Bp. Achmad Chodjim



Yüklə 0,55 Mb.
səhifə14/22
tarix18.04.2018
ölçüsü0,55 Mb.
#48887
1   ...   10   11   12   13   14   15   16   17   ...   22

Bagian ke-14



(lanj. Zuhud)
Untuk memulai pelajaran yang ke-14 ini, saya mengajak saudara-saudara untuk mengingat lagi tahapan yang dilalui oleh sufi dalam perjalanan hidupnya. Ada tiga tahap yang dilaluinya yaitu takhalli [deconditioning], meninggalkan perilaku yang tidak terpuji, tahalli [conditioning; reconditioning] yaitu membiasakan diri untuk melakukan tindakan yang terpuji, dan tajalli [unconditioning; no mind action] yaitu berbuat dan bertindak yang bebas dari kepentingan pribadi [kelompok].
Pada posisi “sabar” kita mengisi hidup kita dengan perbuatan dan tindakan bajik, kita kendalikan emosi kita, dan motivasi hidup kita kita arahkan ke jalan yang benar, jalan yang dibentangkan oleh Tuhan semesta alam. Jika jalan ini yang kita titi, maka kita disebut berjalan menuju Allah. Dan bila kita sudah hidup dijalan-Nya maka kita disebut berada di jalan Allah, fi sabili l-lah. Inilah tahap ‘tajalli’!
Zuhud adalah usaha memasuki tahap tajalli. Di dalamnya kita melalui subterminal iman [yang kokoh], hijrah, dan jihad. Di bagian ke-13 yang lalu, saya utarakan bahwa pada era globalisasi ini kita harus melakukan hijrah pemikiran kembali. Disamping kita harus melakukan ‘jihad’ pemikiran yang disebut ‘ijtihad’. Kita tidak boleh terjebak dalam peperangan dan pertempuran fisik. Tetapi kita harus berani melangkah ke dunia yang penuh ‘trick’ atau jebakan ini. Karena di dunia macam inilah kita hidup sekarang ini! Lho, bukankah kita ini ingin hidup damai?
Betul, betul sekali! Manusia, pada umumnya, menginginkan kedamaian hidup. Yang terselip di dalam hati yang paling dalam adalah menuju ‘sorga’ yang penuh kedamaian. Dan Tuhanlah kedamaian itu! Di dalam salah satu doa [dari sebuah Hadis] yang biasa dibaca setelah sembahyang adalah “Allahumma anta s-salam” [Ya Tuhan, Engkau-lah kedamaian itu]. Lalu, doa itu dilanjutkan dengan kalimat “dan kedamaian itu datangnya dari Engkau, dan kepada Engkau kembalinya kedamaian itu!” Sebagai seorang hamba, kita diajari Nabi untuk melanjutkan doa itu dengan kalimat “Fa hayyina rabbana bi s-salam”, ya Tuhan hidupkanlah kami penuh dengan kedamaian.”
Yang kita tuju adalah kedamaian. Tetapi, damai yang ada di bumi ini seperti damai yang ada di dalam hati. Jika di dalam hati damai itu terselip di dalamnya, bahkan di bagian dalam hati; maka di atas bumi ini ‘damai’ juga terselip di tengah-tengah keributan dan kebusukan dunia. Karena itu, kedamaian harus dicari! Kedamaian tidak datang dengan sendirinya. Orang-orang Romawi memiliki semboyan, yang bahasa Indonesianya “Bila kalian ingin hidup damai, bersiap-siaplah untuk perang”. Tentu saja berperang secara fisik. Pada zaman dulu, berperang secara fisik memang jalan satu-satunya untuk memperoleh kedamaian. Sebab, menang perang adalah keadaan yang menjamin kesejahteraan warganya. Pada zaman dulu, orang malu kalau ingin hidup sejahtera dengan cara menyengsarakan rakyat atau bangsanya sendiri. Ini tidak berarti, untuk memperoleh kedamaian kita harus berperang untuk menaklukkan negara lain. Pada zaman sekarang ini kita harus hijrah dan jihad di lapangan pemikiran, ‘ijtihad’. Ijtihad pun tidak hanya terbatas pada dunia fikih atau agama. Kita harus berijtihad untuk menemukan solusi bagi kedamaian dan kesejahteraan hidup.
Sekarang ini kita sering dihadapkan pada pengertian yang salah tentang ‘damai’. Kata damai dikaburkan maknanya menjadi ‘aman’. Padahal aman hanyalah salah satu keadaan yang ada di dalam kata ‘damai’. Keadaan yang aman, artinya tidak ada gangguan atau kekerasan [fisik]. Kalau damai yang ini, berarti cukup dengan tunduk atau takluk pada kekuatan di luar dirinya. Damai yang sejati adalah wujud dari keseimbangan, keselarasan dan keserasian, yang disebut hidup harmoni. Di tengah kedamaian yang sejati inilah terletak kemerdekaan. Damai yang demikian ini yang dilukiskan dalam kamus “Oxford Advanced Learner’s Dictionary” sebagai keadaan yang bebas dari peperangan dan kekerasan, suasananya tenang, dan penuh dengan keharmonisan dan persahabatan.
Nah, ternyata damai harus diperjuangkan. Ingin hidup damai tak ubahnya kita ini mencari intan di tumpukan sampah. Di sinilah harus ada hijrah dan jihad [ijtihad] dalam pemikiran. Ketika Nabi Muhammad Saw [p.b.u.h, peace be unto him] menyebarkan risalah keislaman, beliau sebenarnya membangun paradigma berpikir yang baru. Beliau tinggalkan cara-cara berpikir jahiliah dan beliau bangun cara-cara berpikir yang islami. Ada puluhan, bahkan ratusan, ayat Al Quran yang menyeru manusia untuk ‘berpikir’. Perintah berpikir ini disampaikan dalam berbagai bentuk, misalnya tafakkaru, tadzakkaru, nazhara, ta‘qilun, dan lain-lain.
Satu abad setelah tersebarnya agama Islam, kalangan mu‘tazilah melanjutkan pembaharuan pemikiran. Para ulama mereka tidak mandek pada kata-kata yang ada di dalam Al Quran. Mereka mempelajari metode-metode berpikir filosof Yunani. Mereka melakukan penalaran dan logika yang islami. Mereka mulai merintis logika-empiris. Hasilnya, Daulat Abbasiyah di Bagdad dan Daulat Umayyah di Spanyol mengalami kemakmuran yang berlimpah-limpah. Sayang, masyarakat Islam pada zaman itu [dan sampai sekarang] tidak kondusif untuk pembaharuan pemikiran. Pada abad XIII (pada tahun 1258 M) Daulat Abbasiyah diporakporandakan oleh Kerajaan Mongol yang sangat terkenal dengan pemerintahannya di atas kuda. Di Spanyol pun digilas pada akhir abad XV (1492 M). Dan sejak abad XIII itu pembaharuan pemikiran di dunia Islam ditutup, yang dikenal dengan “penutupan pintu ijtihad”.
Sekarang, saya melalui pengajaran tasawuf ini mengajak kembali saudara-saudara untuk menghidupkan hijrah dan jihad dalam pemikiran. Lho, bagaimana dengan orang-orang yang masih rendah tingkat pemikirannya, apa dapat diajak untuk melakukan pembaharuan pemikiran? Tentu saja jangan dibayangkan semua orang bisa berpikir dalam [deep thinking]. Waktu periode Rasul pun tidak semua orang diperintah untuk melakukan perang fisik. Hal ini dijelaskan pada Surat Taubah/9:122. Ada yang ditolak untuk ikut bertempur karena orang tersebut menanggung kehidupan ibunya yang janda. Ada yang ditolak karena dianggap belum cukup umur. Yang perempuan pada waktu itu ditugasi dalam urusan logistik dan palang-merah. Dalam hal jihad pemikiran pun harus ada yang di barisan depan [good thinker] sebagai pembuat konsep, pembuat rencana, dan pengatur strategi. Ada menyebarkan dan memasarkan gagasan. Ada yang menerap-kannya. Dan ada pula yang mendukungnya.
Ketahanan masyarakat akan kuat bila masyarakat mempunyai keahlian yang heterogen. Namun semua harus bisa diorganisasi dan dikerahkan untuk membangun jihad pemikiran. Ulama spiritual, ulama sains, ulama teknologi, ulama birokrat, petani, pedagang, industrialis, dan buruh harus merapatkan barisan dalam membangun jihad pemikiran. Untuk apa jihad pemikiran ini? Untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Lho, kok tidak untuk membangun masyarakat Islam yang adil dan makmur? Sebuah masyarakat itu dapat diibaratkan sebuah rumah-tangga. Rumah-tangga yang bertanggung jawab adalah rumah-tangga yang berupaya membangun kesejahteraan para anggotanya, tanpa merugikan rumah-tangga lainnya. Rumah-tangga yang satu mungkin saja berbeda agama dengan tetangganya. Tetapi mereka hidup dalam komunitas yang sama yaitu satu RT/RW.
Kita adalah masyarakat Indonesia. Masyarakat yang dari awalnya plural [dalam agama, kepercayaan, dan etnis]. Masing-masing adalah anak ibu pertiwi! Perbedaan tidaklah memisahkan persatuan Indonesia. Dan, jika kita mau jujur bertanya siapakah kita bangsa Indonesia ini? Jawabannya adalah kita dahulu etnis-etnis yang menghuni kepulauan Nusantara dengan agama pribumi masing-masing. Semenjak abad I masuklah agama dari luar [dalam bahasa rakyatnya, agama impor] yaitu Hindu, Buddha, Islam, Kristen/Katholik, dan Kong Huchu.
Sebagai sebuah kenyataan, saya sekarang adalah orang Islam. Ajaran Islam saya sampaikan dengan menggunakan pendekatan ‘tasawuf’. Karena tasawuflah yang bisa menembus lintas agama dan menjaga pluralitas. Kalau kita hobi membaca Hadis, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa praktik Rasul dalam menyebarkan agama Islam pun dengan cara tasawuf. Ayat pertama yang saya gunakan untuk mengisi bagian yang ke-14 ini adalah Surat Al Baqarah/2:208. Mari sama-sama memperhatikan bunyi ayat tersebut seperti saya kutipkan di bawah ini.
2:208 Ya ayyuha l-ladzina amanu d-khulu fi s-silmi kaffah wa la tattabi-‘u khuthuwati sy-syaithani innahu lakum ‘aduwwun mubin.
2:208 Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu semua ke dalam kehidupan yang damai, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuhmu yang nyata.
Cukup satu ayat dulu! Dan, mari kita kupas pelan-pelan ayat ini. Ayat ini turun di Madinah setelah perjanjian Hudaibiyah [th 6H]. Pada bulan Dzul Qa’dah (bulan ke-11) Nabi mengajak kabilah-kabilah yang bukan Islam untuk bersama-sama menuju Mekah untuk berziarah dan memuliakannya. Sejak sebelum kedatangan Islam, orang-orang Arab biasa memuliakan Ka’bah. Mereka biasa lomba berpidato dan menggantungkan puisi mereka di Ka’bah. Dengan mengajak orang-orang Arab non-muslim menziarahi dan memuliakan Baitul Haram, maka keragu-raguan orang Arab terhadap orang-orang muslim hilang. Dan, dari awal jalur perdamaian lebih dipilih ketimbang peperangan. Prinsip hidup berdampingan dan damai ditekankan sekali dalam Piagam Madinah. Tata-cara damai inilah yang menyebabkan Islam cepat sekali tersebar di Madinah.
Untuk memelihara keharmonisan hidup masyarakat Madinah, seruan untuk hidup beragama dinyatakan dengan panggilan yang indah “ayyuhal ladzina amanu”, wahai orang-orang yang beriman. Dengan panggilan ini orang-orang non-muslim tidaklah tersinggung dalam kehidupan mereka. Khalifah-khalifah setelah Rasul Saw juga memakai gelar “amirul mu’minin”, amirnya orang-orang beriman. Sekarang ini tokoh-tokoh agama juga memanggil pengikutnya dengan sebutan “orang-orang beriman”. Ini memang panggilan yang manis.
Madinah harus berjaga dan mempertahankan diri dari serangan musuh. Persatuan sangat dibutuhkan! Terhadap orang-orang yang menjunjung tinggi Piagam Madinah ini, mereka dipanggil dengan panggilan orang-orang yang beriman. Mereka semua diseru untuk masuk dalam perdamaian. Dalam surat Al-Anfal/8:61 dinyatakan dengan tegas, ”Dan jika mereka condong kepada perdamaian [salm] maka hendaklah kamu condong pula kepadanya [perdamaian], dan bertawakallah kepada Allah.”
Berikutnya adalah larangan untuk mengikuti langkah-langkah setan. Masih ingatkan makna ‘mengikuti’ bukan ‘meniru’ lho! Setan tak pernah muncul dihadapan kita. Jadi tak ada perbuatannya yang bisa ditiru. Setan berarti merenggangkan atau menjauhkan [dari perbuatan bajik]. Semua perbuatan buruk mendapat julukan perbuatan atau langkah setan. Pertikaian, fitnah, menghasut, adu-domba, hina-menghina, dan perbuatan sejenisnya disebut langkah-langkah setan. Karena itu harus ditinggalkan! Semua itu lahir dari pikiran dan emosi kita. Pikiran dan emosi yang lepas kendali. Hal ini sungguh membahayakan kehidupan, memporak-porandakan kedamaian. Karena itu, setan disebut sebagai ‘musuh yang nyata’.
Kita harus memberdayakan pikiran dan emosi kita untuk menciptakan perdamaian dalam kehidupan ini. Bila ada penawaran hidup damai, maka kita harus condong pada perdamaian. Kita tak boleh berprasangka buruk kepada orang-orang yang mengajak hidup damai. Karena itu kebersediaan hidup damai harus disertai dengan sikap tawakal kepada Tuhan. Dan menyeru kepada kehidupan damai harus terus-menerus digiatkan. Ya, mencari kedamaian hidup itu bagaikan mencari intan di tengah onggokan sampah. Bau sampah itu menyengat sehingga mengganggu kita dalam menemukan intan di dalamnya. Sama seperti menyeru hidup damai, bau jejak setan ada di mana-mana. Tapi kita tak boleh putus asa! “Jangan merasa lemah dalam menyeru kepada perdamaian [salm] karena kedudukanmu [yang menyeru damai] itu lebih tinggi. Allah beserta kamu! Dan Allah tidak menghilangkan amalanmu.” (QS 47:35)
Jadi, bukan hanya condong kepada perdamaian, tetapi memprakarsai perdamaian! Dan, damai yang diserukan dalam Al Quran ini bukan ‘damai’ seperti yang dilakukan pelanggar lalu lintas dengan polisi penangkapnya. Kalau yang ini bukan damai namanya tetapi transaksi untuk membebaskan diri dari jeratan hukum. Ini masalah penegakan hukum. Dan saya tak hendak berkomentar dalam hal ini. Damai yang dituju dalam Al Quran adalah keadaan yang aman dan tentram, dan dalam posisi keseimbangan. Tidak terjadi adu kekuatan dan saling menekan di dalam perdamaian. Damai bukanlah aman! Tetapi keamanan terjamin dalam perdamaian.
Peserta kajian tasawuf yang terhormat! Dalam tulisan ini kadang kata perdamaian yang saya gunakan, lain kali saya memakai kata ‘kedamaian’. Yang saya maksud sama, yaitu keadaan damai. Keduanya merupakan terjemahan dari ‘salm’ atau ‘silm’. Bila yang dimaksud adalah cara-cara atau proses dalam kegiatan untuk berdamai, maka kata ‘perdamaian’ yang saya pergunakan. Tetapi jika yang dimaksud suasananya yang damai maka kata ‘kedamaian’ yang ditampilkan. Silm saya terjemahkan perdamaian dalam ayat di atas. Karena pada ayat itu kita diperintahkan untuk menciptakan keadaan hidup yang damai. Ada proses, ada aktivitas untuk mencapai hidup damai. Dalam menyerukan perdamaian kita tidak boleh merasa lemah. Bukankah lemah itu timbul dari pikiran? Lemah adalah jejak setan, langkah setan. “Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu musuhmu yang nyata,” bunyi QS 2:208. Nah, sebagai konsekuensi bagi orang yang ingin hidup beragama yang benar, kita harus aktif dalam menyerukan perdamaian.
Menyerukan perdamaian tidak sama dengan menebar slogan dan ucapan “mari menempuh hidup damai” atau “mari berdamai” atau “damai itu indah”. Kalau yang ini sih sekadar ungkapan hati, atau tipu daya. Menyerukan perdamaian berarti berusaha keras, memprakarsai hidup damai. Karena itu kita dilarang ‘merasa lemah’ dalam menyerukan perdamaian. Harus ada ijtihad alias jihad pemikiran. Artinya kita harus memeras otak [bukan memeras keringat karena kita tidak melakukan perang fisik] untuk mencari langkah-langkah yang bisa mengantarkan umat manusia menuju hidup damai. Inilah makna perdamaian!
Orang-orang yang hidup di negara maju [tentu saja ada yang malas] bekerja keras, bekerja dengan cermat, berusaha memenuhi komitmen dalam masyarakat, membuat perjanjian yang melindungi dan menguntungkan semua pihak, menegakkan hukum [bukan cuma penegak hukumnya], dan semua aktivitas untuk menyongsong hari depan yang baik adalah wujud untuk menyerukan perdamaian.”
Orang yang menyerukan perdamaian tidak boleh merasa lemah. Karena penyeru perdamaian itu lebih tinggi kualitasnya. Baik kualitas mental, moral, kecerdasan akal, emosional dan spiritualnya. Yang jelas bukan kualitas fisiknya yang lebih unggul. Kualitas fisik diperlukan, tetapi bukan hal yang terlalu penting. Kekuatan fisik adalah kekuatan pendukung, bukan kekuatan utama. Orang yang cerdas dan cerdik tidak merasa lemah dalam perjuangan hidupnya. Dalam jihad fisik jelas lemah, tetapi dalam jihad pemikiran dia tidak lemah.
Di ayat 47:35 itu disebutkan bahwa Tuhan beserta orang-orang yang menyerukan perdamaian. Apa maksudnya Tuhan menyertai orang-orang yang menyerukan “hidup damai” atau “perdamaian” itu? Menyeru itu lahir dari kehendak orang yang menyeru. Tuhan adalah sumber iradah. Maka iradah atau kehendak Tuhanlah yang menyertai orang-orang yang mnyerukan perdamaian. Dan, Tuhan pun tidak menghilangkan daya dari amalan orang-orang yang menyerukan perdamaian. Karena itu, orang yang berniat menyerukan perdamaian tidak boleh merasa lemah.
Suatu hari pada tahun lalu, saya berpolemik tentang arti ajakan perdamaian yang ada pada ayat 2:208 tersebut. Pada umumnya [sekali lagi umumnya] terjemahan ayat tersebut adalah seruan menjadi orang Islam yang secara total, sempurna. Inilah “main stream”, arus utama dalam pemikiran Islam yang ada. Tetapi saya menolaknya! Saya katakan bahwa ayat itu merupakan seruan untuk memasuki ‘perdamaian’. Kebanyakan ulama, ayat itu hanya diambil sepotong saja. Mereka tidak mau melihat kaitan ayat itu dengan beberapa ayat sebelum dan sesudahnya. Akibatnya, ayat itu menjadi hanya ditujukan kepada orang Islam [yang waktu itu tentunya ada di Madinah]. Kata “orang-orang yang beriman” di situ menjadi sempit artinya. Kata ini disamakan artinya dengan kata “mukmin” yang ada di dalam Al Quran. Padahal dalam arti luas, kata tersebut bisa bermakna ‘mereka yang menerima deklarasi Madinah yang terdiri dari berbagai suku dan pemeluk agama’.
Kata “kaffah” disebutkan lima kali dalam Al Quran, dan merujuk pada makna ‘kuantitatif’, jumlah, bukan merujuk pada makna ‘kualitatif’ seperti dalam kata berislam secara totalitas. Lalu, saya tanyakan ‘apa yang dimaksud dengan menjalankan Islam secara menyeluruh/sempurna’, berapa persen Islam yang harus dikerjakan karena perintah itu turun sebelum Islam sendiri selesai sebagai ajaran yang sempurna [dalam arti kata wahyu belum turun seluruhnya]. Dan kalau kita melihat berbagai ragam ajaran Islam yang ada sekarang, Islam yang bagaimana yang disebut Islam totalitas itu. Tentu saja jawaban dalam polemik itu menjadi berputar-putar seperti debat kusir atau main kayu dalam permainan sepak bola.
Ya jelas, dalam pemikiran Muhammadiyah Islam totalitasnya tidak sama dengan yang ada pada NU. Meskipun orang NU menjalankan Islam yang paling sempurna pun, bagi orang MD, bagi orang LDII, bagi orang Wahabi, atau lainnya, tetap dipandang ‘belum menjalankan Islam yang kafah atau menyeluruh’. Begitu pula sebaliknya, orang-orang lain itu pun belum totalitas menurut NU. Karena itu saya memilih ‘kafah’ dalam arti kuntitatif, yaitu semua orang. Terjemahannya menjadi “Wahai orang-orang yang beriman [yang menerima Piagam Madinah] kamu semua (all of you) masuklah dalam perdamaian atau kehidupan yang damai. Dan memang, 4 kata kafah yang berada di luar ayat 2:208 ini diterjemahkan ‘semua ?orang- manusia’. Misalnya yang ada di 34:28, “Dan Kami tidak mengutus engkau kecuali menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan bagi semua (kafah) manusia.”
Dengan demikian jelas sekali bahwa perdamaian atau kedamaian hidup adalah prinsip dibangkitkannya agama Islam. Kalau bukan ini, apa bedanya agama Islam dengan ajaran jahiliah yang mengutamakan keunggulan suku dan sikap mau menang sendiri? Rasul Saw dengan tegas mengatakan: “Sesungguhnya aku ini dibangkitkan untuk mengutamakan budi pekerti yang mulia.”
Demikian penjelasan ‘zuhud’ lanjutan pada kajian kita hari ini. Kita sambung zuhud di bagian pelajaran yang akan datang. Wa billahi t-taufiq wa l-hidayah. Semoga Tuhan melimpahkan taufik dan petunjuk-Nya kepada kita. Amin.


Yüklə 0,55 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   10   11   12   13   14   15   16   17   ...   22




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin