari perkembangan serupa di banyak negara. Kelompok ini sekarang sedang mewabah di seluruh dunia, dan menjadi ujung tombak gerakan Islamisasi di negara-negara atau daerah-daerah non-muslim.
Mereka bisa karena menawarkan format Islam yang lebih ramah, sederhana, sentuhan personal serta tekanan pengayaan spritualitas personal. Format semacam ini bagaimanapun mengisi ruang kosong yang ditinggakan oleh kapitalisme dan modernisme.
Meskipun demikian, JT tetap menimbulkan kontroversi. Sebagian kalangan menuduh kelompok ini adalah bagian dari jaringan Islam garis keras.
Namun, sebagian lainnya, justru berpendapat berbeda. JT dianggap semata-mata komunitas dakwah yang bersifat apolitis.
Adanya perbedaaan pandangan yang sangat tersebut menunjukkan komunitasnya ini sesungguhnya belum banyak dieksplorasi sehingga tidak mudah dipahami.
Hal ini sebenarnya wajar, mengingat komunitas ini relatif kurang terbuka kepada publik.
Dalam gerakan Islam kontemporer, Jamaah Tabligh adalah gerakan dakwah yang mempunyai pengikut yang terbesar, pengikutnya hampir ada di setiap negara baik yang dihuni oleh mayoritas Muslim maupun non Muslim.
Banyaknya pengikut Jamaah Tabligh di berbagai negara tidak terlepas dari pemikiran yang ditawarkan Jamaah Tabligh kepada pengikutnya. Ada dua prinsip yang sangat fundamental bagi Jamaah Tabligh yaitu tidak melibatkan diri dalam politik praktis dan tidak membahas masalah keagamaan yang bersifat khilafiyah.
Pemikiran Jamaah Tabligh lebih jauh bisa dikatakan bertolak belakang secara diametral dengan gerakan dakwah Islam lainnya. Sedikitnya ada empat prinsip dalam Jamaah Tabligh yang paradoks dengan gerakan dakwah Islam lain;
Balas
-
melati taqwaJuli 22, 2014 1:45 PM
Pertama, menurut Jamaah Tabligh, pada saat ini pintu ijtihad sudah ditutup. Sebab menurut Jamaah Tabligh, syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan ulama salaf sudah tidak ada lagi di kalangan ulama saat ini.
Karena itu, ada keharusan bagi kaum Muslimin untuk bertaklid. Pemikiran sangat bertentangan dengan pemikiran Muhammad Abduh, pemikir muslim dari Mesir, yang membuka pintu ijtihad seluas-luasnya agar kaum Muslimin dapat maju.
Kedua, pendekatan dakwah dan ibadah yang digunakan adalah dengan cara tasawuf, tidak dengan politik, sosial, budaya ataupun perlawanan bersenjata. Sebab Jamaah Tabligh sangat meyakini bahwa tasawuf adalah cara untuk mewujudkan hubungan dengan Allah dan memperoleh kelezatan iman. Mengutamakan ibadah mahdhoh, sebagaimana tasawuf, banyak ditentang oleh gerakan Islam lainnya terutama oleh gerakan Wahabi, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dll.
Ketiga, Jamaah Tabligh tidak memandang perlu nahi munkar, dengan alasan bahwa fase sekarang menurut Jamaah Tabligh adalah fase mewujudkan iklim yang kondusif bagi masuknya kaum muslimin ke dalam Jamaah mereka.
Dengan prinsip ini, kehadiran Jamaah Tabligh di berbagai tempat nyaris tak mendapat resistensi. Prinsip ini banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan pemikir Islam, sebab dengan demikian (tanpa nahi munkar) Islam seperti agama Hindu, hanya menyeru kebaikan, tanpa mau mencegah kemunkaran.
Keempat, Jamaah Tabligh memisahkan antara agama dan politik. Setiap anggota tidak berhak mengkaji politik atau terjun ke dalam urusan yang berhubungan dengan pemerintahan.
Sebab menurut Jamaah Tabligh politik praktis hanya akan membawa kepada perpecahan.
Salah satu ciri khas gerakan Jamaah Tabligh adalah adanya konsep khuruj (keluar untuk berdakwah). Dalam konsepsi Jamaah Tabligh, seseorang akan dianggap sebagai pengikut Jamaah Tabligh, jika sudah turut serta dalam khuruj. Sebab khuruj bagi Jamaah Tabligh merupakan sebuah kewajiban.
Konsep khuruj yang dibangun Jamaah Tabligh berdasarkan landasan teologis pimpinan Jamaah Tabligh.
Begitu juga dengan hadist, khuruj didasarkan pada satu hadits Nabi yang berbunyi "apabila ummatku di akhir zaman mengorbankan 1/10 waktunya di jalan Allah, akan diselamatkan."
Maka setiap hari mereka juga harus menyisakan 2,5 jam waktu mereka untuk berdakwah. Yang lebih menekankan kepada aspek pembinaan suluk/akhlak, ibadah-ibadah tertentu seperti dzikir, zuhud, dan sabar.
Khuruj banyak ditentang oleh ulama salaf karena dikategorikan sebagai perbuatan bid'ah dan tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Jamaah Tabligh juga dipandang banyak menggunakan hadits-hadits dhaif
Penafsiran akan arti khuruj yang dimaksud oleh ayat di atas, berdasarkan mimpi pendiri Jama’ah Tabligh ini, yakni Maulana Ilyas Al-Kandahlawi, yang bermimpi tentang tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran 110 yang berbunyi : “Kuntum khoiru ummatin ukhrijat linnasi …” menurutnya kata ukhrijat dengan makna keluar untuk mengadakan perjalanan (siyahah).
Balas
-
melati taqwaJuli 22, 2014 1:47 PM
Jamaah Tabligh, Kaum Pengelana India, Pakistan dan Bangladesh Ibarat "Tanah Suci"
DALAM khuruj yang dilakukan, tempat dan target dakwah sudah ditentukan. Biasanya mereka yang khuruj berkelompok terdiri dari 5-10 orang. Mereka biasanya diseleksi oleh anggota syura Jamaah Tabligh siapa saja yang layak untuk khuruj.
Mereka yang khuruj dikirim ke berbagai kampung yang telah ditentukan. Di kampung tempat berdakwah, para Jamaah Tabligh ini, menjadikan mesjid sebagai base camp.
Kemudian mereka berpencar ke rumah-rumah penduduk untuk mengajak masyarakat lokal untuk menghadiri pertemuan di mesjid dan mereka akan menyampaikan pesan-pesan keagamaan.
Apabila mencermati ajaran dan metode dakwahnya, JT memang tetap setia dengan pendekatan non-politik. Pendekatan ini telah sukses menarik kalangan non-muslim maupun Muslim yang kurang taat untuk menjadi Muslim shaleh.
Namun, JT sesungguhnya tidak pernah menarik garis tegas dengan gerakan-gerakan Islam radikal. Oleh karena itu, politisasi JT selalu terjadi.
Hal ini ditunjang oleh metode pembinaan pasca tabligh yang lemah, menjadikan massa penganut JT mudah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok Islam lainnya.
Inilah yang terjadi di Pakistan. Konstituen JT yang meluas pada akhirnya dimanfaatkan oleh beragam kekuatan.
Presiden Pakistan, Mohammad Rafique Tarar dan Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif, adalah tokoh penting yang pernah memfasilitasi perkembangan JT di Pakistan.
Sayangnya, JT juga pernah terlibat usaha kudeta militer di Pakistan pada tahun 1995. Di samping itu, beberapa anggotanya juga terlibat dalam organisasi Harakat ul-Mujahideen, sebuah kelompok Islam garis keras di Pakistan.
Sekarang ini bahkan diyakini bahwa sebagian besar pendukung Taliban di Afganistan, juga merupakan konstituen JT.
Pengikut Jamaah Tabligh tersebar di lima benua terdiri dari 215 negara. Adapun pusat Jamaah Tabligh berada di perkampungan Nidzammudin, Delhi, India. Mereka memiliki mesjid sebagai pusat tabligh yang dikelilingi oleh 4 kuburan wali. Dari Niszamudin inilah gerakan Jamaah Tabligh dikendalikan.
Meski pusat gerakan di India, namun negara lainnya seperti Banglades dan Pakistan tidak kurang pentingnya dalam gerakan Jamaah Tabligh. Sehingga poros India-Pakistan-Bangladesh, menjadi semacam base camp bagi para aktivis jamaah tabligh.
Setiap orang disarankan meluangkan empat bulan khuruj-nya ke tiga negara di Asia Selatan tersebut. Sebab ketiga negara tersebut, India-Pakistan-Bangladesh bisa diibaratkan sebagai centre of excellence sebagaimana Universitas Al-Azhar, Madinah, Harvard, Oxford, atau MIT bagi ilmu-ilmu.
Pentingnya ketiga tempat ini, terlihat dari antusiasnya anggota jamaah Tabligh dalam menghadiri acara ijtima’ yang diadakan setiap tahun. Pada tahun 1998 telah diadakan konferensi internasional tahunan di Raiwind dekat Lahore dan di Tongi dekat Dhaka, Banglades, yang telah dihadiri lebih dari satu juta kaum muslimin dari 94 negara.
Konferensi internasional Jamaah Tabligh tahunan ini merupakan berkumpulnya umat Islam terbesar kedua setelah haji di Mekkah, 'the second biggest muslims gathering after hajj'.
Konferensi internasional tahunan jamaah tabligh ini juga diadakan di Amerika Utara dan Eropa. Konferensi tersebut bisa mendatangkan 10.000 muslim, dari seluruh negara-negara di Amerika Utara dan Eropa, mungkin salah satu perkumpulan terbesar muslim di Barat.
Untuk mengadakan acara Internasional tersebut atau ijtima’ dana didapatkan dari para donatur jamaah tabligh. Para donatur tersebut pada umumnya adalah para pedagang yang juga anggota jamaah tabligh. Para donatur menyumbang seikhlasnya, namun karena pada umumnya para donatur adalah wiraswastawan, maka kebutuhan untuk ijtima’ selalu tertutupi.
Balas
-
melati taqwaJuli 22, 2014 1:48 PM
Jamaah Tabligh di Indonesia meski tak sepopuler organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah atau NU, namun Jamaah Tabligh terbilang mempunyai anggota yang cukup banyak.
Anggota Jamaah Tabligh di Indonesia sangat bervariasi, mulai dari artis sampai dengan tentara, kalangan profesional dll. Pusat markaz jamaah tabligh di Indonesia berada di Jakarta, khususnya di masjid Masjid Kebon Jeruk di Jl Hayam Wuruk, Jakarta Kota.
Pada acara ijtima’ internasional rombongan jamaah tabligh dari Indonesiapun turut hadir. Rombongan dari Indonesia datang berasal dari berbagai profesi, antara lain pimpinan pondok pesantren, pengusaha muda, eksekutif muda, artis, pedagang kaki lima, pegawai negeri, dan bupati.
Balas
-
melati taqwaJuli 22, 2014 1:49 PM
PERKATAAN PARA PETINGGI JAMA’AH TABLIGH/JAUHELAK/KARKUN
Perkataan Mantan Jamaah Tabligh
Beberapa mantan JT dan Para Ulama lainnya yang telah memahami dengan benar tentang JT ini mereka semua telah sepakat atas sesatnya JT ini. berikut kita ikuti penjelasan beliau-beliau semoga kita dikaruniakan kefahaman yang benar oleh Allah Subhanawataala agar bisa mensikapi dengan benar :
1. Telah berkata Asy Syaikh Sardar Muhammad Al-Bakistabu Rohimahullah :
”Inilah pengalamanku selama 10 (sepuluh) tahun, saya bersama JT …. sungguh JT dan ulamanya, mereka taklid buta terhadap Abu Hanifah dan berlebihan terhadapnya, bahwa semua yang keluar dari Ulamanya JT selalu dibawa (ditafsirkan) kepada kebaikan walaupun sudah jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sementara semua ucapan setiap orang yang bukan dari JT maka ucapan itu dianggap kedustaan dan mengada-ada.
JT telah membedakan antara dunia dengan agama (sekuler) JT men-imani 4 thoriqoh Sufi yaitu Al-Jistiyah,An-Naqsabandiyah,Al-Qodiriyah dan As-Sahrowardiyah.
Orang JT meyakini bahwa seseorang yang meninggal dunia belum berbaiat kepada salah satu Thoriqoh ini maka matinya mati jahiliyah.
Orang – orang JT lebih mencintau Syaikh-syaikh mereka diatas kecintaanya kepada Rasululloh dan lebih takut kepada murka syaikh mereka daripada kemurkaan Alloh dan Rosul-Nya.
Orang JT meyakini bahwa aqidah yang dibawa Rosululloh adalah kesyirikan sedangkan aqidah yang ada pada syaikh-syaikh ad-duyubandiyah dari JT itulah keimanan dan Islam. syariat itu ada dua, ada yang dari Rasululloh dan ada yang datang dari syaikhnya JT”.
2. Asy-Syaikh Abdurrohim Syah Ad-Duyubandi.
Beliau telah melalui waktu yang sangat panjang bersama pendiri JT yaitu Muhammad Ilyas dan Putra Muhammad Ilyas yaitu Muhammad Yusuf, beliau berkata :
” Sesungguhnya tentang keadaan JT ini harus kita sampaikan kepada ummat karena sesungguhnya mereka itu adalah pada dai yang belum sampai kepada derajat dai, mereka memulai kegiatannya dengan latihan berbicara didepan muslimin.. padahal kita dapati manusia tidak berani berbicara masalah kedokteran jika mereka belum menguasai ilmunya, tetapi JT ini sangat menganggap enteng/remeh dalam urusan agama walaupun belum mengerti apa-apa, kenapa mereka (orang-orang JT) begitu beraninya ? karena keyakinan mereka ,barang siapa yang khuruj dua kali atau tiga kali jangan ditanya lagi tentang ketinggian derajat mereka, para ulam di hadapan mereka tidak ada apa-apanya.”
Balas
-
melati taqwaJuli 22, 2014 1:50 PM
3. Asy – Syaikh Ihtisyamul Hasan Al-Kandahlawi Ad-Duyubandi
Beliau adalah suami saudarinya Muhammad Ilyas (Ipar). beliau bukan hanya mantan Amir JT, tetapi sudah menjadi kholifahnya JT pada kurun waktu pertama. beliau, dalam waktu yang lama memimpin JT bersama Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi, beliau berkata :
“Sesungguhnya dakwah yang muncul dari Markas Nizhomuddin Dahli bukanlah dakwah Ilmu dan Fiqih yang mencocoki al-kitab dan as-sunnah…. maka bagi seluruh masyaikh yang telah menegakan dakwah dan tabligh agar mencocoki Thoriqohnya Salafush Sholeh dan ulama yang benar.”
4. Asy-Syaikh Saifurrohman bin Ahmad Ad-Dahlawi
Beliau berkata :
“Sungguh benar orang yang mengatakan bahwa Yahudinya Ummat Islam adalah Syi’ah sedangkan Yahudinya Ahlusunnah adalah orang yang taklid kepada Hanafi seperti JT, yang mereka menjadi penolong-penolong kejahilan dan taklid, mereka adalah penyembah-penyembah tokoh – tokoh mereka dan mereka menganggungkan tokoh-tokoh mereka, mereka telah menyuburkan kebid’ahan didalam muslimin, mereka mewajibkan kepada muslimin perkara yang tidak diwajibkan oleh Alloh subhanawataala mereka telah membuat syariat dengan suatu syariat yang tidak disyariatkan oleh Alloh subhanawataala dan rosulnyaNya .
Rosululloh saw. telah bersabda : “Barangsiapa mencintai ahli Bid’ah sungguh dia telah menolong menghancurkan Islam.”
Beliau juga bersabda : ” Artinya Sesungguhnya Alloh subhanawataala menahan taubat bagi ahli Bid’ah (shohih al-jamiush Shoghir)
Termasuk prinsipnya JT adalah menolak semua nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjelaskan wajibnya mengingkari thoghut dan perintah untuk melarang dari kemungkaran dengan penolakan yang pasti.”
4. Asy-Syaikh Taqiyyuddin Al-Hilaly Rohimahullah
Beliau mempersaksikan JT dengan mengatakan :
” Telah muncul pada abad ke 14 ini dinegeri – negeri Muslimin, mulai dari timur sampai barat, gerakan dakwah yang pelakunya menampakkan keikhlasan, sabar, sanggup menahan beban didalam berdakwah. mereka kerahkan seluruha jiwa dan raganya demi pelaksanaan dakwah, yaitu dakwahnya suatu kaum yang menamakan dirinya ahli tabglih (Jama’ah Tabligh). mereka meletakkan 6 rukun sebagai dasar dakwah mereka (gerakan dakwah mereka disebut Khuruj). Khuruj bagi JT merupakan pondasi dasar dakwah mereka (artinya JT tidak akan berkembang tanpa khuruj, pent). kedudukan khuruj ini seperti 2 kalimat syahadat di kalangan ahli istiqomah.
Barang siapa yang mau menerima dan menyibukkan diri dengan khuruj, mereka akan dicintai dan dimuliakan dan dimintakan ampun (oleh orang-oran JT). sedangkan kesesatan dan bid’ah dalah bagi siapa saja yang tidak mau khuruj dengan JT walaupun orang tersebut telah melaksanakan seluruj kewajiban, fardhu-fardhu dan sunnah-sunnah. dengan khuruj ini, ukuran orang-orang JT mencintai dan membenci (memusuhi).
Balas
-
melati taqwaJuli 22, 2014 1:51 PM
Sungguh dakwah JT ini telah menimbukan bahaya besar dikalangan muslimin, baik bahaya dunia maupun akhirat, diantaranya yaitu :
1. Berbagai bid’ah dan perselisihan terhadap sunnah Nabi.
2. Melalaikan kewajiban terhadap keluarga , kedua orang tua, dan Istri-istri mereka dengan tidak menunaikan hak-hak mereka.
3. Telah memalingkan para penuntut ilmu yang bermanfaat , baik ilmu dunia maupun agama (karena selalu diajak Khuruj,pent)
4. Terbengkalainya pekerjaan (karena selalu khuruj).
5. Berapa banyak terjadinya pertengkaran dan perpisahan antara orang tua dengan anaknya, antara suami dengan istri-istri.
Hanya kepada Allah subhanawataala kami mengeluhkan,kemudian manusia atas bahaya kerusakan dan penyesatan besar yang ditimbulkan dari gerakan dakwahnya JT ini,
Maka Wajib hukumnya bagi muslimin yang sedikit memiliki ilmu untuk mengurangi kerusakan dan kejelekan yang diakibatkan gerakan dakwah JT ini dengan cara menjelaskan kepada muslimin kesesatan dan penyesatan JT sabagai pengamalan Firman Allah Subhanawataala :
“
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآ أَنزَلْنَا مِنَ ٱلْبَيِّنٰتِ وَٱلْهُدَىٰ مِنۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى ٱلْكِتٰبِ ۙ أُو۟لٰٓئِكَ يَلْعَنُهُمُ ٱللَّـهُ وَيَلْعَنُهُمُ ٱللّٰعِنُونَ ﴿البقرة:١٥٩
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula)
oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati,
Dikutip dari kitab : Jama’ah Tabligh (menurut mantan pengikutnya)
Penyusun : Abu Ummah Abdurrohim bin Abdulqohhar Al-Atsary
Balas
-
Sugi MulyonoSeptember 14, 2014 7:30 AM
Mengkhususkan yang Umum Tanpa Dalil
Imam Syafi’i mengemukakan suatu kaedah ushul fiqh dalam Kitab Ar Risalah, yaitu :
“Semua perkataan yang umum dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibawa kepada keumumannya sampai diketahui hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa yang diinginkan darinya adalah sebagian makna tanpa yang lainnya”.
(Ar Risalah hal. 341.)
Perintah untuk berdakwah dalam al-Qur’an dan Hadits sangatlah banyak akan tetapi dalil-dalil tersebut bersifat umum, artinya:
1. semua orang boleh berdakwah dengan syarat telah memiliki kemampuan untuk berdakwah.
2. cara atau metode yang digunakan bebas, tidak mengikat, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum-hukum syar’i karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam dalam melakukan dakwah menggunakan banyak cara/metode.
Sementara saudara-saudara di JT mempunyai keyakinan bahwa “khuruj itu suatu metode dakwah yang lebih sempurna atau lebih baik” daripada metode dakwah yang lain. Keyakinan seperti ini berarti telah mengkhususkan sesuatu yang bersifat umum, sehingga memerlukan dalil.
====================================================================
PERTANYAAN :
Apakah Rasulullah Shallallahahu’alaihi wasallam mensunnahkan keyakinan tersebut?, Bila jawabannya adalah “IYA”, maka sampaikan 1 (satu) saja hadits shahih, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahisallam telah MENGKHUSUSKAN suatu metode dakwah, yaitu dengan cara “khuruj” ?
====================================================================
Kalau tidak bisa, berarti KEYAKINAN “KHURUJ” ITU BID’AH, karena mengkhususkan sesuatu yang umum tanpa dalil = melakukan ibadah tanpa dalil = bid’ah = sesat.
Balas
-
Sugi MulyonoSeptember 14, 2014 7:31 AM
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, bahwa bid’ah itu bukan hanya perbuatan saja, tetapi juga keyakinan, yaitu :
“Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqod (keyakinan), amalan, perkataan yang lahir dan batin.” [Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128.]
MAKA TUNJUKKAN DALILMU (HADITS YANG SHAHIH) BILA ENGKAU ADALAH ORANG YANG BENAR !
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengingatkan kita agar pada akhir zaman untuk berpegang teguh kepada sunnah beliau, yaitu :
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
Dari Abu Bakar As Shiddiq ra, ia berkata: Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Iblis berkata: ‘Aku merusakkan mereka (umat Islam) dengan dosa-dosa, lalu mereka (orang Islam) merusakkan aku dengan istighfar, maka tatkala aku melihat demikian, aku merusakan mereka (orang Islam) dengan hawa keinginan bid’ah, lalu mereka menyangka bahwa mereka itu mendapat petunjuk yang benar, maka mereka (orang Islam) tidak memohon ampunan. (HR Ibnu Abi Ashim)
Sufyan Ats-Tsauri berkata:
“Bid’ah lebih disukai Iblis daripada maksiat. Karena maksiat pelaku ada kemungkinan bertaubat sementara bid’ah tiada kemungkinan bertaubat darinya.”
Balas
-
Sugi MulyonoSeptember 14, 2014 7:32 AM
Bila khuruj merupakan metode dakwah yang “lebih sempurna, lebih utama, dan lebih baik” daripada metode dakwah yang lain pastilah ada hadits yang shahih dari baginda Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, karena Beliau Shallallahu’alaihiwasallam bersabda :
“Tidaklah tersisa suatu perkara yang dapat mendekatkan ke surga dan menjauhkan diri dari neraka kecuali telah dijelaskan (oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam ) kepada kalian”
(HR. Thobroni dalam Mu’mamul Kabiir no. 1647, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Ash Shohihah (via software Al-Maktabah Asy Syamilah) no. 1803 dan Syaikh ‘Ali bin Hasan bin Abdul Hamiid Al Halabi hafidzahullah dalam ‘Ilmu Ushul Bida’ hal. 19 terbitan Dar Ar Rooyah, Riyadh).
“Sesungguhnya tidak ada Nabi sebelumku kecuali wajib bagi mereka menunjukkan kebaikan yang ia ketahui pada umatnya dan memperingatkan keburukan yang ia yang ia ketahui kepada mereka”
(HR. Muslim no. 1844).
PERHATIKAN PERKATAAN IMAM ASY-SYAFI’I BERIKUT INI :
“Barangsiapa menganggap baik (sesuatu baru yang tidak disyariatkan) maka dia telah membuat syariat, sebagaimana Allah SWT berfirman mengingkari orang yang melakukan kebid’ahan dalam agama Allah SWT, yaitu :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.”[Asy-Syura: 21].
Balas
Balasan
-
SONIA PONSEL BAGAN BATUJanuari 06, 2015 9:48 PM
-
udaaaah gosah pusing2 lu,,, coba deh lu bbrp kali makan bareng org jaulak, baru Nyahok luu,, KENA !!! hahahaha
banyak org pinter kitab, gue gak peduli
tapi lok org JAULAK, x ini gue KENA bro !
gue dipijetin si do'i broooooow, capek gue ilang
gzuzu busyet makannya kaya bebek tapi Nikmat bro !!! hahahahha. batu bata dikasi kecap jg nikmat makan bareng jaulak brooo hahahaha
ustazd2 pd bingung dbikin jaulak hihii, apalagi gue dan ..... looo juga kali brooooowww,
dalil lu sohih bro, lu nya aja yg gak sohih hehehe
alex jodi jodiSeptember 21, 2014 7:45 PM
-
UNTUK JAMAAH TABLIG, TETAP BERSABAR LANJUTKAN PERINTAH ALLAH DAN SUNNAH ROSULULLLAH SAW, HALANGAN DAN RINTANGAN LALUI DENGAN SABAR, TERUS BELAJAR, LANJUTKAN PERJUANGAN ROSULULLAH DAN PARA SAHABAT, JANGAN PATAH SEMANGAT, BANGKIT KEMBALI, APA LAGI KATA-KATA SAYA KARNA SAYA AWAM TENTANG AGAMA, POKONYA JANGAN MENYERAHLAH
alex jodi jodiSeptember 21, 2014 8:47 PM
DARI SIMPATISAN
ENGKAU BUKANLAH ORANG-ORANG YANG SEMPURNA, NAMUN JUGA MEMILIKI SALAH, CELA, KEKURANGAN SEBAGAIMANA MANUSIA LAINNYA, YANG TERUS MENERUS DI FITNAH DAN DI BURUK-BURUKAN HAMPIR DI SETIAP JAM DAN HARINYA, MAKA JANGANLAH TAMBAH BEBANNYA DENGAN BURUKNYA AHLAK DAN KASARNYA LISAN KALIAN DI HADAPAN MANUSIA, BERLEMAH LEMBUTLAH BERLEMAH LEMBUTLAH
JAGALAH SHALAT… JAGALAH SHALAT WAHAI TENTARA-TENTARA ALLAH, KARENA IA ITU MENGUATKAN HATI, MENGGIATKAN ANGGOTA BADAN DAN MELARANG DARI PERBUATAN-PERBUATAN KEJI DAN MUNGKAR. DAN IA ITU TEMPAT UNTUK MUNAJAT KEPADA AR-RABB DAN UNTUK MEMOHON KEMENANGAN. DAN KONDISI SEORANG HAMBA PALING DEKAT DENGAN RABBNYA ADALAH SAAT IA SUJUD. SHALAT ADALAH TIANG AGAMA DAN SYIAR KAUM MUSLIMIN, MAKA JANGAN KAMU AKHIRKAN KECUALI KARENA UDZUR, ALLAH MENGETAHUI KEJUJURAN DAN SEBALIKNYA
Untuk menerjuni suatu ilmu apa-pun seseorang perlu mengetahui dasar-dasar umum dan ciri-ciri khasnya. Ia terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan yang sukup tentang ilmu tersebut dan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang yang diperlukan dalam kadar yang dapat membantunya mencapai tingkat ahli dalam disiplin ilmu tersebut, sehingga disaat memasuki detail permasalahannya ia telah memiliki dengan lengkap kunci pemecahannya. Oleh karena Al-Quran Al-Kariem diturunkan dalam bahasa arab yang jelas, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur’an dengan bahasa arab agar kamu memahaminya” (Yusuf: 2), maka kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir dalam memahami Quran terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman asas-asasnya, penghayatan uslub-uslubnya dan penguasaan rahasia-rahasianya. Dan untuk hal ini semua telah tersedia banyak pembahasan secara rinci dan kajian yang lengkap yang bertebaran dalam berbagai cabang ilmu bahasa arab, namun disini kami hanya akan mengemukakan secara singkat beberapa hal penting yang harus diketahui lebih dahulu.
