3.5 Mengenal Jati Diri Sebagai Cara Peningkatan Iman dan Takwa
Marilah kita selalu meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT, diantara cara peningkatan iman dan takwa itu antara lain dengan jalan senantiasa mengenal diri kita masing-masing, yakni siapa penciptanya atau siapa pemilik diri kita? Kemana diri kita akan kembali? Dan dari apa/mana diri kita diciptakan? Di dalam Al-Quran dinyatakan:
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan”
Marilah kita jawab ketiga masalah tersebut satu persatu!
Masalah pertama dan kedua, yakni siapa pencipta dan pemilik kita dan kemana diri kita akan kembali? Hal ini bisa dipahami dari firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah : 155-156:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkanInna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun”.
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa segala sesuatu yang melekat pada diri kita atauyang kita gunakan untuk keperluan hidup dan kehidupan kita sehari-hari, sebenarnya adalah ciptaan Allah dan milik-Nya. Oleh karena itu bila suatu cobaan yang tidak kita inginkan itu sedang menimpa pada diri kita sendiri, baik berupa cobaan besar atau kecil, apakah berupa terjadinya gempa bumi, banjir bandang, dan sebagainya, sehingga menimbulkan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa (kematian manusia), kekurangan buah-buahan atau kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya dalam hidup ini, maka kita harus bersabar. Dalam arti tabah dalam menghadapi cobaan hidup tersebut sambil merenungkan dan bertindak atau mengambil sikap bagaimana cara kita mengatasi cobaan tersebut, dengan tetap dilandasi oleh suatu pandangan inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
Pandangan semacam itu akan menyadarkan kita bahwa segala sesuatu yang kita miliki dan kita manfaatkan untuk keperluan hidup dan kehidupan sehari-hari, pada hakekatnya adalah milik Allah semata, dan kita hanya mempunyai hak pakai. Karena itu pada saat pakaian kita diambil oleh Allah, maka kita harus rela, dan sebagai orang yang punya hak pakai haruslah mampu memakai dirinya dan segala sesuatu yang diperlukan dalam hidup ini sesuai dengan aturan-aturan yang dikehendaki oleh pemiliknya, yaitu Allah SWT.
Masalah ketiga yakni dari apa/mana diri kita diciptakan? Hal ini bisa dipahami dari proses kejadian manusia itu sendiri. Sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam Q.S. Al-Mukminun : 12-14:
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”.
Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa kejadian manusia itu melalui dua proses, yaitu proses fisik (materi) dan proses nonfisik (inmateri).
Proses kejadian manusia secara fisik/materi , yaitu proses evolusidarisaripati (berasal) dari tanah, kemudian sebagian berubah bentuk menjadi nuthfah, kemudian berubah bentuk menjadi alaqah kemudian berubah bentuk menjadi mudhlghah, kemudian berubah bentuk menjadi idham (tulang belulang), dan idham itu kemudian dibungkus dengan daging (lahm).
Islam sangatlah menentang faham materialism dalam arti islam sangat menentang terhadap pandangan yang menyatakan bahwa materiallah sebagai ukuran segala-galanya dan materilah sebagai ukuran kemuliaan seseorang.
Kalau begitu, apa sebenarnya ukuran kemuliaan seseorang tersebut? Di dalam ayat tersebut dilanjutkan dengan kalimat ansya’nahu khalqan akhor, kemudian Kami ciptakan makhluk (dalam bentuk) lain pada manusia itu. Inilah proses kejadian manusia yang bersifat non fisik/immateri. Mengapa demikian? Sementara ulama/mufassir mencoba menelusuri mengapa Allah menggunakan kalimat ansyanaahu pada kalimat tersebut, bukan khalaqanaahu atau jaalnaahu? Padahal ketiga kalimat tersebut mempunyai makna yang sama, yakni kami ciptakan. Kata mufassir tersebut, bahwa hal itu menunjukkan terciptanya sesuatu yang baru pada diri manusia yang tidak dicakup dan tidak diiringi oleh materi sebelumnya. Dengan kata lain, khalqan akhor itu bukan merupakan kelanjutan atau perubahan bentuk dari materi sebelumnya. Jadi khalqan akhor itu bukanlah materi, tetapi ia adalah immateri. Berbeda dengan nuthfah yang merupakan kelanjutan atau perubahan bentuk dari sebagian saripati yang berasal dari tanah, demikian pula alaqah merupakan perubahan bentuk /kelanjutan dari nuthfah, mudhghah merupakan bentuk perubahan dari alaqah, dan idham merupakan perubahan bentuk dari mudlghah, demikian seterusnya. Ibnu katsir berpendapat bahwa yang dimaksud ansya’nahu khalqan akhor adalah kemudian Allah meniupkan ruh kedalam diri manusia (wanafakha fiihi min ruuhihi).
Apa hakekat ruh? Ini merupakan misteri yang sulit dijangkau oleh manusia. Allah sudah menjelaskan dalam Q.S Al-Isra : 85
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
Jadi, ruh itu bersifat abstrak (ghaib) dan immateri (bukan materi). Karena bersifat abstrak, ghaib dan immateri, maka ia akan kembali kea lam immateri dan ghaib, yaitu alam barzakh. Karena itu doa yang sering diucapkan oleh seseorang ketika mendengar orang meninggal dunia dan bertakziyah antara lain adalah mudah-mudahan arwahnya diterima di sisi Allah.
Manusia memang terdiri atas jasad dan ruh, tetapi yang hakekat di antara kedua substansi itu adalah ruh. Jasad hanyalah alat ruh di alam nyata. Suatu ketika alat (jasad) itu terpisah dari ruh. Perpisahan itulah yang disebut dengan peristiwa maut. Yang mati adalah jasadiyah, sedangkan ruhaniahnya akan melanjutkan eksistensinya di alam barzakh.
Sementara ulama berpendapat bahwa ketika Allah menghembuskan /meniupkan ruh ke dalam diri manusia, maka ketika itu pula Allah memberi sebagian sifat ketuhanan pada diri manusia sebagaimana yang terkandung dalam asmaul husna, dan ini semua merupakan fitrah manusia. Misalnya Allah SWT adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang), manusia juga memiliki sifat kasih saying terhadap sesame makhluk. Hanya saja bedanya adalah kalau Allah itu serba Maha, tetapi kalau manusia hanya diberi sebagian saja.
Karena itu di dalam hadits nabi dinyatakan:
ان الله تسعة و تسعين اسما من حفظها دخل الجنة
“Sesungguhnya Allah mempunyai 99 nama, barang siapa yang mampu menjaga atau memeliharanya maka dia akan masuk surga”.
Jadi, dimana letak ukuran kemuliaan manusia itu? Ukuran kemuliaan seseorang itu terletak pada sejauh mana dia mampu memelihara dan mengembangkan sifat-sifat ketuhanan tersebut secara terpadu dalam perjalanan hidup dan kehidupannya sehari-hari. Dikatakan terpadu karena sifat-sifat Allah itu adalah melekat pada Dzat-Nya, Allah itu Maha Kuasa, tetapi Dia juga Maha Adil, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Pemaaf dan pengampun dan sebagainya. Manusia dalam mengambangkan sifat-sifat ketuhanan juga harus bersifat terpadu, ketika menusia memiliki kedudukan tertentu atau berkuasa, maka ia harus menegakkan keadilan, memiliki sifat kasih sayang dan sebagainya.
Kalau begitu apa fungsi materi itu? Materi adalah sebagai alat atau penunjang bagi pengembangan dan perwujudan sifat-sifat ketuhanan itu. Karena berfungsi sebagai penunjang, maka manusia dilarang berlebih-lebihan dalam mencintai materi. Sebab ketika seseorang terlalu inta terhadap materi, maka akan dapat merusak pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang melekat pada dirinya. Orang yang terlalu cinta terhadap materi, akan cenderung bersifat serakah, tidak qanaah, akibatnya idealismenya menjadi rapuh, tidak memiliki kasih saying, pemaaf, dan sebagainya terhadap sesama, bahkan yang difikirkan setiap harinya bukan besok makan apa, tetapi besok makan siapa. Ini semua merupakan akibat dari kecintaan yang berlebihan terhadap materi. Nauudzu billahi min dzalik.
Oleh karena itu, marilah kita mengoreksi diri kita masing-masing (muhasabah), apakah kita masih lebih senang merias jasmani kita (pergi ke salon, fitness dan sebagainya) dari pada merias rohani kita. Apakah kita masih lebih senang memperkaya diri dengan berbagai cara tanpa memperdulikan kepentingan social, apakah kita masih senang olah jasmani atau rohani. Yang jelasislam mengajarkan keserasian, keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani, materiil dan spiritual, antara kepentingan individu dan sosial dan sebagainya. Dengan adanya koreksi diri semacam itu, insyaAllah hidup kita akan selamat dan bahagia dunia akhirat.
3.6 Menyiapkan Imam bagiorang-orang yang bertakwa (suatu komitmen pengembangan pendidikan islam)
Didalam Al-Quran dinyatakan bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia adalah agar mereka menyembah kepada-Nya. (wa maa khalaqtul jinna wal insa illa liyabudun). Ibadah itu mencakup segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, baik berupa amal perbuatan, pemikiran ataupun perasaan dan lain-lain, yang senantiasa ditujukan/diarahkan kepada Allah SWT. Tujuan Allah menciptakan manusia ini pada umumnya dijadikan sebagai tujuan akhir dari kegiatan pendidikan islam.
Dalam khazanah pemikiran islam, kebanyakan para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, misalnya:
-
Dr. Muhammad Munir Mursyi, dalam bukunya at-tarbiyah islamiyah ushuluha wa tathawwaruha fil bilad al-arabiyah. Menyatakan wa tuhdafu at-tarbiyatul islamiyah ila tansyiah al-insan alladzii yabudullah wa yahsyahu. (pendidikan islam itu diarahkan kepada peningkatan manusia yang menyembah kepada Allah dan takut kepada-Nya).
-
Dr. Ali Arsyaf, dalam bukunya new horizons in Muslim Education menyatakan bahwa para sarjana muslim yang bertemu di Konferensi Dunia Pertama Tetag Pendidikan Islam, mereka berpendapat bahwa The ultimate aim of muslim education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of the individual, the community and humanity at large (Tujuan akhir dari pendidikan islam terletak pada perwujudan penyerahan diri atau ketundukan yag mutlak kepada Allah pafa tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya).
-
Dr. Abdul Fattah Jalal, dalam bukunya minal ushul at-tarbiyatul islam menyatakan Kana al-hadaf al-kulli lilt tarbiyah fil islam Idadul insan al-abid alladzii tanthabiqu alaihi shifat allati athlaqaha Allah subhanahu wa taala alal ibadurrahman. (tujuan umum pendidikan islam adalah mempersiapkan manusia yang beribadah atau abid, yaitu manusia yang memiliki sifat-sifat yang diberikan oleh Allah SWT. Kepada Ibadurrahman atau hamba Allah yang mendapat kemuliaan).
Sifat-sifat hamba Allah yag mendapat kemuliaan itu secara terperinci antara lain dijelaskan di dalam Q.S. Al-Furqan ayat 63 sampai 77. Diantara sifat hamba-hamba Allah yang mendapat kemuliaan itu adalah mereka yang selalu berusaha sambil berdoa:
“Dan orang orang yang berkata Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.
Kalau kita memperhatikan makna dan kandugan ayat tersebut, ternyata bahwa puncak usaha dan permintaan hamba Allah yang mendapat kemuliaan adalah wajalnaa lilmuttaqiina imama.
Barangkali kita bertanya bolehkah kita berambisi untuk menjadi imam/pemimpin? Bukankah Rasulullah SAW pernah memberi nasehat kepada Abdurrahman bin Samurah dengan sabdanya:
Wahai Abdurrahman bin Samurah janganlah kamu berambisi untuk mendapat jabatan. Sesungguhnya jika kamu diberi jabatan karena ambisimu, maka kamu akan menanggung segala beban dan resikonya. Tetapi jika kamu diberi jabatan bukan karena ambisimu (tetapi justru kapabilitas dan kredibilitasmu, sehingga kamu mendapat dukungan masyarakat), maka kamu akan ditolong/dibantu dalam menjalankan roda kepemimpinan.
Hadits tersebut seolah-olah bertentangan dengan firman Allah wajalna lilmuttaqiina imama. Namun demikian, kalau kita mau merenungkannya secara seksama, sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, dan bahkan dapat dikompromikan dengan ayat tersebut, yaitu bahwa
“kalau seseorang itu memang tidak mampu atau belum siap untuk menduduki suatu jabatan, jangan sampai dia berambisi atau bernafsu ingin mendapat kedudukan/jabatan, dan jangan dipaksa-paksa melalui berbagai rekayasa untuk mencari dukungan dari masyarakat guna memperoleh jabatan atau kedudukan tersebut. Karena boleh jadi dukungan masyarakat hasil rekayasanya tidak murni, dan justru lebih menekankan dan mengutamakan interest pribadi dan keluarga (nepotisme), serta kepentingan kelompok atau golongan tertentu (sektarianisme) dan lain-lain. Sebaliknya, jika seseorang dianggap mampu, siap dan layak serta kredibel (dapat dipercaya) untuk menduduki suatu jabatan, di mana kemampuan, kesiapan dan kelayakannya itu memang diakui oleh masyarakat (orang-orang yang bertakwa), maka silahkan dia berkeinginan untuk menjadi pemimpin/imam, karena berarti dia dipandang lebih takwa diantara orang-orang bertakwa yang ada”.
Di dalam Undang-Undang No.2 tahun 198 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Kalau dalam system pendidikan nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa, maka dalam konteks pendidikan islam justru harus berusaha lebih dari itu. Dalam arti, pendidikan islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan manusia untuk menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertakwa.
Di dalam sebuah hadits juga dinyatakan:
كلكم لااع و كلكم مسؤول عن رعيته
“Masing-masing kamu adalah pemimpin (minimal pemimpin bagi diri sendiri), dan masing-masing kamu akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya”.
Siapa sebenarnya imam/pemimpin bagi orang yang bertakwa itu? Dan upaya apa yang dilakukan untuk menyiapkannya?
Untuk memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang bertakwa, maka kita perlu mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna takwa ada dua macam, yaitu itba syariatillah (mengikuti ajaran Allah yang tertuang dan terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah) dan sekaligus itba lisunnatillah (mengikuti aturan-aturan Allah yang berlaku di alam semesta ini).
Profil orang-orang yang itba syariatillah, adalah:
-
Mereka senantiasa membaca Al-Quran dan As-Sunnah, dan berusaha memahami ajaran Allah dan Rasulullah serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya, dan berusaha menghayatinya.
-
Agar mereka dapat menghayatinya, maka mereka berusaha memposisikan diri sebagai pelaku (aktor) ajaran islam, bukan sekedar pemikir atau penalar, tetapi juga menjadi pelaku yang setia (loyal), karena pada dasarnya agama islam adalah bukan sekedar intellectual exercise, tetapi justru sebagai agama amal (action). Jika Rene Descartes mempunyai jargon Cogito Erge Sum (saya berfikir, oleh karena itu saya ada), maka dalam islam jargonnya adalah saya bekerja/beramal, karena itu saya ada.
-
Mereka memiliki komitmen tinggi terhadap ajaran islam dan nilai-nilainya, serta mereka siap berdedikasi dalam rangka menegakkan ajaran islam dan nilai-nilainya yang rahmatan lil alamin.
Karena itulah profil orang-orang yang Itba’ syariatillah adalah mereka yang memiliki kemantapan aqidah, kedalaman spiritual, dan keunggulam moral (kesalehan individu dan kesalehan sosial), serta siap berjuang dan berdedikasi dalam menegakkan ajaran islam dan nilai-nilainya yang universal atau rahmatan lil alamiin. Di samping itu, orang yang bertakwa juga sekaligus harus itba’u lisunnatillah. Adapun profilnya adalah sebagai berikut:
-
Mereka berusaha membaca dan memahami fenomena alam (karena dirinya merupakan bagian dari dan berada di alam), fenomena fisik dan psikis (karena dirinya adalah sebagai makhluk individu), fenomena social (karena dirinya sebagai makhluk social), fenomena historis (karena dirinya berada di pentas sejarah) dan fenomena yang lainnya.
-
Agar mereka dapat memahami sunnatullah, maka mereka berusaha diri sebagai pengamat atau researcher (peneliti), sehingga memiliki daya analisis yang tajam, kritis dan dinamis dalam memahami fenomena yang ada di sekitarnya.
-
Mereka senantiasa berusaha membangun kepekaan intelektual serta kepekaan informasi.
-
Karena msing-masing orang mempunyai bakat, kemampuan dan minat tertentu, maka dalam itbau sinnatillah perlu disesuaikan dengan kemampuan profesionalismenya.
Karena itulah, profil orang-orang yang itba sunnatillah adalah mereka yang memiliki keluasan wawasan keilmuan, kepekaan intelektual dan informasi, serta kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang keahliannya.
Imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti di samping dia sebagai orang yang itba sunnatillah sebagaimana uraian di atas, juga mampu menjadi pemimpin, penggerak, pendorong, innovator dan teladan bagi orang-orang yang bertakwa.
Upaya yang perlu dilakukan untuk menyiapkan calon imam/pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa itu? Marilah kita renungkan kembali Q.S. Al-Furqan74
“Dan orang orang yang berkata Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.
Ayat ini mengandung pengertian, bahwa untuk menyiapkan generasi penerus yang qurrata ayun (yang menyenangkan hati) dan menjadi generasi penerus sebagai imam/pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa, maka harus dibangun dari azwaj qurrata ayun (pasangan-pasangan yang menyenangkan hati), atau pasangan-pasangan yang harmonis dan/atau pasukan-pasukan kerja yang kompak. Dalam konteks pendidikan dapat dimaknai sebagai bangunan system pendidikan yang terdiri atas komponen-komponen yang mempunyai hubungan secara harmonis dan terpadu.
Kekompakan kerja dan keharmonisan hubungan di antara pasangan-pasangan itu bukan berarti mengandung konotasi hubugan ketaatan dan kepatuhan yang pasif, tetapi justru di dalamnya terdapat hubungan yang dialogis dan bahkan dialektis. Namun demikian tetap dijaga dan dipelihara hubungan yang harmonis di antara pasanga-pasangan tersebut, yang diwujudkan dalam bentuk adanya(1) saling pengertian, untuk tidak saling mendominasi (2) saling menerima, untuk tidak saling berjalan menurut kemauannya sendiri-sendiri (3) saling percaya, untuk tidak saling curiga-mencurigai (4) saling menghargai, untuk tidak saling thruth claim (klaim kebenaran); dan (5) saling menyayangi, untuk tidak saling membenci dan iri hati.
Itulah antara lain beberapa hal yang perlu menjadi renungan serta menjadi komitmen kita bersama untuk saling muhasabah dan menjalankan syariat islamsecara kaffah serta tetap menjaga standar kualitas keimana dan ketakwaan kita agar supaya kita bisa bersama-sama di catat sebagai orang yag muttaqiin dan dimasukkan oleh Allah SWT ke dalam surga-Nya. Amien.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Implementasi iman dan takwa bisa kita wujudkan dengan beberapa hal, diantaranya adalah dengan cara kita memahami asal/jati diri kita, darimana kita berasal, siapa yang menciptakan kita, dan akan kemanakah kita? Setelah menjawab pertanyaan ini maka cobalah kita renungkan dan coba menganalogikan dengan kenyataan yang ada di kehidupan nyata, apakah segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia di dunia ini sudah relevan dan sesuai dengan fitrah manusia sebagai abd dan khalifatullah fil ard.
Kehidupan manusia yang ccenderung kompleksitas menuntut manusia agar supaya lebih berorientasi kepada materill dan mengindahkan immaterill, lini kehidupan manusia sudah di atur oleh yang namanya kebebasan materi dan menjadi suatu kehidupan yang bercorak kapitalistik.
Peningkata iman dan takwa sangatlah perlu di zaman globalisasi saat ini untuk membentengi manusia agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan dan menjadi orang yang dilaknat oleh Allah, dan sebagai filter dari segala tipudaya syeithan yang ingin selalu menjauhkan manusia dari kebenaran dan dari Rabbnya.
-
Saran
-
Iman dan takwa janganlah dijadikan slogan dalam setiap ibadah mahdhah yag kita lakukan tapi implementasikan dan hayati dalam nurani masing-masing agar kita sama-sama dapat merasakan manisnya iman dan takwa kepada Allah SWT.
-
Perlu adanya seorang imam/pemimpin yang mampu untuk menjadi panutan dan sosok figur yang punya kapabilitas dan kredibilitas dan berorientasi demi kemaslahatan umat.
-
Selalu ingat akan mati
-
Ingatlah Allah di setiap saat, di saat hembusan nafas agar Dia selalu terasa ada di dekat kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. 2001. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. JakartaRaja Grafindo Persada
Abdul Fatah Jalal. 1977. Min al-ushul at-tarbiyah fil islam. Mesirdarul Kutub dalam muhaimin. 1990. Dakwah Islam Di Tengah Transformasi Sosial. SurabayaKarya Abditama.
Ahmad Warson Munawwir. 1984. Al-Munawwir kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta : PP. Al-Munawwir
Al-Quranl Karim, 3Juz dan terjemahannya.
Alim, Syahirul dkk. 1995. Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta Departemen Agama RI
Hamka. 1984. Tafsir Al-Azhar. Surabaya Pustaka Islam
M. Quraish Shihab. 1992. Membumikan Al-Quran. Bandung Mizan
_______________. 1992. Tafsir Al-Amanah. JakartaPustaka Kartini
Muhaimin, dalam majalah Tarbiyah No.38, April-Juni 1995
Muhaimin MA. 1990. Dakwah Islam Di Tengah Transformasi Sosial. Surabaya Karya Abditama.
Muhammad Nawawi Al-Jawy. Tafsir Al-Munir. Surabaya Salin Nabhan
Nurcholis Madjid. 1992. Islam Doktrin Peradaban.
Dostları ilə paylaş: |