Rahma Lillahi S.
ISLAM DAN LOGIKA KEKERASAN
Setiap individu memiliki keyakinan akan sesuatu dan hal itu akan selalu dianggap benar. Dia akan berusaha membuktikan kalau memang hal yang diyakininya tersebut adalah sesuatu yang benar atau kebenaran baginya. Terlepas dari fanatisme, bahkan beberapa orang berusaha menanamkan kebenaran itu kepada orang lain agar mereka memiliki pemikiran yang sama, baik melalui kampanye, propaganda, bahkan doktrin, karena biasanya orang-orang seperti ini menganggap keyakinannyalah yang paling benar. Sesuatu yang dianggap benar atau bahkan paling benar ini salah satunya adalah agama karena agama mungkin menjadi salah satu hal yang paling fundamental dalam kehidupan manusia. Jika sudah berbicara tentang agama, terkadang logika pun tidak sampai kesana. Apapun kandungan ajarannya dan doktrin di dalamnya seringkali ditelan mentah-mentah, meski itu tidak bisa dikatakan berlaku secara general.
Begitu pula dalam Islam. Islam adalah agama yang halus dan selalu menekankan pada tindakan-tindakan yang bersahaja, tetapi sebagai umat, kadangkala kita tidak menyadari ada bentuk-bentuk tindak kekerasan di dalamnya. Bahkan dalam hal ini kekerasan yang dilakukan adalah kekerasan langsung. Seperti di dalam Al Quran Surat An Nisa’ ayat 34 “…Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya (meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyuz dari pihak istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka…” dan hadis perintah tentang shalat bagi anak yang mulai menginjak baligh.
Keduanya memang melegitimasi adanya kekerasan bahkan secara langsung. Tetapi jika kita mengkaji secara mendalam tidak ada ketentuan yang tidak logis di dalam Al Quran. Seperti dalam Surat An Nisa’, istri yang dipukul adalah istri yang melakukan perbuatan tercela terhadap suaminya. Sebelumnya, suami sudah memberikan nasehat dan peringatan, tetapi jika istri tetap keras kepala maka suami berhak memukulnya. Kemudian di dalam salah satu hadis tentang shalat juga dijelaskan bahwa ketika usia seorang anak menginjak 7 tahun, dia harus mulai dianjurkan melaksanakan shalat. Tetapi ketika berusia 10 tahun tetapi dia menolak maka dia wajib dipukul. Anak yang dipukul tersebut jika memang dia tidak mau melaksanakan kewajiban shalat, padahal usianya dikatakan sebagai baligh, yang memang sudah wajib shalat.
Bagaimanapun, diperbolehkannya kekerasan dalam Islam tentu tidak menyalahi logika kita. Allah sudah merancang Islam sedemikian rupa sebagai agama yang paling benar dan paling logis. Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Al Quran dan hadis sebagai pedoman umat Islam adalah benar.
Dian Damaita Tanduk
Religion: a Term of Violence
Kill a man, and you are an assassin. Kill millions of men, and you are a conqueror. Kill everyone, and you are a god. - Jean Rostand
Pada tulisan kali ini, saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan agama ataupun bersikap anti terhadapnya. Saya hanya ingin mengajak pembaca untuk melihat institusi agama dari sudut pandang kekerasan. Sehingga kita mampu mempertanyakan kembali fungsi dari keberadaan agama serta mampu berpikir dan bersikap kritis terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama.
Dalam teori kekerasan, terdapat tiga macam kekerasan: langsung, struktural dan kultural. Kekerasan kultural di sini diartikan sebagai segala macam aspek dalam budaya yang bisa digunakan untuk melegitimasi kekerasan dalam bentuk langsung maupun struktural. Salah satu bentuk kekerasan kultural adalah agama.
Menurut saya, penggunaan kata agama atau keyakinan (belief) untuk menyebut sebuah konsep yang pantheis, merupakan langkah yang tidak tepat. Pengunaan kata tersebut memancing timbulnya bentuk-bentuk kekerasan yang beragam, baik itu indoktrinasi, diskriminasi, hingga vandalisme. Saya pribadi lebih memilih menggunakan kata ide/gagasan. Demi agama/belief, kita rela mati, membunuh, berkorban, bahkan seumur hidup rela diperintah, dihukum, disiksa, oleh aturan-aturan di dalam agama maupun oleh si pemimpin agama. Sedangkan ketika yang kita miliki adalah ide, kita bisa mengubahnya setiap kali kita menginginkannya (Kevin Smith - Dogma). Toh itu hanya sebuah ide tentang ketuhanan. Kita bisa memperdebatkannya, mengkritiknya setiap saat tanpa harus takut dihukum oleh aturan-aturan seperti dalam institusi agama.
Pada institusi agama formal-monotheis tidak kita jumpai persamaan status, hak, dan kewajiban antara perempuan dan pria. Selantang apapun tiap-tiap agama itu menyerukan tentang persamaan derajat perempuan dan pria di dalam ajarannya, tetapi struktur dan sistem yang ada di dalam institusi tersebut tidak memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menduduki kursi kepemimpinan. Dalam struktur agama Nasrani pemimpin misa (pastor atau pendeta) adalah pria, sedangkan perempuan mendapat 'jatah' sebagai biarawati yang perannya hanya merupakan penunjang peran jabatan pria (second-class). Belum lagi kitab suci agama Nasrani, perempuan digambarkan sebagai pihak yang lemah, mudah terbujuk oleh iblis, dan pada akhirnya menjadi kaki tangan iblis (dilambangkan dengan ular), sehingga perempuan bersedia meracuni pikiran pria, sosok makhluk yang lebih superior (Kejadian 3:1-6). Di dalam Alkitab juga disebutkan bahwa Israel adalah bangsa yang diberkati, yang dijanjikan oleh Tuhan (Kejadian 35:10-12). Maka jangan heran apabila timbul rasisme, karena agama yang sifatnya--atau dianggap--suci mengajarkan bahwa satu bangsa lebih unggul daripada bangsa yang lain. Diskriminasi semacam ini merupakan salah satu bentuk--ataupun sekedar pemicu terjadinya--kekerasan. Pemangkasan hak--siapapun itu--merupakan bentuk kekerasan. Dan perlu digarisbawahi bahwa kekerasan tersebut didukung oleh agama.
Menghadapi nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran, kita harus bisa bersikap kritis. Jika kita merasa bahwa ada di antara ajaran agama yang dirasa menghambat upaya aktualisasi diri, atau menghambat pencapaian peace of mind, maka kita harus mempertanyakan kembali nilai-nilai ajaran tersebut. Mencari tahu, memahami, dan memperbaiki dan bukannya diam saja karena ajaran agama memang harus dipatuhi begitu saja, dan mempertanyakannya ulang atau berusaha mengabaikannya merupakan dosa--sebuah konsep konyol yang belum saya temukan bukti-bukti eksistensinya.
Saya mempunyai gagasan tentang konsep ketuhanan yang sifatnya personal, meskipun saya sendiri tidak mempercayai institusi semacam agama. Bagi saya pribadi, agama hanyalah instrumen politik yang diciptakan oleh kelompok penguasa, dalam rangka mempertahankan rezimnya. Pemimpin agama merupakan kaki tangan pemerintah yang telah disetir untuk mengajarkan pada rakyat apa-apa yang baik dan buruk untuk negara. Agama juga mengajarkan umatnya bahwa kesusahan hidup merupakan cobaan dari Yang Di Atas, sehingga menghentikan kemampuan orang untuk mempertanyakan apakah sistem negara yang berlaku menunjang kesejahteraan hidup mereka. Jadi bukannya melakukan suatu tindakan yang bisa meningkatkan kualitas hidup mereka, orang justru hanya akan duduk dan berdoa memohon agar semua kesusahannya diakhiri dan diberi ketabahan oleh Yang Mahakuasa. Jujur, bagi saya ini terdengar bodoh dan konyol, walaupun banyak orang melakukannya. Nah, jika saya bisa me-redefine fungsi agama bagi diri saya, saya percaya teman-teman juga bisa melakukan hal yang sama. Kita perlu berpikir ulang apakah kita memang sungguh beragama, or simply having an idea.
Sukmawani Bela Pertiwi
Kekerasan Berbasis Budaya
Kekerasan berbasis budaya dapat diartikan dua macam, yaitu kekerasan terhadap identitas budaya lain seperti rasisme dan kekerasan yang muncul dalam praktik intern budaya itu sendiri.
Kekerasan terhadap identitas budaya lain biasanya muncul dalam suatu entitas wilayah (negara) yang multikultur, terlebih jika muncul dominasi satu budaya terhadap budaya lain. Kekerasan yang muncul dalam praktik intern suatu budaya merupakan jenis kekerasan yang paling sulit diidentifikasi, terlebih untuk ditangani. Hal ini disebabkan karena kekerasan tersebut telah menjadi bagian legal atau bagian yang dapat diterima masyarakat dalam kurun waktu yang lama bahkan turun menurun sehingga dianggap sebagai sesuatu yang benar. Menentang kekerasan jenis ini akan dianggap sebagai penentangan terhadap nilai budaya yang dianut atau bahkan genosida budaya sehingga tak heran perubahan akan sulit dilakukan. Bahkan kadang masyarakat lebih menjunjung tinggi nilai budayanya yang bertentangan dengan hukum nasional. Sebagai contoh, dalam budaya patriaki, dominasi pria sangat menonjol terhadap perempuan sehingga sering terjadi kekerasan terhadap perempuan yang telah dianggap hal yang wajar.
Dalam menangani kasus ini, suatu negara yang multietnis perlu menegaskan hukum nasional sebagai satu-satunya hukum yang berlaku dalam semua aspek kehidupan warganya. Jadi sekalipun suatu kekerasan merupakan bagian dari suatu budaya jika hal itu bertentangan dengan hukum nasional, harus dihukum. Pemerintah harus berupaya agar masyarakat meletakkan loyalitasnya lebih pada negara daripada budaya daerahnya. Jangan sampai kekerasan dalam suatu budaya membuatnya menjadi budaya kekerasan.
Tradisi Warokan Dalam Masyarakat Ponorogo
Dalam masyarakat ponorogo, seperti halnya etnis lain yang akrab dengan kisah-kisah heroik, dikenal ksatria yang biasa disebut warokan. Warokan dalam tatanan sosial masyarakat Ponorogo tidak hanya dianggap sebagai pelindung tapi juga sebagai sosok pemimpin yang layak diteladani. Tidak heran bahkan hingga kini, sebagian dari keturunan mereka telah menduduki jabatan publik dalam pemerintahan lokal hingga menjadi anggota legislatif.
Bila ditelisik lebih dalam lagi, tradisi warokan ternyata menyimpan tradisi dan ritus yang tidak lazim. Setiap warokan umumnya dibekali dengan kesaktian seperti kekebalan tubuh dan karisma pribadi namun sumber kesaktian itu diperoleh melalui tindakan asusila sejenis. Para warokan biasanya memiliki peliharaan yang disebut gemblak. Gemblak adalah bocah laki-laki di bawah umur yang dijadikan sebagai tumbal. Prakteknya gemblak tersebut digauli untuk menambah kesaktian dan keabadian. Semakin banyak gemblak yang dipelihara, semakin kuat sosok warokan tersebut.
Sebagai bagian dari kebudayaan, tidak ada masyarakat yang menolak kekerasan ini bahkan banyak bocah lelaki yang bangga bila dijadikan gemblak. Praktek warokan dalam masyarakat Ponorogo telah begitu membudaya hingga mulai berakhir ketika pesantren-pesantren mulai marak dan modernisasi mulai menyentuh seantero Ponorogo. Kendatipun demikian, makam para warok sampaai saat ini tetap dimuliakan layaknya makam seorang raja.
Tradisi warokan tersebut menunjukkan kekerasan kultural yang merupakan kekerasan yang paling sulit diidentifikasi, terlebih untuk ditangani. Hal ini disebabkan karena kekerasan tersebut telah menjadi bagian legal atau bagian yang dapat diterima masyarakat dalam kurun waktu yang lama bahkan turun menurun sehingga dianggap sebagai sesuatu yang benar. Menentang kekerasan jenis ini akan dianggap sebagai penentangan terhadap nilai budaya yang dianut atau bahkan genosida budaya sehingga tak heran perubahan akan sulit dilakukan. Bahkan kadang masyarakat lebih menjunjung tinggi nilai budayanya yang bertentangan dengan hukum nasional.
Dalam menangani kasus ini, suatu negara yang multietnis perlu menegaskan hukum nasional sebagai satu-satunya hukum yang berlaku dalam semua aspek kehidupan warganya. Jadi sekalipun suatu kekerasan merupakan bagian dari suatu budaya jika hal itu bertentangan dengan hukum nasional, harus dihukum. Pemerintah harus berupaya agar masyarakat meletakkan loyalitasnya lebih pada negara daripada budaya daerahnya. Jangan sampai kekerasan dalam suatu budaya membuatnya menjadi budaya kekerasan.
Novitasari Dewi S.
Poligami : Sebuah Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan
Poligami berarti memiliki istri lebih dari 1 perempuan. Dalam ajaran Islam, poligami merupakan sebuah hal yang disunahkan. Meski disunahkan, namun pelaksanaan poligami harus mendapatkan persetujuan dari istri pertama. Jika tidak mendapatkan “lampu hijau” dari istri pertama, maka poligami itu dikatakan tidak sah.
Meski dinyatakan sebagai hal yang disunahkan dalam ajaran Islam, saya pribadi melihat poligami merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan paling mendasar yang dialami oleh perempuan yang dipoligami adalah kekerasan psikologis. Meski sudah menyatakan memberi ijin pada suami untuk berpoligami, namun pada dasarnya tidak ada perempuan yang mau dimadu. Tekanan batin pasti dialami oleh perempuan yang suaminya menikah lagi. Perasaan “bersalah” pasti muncul karena sang istri merasa tidak mampu “melayani” suami dengan baik hingga suaminya menikah lagi.
Selain merupakan bentuk kekerasan, poligami juga dapat menjadi sumber munculnya kekerasan. Salah satu kekerasan yang muncul dari poligami adalah ketika suami tidak dapat berlaku adil pada istri-istrinya. Bentuk kekerasan lain yang mungkin muncul adalah kekerasan fisik.
Meski secara ajaran Islam merupakan suatu hal yang disunahkan, namun bagaimana pun, saya menganggap poligami merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan. Kekerasan yang dialami pun cukup kompleks, mulai dari kekerasan psikologis (kekerasan yang paling mendasar) hingga (mungkin) kekerasan fisik.
Pradita Tria Wirawan
Mencari Arti Sebuah Tangisan
Menangis bagi sebagian orang sering diidentifikasikan sebagai sebuah cerminan dari kelembutan hati dan wujud dari sisi kelemahan seseorang dalam menghadapi sesuatu hal yang berat. Bagi sebagian orang yang lain, menangis adalah perwujudan ekspresi perasaan secara fisik, baik disaat sedih, susah, senang, bahagia, dan gembira. Namun apakah itu berarti menangis hanyalah milik kaum hawa semata, terlebih menangis didepan umum? Apakah pencitraan seorang kaum adam sebagai sosok yang tegar dan kuat menjadi alasan yang dapat menghalangi laki-laki menangis didepan umum?
Permasalahan mengenai pandangan pantas atau tidaknya kaum adam menangis sebenarnya bukanlah sebuah permasalahan yang patut dibesar-besarkan, karena secara lahiriah semua manusia baik itu laki-laki maupun perempuan memiliki perasaan yang dapat disentuh. Menangis hanyalah salah satu elemen dari perwujudan ekspresi perasaan seseorang. Namun menjadi sebuah masalah ketika timbul perasaan tidak nyaman dan tertekan ketika seorang laki-laki harus mengungkapkan perasaannya dengan menangis didepan umum karena takut akan cap yang melekat dimata teman-teman atau lingkungannya sebagai cowok lemah, cengeng, atau bahkan banci.
Pencitraan masyarakat luas bahwa laki-laki adalah sebagai sosok setegar karang dan sekuat baja sebenarnya secara tidak langsung telah melestarikan sebuah proses terbentuknya kekerasan kultural. Saya menyebut hal tersebut dengan kekerasan kultural dengan catatan jika pencitraan tersebut sama sekali menafikkan bahwa laki-laki adalah manusia biasa yang memiliki emosi. Dengan melihat bahwa laki-laki adalah manusia yang juga memiliki emosi maka menangis dapat dianggap sesuatu yang wajar dimata umum.
Proses penumbuhan karakter dan pencitraan seorang laki-laki yang dimulai dari kecil dapat menjadi awal dari kekerasan kultural tersebut terjadi. Contohnya seorang anak laki-laki kecil yang terjatuh dan menangis keras, kemudian orangtuanya menyuruh diam anaknya dengan alasan karena dia laki-laki dan laki-laki itu tidak boleh menangis karena harus kuat. Nilai-nilai semacam itu yang ditanamkan sejak kecil hingga dewasa sehingga menyebabkan seorang laki-laki dewasa merasa tidak nyaman jika harus menangis didepan umum walaupun alasan menangis tersebut sangatlah rasional dan dapat diterima oleh umum, seperti saat momen haru atau kesedihan akibat duka mendalam. Stigma yang telah terpatri didalam masyarakat tersebut pada akhirnya membentuk suatu generalisasi bahwa laki-laki adalah manusia yang anti untuk menangis demi menyelamatkan citranya didepan umum, yakni sebagai pribadi yang tangguh, dewasa, jantan, dan macho (Walaupun saya sebenarnya sangsi terhadap arti istilah-istilah diatas karena sangat bias makna).
Akhirnya, disini dapat saya simpulkan bahwa sebuah tangisan juga tidak hanya berarti lelehan air mata, namun jauh didalam itu terdapat beribu makna yang dapat dijelaskan melalui sebuah tangisan. Selain itu, cara pandang yang mengkaitkan antara menangis dan kekerasan kultural itu sangat tergantung dengan pribadi masing-masing individu. Tidak semua laki-laki merasa malu untuk mengekspresikan dirinya dengan menangis dan tidak semua komunitas masyarakat memandang tangisan laki-laki adalah hal yang aneh. Jadi saya menyebut tangisan laki-laki sebagai kekerasan kultural jika hanya laki-laki tersebut merasa terkekang dengan stempel umum yang melekat pada tubuhnya sehingga membatasi dirinya untuk dapat mengeksperikan dirinya didepan umum selama tidak mengganggu hak orang lain.
Rizka Pramadita
Ada dua contoh bentuk kegiatan atau pemahaman yang sering saya temui di lingkungan sekitar saya yang menurut saya turut melestarikan kekerasan, baik secara fisik maupun non fisik.
Yang pertama adalah kebiasaan menyelenggarakan resepsi atau hajatan dengan menggunakan jalan umum, lalu sang empunya hajatan menutup jalan dengan alasan ”ada kegiatan warga”. Menurut saya, itu sangat mengganggu kepentingan umum, dan seharusnya juga melanggar hukum. Jalan, meskipun bukan jalan raya, merupakan akses publik yang sangat vital. Bila ditutup, tak jarang saya terlambat masuk sekolah (dulu saat SMA) atau harus memutar jalan ke rute yang tidak saya kenali atau jauh lebih tidak nyaman. Alangkah baiknya apabila kegiatan yang bersifat pribadi itu diadakan di gedung khusus untuk mengadakan resepsi atau di pelataran rumah, di mana saja yang penting tidak menghalangi akses publik. Yang lebih mengherankan adalah, kegiatan itu sudah berlangsung puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun lamanya, dan masyarakat sekitar yang mengenal penyelenggara hajatan setuju-setuju saja dan semakin melanggengkan tradisi aneh ini.
Yang kedua adalah budaya (di sekitar lingkungan saya) pemahaman bahwa masalah keluarga adalah aib, sehingga tidak pantas untuk diceritakan kepada orang lain sekalipun orang itu adalah dokter, psikolog, atau konsultan yang kemungkinan dapat membantu memecahkan konflik yang ada. Sebagai contoh, banyak kekerasan domestik yang terjadi karena rasa tertekan, merasa bahwa perceraian bukanlah suatu opsi tetapi konsultasi kepada konsultan perkawinan juga dianggap membocorkan rahasia keluarga. Akibatnya terjadi KDRT. Contoh lain adalah pada saat saya kecil, saya masih menyaksikan pemasungan anggota keluarga tetangga saya yang mengalami gangguan mental. Tetangga saya tersebut merasa malu membawa anaknya berobat dan lebih memilih mengurungnya dengan jalan membelenggu tangan dan kakinya dengan gelondongan kayu dan rantai di kamar.
Angga Kusumo
POLIGAMI ???
Terminologi poligami1 sudah lama dikenal dan digunakan dalam setiap agama. Poligami berarti pernikahan lebih dari satu orang suami atau istri. Dalam hal ini, saya akan mencoba membahas permasalahan poligini khususnya, melalui sudut pandang saya sebagai seorang Muslim.
Dalam Islam, praktek berpoligini sesungguhnya dibolehkan, dengan beberapa catatan. Pernyataan “berpoligini itu sunah” mungkin didasari atas apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada zaman dahulu. Namun perlu diingat bahwa praktek poligini yang dilakukan Rasulullah saat itu dilakukan pada keadaan darurat. Firman Allah SWT menjelaskan :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (QS. 4:3)
Ayat di atas sesungguhnya menjelaskan bahwa poligami juga diatur. Artinya ketika kita yakin bahwa kita bisa berlaku adil, baik dalam masalah cinta, harta, pangan, sandang, dan sebagainya, poligami dibolehkan. Tetapi, ada juga ayat yang menjelaskan bahwa sangat sulit bagi seorang pria untuk berlaku adil. Terlebih lagi pada masa sekarang ini. Sehingga adanya perbedaan ini menjadikan praktek poligami menjadi multitafsir.
Faktanya, kebanyakan orang yang berpoligami justru tidak bisa berlaku adil. Seperti halnya zaman kerajaan dahulu, semakin banyaknya selir wanita berarti menunjukkan keperkasaan seorang pria. Hal ini sudah tak lagi relevan bagi kita dewasa ini. Yang ada justru menimbulkan adanya kekerasan yang bersifat langsung dan jadi membudaya. Efek secara langsung berupa dampak psikologis, tidak adilnya pembagian harta, dan perpecahan yang akan timbul kemudian. Menjadi membudaya karena pembenaran yang mereka gunakan mengatasnamakan agama dan dianggap sah-sah saja. Sehingga alasan agama jangan sepenuhnya menjadi latar belakang disahkannya poligami. Hal ini sudah seharusnya ditinjau kembali mengingat situasi pada zaman Rasullulah dan situasi pada saat sekarang sudah sangat berbeda.
Bagaimanapun juga, meskipun disahkan adanya poligami, tapi kita sebagai manusia juga harus bertanya kembali pada diri kita sendiri. Saya yakin bahwa sesungguhnya tidak ada istri yang rela dimadu begitu saja. Dari lubuk hati yang terdalam, tentunya dia akan merasa tersiksa batinnya jika hal tersebut terjadi pada dirinya. Jika kita memiliki perasaan, apakah itu yang kita inginkan? Nafsu biologis mengalahkan perasaan batin seorang wanita. Cinta bisa berubah menjadi benci meskipun tidak terlihat secara eksplisit. Apakah agama mengajarkam hal itu? Saya pikir tidak.
Bagi saya, poligami bukanlah suatu jalan penyelesaian dalam permasalahan rumah tangga. Prinsipnya bukanlah harus berpoligami atau tidak, tapi bagaimana kita bisa berlaku adil dan jangan sampai menyakiti perasaan istri. Jika terjadi, hal ini bisa memiliki tendensi ke arah kekerasan. Lebih baik bermonogami dan hidup bahagia….
Davina Azalia Khan
- Terdapat beberapa ajaran Islam yang bis dikategorikan sebagai justifikasi terhadap kekerasan. Namun, semua itu bergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Antara lain:
-
Qishaash. Tertuang pada QS: Al-Baqarah ayat 178-179. Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama (berkaitan dengan hukuman terhadap mereka yang melakukan pembunuhan). Mereka yang membunuh akan dikenakan hukuman tertentu. Pada perkembangan ilmu fiqih, qishaash terbagi beberapa hukuman. Salah satunya ialah hukum potong tangan bagi para pencuri dan hokum balas dibunuh bagi para pembunuh. Hukum ini sering disalahartikan orang sehingga main hakim sendiri, padahal hukum itu harus berdasarkan hakim dan ada beberapa aturan lain yang mengatur jika keluarga korban memaafkan.
-
Perang dan membunuh. Islam menghalalkan perang di jalan Allah. Maksudnya perang demi membela agama dan bangsa. Banyak ayat dan hadist berkaitan dengan ini. Salah satunya dalam QS: Al-Baqarah ayat 189-195. Mukmin boleh berperang dan membunuh musuh dengan catatan mukmin berada pada posisi diserang/diperangi lebih dulu. Namun, “posisi” ini sering disalahartikan orang sehingga dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan berlandaskan agama (tanpa dasar).
-
Ayat-ayat yang menjelaskan mengenai orang fasiq, musyrik, munafiq, dan kafir bahwa mereka merupakan orang-orang yang salah. Sebagian besar mereka yang melakukan kekerasan berlandaskan agama, mengklaim bahwa mereka yang salah harus dimusuhi/bersikap tidak baik. Padahal Nabi Muhammad sendiri mengajarkan bagaimana seharusnya bersikap terhadap sesame manusia baik itu yang seagama maupun tidak.
dan lain-lain
-
Budaya masyarakat di Indonesia:
-
Beberapa suku di Irian Jaya mengharuskan seorang wanita (ibu) untuk memotong jemarinya setiap kali ada anggota keluarganya (keluarga inti) yang meninggal. Meski itu merupakan suatu budaya, hal itu tetap saja suatu kekerasan.
dan lain-lain
Dostları ilə paylaş: |