Damir (kata ganti)
Damir mempunyai kaidah-kaidah kebahasaan tersendiri yang disimpulkan oleh para ahli bahasa dari Al-Quran Al-Kariem, sumber-sumber asli bahasa arab, hadis Nabawi dan dari perkataan orang-orang arab yang kata-katanya dapat dijadikan pedoman (hujjah), baik yang berupa puisi (nazam) maupun prosa (nasar). Ibn al Anbari telah menyusun sebuah kitab terdiri 12 jilid yang khusus membahas damir-damir yang terdapat dalam Qur’an
Pada dasarnya, damir diletakkan untuk mempersingakat perkataan, ia berfungsi untuk mengggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna. Tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan. Sebagai contoh, damir “hum” pada ayat “A’addallahu lahum maghfiratan waajran adziiman” telah menggantikan dua puluh kata. Jika kata-kata itu diungkapkan bukan dalam bentuk damir, yaitu kata-kata yang terdapat pada permulaan ayat : (al Ahzab : 35)
Setiap damir gaib (kata ganti orang pertama) memerlukan tempat kembali atau penjelas, yaitu kata-kata yang digantikannya dan menurut kaidah bahasa tempat kembali itu harus mendahuluinya. Ahli nahwu mmemberikan alasan bagi ketentuan ini, bahwa damir mutakalim (orang pertama) dan damir mukhatab (orangf kedua) telah dapat diketahui maksudnya secara jelas melalui keadaan yang dilingkupinya, tidak demikian halnya dengan damir gaib. Karena itu menurut kaidah ini tempat kembali damir tersebut harus mendahuluinya agar apa yang dimaksud dengannya dapat diketahui lebih dahulu itulah sebabnya para ahli nahwu menetapkan, ” damir gaib” tidak boleh kembali kepada lafaz yang terkemudian dalam pengucapan dan kedudukannya.” Dari kaidah ini dikecualikan beberapa hal yang didalamnya damir kembali kepada tempat kembali yang tidak disebutkan karena apa yang dimaksudnya telah ditunjukkan oleh sebuah qarinah (indikasi) yang ada pada lafaz yang mendahulinya atau oleh keadaan lain melingkupi suasana pembicaraan.
Ibn Malik dalam kitabnya at Tashil menyatakan, ” kaidah menetapkan tempat kembali (marji’) damir gaib itu haris didahulukan. Marji’ ialah lafaz yang terdekat dengannya, kecuali bila dalil yang menunjukkan lain. Terkadang marji’ untuk dijelaskan lafaznya dan terkadang pula tidak dijelaskan karena adanya indikator, baik yang inderawi maupun yang diketahui melalui penalaran (‘ilmi), yang menunjukkan kapada damir, atau karena telah disebutkannya sesuatu yang merupakan bagian marji’, keseluruhannya, imbangannya, atau yang menyertainya, dalam bentuk apa apun jua : ” dengan demikian damir gaib adalah lafaz yang telah disebutkan sebelumnya dan harus sesuai dengannya. Inilah yang banyak dan umum , seperti dalam firmanNya: (Hud : 42) atau yang mendahuluinya itu mengandung apa yang dimaksud oleh damir, seperti dalam firmanNya ( al Maidah : 8) damir “Huwa” disini kembalinkepada keadilan, al adlu yangvterkandung dalam lafadz I’dilu jadi arti selengkapnya keadilan itu lebih dekat kepada ketaqwaan. Atau lafadz yang mendahuluinya itu mrnunjukkan kepada damir berdasarkan kelaziman, keniscayaan (iltizam) seperti (al Baqarah: 178). Damir pada kata “Ilaihi” kembali kelafaz ‘al ‘afi (orang yang memaafkan) yang harus ada karena adanya lafaz ‘ufiya’ (dimaafkan)
Marji’ damir kadang-kadang terletak sesudah damir itu sendiri, namun hal ini hanya dalam pengucapannya, tidak dalam kedudukan (jabatan katanya) seperti dalam (Taha : 67). Tetapi ada juga yang terletak kemudian dalam pengucapan meupun kedudukannya sebagaimana terdapat dalam damir sya’n, damir qisah, ni’ma dan bi’sa, misalnya firman Allah : ( al Ikhlas : 1) , ( al Anbiya: 97) , ( al Kahfi: 50) , dan (al A’raf: 177). Selain itu ada pula lafaz yang datang sesudah damir menunjukkan marji’ damir itu, seperti pada firman Allah: ( al Waqi’ah: 83). Damir rafa’ yang tersimpan disini ditunjukkan oleh lafaz ” al hulqum”, yang jika dinyatakan dengan lengkap akan berbunyi : ‘falau laa idzaa balaghatir ruuhul hulquum’.
Marji’ adakalanya dapat dipahami dari konteks kalimat, seperti pada : (ar Rahman: 26), maksud lafaz “‘alaiha” ialah ”alal ardi’ , (al Qadar: 1) yakni “Anzalna al qur’an” , (Abasa: 1) yakni “Nabi saw” dan ( Hud : 13) damir “wawu” pada lafaz ‘yaquuluun’ kembali kepada “orang-orang musyrik” dan damir fa’il lafaz “iftara” kembali kepada “Nabi”, sedang damir maf’ulnya kembali kepada “al Qur’an”.
Damir terkadang kembali kepada lafadz, bukan kepada makna, seperti dalam firmanNya (Fatir : 11), damir pada ” umurihi” kembali kepada lafaz “mu’ammar” namun yang dimaksud adalah “mu’ammar” yang lain. Berkata al Farra’: yang dimaksud ialah mu’ammar yang lain bukan mu’ammar yang pertama , tetapi ia dikinayahkan dengan damir seakan- akan ia adalah mu’ammar yang pertama. Hal ini jika lafaz itu ditampakkan maka sama persis dengan lafaz pertama, sehingga akan berbunyi ” wa al yunqasu min ‘umuri mu’ammar” . jadi jelaslah bahwa damir pada “min ‘umurihi” kembali kepada lafaz “mu’ammar” yang lain, bukan mu’ammar pertama. Ini tidak ubahnya dengan perkataan “‘indi dirhamun wa nisfuhu” (aku mepunyai satu dirham dan separuhnnya) maksudnya separuh dirham yang lain.
Damir terkadang kembali kepada makna saja, seperti pada : (an Nisa; 176), damir pada “kanata” tidak didahului oleh lafaz tasniyah sebagai marji’nya, hal itu karena kata “kalalah” dapat dipakai untuk mufrad, tasniyah atau jamak. Jadi pen-tasniyah-han damir yang kembali kepada kalalah itu didasarkan kepada maknanya. Juga seperti : (an Nisa’: 4). Damir pada kata “minhu” kembali kepada makna “as Saduqat” sebab lafaz ini semakna dengan “as Sidaq” atau “ma us diqa” (sesuatu yang dijadikan mahar) . ayat ini seakan akan berbunyi ‘wa utun nisa a shidaa qahunna aw maa ashdaq tumuu hunna” (berikanlah mahar kepada para wanita atau apa yang kamu jadikan sebagai mahar bagi mereka).
Terkadang damir itu disebutkan terlebih dahulu dan kemudian di beri predikat (kahabar) dengan lafaz yang menjelaskannya, seperti : ” in hiya illa hayaa tunad dunyaa” (al An’am: 29), juga terkadang ia ditasniyahkan padahal ia kembali pada salah satu dari dua hal yang telah disebutkan, misalnya : ‘yakhruju minhuma lu’lu’u wal marjaanu’ (ar Rahman: 22). Mutiara dan marjan keluar dari salah satu dua laut, yaitu laut yang asin, bukan laut yang tawar. Keluarnya mutiara dan marjan dari salah satu laut dua ini dipandang keluar dari keduanya. Inilah pendapat az Zujaj dan yang lain.
Damir terkadang juga kembali sesuatu yang ada hubungan erat dengannya, seperti pada ayat “Lam yal bisyuu illa asysyiyatan aw duhaha” (an Naziat: 46) yang dimaksud dengan damir “ha” pada lafaz “duhaha” ialah “duha yau miha” (waktu duha hari itu), bukan ” duha al asyiyah” (waktu duha sore itu), karena waktu sore tidak mempunyai waktu duha.
Selain itu, dalam penggunaan damir mula-mula yang diperhatikan adalah segi lafaz, namun kemudian segi maknalah yang diperhatikan. Ini seperti terlihat pada (al Baqarah : 8). Damir pada “yaqulu” dimufradkan berdasarkan pada lafaz “man” kemudian pada lafaz ” wa ma hum” dijamkkan berdasarkan pada maknanya.
Ta’rif dan Tankir ( Isim Ma’rifah dan Nakirah)
A. Penggunaan isim nakirah
Penggunaan isim nakirah ini mempunyai beberapa fungsi, diantaranya: 1.
untuk menunjukkan satu, seperti pada surah (Yasin :20). “rajulun” maksudnya adalah seorang laki-laki 2.
untuk menunjukkan macam, seperti surah ( al Baqarah: 96), yakni sesuatu macam dari kehidupan, yaitu mencari tambahan untuk masa depan, sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang. 3.
untuk menunjukkan “satu” dan “macam” sekaligus. Misalnya pada surah (an Nur: 45). Maksudnya setiap macam dari dari segala macam binatang itu berasal dari suatu macam air dan setiap individu (satu) binatang itu berasal dari satu nutfah. 4.
untuk membesarkan (memuliakan) keadaan, seperti: (al Baqarah: 279). Maksud “harbin” ialah peperangan yang besar atau dahsyat. 5.
untuk menunjukkan arti banyak, seperti pada ayat “a inna lana la ajran” (asy-Syuara’:42). Maksud ‘ajran’ ialah pahala yang banyak. 6.
untuk membesarkan dan menunjukkan banyak (gabungan no 4 dan 5) misalnya : (Fatir: 4). Maksudnya rasul-rasul yang mulia dan banyak jumlahnya. 7.
untuk meremehkan, misalnya (‘Abasa: 18). Yakni dari sesuatu yang hina, rendah dan teramat remeh. 8.
untuk menyatakan sedikit, seperti dalam surah ( Bara’ah: 72). Maksudnya keridhaan yang sedikit dari Allah itu lebih besar dari pada surga, karena keridahaan itu pangkal dari segala kebahagiaan.
B. Penggunaan isim ma’rifah
Penggunaan isim ma’rifah (ta’rif) mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya. 1.
ta’rif dengan isim damir (kata ganti) karena keadaan menghendaki demikian, baik damir mutakallim, mukhattab maupun gaib 2.
ta’rif dengan ‘alamiah (nama) berfungsi untuk : a)
menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas. b)
Memuliakan seperti pada ayat : “Muhammadun Rasulullah” (al Fath: 29) c)
Menghinakan seperti pada ayat; “tabbat yada abi lahabiwa tab” (al lahab : 1) 3.
ta’rif dengan isim isyarah (kata tunjuk) berfungsi untuk ” a)
menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat, seperti (Luqman: 11) b)
menjelaskan keadaannya dengan menggunakan “kata tunjuk jauh” seperti (al Baqarah: 5) c)
menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat, seperti ; (al Ankabut: 64) d)
memuliakan den gan memakai kata tunjuk jauh, seperti pada ‘Dzalikal kitabula raiba fihi” (al Baqarah: 2) e)
mengingatkan (tanbih) bahwa sesuatu yang ditunjuk (musayar ilaihi) yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah isim isyarah tersebut. Misalnya: (al Baqarah: 2-5) 4.
ta’rif dengan isim mausul (kata ganti penghubung) berfungsi: a)
karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupinya atau disebabkan hal lain, seperti pada firman Allah (al Ahqaf : 17) dan firmanNya : (Yusuf : 23 ) b)
untuk menunjukkan arti umum, seperti firmsn Allah ( al Ankabut : 69) c)
untuk meringkas kalimat, seperti ( al Ahzab : 69) andai kata nama-nama orang yang mengatakan itu disebutkan tentulah pembicaraan (kaimat) itu menjadi panjang. 5.
ta’rif dengan alif lam (al ) berfungsi : a)
untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan ( ma’had zikr) seperti (an Nur : 35) b)
untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui bagi pendengar seerti (al Fath : 8) c)
sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir saat itu seperti (al Maidah : 3) d)
untuk mencakup semua satuannya (istighratul afrad), seperti (al ‘Asr: 2). Ini diketahui karena ada pengecualian sesudahnya e)
untuk menghabiskan segala karakteristik jenis seperti :dzalikal kitab” (al Baqarah :2). Maksudnya kitab yang sempurna petunjuknya dan mencakup semua isi kitab yang diturunkan dengan segala karakteristiknya. f)
Untuk menerangkan esensi, hakikat dan jenis seperti dalam surah (al Anbiya : 30)
Pengulangan Kata Benda (isim)
Apa bila sebuah isim disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan: kedua-duanya ma’rifah, kedua-duanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua ma’rifah, dan yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah.
1) apa bila kedua-duanya ma’rifah maka pada umumnya yang kedua ialah hakikat yang pertama. Misalnya (al Fatihah : 6-7)
2) jika kedua-duanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. Misalnya ( ar Rum :54). “Du’f” pertama adalah nutfah (sperma), “Du’f” kedua tufuliyah (masa bayi). Sedang “Du’f” yang ketiga adalah ‘syaikhukhah (masa lanjut usia)
kedua macam ini telah terkumpul pada surah (al Insyirah: 5-6). Oleh karen aitu dalam sebuah riwayat Ibn Abbas berkata “satu ‘Usr” (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua “Yusr (kemudahan) . hal ini karena kata ‘usr’ yang kedua di ulnagi dengan al (ma’rifah) , maka ia adalag ‘usr’ yang pertama, sedang kata ‘yusr’ yang kedua bukan ‘yusr’ yang pertama karena ia diulangi tanpa ‘al’.
3) jika yang pertama nakirah dan yang kedua adalah ma’rifah maka yang kedua adalah hakikat yang pertama, karena itulah yang sudah diketahui. Misalnya dalam surah (al Muzammil: 15-16)
4) jika yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah, maka apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah. Terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda seperti pada firman Nya: (ar Rum: 55). Terkadang pula ia menunjukkan bahwa keduanya sama, seperti (az Zumar: 27-28)
Mufrad dan Jamak
Sebagian lafaz dalam Qur’an dimufradkan untuk sesuatu makna tertentu dan dijamakkan untuk sesuatu isyarat khusus, lebih diutamakan jamak dari mufrad atau sebaliknya. Oleh karena itu dalam Qur’an sering dijumpai sebagian lafaz yang hanya dalam bentuk jamaknya dan ketika diperlukan bentuk mufradnya maka yang digunakan adalah kata sinonim (muradifnya). Misalnya : kata “al lubb” yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak, albab, seperti terdapat pada surah (az Zumar : 21). Kata ini tidak pernah digunakan dalam Qur’anbentuk mufradnya, namun muradifnya disebutkan, yaitu lafadz “al qalb” seperti (Qaf: 37). Dan kata “al kub” tidak pernah dipakai bentuk mufradnya, tetapi selalu bentuk jamaknya, “al akwab” misalnya (al Gasyiyah:14)
Sebaliknya ada sejumlah lafaz yang hanya datang dalam bentuk mufradnya dusetiap tempatdalam Qur’an. Dan ketika hendak dijamakkan maka ia dijamakkan dalam bentuk yang menarik yang tiada bandingannya, seperti terdapat pada surah (at Talaq: 12). Allah tidak berfirman ” wasab ‘a ardin”, karena yang demikian adalah kasaar dan merusak keteraraturan susunan kalimat.
Termasuk kelompok ini ialah “assama ‘u” ia terkadang disebutkan dalam bentuk jamak dan terkadang dalam bentuk mufrad, sesuai dengan keperluan. Jika yang dimaksudkan adalah “bilangan” maka ia didatangkan dalam bentuk jamak yang menunjukkan betapa sangat besar dan luasnya, seperti dalam surah (al Hasyr : 1). Dan jika yang dimaksudkan adalah “arah” maka ia didatangkan dalam bentuk mufrad, seperti (al mulk: 16)
Lafadz “ar-rih” juga termasuk kategori ini, ia disebutkan dalam bentuk jamak dan mufrad. Pemakaian bentuk jamak dalam konteks rahmat sedang bentuk mufrad dalam bentuk azab. Disebutkan hikmahnya ialah bahwa ” riya hurrahmah” atau angin rahmat itu bermacam-macam sifat dan manfaatnya-dan terkadang sebagiannya berhadapan dengan sebagian yang lain-diantaranya ada angin semilir yang bermanfaat bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu dalam konteks rahmat ini ia dijamakkan, ” riyaahun”. Sedang dalam konteks azab “rih” atau angin itu datang dari satu arah, tanpa ada yang menentang atau menolaknya.
Ibn Abi Hatim dan yang lain meriwayatkan , Abu Ka’ab berkata : ‘Segala sesuatu yang disebut dengan ‘Arriyah” dalam Qur’an ialah rahmat, sedang yang disebut dengan “ar-rih” adalah azab.oleh karena itu tersebutlah dalam sebuah hadis ” Allahumma ij’alha riyahan wa la taj ‘alha rihan”. Jika tidak demikian maka hal itu karena ada hikmah lain.”
Termasuk kelompok ini adalah lafaz “an nur” yang senantiasa di mufradkan dan lafaz “az zumulat” yang senantiasa jamak. Juga lafaz “sabil al haqq” yang selalu di mufradkan dan “sabil al batil” yang selalu jamak. Ini karena jalan (sabil) menuju kebenaran itu hanya satu sedang jalan menuju kebatilan banyak sekali dan bercabang-cabang. Dengan alasan seperti ini lafaz “walliyul mu’minin” dimufradkan dan “auliya’ul kafirin” dijamakkan, seperti terlihat dalam : (al Baqarah 257) dan ( al An’am: 153)
Lafaz ” al masyriq” dan “al maghrib” juga termasuk kelompok ini. Keduanya disebutkan dalam bentuk mufrad, tasniyah dan jamak. Pemakaian bentuk mufrad karena mengingat arahnya dan untuk mengisyaratkan kearah timur dan barat, seperti dalam ayat : “rabbul masyriqaini warabbul maghribaini” (ar Rahman : 17) . sedang bentuk jamak digunakan mengingat keduanya ialah tempat terbit dan tempat terbenam setiap hari, seperti dalam ayat : “fala uqsimu birabbil masyariqi wal magharibi” ( al Ma’arij: 40)
Mengimbangi Jamak dengan Jamak atau dengan Mufrad
Mengimbangi jamak dengan jamak terkadang dimaksudkan bahwa setiap satuan dari jamak yang satu diimbangi dengan satuan jamak yang lain. Misalnya dalam surah ( Nuh: 7). Maksudnya, setiap orang dari mereka menutupi badannya dengan bajunya masing-masing. Dan seperti (al Baqarah: 233). Maksudnya masing-masing ibu menyusui anaknya sendiri.
Terkadang dimaksudkan pula bahwa isi jamak itu ditetapkan atau diberlakukan bagi setiap individu yang terkena hukuman, seperti: (an Nur : 4). Maksudnya ialah deralah setiap orang dari mereka sebanyak bilangan tersebut. Disamping itu terkadang kedua maksud tersebut dapat diterima, namun dalam hal ini perlu ada dalil yang menenyukan salah satunya.
Adapun mengimbangi jamak dengan mufrad maka pada umumnya tidak dimaksudkan untuk menunjukkan keumuman mufrad tersebut, tetapi kadang-kadang hal demiakin dapat saja terjadi. Misalnya (al Baqarah : 1840. maksudnya ialah setiap orang yang tidak sanggup berpuasa wajib memberikan makanan kepada seorang miskin setiap hari.
Kata-kata yang Dikira Mutaradif (sinonim), tetapi Bukan
Diantaranya adalah “al khauf” dan “al khasyyah”. Makna “al khasy yah” berarti lebih tinggi dari “al khauf”, karena al khasyyah terambil dari kata-kata ‘syajarah khasyyah’ artinya pohon yang kering. Jadi arti al khasyyah ialah totalitas rasa takut. Sedangkan “al khauf” terambil dari kata-kata ‘naqah khaufa’ , artinya unta betina yang berpenyakit, yakni mengandung kekurangan, bukan berarti sirna sama sekali. Disamping itu “al khasyah” adalah rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takuut itu seorang kuat. Dengan demikian, ‘al khasyyah’ adalah al kauf atau rasa takut yang disertai rasa hormat (ta’zim); sedang al khauf adalah rasa takut yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendatipun pihak yang ditakuti itu hal yang kecil. Dilihat dari akar katanya , al khasyyah terdiri dari kha’, syin dan ya’ yang didalam tasyrifnya menunjukkan sifat keagungan dan kebesaran, seperti ‘asy syaikh’ berarti pemimpin besar, dan ‘al khaisy’ berarti pakaian yang tebal. Oleh karena itu, kata “al khasyyah” sering digunakan berkenaan dengan hak Allah, seperti dalam surah (Fatir: 28), (al Ahzab: 39). Adapun ‘al khauf’ dalam ayat surah (an Nahl: 50) digunakan untuk mensifati para malaikat sesudah menyebutkan kekuatan dan kehebatan mereka. Maka pemakaian kata alkhauf disini untuk menjelaskan bahwa sekalipun pa ra malaikat itu besar-besar dan kuat tetapi dihadapan Allah mereka lemah. Ungkapan itu kemudian disambung dengan “fauqahum” yang berarti Allah itu diatas mereka. Hal ini menunjukkan akan kebesaranNya. Dengan demikan terkumpullah dua unsur makna yang terkandung oleh “al khasyyah” tanpa merusak arti kehebatan para malaikat yaitu “khauf” dan penghormatan mereka kepada Tuhan.
Diantaranya pula ialah “as sabil” dan “at tariq”. Yang pertama banyak dipakai dalam kebaikan sedang yang kedua hampir tidak pernah dipakai pada kebaikan kecuali bila disertai sifat atau idafah yang menunjukkan makna dimaksud. Misalnya dalam surah (al Ahqaf : 30). Menurut ar Raghib dalam mufradatnya, “as sabil” adalah “at tariq” atau jalan yang didalamnya terdapat kemudahan. Jadi lebih khusus dari “at tariq”.
Demiakian pula “madda” dan “a madda” ar Ragib dalam menjelaskan , kata “imdad”-bentuk masdar dari amadda- banyak dipakai pada hal-hal yang disenangi, seperti pada ayat : ‘wa amdadna humbifakihatin’ (at Tur: 22), sedang ‘madda’ dipergunakan pada sesuatu yang tidak disenangi, misalnya pada ; ‘wanamuddulahu minal ‘adzabi madda’ (Maryam;79).
Pertanyaan dan Jawaban.
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun ia terkadang menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Jawaban seperti ini disebut ‘uslub al hakim’. Sebagai contoh firman Allah ; (al Baqarah: 189). Mereka menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang bulan, mengapa pada mulanya ia tampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian menyusut lagi terus-menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang diberikan kepada mereka berupa penjelasan mengenai hikmahnya, untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih pentingditanyakan ialah hal tersebut, bukan apa yang mereka tanyakan itu. Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, kerana memang hal itu dianggap perlu, misalnya pada surah (al An’am ayat 64) sebagai jawaban bagi pertanyaan surah (al An’am ayat 63). Terkadang pula lebih sempit dari pertanyaan karena keadaan menghendaki demikian, seperti ayat dalam surah ( Yunus ayat ;15) sebagai jawaban bagi “I’ti biqurani ghairi hadza aw baddilhu’. Hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah dari pada menciptakan. Jika mengganti saja tidak mempu tentulah menciptakan lebih tidak mampu lagi.
Kata “su’al” bila dipakai untuk meminta sesuatu pengertian, maka terkadang ber muta’addi kepada maf’ul kedua secara langsung, dan terkadang dengan menggunakan kata bantu ” ‘an” . misalnya ” wayas alunaka ‘anir ruhi” (al Baqarah: 85) . dan bila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau yang serupa ,ia muta’addi kepada maf’ul kedua itu secara langsung atau dengan kata bantu ‘min’ , namun cara pertama lebih banyak berlaku. Misalnya “was alu ma anfaqtum” (al Mumtahanah: 10) dan “wasalullaha min fadlihi” (an Nisa’ : 32).
Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah
Jumlah ismiyah atau kalimay nominal menunjukkan arti subut (tetap) dan istimrar ( terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukkan arti tajaddud (timbulnya sesuatu) dan hudus (temporal). Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa ditempati oleh yang lain. Misalnya tentang infaq yang diungkapkan dengan kalimat verbal. Seperti dalam ayat “alladzina yunfiquna fissarai wadhdharai” (Ali Imran: 134).
Disini tidak digunakan kalimat nominal. Namun dalam masalah keimanan digunakanlah kalimat nominal, seperti dalam surah (al Hujurat: 15). Hal ini karena infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan. Ia mempunyai hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada.
Yang dimaksud tajaddud dalam fi’il madi (kata kerja masa lampau) ialah perbuatan itu timbul tenggelam. Terkadang ada dan terkadang tidak ada. Sedang dalam fi’il mudari’ (kata kerja masa kini atau masa akan datang), perbuatan itu terjadi berulang-ulang. Fi’il atau kata kerja yang tidak dinyatakan secara jelas dalam hal ini sama halnya dengan fi’il yang dinyatakan secara jelas. Karena itu para ulama berpendapat, salam yang disampaikan oleh Ibrahim a.s lebih berbobot (ablag) dari pada yang disampaikan para malaikat kepada Ibrahim, seperti yang tersurat dalam surah ( az Zariyat : 25). Kata ‘salaman’ dinasabkan karena ia masdar yang menggantikan fi’il. Asalnya “tusallimu ‘alaika salaman” . ungkapan ini menunjukkan bahwa pemberian salam dari mereka baru terjadi saat itu. Berbeda dengan jawabannya, “qala salamun ‘alaikum”. Lafaz ‘salamun’ dirafa’kan karena menjadi mubtada’ (subyek) yang khabar (predikat) nya tidak disebutkan. Kalimat itu lengkapn ya ialah “‘alaikum salamun” yang menunjukkan tetapnya salam. Disini nampaknya Ibrahim bermaksud membalas salam mereka dengan cara yang lebih baik dari yang mereka sampaikan kepadanya. Demi melaksanakan etika yang diajarkan Allah swt . Disaping juga merupakan penghormatan Ibrahim kepada mereka.
‘Ataf
‘Ataf terbagi atas tiga macam :
1.’Ataf kepada lafaz, dan inilah yang pokok bagi ‘ataf.
2.’Ataf kepada mahall (kedudukan kata). Misalnya dalam ayat “innalladzina amanu walladzina hadush shabiun” (al Maidah: 69). Menurut al Kisa’I lafaz “as sabi un” di;atafkan kepada mahall inna dan isimnya yang kedudukannya adalah marfu’ karena permulaan kalimat.
3.’Ataf kepada makna. Misalnya dalam ayat “laula akhkhartani ila ajalin qaribin fa ashshaddaqa wa akun” (al Munafiqun: 10). Dalam qiraah selain Abu ‘Amr lafaz “akun” dijazmkan. Menurut al Khalil dan Sibawaih lafaz tersebut di’atafkan kepada sesuatu yang dianggap ada(tawahhum) karena makna “Laula akhkhartani�.fa assaddaqa ” sama dengan “Akhkhirni�assaddaq” (tangguhkanlah aku�tentu aku akan bersedekah). Seakan-akan dikatakan: “In akhkhartani��assaddaq wa akun��.” (jika engkau menangguhkan aku �.tentu aku akan bersedekah dan termasuk�.). demikian pula al Farisi menyatakan sebagai qiraah Qubul : “Innahu manyastaqi wayashbir” (Yusuf: 90), dengan membaca sukun “ra”, sebab “man” mauusl mengandung makna syarat.
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya meng’atafkan khabar(kalimat berita) kepada insya’ (bukan kalimat berita). Sebagian besar mereka tidak membolehkan, sedang golongan lain membolehkannya. Dengan mengambil contoh ayat “wabasysyiril mu’minina” (as Saff: 13) yang di ‘atafkan kepada ‘tu’minun’ yang terdapat dalam surah ( as Saff : ayat 10-11). Golongan yang tidak membolehkan mengatakan lafaz “tu’minun” sama maknanya dengan lafza “a minu” . dengan demikian ia adalah kalimat khabar yang bermakna insya’. Maka sah lah meng’atafkan kalimat insya’, “wabasysyir” kepadanya, seakan-akan dia katakan ; “aminu wajahidu yutsabbitkumullahu wayanshurukum wabasysyir ya rasulullahil mu’minina bidzalika” (beriman dan berjihadlah, pasti Allah akan memantapkan dan menolongmu. Dan berilah kabar gembira, wahai Rasulullah, orang-orang beriman dengan hal itu). Faedah penggunaan kalimat kabarditempat kalimat perintah (amr, insya’) ini untuk memberi pengertian tentang kewajiban mentaati perintah itu, seakan-akan kalimat tersebut berbentuk perintah, yakni “taatilah”. Karena itu ia memberitahukan tentang keimanan dan jihad yang sudah ada.
Para ulama berbeda pendapat tentang meng’atafkan kepada dua ma’mul dari dua ‘amil. Golongan yang membolehkan berdalil dengan firman Allah pada surah (al Jasiyah : 2-5). Lafaz ” wakhtilafillaili wannahar ��.ayatun liqaumin ya’qiluna” di’atafkan kepada dua ma’mul dari dua ‘amil, baik ketika dirafa’kan maupun ketika di nasabkan. Ketika dinasabkan kedua ‘amil itu “inna” dan “fi” yang kedua-duanya digantikan oleh “wawu” ini me-jarr-kan lafaz ” ikhtilafillaili wannahar” dan menesabkan lafaz “ayatin”. Dan ketika dirafa’kan kedua ;amil itu adalah ibtida’ (permulaan kalimat) dan “fi”. Maka “wawu” dalam hal ini merafa’kam lafaz “ayatun” dan menjarkan “ikhtilafin”. Pendapat ini dikemukakan oleh az Zamakhsyari.
Demikian pula mereka berbeda pendapat tentang meng’atafkan kepada damir yang majrur tanpa mengulangi huruf jarr. Golongan yang membolehkan mengajukan argumentasi dengan qiraah hamzah : “wattaqullahal ladzina tasa aluna bihi wal arhami” (an Nisa; 1). Yang menjarrkan lafaz “al arham” karena di’atafkan kepada damir, mereka juga berhujjah dengan firmanNya surah ( al Baqarah: 217) dengan lafaz ” al masjid’ majrur karena di’atafkan kepada damir pada lafaz “bihi”.
Perbedaan antara al – Ita’ dengan al- I’ta’
Terdapat perbedaan antara al- Ita’ ( ( dengan al-I’ta’ () didalam Qur’an. Al Juwaini menjelaskan lafaz “al ita’” labih kuat dari “al I’ta’” dalam menetapkan maf’ulnya. Karena “al I’ta’” mempunyai pola kata mautawa’ah . Dikatakan : “A’tani fa’athautu” ( ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka akupun menerimanya). Sedang tentang “al ita’” tidak dapat dikatakan ” atani fa ataitu” , karena kalimat ini akan berarti ‘ ia memberikan (sesuatu) kepadaku maka akupun memberikannya”. Tetapi hendaklah dikatakan ” a tani fa akhadtu” ( ia memberika [sesuatu] kepadaku maka akupun menerimanya)
Fi’il atau kata kerja yang mempunyai pola mutawa’ah lebih lemah pengaruh maknanya terhadap maf’ul (obyek) dari pada fi’il yang tidak mempunyainya. Dalam hal yang pertama dapat kita katakan ; “fatha’tuhu fan qatha’a” ( aku memotongnya maka ia pun terpotong), disini nampak jelas bahwa perbuatan pelaku, berhasil tidaknya, bergantung pada keadaan obyeknya; terpengaruh atau tidak. Jika tidak terpengaruh maka ia dipandang tidak ada. Oleh karena itu mak sah dikatakan “fatha’ tuhu faman qatha’a” (aku memotongnya tetapi ia tidak terpotong). Sedang dalam fi’il yang tidak mempunyai pola mutawa’ah tidak sah kita menyatakan demiakian. Karena itu tidak boleh dikatakan ” dharabtuhu fan dharaba aw mandharaba” (aku pukul dia maka ia pun terpukulatau tidak terpukul), juga tidak boleh dikatakan ” fataltuhu fanqatala aw manqatala” ( aku membunuhnya maka iapun terbunuh atau tidak terbunuh), sebab fi’il atau perbuatan seperti ini bila telah dilakukan pelaku maka pasti ada pengaruh konkrit terhadap obyeknya, mengingat bahwa perbuatan pelaku dalam hal fi’il yang tak mempunyai pola mutawa’ah ini tidak bergantung pada keadaan obyeknya. Dengan demikian maka “al ita’” lebih kuat (intens) dari pada “al I’ta’”.
Mengenai hal diatas terdapat bukti-bukti konkrit dalam Qur’an, diantaranya :
-Surah (al Baqarah: 269). Penggunaan kata ” al ita’” (yu’ti, yu’ta, utiya ) dalam ayat ini mengingat bahwa bila hikmah telah tetap pada tempatnya, maka ia akan menetap disitu selamanya.
-Surah (al Hijr: 87)
-Surah (al Kausar: 1). Penggunaan kata “al I’ta’” (a’thainaka) dalam ayat ini karena sesudah al kausar masih terdapat banyak tempat lain yang lebih tinggi mengingat bahwa perpindahan didalam surga itu hanya kepada yang lebih besar. Demikian pula pada firman Allah surah ( At Taubah: 29). Penggunaan kata “al I’ta’” (yu’tu) disini karena jizyah itu bergantung pada sikap kita (kaum muslimin), menerima atau tidak, selain mereka (non muslim0 pun tidak membayarkannya dengan hati rela melainkan karena terpaksa. Dalam kaitannya dengan kaum muslimin tentang zakat digunakanlah kata “al ita’” ini mengandung isyaratbahwa seorang mukmin seharusnya membayar zakat itu dengan kesadaran sendiri secara ikhlas tidak seperti pembayaran jizyah.
Lafaz Fa’ala
Lafaz fa’ala digunakan untuk menunjukkan beberapa jenis perbuatan, bukan satu perbuatan saja. Jadi pemakaian lafaz ini digunakan untuk meringkas kalimat. Misalnya ayat : “labi’sama kanu yaf’alun” (al Ma’idah : 79), arti lafaz “fa’ala” (yaf’alun ) dalam ayat ini mencakup segala kemungkaran yang mere ka lakukan. Dan ayat ” fain lam taf’alu walan taf’alu” (al Baqarah: 24). Maksudnya jika kamu tidak mendatangkan sebuah surahpun yang sama dengan Qur’an dan kamu tidak akan dapat mendatangkannya��.apa bila lafaz fa’ala itu digunakan dalam firman Allah maka ia menunjukkan “ancaman keras” misalnya : “alam tara kaifa fa’ala rabbuka biash habil fil” (al Fil; 1) dan : “watabayyana lakum kaifa fa’alna bihim” (Ibrahim: 45).
Lafaz Kana
Seringkali lafaz kana dalam Qur’an digunakan berkenaan dengan dzat Allah dan sifat-sifatNya. Para ahli nahwu dan yang lain berbeda pendapat tentang lafaz tersebut, apakah ia menunjukkan arti inqita’ (terputus) sebagai berikut:
Pertama, “kana” menunjukkan arti “inqita’” sebab ia adalah fi’il atau kata kerja yang memberika arti tajaddud, temporal.
Kedua, “kana” tidak menunjukkan arti inqita’ melainkan arti dawam (kekal, abadi). Ini pendapat yang dipilih Ibn Mu’ti yang mengatakan dalam al fiyahnya : “wakana lil madhil ladzi man qatha’a ( “kana” menunjukkan peristiwa masa lampau yang tidak terputus)
Mengenai firman Allah : ‘wakanasy syaithanu lirabbihi kafuran (al Isra’: 270 ar Ragib menyatakan, lafaz “kana” disni menunjukkan bahwa setan sejak diciptakan senantiasa tetap berada dalam kekafiran.
Ketiga ‘kana” adalah suatu kata yang menunjukkan adanya sesuatu pada masa lampau secara samar-samar, yang didalamnya tidak ada petunjuk mengenai ketiadaan yang mendahuluinya atau keterputusannya yang datang kemudian. Misalnay firman Allah ” wakanallahu gafurar rahiman” (al Ahzab: 50). Pendapat ini dikemukakan oleh az Zamakhsyari ketika menafsirkan firmanNya : ‘kuntum khaira ummatin ukhrijat linnasi” (Ali Imran : 110) dalam al Kasysyaf.
Ibn ‘Atiyah menyebutkan dalam tafsir surah Fatihah, apa bila “kana” digunakan berkenaan dengan sifatsifat Allah, maka ia tidak mengandung unsur waktu.
Diantara pendapat-pendapat tersebut, yang benar adalah pendapat Zamakhsyari. Yaitu bahwa ‘kana’ menunjukkan arti betapa eratnya hubungan makna kalimat yang mengikutinya dengan masa lampau, bukan arti yang lain, dan lafaz ‘kana’ sendiri tidak menunjukkan terputus atau kekalnya makna tersebut. Dan jika menunjukkan makna demikian maka hal itu disebabkan ada ‘dalil’ lain. Dengan makna inilah semua firman Allah yang menggunakan lafaz ‘kana’ dalam Qur’an baik tentang sifat-sifatNya atau lainnya, harus diartikan, misalnya :
(an Nisa’: 148)
- (an Nisa’: 130)
- (al Ahzab: 159)
– ( al Anbiya’ : 81) dan
- (al Anbiya’: 78)
Apa bila firman Allah berbicara tentang sifat-sifat manusia dengan lafaz ‘kana’, maka yang dimaksud adalah menerangkan bahwa sifat-sifat tersebut bagi mereka sudah merupakan garizah (naluri) dan tabiat yang tertanam dalam jiwa. Misalnya firman Allah (al Isra’: 11) dan firman Nya (al Ahzab: 72)
Abu Bakar ar Razi telah mengkaji dengan seksama penggunaan ‘kana’ dalam qur’an yang menyimpulkan makna-makna yang terkandung dalam penggunaannya itu. Ia menjelaskan didalam Qur’an terdapat lima macam ‘kana’ 1.
Dengan makna azali dan abadi, misalnya firman Allah “wakanallahu ‘aliman hakiman” (an Nisa’; 170) 2.
dengan makna terputus (terhenti) misalnya firman Allah (an Naml: 48). Inilah makna yang asli diantara makna-makna ‘kana’ , hal itu sebagaimana perkataan “kana zaidun shalihan aw faqiran aw maridhan aw nahwahu” ( adalah si Zaid itu seorang saleh, seorang fakir, seorang yang sakit, atau lainnya). 3.
dengan makna masa sekarang, seperti dalam ayat : “kuntum khaira ummatin” (Ali Imran: 110) dan “innash shalata kanat ‘alal mu’minina kitaban mauqutan” (an Nisa’: 103) 4.
dengan makna masa akan datang, seperti dalam ayat “wayakhafuna yauman kana syarruhu mustathiran” (ad Dhar: 7) 5.
dengan makna sara (menjadi), seperti dalam ayat “wakana minal kafirin” (al Baqarah: 34).
‘kana ‘ jika terdapat dalam kalimat negatif, maka maksudnya adalah untuk membantah atau menafikkan kebenaran berita, bukan menafikkan terjadinya berita itu sendiri. Oleh karenanya ia ditafsirkan dengan “ma sahha wamas taqam” ( tidak sah dan tidak benar), seperti dalam :
-surah (al Anfal : 67)
-surah (at Taubah : 17)
-surah (an Nur : 16)
Lafaz Kada
Para ulama mempunyai beberapa pendapat tentang lafaz ‘kada’ : 1.
‘Kada’ sama dengan fi’il lainnya baik dalam hal nafi’ (negatif, meniadakan) maupun dalam hal isbat (positif , menetapkan). Positifnya ialah positif dan negatifnya ialah negatif, sebab maknanya ialah muqarabah (hampir, nyaris). Jadi makna kalimat ‘kada yaf’alu’ adalah qarabal fi’la ( ia menghampiri pekerjaan itu, hampir mengerjakan) dan makna kalimat ” ma kada yaf ‘alu” adalah “lam yuqa ribhu” ( ia tidak menghampiri pekerjaan itu, hampir tidak mengerjakannya). Predikat (khabar) “kada” selalu negatif, tetapi dalam kalimat positif kenegatifannya itu dipahami dari makna “kada” itu sendiri. Sebab berita tentang “hampirnya sesuatu” menurut kebiasannya, berarti sesuatu tersebut tidak terjadi. Jika tidak demiakian tentu tidak akan diberitakan “kehampirannya”. Apa bila “kada” itu dinegatifkan maka ketidak hampiran berbuat menghendaki, secara akal, bahwa perbuatan itu tidak terjadi. Hal sebagaimana ditunjukkan oleh ayat “ldza akhraja yadahu lam yakad yaraha” (An Nur: 40). Karena itu ayat ini lebih intens dari kalimat “lam yaraha” (ia tidak melihatny), sebab orang yang tidak melihat mungkin ia telah hampir melihatnya. 2.
“Kada” berbeda dengan fi’il-fi’il lainnya baik dalam hal positif maupun negatif. Positifnya adalah negatif, dan negatifnya adalah positif. Atas dasar ini mereka berkata “kada” jika dipositifkan maka sebenarnya menunjukkan negatif, dan jika dinegatifkan maka sebenarnya menunjukkan positif. Jika dikatakan ” kada yaf’alu” maka artinya ‘ia tidak melakukan’ berdasarkan firman Allah “wa inkadu layaftinunaka” (dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamual Isra : 73, sebab pada kenyataannya mereka tidak memalingkan Muhammad. Dan jika dikatakan “lam yakad yaf’al” maka artinya “ia melakukan”, berdasarkan ayat : ‘fadza bakhuha wama kadu yaf’alun’ (kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melakukannya. Al Baqarah : 71 3.
“Kada” yang dinegatifkan kadang menunjukkan terjadinya sesuatu dengan susah payah dan sulit, seperti dalam surah al Baqarah : 71 diatas.
dibedakan antara yang berbentuk mudari’, “yakadu” dengan yang berbentuk madi, “kada” menegatifkan bentuk mudari’ menunjukkan arti negatif, nemun menegatifkan yang berbentuk madi menunjukkan arti positif. Yang pertama dapat dilihat dalam ayat “lam yakad yaraha” mengingat ia tidak melihatnya sedikitpun. Sedang yang kedua didasarkan pada ayat : fadzabakhuha wama kadu yaf’alun” . hal ini karena mereka melakukan penyembelihan tersebut
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...
Dostları ilə paylaş: |