Sekolah tinggi ilmu tarbiyah muslim asia afrika



Yüklə 48,68 Kb.
tarix22.08.2018
ölçüsü48,68 Kb.
#74271

. SEBAB- SEBAB MUNCULNYA IKHTILAF

Makalah ini diserahkan sebagai tugas mata kuliah “ perbandingan mazhab”

d:\logo stitmaa.jpg

Pembimbing:

Teguh Prawiro MA

Penyusun:

M.aden muchtar

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MUSLIM ASIA AFRIKA

JAKARTA

2014


BAB I

PENDAHULUAN


A.LATAR BELAKANG
Perbedaan "Khilaf" dan "Ikhtilaf" Islam menghendaki ikhtilaf namun tidak menghendaki khilaf. Karena ikhtilaf terpuji, lain halnya dengan khilaf. Khilaf artinya: berlawanan atau bertentangan. Ia menghendaki perselisihan yang membawa kepada pertikaian dan permusuhan. Sedangkan ikhtilaf artinya: tidak sepakat, tidak sama, atau keragaman. Khilaf harus dihindari,sedangkan ikhtilaf kelaziman yang tidak mungkin dihindari. Allah berfirman

      

Artinya: "Dan wanita-wanita yang diceraikan hendaknya berdiam diri selama 3 masa Quru (Al Baqarah: 228). Umar bin Khattab, Ibnu Mas'ud dan Abu Musa Al Asy'ari berpendapat Quru' adalah masa haidh, sedangkan Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit berpendapat Quru' adalah masa suci.

Bahkan sebelum ayat tersebut diturunkan, kata Quru' telah dikenal oleh bangsa Arab bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan masa kotor. Bukankah Allah Swt Maha Tahu perbedaan ini telah terjadi? Namun Allah Swt tidak mengatakan dengan Sharih apa yang dimaksudkan dengan kata-kata Quru'. Ini menunjukkan bahwa Allah Swt dengan hikmah-Nya memang menghendaki adanya perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid dalam masalah ini B. RUMUSAN MASALAH

a. Pengertian ikhtilaf?

b. Sebab-sebab terjadinya ikhtilaf?

c. Pemahaman al-qur’an dan sunnah?

d. Perbedaan dalam penerimaan hadis?

e. Sejarah singkat munculnya mazhab dalam islam?
C. TUJUAN MASALAH

a. Mengetahui Pengertian ikhtilaf

b. Mengetahui Sebab-sebab terjadinya ikhtilaf

c. Mengetahui Pemahaman al-qur’an dan sunnah

d. Mengetahui Perbedaan dalam penerimaan hadis

e. Mengetahui Sejarah singkat munculnya mazhab dalam islam


BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Ikhtilaf

1. Definisi Ikhtilaf Secara Bahasa /Etimologi

Ditinjau dari segi asal-asul kata (etimologi), ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah: khalafa, yakhlifu, khilafan. Artinya adalah berbeda pendapat. Mengenai definis ikhtilaf secara bahasa, beberapa firman Allah menjelaskan mengenai hal itu di antaranya:

           

Artinya:

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Q.S. Huud : 118)

    

Artinya:


“Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda pendapat.”(Q.S.Adz-zariyat :8).
2.Definisi Ikhtilaf Menurut Istilah

Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua orang atau beberapa orang terhadap suatu obyek (masalah) tertentu. Jadi, yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian hukum terhadap satu obyek hukum. Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam madzhab fiqh adalah perbedaan pendapat di antara para fuqaha dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyyah (cabang), bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum Islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan suatu problematika hukum.


B.SEBAB-SEBAB TERJADINYA IKHTILAF

Dalam perkembangan sejarah hukum islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum beberapa masalah hukum telah terjadi di kalangan sahabat Nabi Saw ketika beliau masih hidup. Tetapi perbedaan pendapat itu segera dapat dipertemukan dengan mengembalikannya kepada Rosulullah Saw. Setelah beliau wafat, maka sering timbul di kalangan sahabat perbadaan pendapat dalam menetapkan hukum terhadap masalah tertentu, misalnya Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada saudara si mayat., jika mereka mewarisi bersama-sama dengan kakek si mayat, karena kakek dia jadikan seperti ayah, dimana nash menyatakan, bahwa ayah menghijab (menghalangi) kewarisan para saudara. Sedang Umar bin Khotob memberikan warisan dari si mayat kepada saudara tersebut, karena kakek termasuk dalam kata-kata “ayah” yang dinyatakan dalam nash.

Perbedaan pendapat di kalangan Sahabat Nabi itu tidak banyak jumlahnya, karena masalah yang terjadi pada masa itu tidak sebanyak yang timbul pada generasi berkutnya. Di samping itu, perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Sahabat dan Tabi’in setelah masa sahabat serta para ulama’ mujtahidin, tidak menyentuh masalah yang tergolong sebagai dasar dasar agama, yang termasuk “ma ‘ulima minaddini biddloruroti” (yang diketahui dalam agama tanpa perlu dalail) dan hal-hal yang telah dijama’kan serta ditunjukkan oleh nash-nash yang qoth’i.

Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum islam, di samping disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjang sejarah hukum islam, sehingga kadang - kadang menimbulkan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang-orang awam. Setiap muj’tahid berusaha keras mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menemukan hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan penyelesaian dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan mereka yang pokok adalan sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi terkadang hasil temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal sesuai dengan hasil ij’tihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.

Syeikh Muhammmad al-madany dalam bukunya Asbab Ikhtilaf al-Fuqoha’, membagi sebab-sebab ikhtilaf itu menjadi empat macam yaitu:

(1) Pemahaman al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah Saw.

(2) sebab-sebab khusus tentang Sunnah Rosulullah Saw.

(3) sebab-sebab yang berkenaan dengan akidah-akidah ushuliyah atau fiqhiyyah.

(4) sebab-sebab khusus yang mengenai penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah Saw.
C.PEMAHAMAN AL-QUR’AN DAN SUNNAH

Seperti dimaklumi sumber utama Syari’at islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rosul. Keduanya berbahasa arab. Di antara kata-katanya ada yang mempunyai lebih dari satu (musytarok). Selain itu dalam ungkpannya terdapat kata ‘am (umum) tetapi yang dimaksudnya khusus. Adapula perbedaan tinjauan dari segi lughawi dan ‘urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.

Pertama kata ya’fu, kata ini mengandung dua arti musytarok yaitu menggugurkan, dan menghibahkan. Konsekuensinya, para mujtahid berbeda pendapat dalam mennentukan siapakah yang yang berhak membebaskan sebgian mahar yang telah ditentukan apakah wali atau suami.

Nash al-Qur’an mengenai masalah tersebut adalah:

                                      

Artinya:


Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan leh orang yang mempunyai ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu, sesungguhnya Allah maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al_Baqarah:237)

Kata: alladzi biyadihi ‘uqdatun nikah dapat diartikan wali nikah dan dapat pula diartikan suami. Kalau kata ya’fu diartikan yasqotohu, lebih tepat kalau yang dimaksud dengan itu adalah wali, yaitu sebagai wali yang membebaskan kepada suami dari keharusan membayar mahar yang separuhnya lagi yang merupakan hak anaknya; artinya dibebaskan. Tetapi Kalau kata ya’fuddiartikan dengan yuhibu maha sesuailah kalau yang dimaksud dengar itu adalah suami, karena suami dalam kasus perceraian seprti itu hanya diwajibkan membayarseparuh dari mahar yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan ia membayar mahar penuh. Dan jnika suami itu membayar mahar penuh, berarti ia (suami) menghibahkan haknya yang separuh lagi pada istrinya.

Pendapat pertama diperoleh oleh Ibrahim, alqoamah, hasan, malik, dan imam syafi’I dalam qoul qodimnya. Pendapat kedua diperoleh oleh ali bin abi tholib, syuraib, sa’id bin al-musayyab, abu hanifah, dan imam syafi’I dalam qoul jadidnya. Alasan atau dalil dari dua pendapat tersebut, baik dari al-Qur’an, maupun dari Sunnah Rasulk secara lebih luas, insyaallah makan dijelaskan dalam materi kuliah perbandingan madhab secara praktis. Disini sekedar contoh perbedaan pendapat dari kata musytarok. Kedua, kata an-nafyu dalam bentuk kata yanfuu pada ayat al-quran. Kata ini mengandung dua arti: majazi (kiasan atau metafora) dan hakiki. Sebab itu para mujtahid berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah Swt.:

                                    


Artinya:

Sesungguhnya pembalasan orang-orang yang memerangi Allah dari Rasul-Nya dan membuat keruasakan di muka bumi adalah harus dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka timbale balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya), yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar. (Q.S. al-maidah:33)

Jumhur Fuqoha’ berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kalimat au yangfu minal ardli adalah dikeluarkan dari pemukinam bumi. Sedang ulama’ hanafiyah berpendapat lain, bahwa kalimah tersebut tidak dimaksudkan secara hakiki akan tetapi majazi. Dengan demikian, mereka menafsirkan kalimat itu adalah penjara. Sebab, kalau ditafsirkan secara hakiki (dikeluarkan dari permukaan bumi), itu berarti hukuman mati, sedang hukuman mati sudah ada ketentuannya secara jelas.

Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasullullah Saw.

Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasullullah Saw. Yang menonjol antara lain:

a. perbedaan dalam penerimaan hadis; sampai atau tidaknya suatu hadis kepada sebagian ahabat.

b. perbedaan dalam menilai periwayatan hadis (shohih atau tidaknya)

c. Perbedaan engenai kedudukan Syakhshiyyah Rasul.


D.PERBEDAAN DALAM PENERIMAAN HADIS

Seperti dimaklumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan) hadis, kesempatanyya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majlis rasul, tentunya mereka inilah yang layak menerima hadis sekaligus meriwayatkannya. Tetapi banyak pula di antara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan pribadinya, sehingga jarang menghadiri majlis rasul, padahal biasanya dalam majlis itulah Rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu; memerintah atau melarang dan emnganjurkan sesuatu. Contoh mengenai ini adalah sebagai berikut:

Ibnu umar member fatwa, bahwa bila wanita mandi junub hendaklah membuka (mengudar) sanggulnya, sebagaimana diriwayatkan oleh imam muslim. Setelah mendengar fatwa itu, siti aisyah RA meraswa heran dan berkata:

“Sungguh aneh ibnu umar ini memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi janabah untuk mengudar sanggul. Jika demikian, apakah tidak lebih baik memcukur rambut saja?”

Kemudian ‘aisyah meriwayatkan hadis mengenai soal itu sebagai berikut:

“Sungguh aku pernah mandi bersama Rasulullah Saw dari satu bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga siraman”.

Contoh lain adalah riwayat al zuhri bahwa hindun belum mendengar (mengetahui) hukum shalat mustahadhah, sehingga ia senantiasa menangis karena tidak dapat melaksanakan shalat:

“Bahwa hindun belum sampai kepadanya hukum rukhshoh shalat mustahadhah (orang yang keluar darah setelah batas maksimal haid), sehingga ia senantiasa menangis karena tidak bisa melakukan shalat.

Padahal ada hadis mengenai rukhshah shalat bagi mustahadhah sebagai berikut:

Dari ‘aisyah RA ia berkata, bahwa Fatimah binti Hubaisy menghadap Rasulullah Saw seraya berkata, “ya Rarulullah  aku adalah seorang wanita mustahadhah, bolehkah aku meninggalkan shalat?” Rasul menjawab, “tidak, sesungguhnya darah tersebut penyakit, bukan darah haid, maka bila datang waktu haid, tinggalkan shalat, dan bila selesai waktu haid, cucilah darah itu, kemudian shalatlah. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).


E. SEJARAH SINGKAT MUNCULNYA MAZHAB DALAM ISLAM

Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat[1]. Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis[2]. menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :

a. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an

b. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat

c. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.

Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW[3].

Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum[4]. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.

Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukanistinbat hukum.

Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fiqh[5]

BAB III


PENUTUP

KESIMPULAN

Ditinjau dari segi asal-asul kata (etimologi), ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah: khalafa, yakhlifu, khilafan. Artinya adalah berbeda pendapat.Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat. Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan.

Seperti dimaklumi sumber utama Syari’at islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rosul. Keduanya berbahasa arab. Di antara kata-katanya ada yang mempunyai lebih dari satu (musytarok). Selain itu dalam ungkpannya terdapat kata ‘am (umum) tetapi yang dimaksudnya khusus. Adapula perbedaan tinjauan dari segi lughawi dan ‘urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.

Seperti dimaklumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan) hadis, kesempatanyya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majlis rasul, tentunya mereka inilah yang layak menerima hadis sekaligus meriwayatkannya. Tetapi banyak pula di antara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan pribadinya, sehingga jarang menghadiri majlis rasul, padahal biasanya dalam majlis itulah Rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu; memerintah atau melarang dan emnganjurkan sesuatu.

DAFTAR PUSTAKA

Qasim Abdul Aziz Khomis, Aqwal al-shahabah, Kairo : Maktabah al-Iman, 2002,

Jalaluddin Rahmat, Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh,  Artikel yayasan Paramadina, www. Media.Isnet.org

Al-Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, al-Fikr al-Ushuli, Jeddah : Dar al-Syuruq, Cet. I, 1983,

A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995,

Ahmad satori Ismail, Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam, Jakarta : Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2003,

Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Surabaya : Risalah Gusti, Cet I, 1995,

Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I, 1999

http://www.almanhaj.or.id/content/885/slash/0



http://menyingkap-ilmuislam.blogspot.com/2011/07/ikhtilaf.html

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1997
Yüklə 48,68 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin