Bab II tinjauan umum tentang pernikahan dalam pandangan al-qur’an sekilas Konsep Pernikahan dalam Islam



Yüklə 133,15 Kb.
tarix27.10.2017
ölçüsü133,15 Kb.
#17239

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN


  1. Sekilas Konsep Pernikahan dalam Islam

  1. Definisi Nikah

Mengartikan kata “nikah” sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), pekawinan Al-Qur’an menggunkan kata ini untuk makna tersebut, kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanayak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”.1 Diartikan juga dengan (1). Perjodohan antara laki-laki dan perempuan menjadi suami istri; nikah (2). Sudah beristri atau berbini (3). Dalam bahasa pergaulan artinya bersetubuh.2 Pengertian senada juga dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kawin diartikan dengan (1) menikah (2). Cak bersetubuh (3) berkelamin (untuk hewan). Kawin acak keadaan yang memungkinkan terjadinya perkawinan antara jantan dan betina dewasa secara acak.3 Perkawinan adalah: (1) pernikahan; hal (urusan dan sebagainya) kawin; (2). pertemuan hewan jantan dan hewan betina secara seksual.4 Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia kawin diartikan dengan “menjalin kehidupan baru dengan bersuami atau istri, menikah, melakukan hubungan seksual bersetubuh. 5

Dalam Al-Qur’an dan Hadits, pernikahan disebut dengan an-nikah(لنكاح) dan az-ziwaj/az-zawj atau az-zijah (بجه الزلواج-الزلواج-الز). Secara harfiyah, an-nikh berarti al-wath’u berasal dari kata wathi’a-yatha’u-wath’an (وطأ-يطأ-وطأ) artinya berjalan diatas, melalui, meminjak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.6 Adh-dhammu, yang terambil dari akar kata dhamma yadhummu-dhamman (ض-يضم--ضما), secara harfiyah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan. Juga berarti bersikap lunak dan ramah. 7 Sedangkan al-jam’u ( جمع-يجمع-جمعا), berarti, mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan, dan menyusun. 8 itulah sebabnya mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fiqih disebut dengan al-jima’ mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktifitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam’u.



Nikah menurut istilah syara’ ialah “suatu akad (transaksi) yang intinya mengandung penghalalan wathi’ (persetubuhan) dengan memakai kata nikah atau kawin.

Menurut pendapat yang shahih, pengertian hakiki dari nikah adalah akadnya, sedangkan secara majaz menunjukkan makna wathi (persetubuhan).9

Pernikahan atau perkawinan dalam literatur Fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah (نكاح) dan zawaj ( زواج) kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin.10

Secara umum Al-Qur’an hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang berarti “memberi”) digunakan oleh Al-Qur’an untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi Saw, dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi Saw. (QS.Al-Azhab 33/:50).

Pernikahan yaitu suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami istri berdasarkan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang (UU), hukum agama dan adat istiadat yang berlaku.11 Nikah itu merupakan perjanjian dan ikatan lahir batin antara laki-laki dengan perempuan yang bermaksud untuk berumah tangga dan untuk menghasilkan keturunan, dan harus dilangsungkan rukun dan syaratnya

Kata-kata ini, mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima) pernikahan, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

Pernikahan atau tepatnya keberpasangan merupakan ketetapan Illahi atas segala makhluk.12 Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Qura’n antara lain dengan firman-Ny sutat (QS Al-Dzariyat 51/49).

Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.(QS Al-Dzariyat: 51/49).


Ayat diatas menjelaskan bahwa semua mahluk pada dasarnya adalah berpasangan: langit dan bumi malam dan siang matahari dan bulan, daratan dan lautan terang dan gelap, iman dan kufur, mati dan hidup celaka dan bahagia, hewan-hewan dan tumbuhan hingga laki-laki dan perempuan.13 Dengan dalih seperti itu jelaslah bahwa laki-laki dan perempuan telah ditetapkan untuk saling berpasangan, dengan adanya ikatan pernikahan maka dihalalkan bagi mereka saling melengkapi satu sama lain dengan cinta dan kasih.

Ditegaskan kembali dalam surah yang berbeda bahwa segala sesuatu telah ditetapkan berpasang-pasangan baik yang mereka ketahui maupun yang tidak mereka ketahui Allah berfirman dalam surah.(QS Ya Siin 36/:36)


Artinya: Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.


(maha suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan) yang berjenis-jenis - (semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi) berupa biji-biji dan lain-lainnya- (dan dari diri mereka) yaitu jenis pria dan wanita - (maupun dari apa yang tidak mereka ketahui) yaitu mahluk-mahluk yang ajaib dan aneh.14
Penegasan ayat diatas sesungguhnya bahwa berpasangan merupakan fitroh manusia dan mendambakan pasangan merupakan fitroh sebelum dewasa dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu agama mensyariatkan dijalinkannya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya “pernikahan”, dan beralihlah kerisauan peria dan wanita menjadi ketentraman atau sakinah dalam istilah Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21.

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.


Manusia mengetahui perasaan mereka terhadap lawan jenis, dan hubungan diantara dua jenis itu membuat saraf dan perasaan mereka bergerak perasaan-persaan yang berbeda-beda bentuk dan arahnya antara lelaki dan wanita itu menggerakkan langkah-langkahnya serta mendorong aktivitasnya. Namun sedikit sekali mereka mengingat tangan kekuasaan Allah yang telah menciptakan bagi mereka dari diri mereka pasangan mereka itu, dan menganugrahkan perasaan-perasaan dan rasa cinta itu dalam jiwa mereka. Juga menjadikan dalam hubungan itu rasa tenang bagi jiwa dan sarafnya, rasa tenang bagi tubuh dan hatinya, memberikan kedamaian bagi kehidupan dan penghidupannya, penghibur bagi ruh dan dhamirnya, serta membuat tenang lelaki dan wanita.

Mereka memahami hikmah sang khalik dalam penciptaan dua pasangan tersebut dalam bentuk yang sesuai bagi satu sama lain. Dan memenuhi keperluan fitrahnya: kejiwaan, rasio, dan fisik. Sehingga ia mendapatkan padanya rasa tenang damai dan tentram. Keduanya menemukan dalam pertemuan mereka rasa tenang dan saling melengkapi, juga cinta dan kasih sayang. Karena susunan jiwa, saraf, dan fisik bersifat saling memenuhi kebutuhan masing-masing terhadap pasangannya. Dan kesatuan serta pertemuan keduanya pada akhirnya untuk memulai kehidupan baru yang tercermin dalam generasi baru.15



Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah karena perkawinan adalah ketenangan yang dinamis karena aktif, tidak seperti kematian binatang.

Guna tujuan tersebut Al-Qur’an antara lain menekankan perlunya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan dibidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang. Kalau mereka calon-calon menantu miskin maka Allah akan menjadikan mereka kaya berkecukupan berkat anugrah-Nya, yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya.

Disisi lain perlu juga dicatat, bahwa walaupun Al-Qur’an menegaskan bahwa berpasangan atau kawin merupakan ketetapan ilahi bagi mahluk-Nya dan walaupun Rasul menegaskan bahwa “nikah adalah sunahnya”, tetapi dalam saat yang sama Al-Qur’an dan sunah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan lebih-lebih karena masyarakat yang ditemuinya melakukan praktik-praktik yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan.16

َوَعَنْهُ قَالَ : ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ

Artinya: Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.17


  1. Rukun dan Syarat Pernikahan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.18 Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Jika syaratnya terpenuhi, pernikahannya sah dan menimbulkan segala kewajiban dan hak-hak pernikahan.19

Sedangkan untuk syarat sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun atau syarat yang mereka pahami dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi Saw.

Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab lain.

Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak sedang dalam keadaan iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya atau dicerai, hamil dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan diatas.

Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan tetapi wali dari pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya oleh banyak ulama, Al-Qur’an mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya yang ditunjukkan kepada para wali.20 Dalam saurat al-Baqarah (2) (232)

Artinya: Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka (wanita yang telah bercerai) kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf (Qs Al-Baqarah (2) 232).

Menurut Jumhur Ulama ruku perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu memilki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari rukun tersebut.21

Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, akad perkawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akan melangsungkan akad dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut:



  1. Calon mempelai

Rukun nikah yaitu calon suami dan calon istri biasanya hadir dalam upacara pernikahan, calon istri selalu ada dalam upacara tersebut, tetapi calon suami mungkin karena sesuatu keadaan dapat mewakilkan kepada orang lain dalam ijab qabul.

  1. Wali nikah

Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab, yaitu wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita. Dalam keadaan luar biasa, wali nasab dapat digantikan dengan wali hakim, yaitu petugas pencatat nikah jika wali nasab tersebut tidak ada atau tidak ditemukan. Demikian pula jika wali nasab tidak mau atau tidak bersedia menikahkan calon mempelai wanita maka wali hakimlah yang bertindak untuk menikahkannya.

َوَعَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى , عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَابْنُ حِبَّانَ

Artinya: Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadits mursal.


  1. Saksi.

Saksi dalam pernikahan harus terdiri dari dua orang yang memenuhi syarat. Perkawinan yang tidak dihadiri saksi, walaupun rukun (1),(2), dan (3) sudah dipenuhi, menurut pendapat umum adalah tidak sah.

  1. Ijab qabul

Tentang pelaksanaan ijab qabul atau akad, pernikahan harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul menurut pengertian hukum perkawinan, ijab adala penegasan kehendak untuk mengingatkan diri dalam ikatan perkawinan dari (wali) pihak wanita kepada calon mempelai pria.

Qabul adalah penegasan untuk menerima ikatan perkawinan tersebut yang diucapkan oleh mempelai pria. Penegasan penerimaan itu harus diucapkan oleh mempelai pria langsung sesudah ucapan penegasan penawaran yang dilakukan oleh wali pihak mempelai wanita.22

Rukun dan syarat perkawinan pada dasarnya banyak perbedaan pandangan antara seorang ulama atau mazhab dengan mazhab lain. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rukun perkawinan hanya ijab dan qabul. Sedangkan syarat perkawinan adalah rida (persetujuan) dari kedua calon suami dan istri.23

Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak melangsungkan perkawinan itu ialah ikhtiyar (tidak dipaksa). Pihak yang melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan kata-kata kerelaan calon istri dan suami atau persetujuan mereka. Kerelaan calon suami dan wali jelas dapat dilihat dan didengar dari tindakan dan ucapannya, sedangkan kerelaan calon istri, mengingat wanita mempunyai ekspresi kejiwaan yag berbeda dengan pria, dapat dilihat dari sikapnya.24

Membicarakan rukun dan syarat perkawinan tentang persetujuan calon mempelai KHI juga mengaturnya yaitu pada pasal 16 ayat 1dan 2 yang diantaranya:


  • Pasal 16 ayat 1 berbunyi: perkawinan didasarkan atas persetujuan mempelai

  • Pasal 16 ayat 2 berbunyi: bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisanlisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.25

  1. Azaz-Azaz Pernikahan

Untuk lebih memahami pernikahan, perlu juga ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar atau prinsip dari suatu pernikahan. Hal-hal yang menjadi prinsip atau azaz-azaz mengenai pernikahan yang diatur dalam penjelasan umum dari undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:

  1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

  2. Perkawinan adalah sah bilama dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya.

  3. Perkawinan harus di catat menurut peraturan perundangan.

  4. Perkawinan berazaz monogami terbuka.

  5. Calon suami istri harus sudah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan.

  6. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun

  7. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan.

  8. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang

Nikah adalah salah satu aspek pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan keluarga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara yang satu dengan yang lain.26

Perkawinan itu penting sekali kedudukannya sebagai dasar pembentukan keluarga sejahtera, disamping melampiaskan seluruh rasa cinta yang sah. Itulah sebabnya dianjurkan oleh Allah SWT dan menjadi sunnah dari junjungan kita Nabi muhammad SAW untuk berkawin.

Tentang hukum melakukan perkawinan menurut agama islam dapat dijelaskan lebih rinci yaitu hukum asal suatu pernikahan adalah mubah namun bisa berubaha menjadi sunah, wajib, makruh dan haram. Secara umum ada pendapat hukum nikah seperti sunnah menurut kelompok jumhur dan dan wajib menurut jahiriyah. Kelompok pengikut mazhab malik yang belakang merinci hukum nikah berdasarkan kondisi yaitu hukum wajib, untuk sebagian orang dan sunnah untuk sebagaian yang lainnya dan dapat juga berhukum mubah bahkan haram,tergantung keadaan masing-masing sesuai kemampuan menghindari dari perbuatan tercela.27

Untuk mengetahui kedudukan nikah dilihat dari sudut pandang hukum perlu dikemukakan beberapa hukum nikah:



  1. Sunnah

Orang yang telah memilki kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.28

Menurut jumhur ulama bagi yang apabila tidak menikah sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram dan apabila ia menikah ia yakin tidak akan menzalimi dan membawa mudarat kepada istrinya.29 ini didasarkan kepada firman Allah swt dalam surah An-nuur (24): 32)

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
Ayat ini menyatakan: hai para wali, para penanggung jawab bahkan seluruh kaum muslimin perhatikanlah siapa yang berada di sekeliling kamu dan kawinkanlah yakni bantulah agar dapat kawin orang-orang yang sendirian di antara kamu, agar mereka dapat hidup tenang dan terhindar dari perbuatan zina dan yang haram lainnya dan demikian juga orang-orang yang layak membina rumah tangga dari hamba-hamba sahaya kamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahaya kamu yang perempuan. mereka juga manusia yang perlu menyalurkan kebutuhan seksualnya. Allah menyediakan buat mereka kemudahan hidup terhormat, karena jika mereka miskin Allah akan menampakkan merreka dengan karunian-Nya dan Allah maha luas pemberiann-Nya lagi maha mengetahui segala sesuatu.30

Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.31



  1. Wajib

Ulama Hanafiyah menambahkan hukum secara khusus bagi keadaan dan orang tertentu, wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin, dan memilki perlengkapan untuk kawin ia takut terjerumus berbuat zina kalau tidak kawin.32 Menurut jumhur ulama bagi orang yang mampu untuk menikah dan kahawatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya dia wajib menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan haram.33 Di jelaskan dalam surat An-Nur (24)/30.

Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".


Ayat ini menjelaskan agar kita tidak membuka lebar-lebar untuk melihat segala sesuatu yang terlarang seperti aurat wanita dan kurang baik dilihat seperti tempat-tempat yang kemungkinan dapat melangkahkan tetapi tidak juga menutupnya sekali sehingga merepotkan mereka, dan disamping itu hendaklah mereka memelihara secara utuh dan sempurna kemaluan mereka sehingga sama sekali tidak menggunakannya kecuali pada yang halal, tidak juga membiarkannya kelihatan kecuali kepada siapa yang boleh melihatnya, yang demikian itu yakni menahan pandangan dan memelihara kemaluan adalah lebih suci dan terhormat bagi mereka karena dengan demikian, mereka telah meutup rapat-rapat salah satu pintu kedurhakaan yang besara yakni perzinaan, anjuran kepada orang-orang mukmin agar mereka melaksanakannya dengan baik dan hendaklah mereka terus awas dan sadar karena sesungguhnya allah mahabmengetahui apa yang mereka perbuat.34

  1. Mubah

Bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan itu tidak mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun.35 Dan bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istrinya.36

Dan bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera menikah atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk menikah, maka hukumnya mubah.37



  1. Makruh

Bagi orang yang khawatir akan berbuat nista dan membawa mudharat kepada istrinya dan merasa tidak yakin dapat menghindari hal itu jika ia mnikah misalnya merasa tidak mampu memberi nafkah, memberi perlakuan tidak baik kepada istri serta merasa tidak berminat kepada perempuan.38

Juga bertambah makruh hukumnya jika bertambah lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan suatu iabadah atau menuntut ilmu.39



  1. Haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemapuan serta tanggung jawab untuk melakukan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan sitrinya.40

Bagi orang yang tidak dapat memenuhi ketentuan syara’untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara, sedangkan ia meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya.41 Bagi seorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahir kepada istrinya serta nafsunyapun tidak bergejolak maka baginya haram untuk menikah.42 Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Al-qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 195 melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan:

Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Dilihat dari hukum-hukum yang sudah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum menikah beraneka ragam. Ada yang mengatakan wajib, sunnah dan ada pula yang mengatakan mubah serta haram. Disandarkan kepada situasi dan kondisi seseorang.

Dikutip dari Abu Al-Ghifari bahwasanya “pacaran bukan dari islam. Meliankan budaya jahiliyah yang harus ditinggalkan segenap remaja muda islam karena itu mustahil ada pacaran dalam islam atau mustahil ada pacaran yang islamai.43

Memang dibeberapa masyarakat maju, pernikahan akan terjadi manakala terjadi kesepakatan antara dua belah pihak, bahkan sekalipun sudah memilki keturunan, seringkali juga tidak dengan pernikahan. Akan tetapi tampak sekali hal ini seringkali juga tidak dengan pernikahan. Akan tetapi tampak sekali hal ini seringkali menimbulkan berbagai persoalan, terutama dalam hak waris dan pengasuhan anak.

Nas-nas syariat sendiri baik al-Qir’an maupun hadis, menganjurkan kaum muslimin yang punya kesanggupan dan kemauan supaya menikah. Namun demikian seperti dikemukakan para ahli hukum islam (fuqoha), hukum pernikahan itu tampaknya bisa menjadi wajib dan sunah disamping bisa jadi mubah, makruh dan bahkan dan haram sesuai kondisi orang yang hedak melakukannya disamping bisa jadi mubah, makruh dan bahkan haram sesuai kondisi orang yang hendak melakukannya disamping memperhatikan tujuan dari perkawinan itu sendiri.


  1. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Tujuan dan hikmah dari pada perkawinan ini adalah suatu kepastian dalam menjalankan syari’at islam yang berlaku. Apabila terlaksana akad perkawinan yang sah, maka saat itu juga berarti antara kedua calon mempelai sudah terikat dalam ikatan perkawinan dan telah resmi.

Tujuan perkawinan menurut agama islam ialah untuk memenuhi petunjuk dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakah hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya tercipta ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbulah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq pencipta-Nya dengan segala aktivitas hidupannya.44

Selain dari itu tujuan perkawinan dalam islam adalah mencapai kesucian bagi pria dan wanita. Ikatan perkawinan adalah ibarat memasuki bangunan besar yang terbentang dimana hukum-hukum moral meduduki posisi tertinggi. Perkawinan dalam islam bukanlah perjajnjian rahasia diantara sepasang pria dan wanita. Perakawinan dalam islam merupakan perjanjian yang terbuka dan diakui melalui restu kepala keluarga dimana (calon pengantin) wanita hidup. Islam memberikan jalan pencapaian kesucian melalui perkawinan lelaki dan perempuan agar mereka tidak akan pernah memikirkan cara-cara haram dalam memuaskan dorongan seks alamiah mereka.45

Islam menganjurkan dan mengembirakan pernikahan sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia. Menikah merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh islam sangat diperhatikan sekali. Sehingga seorang laki-laki muda dalam islam untuk memilih seorang wanita muda yang bermoral dan suci untuk dikawini tujuan utama perkawinan dalam islam adalah menjaga kesucian dorongan alamiah perlu dipenuhi dalam batas-batas kehormatan diri dan kesucian pemuasan dorongan seksual semata-mata merupakan sikap menghina diri menuju tingkatan binatang-binatang buas dimana islam tentu saja tidak menyuakai dan tidak menganjurkannya. Bagian yang paling bernilai dari karakter manusia adalah memproteksi kehormatan diri dan kesucian dan ini merupakan prinsip dasar perkawinan islami.46

Jadi aturan perkawinan menurut islam merupakan tuntutan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinan pun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama. Adapun tujuan dari perkawinan antara lain yaitu:47


  1. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung jawab.

Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar.48 Sudah menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran cinta dan kasih sayang yang diluar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma.49 Bilama jalan keluar tidak dapat memuaskannya banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan dan kacau serta menerobos jalan yang jahat.

Dan pernikahanlah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan menikah badan menjadi segar, jiwa menjadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.

Keadaan seperti ini yang disyaratkan oleh firman Allah:

dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh,pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir” (ar-ruum (30):21



  1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan

Seperti telah diungkapkan di muka naluri manusia mempunyai kecendrungan untuk mempunyai keturunan yang sah kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak merupakan buah hati dan belahan jiwa.50

Memeperbanyak keturunan melalaui pernikahan salah satu tiang penyangga keidupan rumah tangga, sekaligus akan menjaga ketenangan serta ketentraman hubungan suami istri. Berdasarkan itu, al-Qur’an dan hadits-hadits seringkali menegaskan betapa petingya pernikahan. Dalam kaitannya ini pernikahan lebih banyak diharapkan memberikan keturunan akan tetapi keturunan yang baik dan sah secara hukum. Perhatikan firman Allah Swt dalam Q.S Al-Qur’an:74 sebagai berikut:

Artinya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Dalam bukunya Ibrahim Amini, Imam Ali Ridha bin Musa berkata, “tak ada manfaat jauh lebih baik yang diperoleh seorang hamba dari pada istri yang shalihah. Kalau ia melihatnya, ia akan senang dan kalau ia pergi, istrinya akan menjaga kehormatan dan hartanya.

Manfaat pernikahan terbagi menjadi dua bagaian. Salah satu bagiannya akan diperoleh dikehidupan dunia, dimana setiap manusia memiliki kekhasanahannya masing-masing. Sementara bagaian lainnya juga diperoleh di dunia ini, dimana tidak teradapat perbedaan antra yang satu insan dengan insan lainnya, bahkan dengan saluran mahluk hidup (masalah seksual).

Manfaat kedua ini tentu bukanlah menjadi tujuan pokok pernikahan. Sebabnya, manusia tidak diciptakan hanya untuk menikmati seks, makanan, dan minuman belaka, untuk kemudian mati. Sesungguhnya, kedudukan manusia jauh lebih tinggi dari sekadar itu. Manusia diciptakan agar menggapai kesempurnaan dengan ilmu pengetahuan, amal perbuatan dan akhlak yang baik.

Dengan semua itu, ia diharapkan mampu meraih kedudukan yang sempurna (kamal), berjalan diatas jalan lurus kemanusiaan, untuk seterusnya terbang menuju kedudukan tinggi di sis Allah Swt. Status sebagai maujud yang mulia akan diletakkan apabila manusia mampu menggapai kedudukan yang tinggi. Yakni, ketika ia menyucikan dan membimbing jiwa tentang bagaimana jiwa tentang bagaimana menjauhkan maksiat, serta memfokuskan diri pada akhirnya, ia akan kekal selamanya di sisi Allah Swt merindhai-Nya

Menikah merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh islam sangat diperhatikan sekali. Selanjutnya naluri kebapakaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak. Kemudian akan tumbuh pula perasaan ramah, cinta dan akur yang merupakan sifat-sifat baik yang meneyempurnakan kemanusiaan seseorang.51


  1. Memelihara diri dari kerusakan

Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukkan melalui perkawinan. Orang-orang yang tidak melakukan penyaluran dengan perkawinan akan mengalami ketidak wajaran dan akan menimbulkan kerusakan, entah kerusakan dirinya maupun orang lain bahkan masyarakat karena manusia mempunyai nafsu sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik.52

  1. Menimbulkan kesungguhan bertanggung jawab dan mencari harta yang halal

Kesadaran atas tanggung jawab terhadap isti dan anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan lebih cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanayak produksi. Hidup sehari-hari menunjukkan bahwa orang yang belum berkeluarga tindakannya masih sering dipengaruhi oleh emosinya sehingga kurang mantab dan bertanggung jawab. Demikian pula dalam menggunakan hartanya, orang-orang berkeluarga lebih efektif dan hemat karena mengingat kebutuhan keluarga dirumah. Suami istri yang perkawinannya didasarkan pada pengalaman agama. Jerih payah dalam usahanya dan upaya mencari keperluan hidupnya dan keluarga yang dibinanya dapat digolongkan ibadah dalam arti luas. Dengan demikian melalui rumah tangga dapat ditimbulkan gairah bekerja dan bertanggung jawab serta berusaha mencari harta yang halal.53 Juga dapat mendorong usaha mengekploitasi kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi kepentingan hidup manusia.

  1. Menentramkan jiwa

Allah SWT menciptakan hambanya hidup berpasang-pasangan dantidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan dan tumbuh-tumbuhan, hal inisesuatu yang alami yaitu pria tertarik pada wanita dan juga sebaliknya.54

Dalam hidup manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup . ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaandapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya.55



  1. Pembagian tugas

Dimana yang satu mengurus dan mengatur urusan rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja diluar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menagani tugas-tugasnya.

Perempuan bertugas mengatur dan mengurusi rumah tangga, memelihara dan mendidik anak-anak serta menciptakan suasana yang sehat untuk suaminya beristirahat guna melepaskan lelah dan memperoleh kesegaran badan kembali. Smentara itu suami bekerja dan berusaha mendapatkan penghasilan untuk belanja dan keperluan rumah tangga.



Dengan pembagian yang adil seperti ini masing-masing pasangan menunaikan tugasnya yang alami sesuai dengan keridhaan ilahi, dihormati oleh umat manusia, dan membuahkan hasil yang menguntungkan.

  1. Dalam salah satu penyataan PBB yang disiarkan oleh harian National terbitan sabtu 6/6/1959 mengatakan, “orang yang hidup bersuami istri umurnya lebih panjang daripada orang-orang yang tidak bersuami istri, baik karena menjanda bercerai, maupun sengaja membujang “pernyataan itu selanjutnya mengatakan, “diberbagai negara, orang-orang menikah pada umur yang masih sangat muda. Walaupun demikian, umur orang-orang yang hidup bersuami istri umurnya lebih panjang”.56

Sedangkan Diantara hikmah nikah menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi adalah sebagai berikut :

  1. Melestarikan manusia dengan perkembangan baik yang dihasilkan nikah

  2. Kebutuhansuami istri kepada pasangan untuk menjaga kemalunnya dengan melakukan hubungan seks yang fitriyah.

  3. Kerjasama suami istri dalam mendidik anak dan menjaga kehidupannya.

  4. Mengatur hubungan laki-laki dengan wanita berdasarkan asa pertukaran hak dan saling kerjasama yang produktif dalam suasana cinta kasih dan perasaan saling menghormati yang lain. 57

Menurut Sayyid Sabiq menyebutkan pula hikmah menikah sebagai berikut:

  1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan,kacau dan merobos jalan yang jahat. Kawin merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram perasaan tenang menikmati barang yang halal.58

  2. Menikah merupakan jalan yang terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh islam sangat diperhatikan sekali.

  3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula parasaan-parasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.59

  4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan benyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.60

  5. Adanya pembagian tugas, dimana mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja diluar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab anatara menagani suami istri dalam pembagian tugas-tugasnya.61

  6. Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menyayangi akan berbentuk masyarakat yang kuat dan berbahagia.62

Jadi secara singkat dapat disebutkan bahwa hikmah perkawinan itu antara lain menyalurkan naluri seks, jalan mendapatkan keturunan yang sah penyaluran naluri kebapaan dankeibuan dorongan utuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban.63


1 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan Media Utama (MMU), 2007) , hal. 191

2 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1985), hal. 453

3 Tim Penyususn Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besara Bahasa Indonesia , 1989 (Jakarta: Balai Pusat ), hal.398.

4 Ibid., hal. 399

5 Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia , (Jakarta: Cita Media Pres), hal. 344.

6 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir,1984), hal. 1671-1672

7 Ibid., hal. 887

8 Ibid., hal. 225

9 Zainuddin, Bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fanani, Terjemahan Fathul Mu’in 2, (Bandung: Sinar Baru al-Gensindo), hal. 1154

10 Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta, Pustaka Amani, 2002), hal. 6

11 Departemen Agama RI, Direktorat Jendaral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam, Korps Penasehat Perkawinan dan Keluarga Sakinah, (jakarta: 2007), hal. 59

12 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an ..., hal. 191

13 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir Jilid 4,( Jakarta:Gema Insani, 2000), hal. 478

14 Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain: Berikut Asbaabun Nuzul Ayat, Surat Al-Kahfi s.d Surat Shaad), hal. 1892

15 Sayiid Kutub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Dibawah Naungan al-Qur’an Surah AN-naml 82-Pengantar al-Ahzab, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 206

16 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an ..., hal.193

17 Imam ibnu hajar al-asqalani, bulughul maram, Hadits No. 995, (tasik malaya:2008). Hal

18 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:Prenada Media, 2007), hal. 27

19 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hal. 541

20 Ibid., hal. 192

21 Amir Nurdin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU NO.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada, Media, 2006), hal. 78

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan..., hal. 61

22 Hasan Soleh, Kajian Fikih Nabawi dan Kajian Fikih Kontemporer (Jakarta: Rajawali Prs, 2008), hal. 299-300

23 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Ialam Wa-Adillatuhu, (Beiru, Dar Al-Fikr, Tth Juz ke-7) hal.61

24 Abd Rahmat Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta, Prenada Media Grup, 2006), hal. 32

25 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2007), hal. 10-11

26 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, cet.27, 1994), hal. 374.

27 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu,(Beirut Dar El Fikr, Juz VII), hal .29

28 Abd, Rahman Gazaly, Fiqih Munakahat..., hal.19

29 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam ..., hal. 45

30 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Peasan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal. 335

31 Ibid., hal. 32

32 Ibid., hal. 46

33 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008,), hal. 6

34 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah..., hal. 324

35 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., hal 46

36 Abd Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat..., hal. 21

37 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah..., hal. 493

38 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan..., hal. 9

39 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah..., hal. 493

40 Abd Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat ..., hal. 20

41 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam..., hal.47

42 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah..., hal.492

43 Ibid., hal.92

44 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat..., hal. 22

45 Maulana Muhammad Zaferuddin, Seksual Islam: Melahirkan Kehormatan Diri dan Kesucian, (jakarta: Sahara Publishers, 2004), hal. 58

46 Ibid., hal, 59

47 Abd Rahman Ghazaly, fiqih Munakahat..., hal 23

48Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah ..., hal. 487

49 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat..., hal 27

50 Ibid., hal 25

51 Imam Hasan Al-Bana, Fiqih Sunah jilid 2..., hal. 147

52 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat..., hal 28

53 Ibid.., 29

54 M. Ali hasan, Pedoman Hidup: Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: PT. Siroja 2013), hal. 15

55 Abd Rahman Ghazaly, fiqih Munakahat.., hal 31

56 Imam Hasan Al-Bana, Fiqih Sunah jilid 2,( Jakarta: Pena Pundi Aksara) 2006), hal. 147-149

57 Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim: Minhajul Muslim, (Jakarta Timur, Darul Falah, 2005), hal.574

58 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah..., hal. 487

59 Ibid., hal. 488

60 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat..., hal. 71

61 Ibid., hal. 71

62 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah..., hal. 488

63 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat..., hal. 72

18

Yüklə 133,15 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin