Bab I pendahuluan


BAB III PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA



Yüklə 391,8 Kb.
səhifə2/4
tarix03.11.2017
ölçüsü391,8 Kb.
#29112
1   2   3   4
BAB III

PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA


  1. Sejarah Perkembangan Hukum Lingkungan Indonesia

Perkembangan hukum lingkungan di Indonesia terbagi atas tiga kelompok diantaranya :

  1. Zaman Hindia Belanda

Pada zaman ini hanya terdapat ordonansi mengenai beberapa peraturan yang terkait dengan lingkungan hidup diantaranya adalah :

  1. Ordonansi tentang perikanan mutiara dan perikanan bunga karang, yaitu Parelvisscherij, Sponsenvisscherij Ordonantie Stb. 1916 No. 157, dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 29 Januari 1916.

  2. Natuurmonumenten Ordonantie (Ordonansi Cagar Alam) S. 1916 No. 278 yang bertujuan melindungi flora dan fauna. Ordonansi ini kemudian diganti dengan Natuurminumenten en Wld-reservatenordonantie (Ordonansi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) S. 1932 No. 17). Kemudian dicabut dengan ordonansi yang mengatur tentang perlindungan alam, yaitu Natuurbeschermingsordinantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar alam dan suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en Wildreservaten ordonantie 1932 (Stbl. 1932 No. 17). Terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus 1990.

  3. Pada tanggal 26 Mei 1920 dengan penetapan Gubernur Jenderal No. 86 telah diterbitkan Visscherrijordonantie (Stb. 1920 No. 396), yaitu peraturan perikanan untuk melindungi keadaan ikan termasuk telur ikan, benih ikan dan segala macam kerang-kerangan. Ordonansi lain tentang ikan adalah Kustvisscherijordonantie (Stb. 1927 No. 144) berlaku sejak 1 September 1927. Ordonansi perikanan telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang diundangkan pada tanggal 19 Juni 1985.

  4. Reeden Reglement (Peraturan Bandar) S. 1925. Yang melarang membuang barang-barang di bandar sepanjang pantai dan alur pelayaran lainya (Pasal16).

  5. Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah ordonansi gangguan (Hinder Ordonantie), tanggal 13 Juni 1926 Stb. Tahun 1926 No. 226, mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1926 dirubah terakhir dengan Stb. Tahun 1940 No. 450.

  6. Monumentenordonantie S. 1931. No. 238 dalam Pasal12 jo 6 ayat (2), melarang merusak atau mengubah bentuk atau tujuan semula dari monumen tanpa izin.

  7. Ordonansi tentang perlindungan satwa adalah Dierenbeschermingsordonantie (Stbl. 1931 No. 134) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia).

  8. Ordonansi tentang perburuan, yaitu Jachtordonantie 1931 (Stbl. 1931 No. 133) dan Jachtordonantie Java en Madoera 1940 (Stbl. 1940 No. 733) yang berlaku untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 1 Juli 1940.

  9. Dalam bidang perusahaan telah pula dikeluarkan Bedrifsreglementteringsordonantie 1934 (Stbl. 1938 no. 86 Jo Stbl. 1948 No. 224)

  10. Wegverskeersvordening (Peraturan Lalu Lintas Jalan) S. 1936 jo PP No. 2 Tahun 1964, dalam Pasal 11 sub 4a, dilarang mengeluarkan suara keras, menyebarkan uap atau bahan-bahan lain. Dalam Pasal 24 ayat (1c) kendaraan harus dengan alat peredam suara. Ketetentuan tentang lalu lintas telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.

  11. Dalam hubunganya dengan pembentukan kota, telah dikeluarkan Stadvormingsordonantie (Stbl. 1948 No. 168) disingkat SVO yang mulai berlaku pada 23 Juli 1948. Pada tahun tersebut sebenarnya Indonesia telah merdeka, namun SVO ditetapkan diwilayah yang secara de facto masih diduduki Belanda.

Terdapat pula beberapa pasal dalam KUHP yang sampai sekarang masih berlaku mengandung aspek lingkungan :

  1. Pasal 187, yaitu sengaja membakar, menjadikan letusan atau mengakibatkan kebanjiran.

  2. Pasal 187 bis, yaitu membuat, menerima, berusaha untuk mendapatkan, mempunyai, meyembunyikan, membawa atau memasukan ke Indonesia bahan-bahan atau benda-benda yang diketahuinya atau patut disangkanya dapat digunakan sebagai bahan letusan yang dapat mendatangkan maut atau bahaya umum bagi barang.

  3. Pasal 188, yaitu menyebabkan kebakaran, peletusan atau banjir.

  4. Pasal 191, yaitu menghancurkan dan sebagainya bangunan yang diperuntukan menahan atau menyalurkan air.

  5. Pasal 202, yaitu sengaja meracun mata air untuk kepentingan umum.

  6. Pasal 203, yaitu karena kelapaanya mengakibatkan mata air untuk kepentingan umum teracuni.

  7. Pasal 497, yaitu menyalakan api dijalan umum yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran.

  8. Pasal 500, yaitu membuat obat ledak tanpa izin.

  9. Pasal 501, yaitu menjual dan sebagainya barang makanan/minuman yang dipalsukan atau busuk atau dari ternak sakit.

  10. Pasal 502, yaitu berburu tanpa izin.

  11. Pasal 503, yaitu berbuat onar pada malam hari atau dekat tempat ibadah atau pengadilan.

  12. Pasal 548-549, yaitu membiarkan unggas, ternak berkeliaran.




  1. Zaman Jepang

Pada zaman Jepang terdapat peraturan tentang larangan menebang kayu aghata, alba dan balsem tanpa izin, yaitu Osamu S. Kanrei Nomor 6. Larangan tersebut berkaitan dengan kepentingan Jepang terhadap ketiga jenis kayu tersebut sebagai bahan pembuatan pesawat peluncur (gliders).


  1. Zaman Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, sebelum berlangsungnya Konferensi Stockholm tahun 1972 yang dianggap sebagai tonggak perhatian dunia terhadap masalah lingkungan tersebut, Indonesia telah memiliki beberapa perundangan yang bernuansa lingkungan. Demikian pula selanjutnya secara bertahap ditetapkan beberapa Undang-Undang bernuansa lingkungan baik sebelum tahun 1972 maupun setelahnya, seperti :

  1. UU No.5 Tahun 1960, tentang Undang-Undang Pokok Agraria.

  2. UU No. 9 Tahun 1960, tetang Pokok Kesehatan.

  3. UU No. 11 Tahun 1962, tentang Hygiene.

  4. UU No. 5 Tahun 1967, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

  5. UU No. 11 Tahun 1967, tentang Pertambangan.

  6. UU No. 3 Tahun 1972, tentang Transimgrasi.

  7. UU No. 4 Tahun 1982 (telah diganti dengan UU No. 23 Tahun 1997), tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan telah diterbitkan UU organik.

  8. UU No. 5 Tahun 1983, tentang Zona Eksklusif, berkaitan dengan Pasal 2 dan 4 UULH.99

Sejarah perkembangan peraturan masalah lingkungan Indonesia berkembang seiring dengan perkembangan masalah lingkungan di tingkat global tersebut. Sebagai sebuah negara anggota PBB, Indonesia telah turut ambil bagian aktif dalam konferensi dan segala dan segala kegiatan yang bernuansa lingkungan. Seperti dalam konferensi Stockholm 1972, Indonesia bahkan turut menyumbangkan pokok pemikiran tentang lingkungan berupa Indonesia’s Country Report sebagai dokumen resmi yang pada awalnya disampaikan pada forum ECAFE Seminar on Development and Environment di Bangkok pada tanggal 17-23 Agustus 1971. Laporan tersebut direvisi untuk kemudian disajikan oleh delegasi Indonesia pada Konferensi Stockholm tersebut dengan judul Nation Report of Indonesia Environment Problems in Indonesia. Selanjutnya untuk ketiga kalinya laporan tersebut disajikan pada The IX International Forum on Industrialisation and Environment, yang dilangsungkan di Tokyo pada 25 November - 1 Desember 1973.

Selain itu, dalam negeri sendiri Indonesia telah aktif berupaya mewujudkan satu undang-undang lingkungan menyesuaikan dengan suasana global. Bukti bahwa didalam negeri sendiri Indonesia sangat peduli dengan masalah lingkungan adalah telah diadakan seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan Pembangunan Nasional di Bandung yang diprakarsai oleh Lembaga Ekologi UNPAD pada tanggal 15-18 Mei 1972. Mochtar Kusumaatmadja telah menulis makalah berjudul Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia: Beberapa Pikiran dan Saran. Mengingat bahwa sajian tentang pembinaan hukum lingkungan baru pertama kalinya dibahas di Indonesia, maka menurut Munadjat Danusaputro bahwa kita tidak ragu untuk menyatakan di Indonesia yang pertama kali sebagai peletak batu pertama untuk memperhatikan dan menangani hukum lingkungan adalah Prof. Mochtar Kusumaatmadja.100

Pengaruh Konferensi Stockholm pada tahun 1972 serta seminar yang telah dilaksanakan tersebut bagi Indonesia adalah, kegiatan pengelolaan lingkungan mulai ditangani secara langsung oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari langkah-langkah tindak lanjut yang dilakukan pemerintah Indonesia merupakan langkah yang tepat dan konkret yaitu dengan membentuk Komite Nasional Lingungan Hidup berdasarkan Keppres No. 16 Tahun 1972. Komite ini bertugas merumuskan konsep pembangunan yang berkelanjutan untuk dituangkan dalam GBHN periode 1973-1976101. Selain itu telah pula diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 60 tahun 1972 tanggal 17 Oktober 1972 tentang Pembentukan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang pengembangan Lingkungan Hidup. Panitia tersebut diketuai oleh oleh Menteri Negara Urusan Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara/Deputi Ketua BAPPENAS Bidang Perencanaan Material dan Prasarana Dr. JB Sumarlin. Tugas utama Panitia antar Departemen ini adalah menyusun, membuat investarisasi dan rencana kerja bagi Pemerintah dibidang pengembangan lingkungan hidup.

Selanjutnya hasil kerja Panitia tersebut dijabarkan lebih lanjut dama TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, pada BAB III, bagian b butir 10 dari pembukaan berbunyi sebagai berikut:

Dalam melaksanakan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia harus digunakan secara rasionil. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yag menyeluruh dan dengan memperhitungkan kenutuhan generasi yang akan datang”.

Dengan demikian gagasan pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada dasarnya telah dirumuskan sejak tahun 1973 tersebut.



Penjabaran lebih lanjut mengenai arah pembangunan lingkungan, secara singkat adalah sebagai berikut :

  1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) II, pada Bab 4 tentang pengelongaan sumber sumber alam dan lingkungan hidup selain itu pokok pokok sumber sumber alam dan lingkungan hidup. Selain itu pokok-pokok kebijakan pengelolaan sumber-sumber alam dan lingkungan hidup, ditetapkan pula langkah-langkah pengelolaan dalam proses pelaksanaan pembangunan.102

  2. 17 Februari 1975 Kepala Negara telah mengeluarkan Intruksi kepada Menteri Kehakiman untuk menangani tata peraturan “Perlindungan Lingkungan Laut Nusantara”, kemudian pada 31 Maret 1975 Menteri Kehakiman membentuk “Tim Teknis Penyusunan RUU Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Laut, khusunya di Selat Malaka dan Selat Singapura”. Hal ini merupakan awal permulaan Indonesia membebani hukum lingkungan secara konsepsional.103

  3. Kepala Negara pada 17 Februari 1975 mengintruksikan Menteri Kehakiman agar menangani tata pengaturan Perlindungan Lingkungan Laut Nusantara secara fundamental. Atas intruksi Presiden tersebut dibentuklah satuan-satuan tugas (task porce) di tingkat pusat secara interdepartemental karena terjadinya kecelakaan kapal tanker showa maru yang kandas kurang lebih 3 mil dari pelabuhan Singapura pada 6 Januari 1975. Karena Indonesia belum memiliki Undang-Undang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Laut dan belum meratifikasi konvensi-konvensi internasional, maka Indonesia sangat mengalami kesulitan dalam upaya penyelesaian hukum dan tuntutan ganti rugi akibat pencemaran lingkungan laut oleh tanker Showa Maru tersebut.

  4. Tanggal 31 Maret 1975 Menteri Kehakiman membentuk tim teknis penyusunan RUU Pencegahan dan Penaggulangan Pencemaran Laut, khususnya di selat Malaka dan selat singapura. Hal ini merupakan langkah awal Indonesia membentuk hukum lingkungan secara konsepsional.104

  5. Sebagai tindak lanjut usaha Pemerintah menangani masalah lingkungan ini, pada tanggal 25 Juni 1975 telah dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1975 tentang pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam (disebut Panitia Kekayaan alam) yang merupakan wadah bagi penyelenggara koordinasi, sinkronisasi dan integrasi untuk mempersiapkan kebijaksanaan umum Pemerintah di bidang Inventarisasi, evaluasi, pengelolaan, pengembangan dan pengamanan kekkayaan alam. Panitia Kekayaan alam diketuai oleh Menteri Negara Riset.

  6. Pada tanggal 25-27 Maret 1976 dilakukan seminar segi-segi hukum dan pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan bersama oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia dengan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, di Lembang. Pemikiran dalam seminar tersebut sangat berpengaruh terhadap pembangunan hukum lingkungan nasional.

  7. pada 5-6 Juni 1978 dalam rangka memperingati hari lingkungan sedunia telah dilaksanakan pula seminar nasional pengembangan lingkungan hidup. Yang kemudian dilanjutkan dengan survey dan inventarisasi segala produk hukum bidang lingkungan hidup.

  8. Arah pembangunan lingkungan hidup disempurnakan lagi dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV Tahun 1978 tentang GBHN yang khusus memuat butir 13 sumber daya alam dan ekonomi. Penjabaran lebih rinci dituangkan dalam Keputusan Presiden Ri Nomor 7 Tahun 1979 tentang REPELITA III. Keppres No. 7 Tahun 1979 tersebut mengatur langkah-langkah pengelolaan sumber-sumber alam dan lingkungan hidup dalam proses pelaksanaan pembangunan yang lebih luas daripada dalam Keppres Nomor 11 Tahun 1974 tentang REPELITA II.

  9. Sejak pembentukan Kabinet Pembangunan III berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 59/M Tahun 1978 telah diangkat Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang tugasnya diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1978 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi serta susunan Organisasi stafnya dan mulailah lingkungan yang semula hanya terkait dengan masalah ilmiah dan perncanaan semata, bergeser masuk kedalam bidang kebijakan (policies). Keputusan Presiden ini kemudian dirubah dengan Keputusan Presiden RI Nomor 35 Tahun 1978, terutama berisi penyempurnaan terhadap ketentuan angka 2 Pasal 2 Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1978, khusus menangani fungsi Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 1978 tersebut, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Peran Menteri Negara PPLH beserta stafnya dalam memajukan kesadaran lingkungan dan memupuk peran serta masyarakat sangat menonjol selama Pelita III.

  10. Sampai tahun 1978 ini Indonesia belum memiliki undang-undnag tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang sesuai dengan arah kebijakan yang ditetapkan oleh Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1978 tantang GBHN, maka ditetapkanlah Keputusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-006/MNPPLH/3/1979 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Dalam Bidang Pembinaan Hukum dan Aparatur Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (disingkat “kelompok kerja”) yang diketuai oleh St. Munadjat Danusaputro, SH. Kelompok kerja ini bertugas menyusun rancangan peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang tata pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.105Setelah pembentukan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional, pekerjaan koordinasi perumusan kebijakan secara otomatis beralih kepada Kantor Menteri Negara PPLH. Pada saat itu persiapan UU Lingkungan Hidup (yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982) dan Peraturan Pemerintah mengenai AMDAL (yang kemudian menjadi PP. No. 29 Tahun 1986) dalam proses pelaksanaan pembentukanya menjadi lebih terfokus dan lancar.

  11. Sebelum diundangkan menjadi UU, telah diterbitkan surat Keputusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup RI Nomor KEP-027/MNPPLH/11/1981 tentang Pembentukan Kelompok Ketja Pembinaan Hukum dan Aparatur Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup yang bertugas menyusun kebijakan lingkungan hidup dari segi pembinaan hukum dan aparatur, melakukan konsultasi dan koordinasi antar sesama unsur pemerintah dan antara unsur pemerintah dengan kalangan swasta yang berkepentingan dengan pembinaan hukum dan aparatur dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian tugasnya diperbaharui dengan Keputusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup RI Nomor KEP-21/MNPPLH/11/1982 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, yang diketuai oleh Munadjat Danusaputro Kelompok kerja tersebut telah beberapa kali menyampaikan sumbangan pikiran yang berharga bagi konsep peraturan perundang-undangan untuk menunjang pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH), antara lain Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Masa kerja kelompok kerja Hukum PPLH ini berakhir tanggal 31 Desember 1982.

Selanjutnya pada tahun 1983 telah dikeluarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN, dimana isinya tidak jauh berbeda dengan TAP MPR Tahun 1978. Perbedaan Keppres tersebut dengan Keppres Nomor 9 Tahun 1979 tentang REPELITA III adalah mengenai kebijakan dan langkah-langkah pengelolaan lingkungan hidup.

  1. Kebijakan Pembangunan Berwawasan Lingkungan

Konferensi yang dilaksanakan pada tahun 1968 tersebut merupakan awal dari adanya perhatian masyarakat internasional terhadap kerusakan lingkungan secara gobal, yang kemudian diikuti oleh Konferensi lainya.

  1. Internasional

  1. Kegiatan Sebelum Konferensi Stockholm

Kegiatan ini diawali dengan pertemuan yang dinamakan The Club of Rome yang bermula dari pertemuan 30 orang terkemuka dari 10 negara yang berkumpul di Roma pada bulan April 1968, atas inisiatif Dr. Aurelio Pecei seorang pengusaha terpandang di Itali, untuk membahas topik yang menonjol, yaitu “the present and future predicament of man” yang cukup berperan dalam bidang lingkungan, Meadows dan Meadows106 mengemukakan hasil:

  1. If the presents growth trends in world population, industrializations, pollution food production, and resource depletion continue unchanged, the limits to growth on this planet will be reached sometime within the next one hundred years. The most probable result will be a rather sudden and uncontrollable decline in both population and industrial capacity.

  2. It is possible to alter these growth trends and to estabilish a condition of ecological and economic stability that is sustainable far into the future. The state of global equalibrium could be designed so that the basic material needs of each person on earth are satisfied and each person has an equal opportunity to realize his individual human potential.

  3. If the world’s people decide to strive for this second outcome rather than the first, the sooner they begin working to attain it, the greter will be their chances of success.

Kemudian pada tahun 1974 telah dilaporkan pula laporan kedua kepada The Club of Rome dengan judul “Mankind at the turning point” yang disusun oleh Measoronic dan Pestel. Laporan tersebut membahas masalah kesenjangan manusia yang semakin melebar, yaitu the gap between man and nature dan The gap between “North and South” rich and poor. Dan untuk menutup kesenjangan tersebut diajukan alternatif pemecahanya, yaitu :

  1. An essential prerequisite in understanding the nature of the gap between regions.

  2. Since the change is to be brought about by men there must exist a framework conducive to developmentin the desired direction.

  3. Global anticipatory and adjustment procedures and mechanismsmust be developed to deal with a stream of crises, which might well come in increasingly short succession, as the results of our study indicate. Crises now must be prevented rather than reacted to.107




  1. Konferensi PBB Tentang Lingkungan Hidup Manusia

  1. Konferensi Stockholm

Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang lazim disingkat dengan UNCHE 1972 (United Nation Conference on Human Environment) diselenggarakan di Stockholm Swedia pada tanggal 5-16 Juni 1972, diikuti oleh 113 negara, 21 organisasi PBB, 16 organisasi antar pemerintah, 258 LSM (NGOs) dari berbagai negara.

Pada akhir sidang yaitu pada tanggal 16 Juni 1972 Konferensi mengesahkan hasil-hasil berupa Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia terdiri dari:



  1. Deklarasi tentang lingkungan hidup manusia, terdiri atas Preambule dan 26 asas atau prinsip yang lazim disebut dengan Stockholm declaration.

  2. Selain itu juga dihasilkan action plan (Rencana Aksi Lingkungan) lingkungan hidup manusia terdiri dari 109 rekomendasi termasuk didalamnya 18 rekomendasi tentang perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia.

  3. Action Plan internasional yang terdiri atas 3 (tiga) bagian kerangka:

  1. A global asessment programme, dikenal sebagai earthwatch.

  2. Environmental management activities.

  3. Supporting measures, education and training, public information and organization and financing arrangements.

  4. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang, pelaksanaan rencana aksi, terdiri dari Dewan Pengurus, Sekertariat, dana lingkungan hidup, bahkan koordinasi lingkungan hidup.

Dari konferensi tersebut kemudian munculah satu konsep pembangunan berwawasan lingkungan (ecodevelopment) dan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) kedua konsep pembangunan tersebut menekankan pada pentingnya keberlangsungan kelestarian antara manusia, sumber daya dan lingkungan dalam pembangunan.108


  1. Kegiatan UNEP di Nairobi

Puncak kegiatan UNEP dilaksanakan pada sidang Governing Council pada tanggala 20 Mei – 2 Juni 1982 di Nairobi yang telah menerima Deklarasi Nairobi yang terdiri dari 10 butir pokok pikiran sebagai tindak lanjut dari pertemuan-pertemuan sedunia untuk memperingati 10 tahun Konferensi Stockholm, tanggal 10- 18 Mei 1082 di Nairobi. Dalam memasuki The Second Environmental Decade (1982-1992, Deklarasi Nairobi mengemukakan tentang perlunya intensifikasi upaya melindungi dan memajukan lingkungan hidup pada tahap global, regional dan nasional.

Dengan demikian cukup besar peranan UNEP dalam rangka mendorong dan memajukan upaya untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan hidup di dunia, termasuk pula melalui sarana hukum.

Selanjutnya pada tanggal 18-22 Maret 1985 diselenggarakan suatu pertemuan khusus di Wina yang menghasilkan sebuah konvensi tentang perlindungan ozon (Vienna Convention for the Protection of Ozone Layer, 1985) kemudian pertemuan ini dilanjutkan dengan pertemuan Montreal pada tanggal 14-16 September 1987 yang menghasilkan ketentuan tambahan untuk konvensi Wina 1985, yaitu Montreal Protocol on substances that Deplate the Ozone Layer, 1987.


  1. Komisi WCED (The World Commission on Environment and Development)

Menindaklanjuti hasil-hasil yang telah diputuskan dalam Konvensi Stockholm 1972, pada tahun 1983 oleh PBB dibentuklah suatu komisi yang diberi nama The World Comission on Environment and Development (WCED) yang dikenal dengan komisi Burtland, dalam rangka memenuhi keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161. WCED suatu komisi yang independen dengan tugas melakukan investigai dan memberikan berbagai rekomendasi terhadap masalah-masalah lingkungan global. Pada tahun 1987 WCED yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Bruntland (Norwegia) dengan anggota mencakup pemuka-pemuka dari Zimbabwe, Jerman Barat, Hongaria, Jepang, Guyana, Amerika serikat, RRC, India, Kanada, Kolumbia, Saudi Arabia, Italia, Mexico, Brazilia, Aljazair, Nigeria, Yugoslavia, dan Indonesia (Prof. Emil Salim). Sekertaris jenderal WCED berkedudukan di Geneva. WCED mengeluarkan suatu laporan yang diberi nama Our Common Future yang merupakan hasil investasi terhadap aktifitas dan program lingkungan terpadu berkenaan dengan masalah-masalah pembangunan ekonomi pada tingkat internasional, regional dan lokal. Dan memberikan banyak rekomendasi khusus untuk perubahan institusional dan perubahan hukum.109


  1. Konferensi Rio

Konferensi ini diusulkan oleh WCED untuk membicarakan masalah-masalah lingkungan global dalam kaitanya dengan upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable Development). Rekomendsi dan usulan ini diterima oleh sidang Majelis Umum PBB dengan resolusi nomor 44/228. Implementasi dari resolusi ini adalah diselenggarakanya United National Conference on Environment and Development (UNICED) The Framework Convention on Climate Change110 di Rio de Janeiro, Brasil, yang berlangsung pada tanggal 3-14 Juni 1992 yang merupakan peringatan 20 tahun Konferensi Stockholm 1972, konferensi ini menghasilkan Rio Declaration. Konferensi ini diadakan dalam rangka pelaksanaan resolusi Sidang Umum PBB No. 45/211 tanggal 21 Desember 1990 dan keputusan No. 46/468 tanggal 13 April 1992.

Dokumentasi penting yang dihasilkan UNICED, antara lain :



  1. Rio Declaration on Environmental and Development yang menggariskan pinsip fundamental tentang lingkungan dan pembangunan.

  2. Agenda 21 (Agenda tentang Rencana Aksi untuk melaksanakan prinsip-prinsip Rio).

  3. The Convention on Biological Diversity.111

  4. The Framework Convention on Climate Change.112

  5. The Statement of Principle for a Global Consensus on the Management,Conservation and Sustainabe Dvelopment of all Types for Forest (the Statement of Forest Principles).113

Selanjutnya dari 5 (lima) dokumen tersebut, maka dalam kaitanya dengan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan UNICED telah menghasilkan 5 (prinsip) utama atau pokok pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, yaitu :

  1. Keadilan antar generasi (intergenerational equity).

  2. Keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity).

  3. Prinsip pencegahan diri ( precautionary principle).

  4. Perlindungan keanekaragaman hayati (conservation of biological diversity).

  5. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif (Internalization of environment cost and incentif mechanism).

Akhirnya untuk menjamin pelaksanaan dokumen KTT Bumi, khususnya Deklaraasi Rio dan Agenda 21, PBB menetapkan 3 (tiga) resolusi penting sebagai upaya menjamin pelaksanaan Deklarasi rio maupun agenda 21 :

  1. Resolution 47/190 Endorsing Agenda 21.

Menyatakan dukungan terhadap seluruh dokumen yang dihasilkan di KTT Bumi, dan mendesak kepada negara-negara dan kelembagaan dibawah sistem PBB serta lembaga-lembaga non pemerintah untuk melakukan langkah-langkah nyata menindaklanjuti seefektif mungkin dokumen KTT Bumi, khususnya Deklarasi Rio dan Agenda 21.


  1. Resolution 27/191 Follow-up Agenda 21.

Resolusi ini meminta Ecosoc (Economic and Social Council) membentuk high level Comission on sustainable development (CSD) yang berfungsi sebagai focal point untuk menindaklanjuti hasil KTT Bumi melalui upaya peningkatan kerjasama Internasional, dan aspek lainya untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan disemua negara di dunia.


  1. Resolution 47/194 UNDP’s Capacity 21.

Meminta Governing Council UNDP dan CSD melaksanakan program-program nyata untuk melaksanakan rekomendasi Agenda 21 tentang pengembangan kapasitas (capacity buiding) terutama dinegara-negara sedang berkembang.114

Prinsip-prinsip permbangunan berkelanjutan atau kemudian dikenal dengan prinsip-prinsip Rio antara lain disebutkan: keadilan antar generasi, keadilan dalam satu (sesama) generasi, partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan akses rakyat terhadap informasi, internalisasi biaya lingkungan dan pengembangan instrumen ekonomi, kerjasama internasional dalam pengembangan kapasitas, serta dalam pencegahan relokasi industri kotor, prinsip pencegahan dini, peran penting perempuan dan pemuda dalam pengelolaan lingkungan, pengakuan hak masyarakat asli, pengembangan pengetahuan dan praktek masyarakat tradisional dalam pengelolaan lengkungan, keterkaitan erat antar perdamaian, pembangunan dan perlindungan lingkungan.115



  1. Konferensi Johannesburg

KTT Johannesburg ini menghasilkan dokumen Rencana Pelaksanaan (Plan of implementation) sebanyak 153 paragraf, yang secara komprehensif menyangkut semua segi kehidupan. Ada 3 (tiga) hal pokok yang diagendakan WSSD, yaitu :

  1. Pemberantasan kemiskinan.

  2. Perubahan pola konsumsi dan produksi.

  3. Pengelolaan sumber daya alam.116

Ketiga hal tersebut menjadi dasar dari sepuluh action plan yang harus dilaksanakan oleh setiap negara.

Upaya pemberantasan kemiskinan dilakukan dengan meningkatkan pendapatan, pemberantasan kelaparan, penyediaan air bersih, pembukaan akses terhadap sumber daya produktif, kredit dan kesempatan kerja yang melibatkan perempuan dan masyarakat tradisional, perluasan akses energi, serta perbaikan kesehatan.

Setelah itu berkembang berbagai perjanjian internasional tentang kerjasama lingkungan hidup, seperti Protokol Kyoto, Protokol Cartagena, dan lain-lainya.


  1. Nasional

  1. Kementrian Lingkungan Hidup

Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1978 tanggal 2 September 1978 telah menetapkan Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja dari tiga Menteri Negara, yaitu Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi. Pasal 1 ayat 3 menyebutkan tugas pokok Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (MENPPLH), yaitu mengendalikan pengawasan pelaksanaan pembangunan dan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan lingkungan hidup.

Dalam Kabinet Pembangunan IV, MENPPLH telah diubah menjadi Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (MENKLH). Dalam keputusan presiden No. 25 Tahun 1983 telah ditetapkan Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara serta Susunan Organisasi Staf Menteri Negara. Pasal 1 ayat (4) Keputusan Presiden menyebutkan bahwa Menteri Negara adalah Pembantu Presiden dengan tugas pokok menangani hal-hal yang berhubungan dengan kependudukan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kabinet pembangunan VI, perangkat kelembagaan setingkat menteri diubah dari Men KLH menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (seterusnya disingkat dengan sebutan Men LH). Penamaan Men LH ini tetap dipertahankan dalam Kabinet Presiden Abdurrahman Wahid.

Selain Kementrian Lingkungan Hidup, di tingkat nasional juga pernah ada lembaga lainya yaitu: Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) namun pada masa Presiden Megawati, BAPEDAL diadakan sedangkan fungsi BAPEDAL diintegrasikan ke dalam Kementrian Lingkungan Hidup berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 101 tentang kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara. Meskipun saat ini BAPEDAL telah tiada, BAPEDAL di bentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1990.


  1. Kelembagaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota

Ketentuan tentang kewenangan dan kelembagaan di daerah dapat diketahui dari rumusan Pasal 12 ayat (1) UULH 1997. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) a mengandung asas dekosentrasi, sedangkan Pasal 12 ayat (1) b mengandung asas pembantuan. Pasal 13 ayat (1) UULH 1997 berbunyi sebagai berikut:” dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah dapat meyerahkan sebagian urusan kepada pemerintah daerah menjadi urusan rumah tangganya.” Ketentuan ini mengandung asas desentralisasi urusan pengelolaan lingkungan hidup.

Perkembangan penting tentang kelembagaan di daerah terjadi dengan keluarnya Keppres No. 77 Tahun 1994, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota dapat membentuk BAPEDAL Daerah (disingkat BAPEDALDA). BAPEDALDA merupakan perangkat kelembagaan pemerintah daerah dan tidak berada di bawah BAPEDAL. Sebelum pembentukan BAPEDALDA Provinsi, maka kelembagaan yang ada hanyalah Biro Bina Lingkungan Hidup.117



  1. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Karawang (BPLHD)

  1. Tugas Pokok dan Fungsi

  1. Kedudukan

Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang berkududukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati melalui Sekertaris Daerah.


  1. Tugas Pokok dan fungsi

Tugas BPLH Kabupaten Karawang diatur dalam Peraturan Bupati Karawang Nomor 89 tahun 2008, tentang Uraian Tugas BPLH Kabupaten Karawang. Dalam melakukan tugas pokoknya BPLH mempunyai fungsi sebagai berikut :

  1. Pengaturan dan perumusan kebijakan pemerintah daerah dibidang pengelolaan lingkungan hidup;

  2. Pelaksanaan program pemerintah bidang pengelolaan lingkungan hidup.




  1. Rincian Tugas dan Wewenang

Urusan lingkungan hidup merupakan salah satu urusan wajib yang harus diselenggarakan Pemerintah Daerah, berkaitan dengan pelayanan dasar. Saat ini telah terbit Peraturan Bupati Nomor 50 tahun 2008 tentang Struktur Oganisasi dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Karawang dan Peraturan Bupati Karawang Nomor 89 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Karawang. Penerapan kedua Peraturan Bupati Karawang tersebut mulai berlaku tahun 2009.

Sedangkan berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur tentang tugas dan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, antara lain :



  1. Menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;

  2. Menetapkan dan melaksanakan KLHS (Kajian Lngkungan Hidup strategis);

  3. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota;

  4. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai AMDAL dan UKL-UPL;

  5. Menyelenggarakan inventarisasi sumberdaya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;

  6. Mengembangkan dan melaksanakan kerjasama dan kemitraan;

  7. Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;

  8. Memfasilitasi penyelesaian sengketa;

  9. Melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha terhadap ketentuan lingkungan hidup;

  10. Melaksanakan standar pelayanan minimal;

  11. Melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat yang terkait dengan PPLH pada tingkat kabupaten/kota;

  12. Mengelola informasi lignkungan hidup tingkat kabupaten/kota;

  13. Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;

  14. Memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan dan penghargaan;

  15. Menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota;

  16. Melakukan penegakan hukum lingkungan pada tingkat kabupaten/kota.

Tugas dan wewenang ini secara jelas dilimpahkan kepada BPLH yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


  1. Pandangan Umum Hukum Pidana Lingkungan

  1. Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan instrumen-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata dengan tujuan memaksa subjek hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Penggunaan instrumen dan sanksi hukum administrasi dilakukan oleh instansi pemerintah dan juga oleh warga atau badan hukum perdata. Gugatan Tata Usaha Negara merupakan sarana hukum administrasi negara yang dapat digunakan oleh warga atau badan hukum perdata terhadap instansi atau pejabat pemerintah yang menerbitkan keputusan tata usaha negara yang secara formal atau materiil bertentangan eraturan perundang-undangan lingkungan. Penggunaan sanksi-sanksi hukum pidana hanya dapat dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah. Penggunaan instrumen hukum perdata, yaitu gugatan perdata, dapat dilakukan oleh warga, badan hukum perdata dan juga instansi pemerintah. Namun, jika dibandingkan diantara ketiga bidang hukum, sebagian norma-norma hukum lingkungan termasuk kedalam wilayah hukum administrasi negara.118

Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kegiatan (policy planning) tentang lingkungan, yang urutanya sebagai berikut :



  1. Perundang-undangan ( legislation, wet en regelgeving)

  2. Penentuan standar (standard setting, norm setting)

  3. Pemberian izin (licensing, verguning verlening)

  4. Penerapan (implementation, uitvoering)

  5. Penegakan hukum (law enforcement, rechtshandhaving)119

Dari mata rantai siklus pengaturan (regulatory) perencanaan kebijakan hukum lingkungan dapat dilihat bahwa dimanapun dan terlebih-lebih di Indonesia, yang plaing lemah adalah penegakan hukum.

  1. Pelanggaran yang Tidak Bisa di Selesaikan Hukum Administrasi dan Perdata

Hukum pidana (modern) dapat mencapai sasaranya (dalam hukum lingkungan terhentinya pencemaran atau terpenuhi syarat-syarat izin yang ditentukan oleh pihak administrasi) tanpa dilanjutkanya penuntutan dan dan pejatuhan pidana. Memang dapat dikatakan, bahwa pos pertama dalam mempertahankan dan memelihara hukum lingkungan berada ditangan para pejabat administrasi, karena merekalah yang mengeluarkan izin dan dengan senidrinya mereka yang terlebih dahulu mengetahui jika tidak ada izin atau syarat-syarat dalam izin itu dilanggar.

Namun, tidaklah berarti sanksi administratif didahulukan penerapanya terhadap pelanggaran hukum lingkungan. Bagaimana jika pejabat administrasi enggan bertindak atau pura-pura tidak tahu adanya pelanggaran, bahkan bagaimana jika ia terlibat atau mempunyai interest dalam perusahaan yang melanggar itu. Dalam hal semacam itu, instrumen hukum pidanalah yang sebaiknya diterapkan sebagai premum remedium.



Pilihan jatuh pada hukum pidana jika suatu kerusakan tidak dapat diperbaiki atau dipulihkan, misalnya penebangan pohon, pembunuhan terhadap burung atau binatang yang dilindungi atau termasuk irreparability.120 Perbaikan atau pemulihan kerusakan tersebut tidak dapat dilakukan secara fisik.

Penerapan instrumen administratif terutama dimaksudkan untuk pemulihan keadaan atau perbaikan kerusakan atau dengan kata lain ditujukan kepada perbuatanya. Adapun penerapan instrumen hukum pidana terutama ditujukan kepada orang atau pembuatnya. Oranya itulah yang perlu diperbaiki. Penerapan instrumen hukum pidana diharapkan tidak menjerakan orang yang melanggar itu saja, tetapi orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama jika tidak ingin dikenakan sanksi hukum pidana (generale preventie).121 Disamping itu penerapan hukum pidana juga akan memuaskan korban secara individual dan masyarakat sebagai korban kolektif. Lebih-lebih di Indonesia yang pada era reformasi ini masyarakat luas ingin melihat semua perkara pidana diajukan ke pengadilan.

Kriteria oportunistis didasarkan pada instrumen yang lebih menguntungkan. Dalam hal suatu perbuatan pencemaran atau perusakan yang dirasakan oleh masyarakat luas atau individu sebagai perbuatan yang merugikan, tetapi jaksa atau tidak enggan bertindak, baik dalam mempergunakan wewenangnya untuk menuntut berdasarkan pidana maupun menggugat atas nama masyarakat (actio popularis), tentulah masyarakat baik secara kelompok (groepsactie) atau LSM atas nama masyarakat mauapun individu yang merasa dirugikan oleh perbuatan pelanggaran lingkungan itu dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Disini pilihan instrumen hukum perdata merupakan jalan terbaik.122


  1. Penegakan Hukum Pidana Lingkungan

Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian “law enforcement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materiil diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga dibedakan antara konsepsi “cort of law” dalam arti pengadilan hukum dan “cuort of justice” atau pengadilan keadilan.123

Dari penegakan pidana aspek pertama tersebut, diharapkan sekaligus dapat memperbaiki pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. Dan sekaligus upaya menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Dengan demikian yang dimaksudkan penegakan hukum pidana bidang lingkungan yang represif (hukum pidana) adalah upaya menanggulangi kejahatan perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup dalam rangka memberikan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat khususnya pelanggaran ketentuan delik formil UUPPLH dalam rangka menerapkan sanksi bagi pelaku perusak dan/atau pencemar lingkungan hidup. Keterkaitan dengan asas ultimum remedium di atas, maka sudah seharusnya fungsionalisasi hukum pidana dilakukan setelah upaya non penal didayagunakan secara optimal. Selanjutnya penegakan hukum ini dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagaimana yang ditentukan dalam perundang-undangan yaitu UUPPLH.124

penegakan hukum lingkungan pada dasarnya dimulai dengan upaya pembinaan ketaatan terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku, kegiatan tersebut dapat berupa kegiatan penyuluhan, pembinaan teknis, pemberian penghargaan dan berbagai bentuk insentif, pengawasan, pemantauan, penindakan sampai kepada penjatuhan sanksi-sanksi hukum baik administrasi dan/atau pidana dan/atau perdata. Salah satu upaya pembinaan teknis, pemberian penghargaan dan pengawasan kepada perusahaan yang telah melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik sesuai undang-undang, dan juga sebagai langkah awal untuk mendeteksi perusahaan-perusahaan mana yang tidak taat undang-undang sehingga harus diberi sanksi pidana.125

Pola penegakan hukum pidana lingkungan meliputi beberapa proses yang dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu : tahapan preemtiv, tahapan preventif, tahapan represif.


  1. Tahapan Pre-emtive yaitu, tindakan antisipasi yang menekankan faktor tindak pidana, yakni faktor-faktor yang memungkinkan kerusakan atau pencemaran lingkungan. Dengan deteksi atas faktor tindak pidana ini dapat dilakukan pencegahan dan tidak terjadi ancaman terhadap lingkungan.

  2. Tahapan preventif adalah serangkaian tindakan nyata yang bertujuan mencegah perusakan atau pencemaran lingkungan.

  3. Tindakan represif adalah serangkaian tindakan yang dilakukan petugas hukum atau aparat penegak hukum dalam rangka menegakan ketentuan-ketentuan hukum pidana lingkungan.126

Pada dasarnya strategi penegakan hukum lingkungan nasional adalah upaya pencegahan atau preventif. Secara preventif yang bersifat operasional adalah dilaksanakanya secara cermat, lengkap, jelas prosedur perizinanya dan tahap berikutnya adalah terlaksananya kegiatan pembinaan, pengawasan dan pemantauan secara konsisten, efisien dan efektif. Selanjutnya apabila hal tersebut tidak berhasil atau tidak mampu mencegah terjadinya pelanggaran, baru memasuki tahapan yang represif 127. Upaya hukum preventif ini merupakan bagian dari penegakan hukum yang dilakukan oleh rezim hukum administrasi yaitu oleh pejabat atau aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Upaya ini dimulai dengan penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenagan yang sifatnya pengawasan berupa pengambilan sampel, penghentian mesin, dan sebagainya.

Sementara itu pada UULH yang lalu, penegakan hukum lingkungan hidup hanya mengenal dua dimensi penegakan hukum lingkungan yaitu penegakan hukum perdata dan pidana. Berbeda dengan penegakan hukum lingkungan sebagaimana yang tercermin dalam pengaturan UUPLH maupun UUPPLH penegakan hukum administrasi diatur pada Pasal 76-83 termasuk Pasal 93, penegakan hukum perdata sebagaiman diatur dalam Pasal 84-92, dan penegakan hukum pidana sebagaiman diatur dalam Pasal 94-120.

Ketentuan pidana yang termaktub dalam UUPPLH mencakup ketentuan delik materiil dan formil. Untuk beberapa hal ketentuan tersebut merupakan pengaturan tersendiri diluar ketentuan KUHAP maupun dalam KUHP. Ketentuan pidana dalam UUPPLH lebih lengkap bila dibandingkan dengan UULH.

Dalam upaya koordinasi penanganan terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup ini, telah terjadi kesepakatan antar 5 instansi pemerintah yang terkait yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisisan.

Hanya saja yang terjadi adalah segala masalah lingkungan selalu dibawa keranah pidana atau dengan kata lain hukum pidana difungsikan sebagai primum remedium, walaupun untuk hal-hal yang ringan, korban belum ada dan lingkungan belum tercemar.128


  1. Pentingnya Hukum Pidana Lingkungan di Indonesia

Kepentingan nasional adalah suatu cita-cita, sasaran yang bersifat umum dan abadi yang digunakan sebagai landasan suatu bangsa untuk bertindak. Dalam kaitan dengan pengelolaan lingkungan, maka kepentingan nasional tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang 1945.129

Kaitan dengan hukum pidana lingkungan dapat diartikan dari suatu kebijakan atau keinginan-keinginan negara yang di format dalam peraturan kebijakan maupun peraturan perundang-undangan sebagai kekeuatan negara untuk menghadapai kerusakan lingkungan hidup. Kebijakan yang diinginkan oleh negara dalam hal ini, ialah pengembangan rencana penggunaan lahan dan tata ruang serta melakukan kebijakan perencanaan terhadap rehabilitasi kerusakan sumber daya alam, seperti kerusakan tanah, air, daerah aliran sungai (DAS), dan sebagainya.130

Pembangunan berkelanjutan yang menempatkan lingkungan hidup sebagai bagian integral dalam dinamika pembangunan nasional merupakan realitas kehidupan bernegara.131 Indonesia telah mengambil prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai dasar pengambilan putusan di pengadilan. Berarti dalam beberapa hal, nilai-nilai pembangunan berkelanjutan dapat berperan dalam aspek lingkungan. Nilai-nilai pembangunan berkelanjutan penting artinya dalam rangka pembentukan hukum, demikian pula dalam pembentukan hukum lingkungan.

Pemerintah berupaya mewujudkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan dalam berbagai pembentukan dan pelaksanaan hukum lingkungan. UUPPLH yang disahkan pada tahun 2009 memuat prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Prinsip-prinsip dimaksud yakni:

1. Prinsip Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Equity)

2. Prinsip Keadilan Dalam Satu Generasi

3. Prinsip Pencegahan Dini (Precautionary Principle)

4. Prinsip Perlindungan Keragaman Hayati (Biodiversity Conservation).

5. Prinsip Internalisasi Biaya Lingkungan dalam suatu perusahann.

Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi landasan negara termasuk Indonesia yang memiliki komitmen dan kesadaran untuk membangun tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan hidupnya. Bahkan, kelima prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut dapat dipandang memiliki nuansa positif untuk membangun Indonesia yang lebih menghargai kehidupan generasi sekarang dan mendatang, berkenaan dengan rasa keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup.




Yüklə 391,8 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin