Bab III terma-terma tentang potensi al-insan menurut al-quran



Yüklə 288,19 Kb.
səhifə2/4
tarix27.10.2017
ölçüsü288,19 Kb.
#17236
1   2   3   4

Fitrah

Dari segi bahasa, fitrah mengambil akar kata dari الفطر yang berarti belahan. Dari makna inilah lahir makna lain antara lain ‘penciptaan’ atau ‘kejadian’. Secara umum, fitrah dalam hal ini adalah originalitas manusia pertama kalinya atau bawannya sejak lahir. Fitrah manusia adalah satu bingkai yang menjadi batasan dalam diri manusia, disaat manusia keluar dari batasan tersebut, maka bisa dikatakan ia telah keluar dari fitrah kemanusiaannya, baik dalam artian positif ataupun negatifnya. Bisa jadi seorang individu kehilangan sisi kemanusiaannya dan cenderung melakukan kebaikan saja, maka ia seolah menyerupai malaikat. Di lain hal, bisa saja seorang individu kehilangan sisi spiritualitasnya hingga ia terjerembab dalam lingkaran syetan. Al-Qur’an menyebutkan pengulangan kata fitrah sebanyak 28 kali. 14 di antaranya dalam konteks uraian tentang bumi, sisanya dalam konteks penciptaan manusia. Secara fitrahnya, manusia diciptakan dengan desain yang sempurna (memiliki agama yang hanief,46 hingga ia lebih mudah berbuat baik dibanding berbuat jahat dan memiliki rasa keadilan.47

Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya menyebutkan bahwasannya fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia, baik dalam konteks jasmani ataupun akalnya.48 Dari sini dipahami, bahwasannya manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah dalam konteks jasmaninya, sementara menarik kesimpulan melalui premis yang ada merupakan fitrah dalam konteks akalnya.

Pada tataran ini, fitrah dilihat dari pengertian umum, sering difahami sebagai potensi yang bercorak keagamaan. Potensi keagamaan yang ada secara alami (fitrah majhullah), itulah yang menyebabkan manusia berkeinginan suci dan secara kodrati condong kepada kebaikan dan kebenaran (hanif). Dengan begitu sikap keberagamaan yang hanif akan memberikan kebahagian sejati, sabda Nabi, “sebaik-baik agama di sisi Allah adalah al-hanafiya al-samhah”, yaitu semangat mencari kebenaran dengan lapang dada, toleran, tidak sempit, tanpa kepanikan, dan tidak membelenggu jiwa.49

Jika fitrah mengarahkan manusia melakukan pencarian, maka pemancaran keinginan kepada kebaikan, kebenaran, keadilan kesucian dan kasih sayang di pandu oleh hati nurani. Hati nurani adalah bentuk nyata dari kesadaran moral dalam kehidupan praktis manusia. Al-Qur’an menyebut hati nurani dengan suatu kesadaran moral manusia (al-Nafs al-Lawwamah). Penyebutan al-nafs al-lawwamah sebagai obyek sumpah oleh al-Qur’an menunjukan sangat pentingnya arti kata itu bagi manusia, sebab kesadaran moral adalah aspek asasi bagi kehidupan manusia dan kemanusiaannya. Ia terkait dengan seluruh jiwa dan menyangkut kehidupan manusia secara keseluruhan. Ibarat pedang bermata dua, fitrah merupakan manusia dan secara esensial membedakannya dengan makhluk lain. Dan dengan memenuhi (tuntutan) hati nurani seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati. Namun secara fungsional yang membuat manusia berkedudukan lebih tinggi dari makhluk lain adalah karena memiliki kemampuan mangantisipasi dan memformat fenomena yang ada melalui fitrahnya dan kerangka nilai yang diserapnya untuk menciptakan kebudayaan. Karena itu, kemanusiaan manusia atau supremasi manusia ditentukan sejauhamana kerja, amal saleh dengan mendayagunakan segenap potensi yang dimiliki untuk menciptakan kebudayaan yang berkualitas, bukan karena status formalnya sebagai khalifah dimuka bumi ini.50

Merujuk pada definisi fitrah di atas (menurut bahasa dan istilah), tentu fitrah yang dianugerahkan Allah kepada manusia tidak terbatas nilai dan jumlahnya. Lebih jauh lagi akan menghasilkan pemahaman tentang makna fitrah yang lebih luas, karena segala suatu yang berhubungan dengan proses penciptaan (fathara) manusia dinamakan fitrah. Legalitas pemberian fitrah pun tidak hanya ketika lahir ke dunia - tetapi terus berlaku tetap (istamara)- bahkan akan sampai pada hari perhitungan di alam akhirat kelak.

Fitrah yang diberikan Allah SWT kepada manusia bersifat universal (kulliyyun). Secara garis besarnya dapat dibagi yang mencakup pada empat bidang, yaitu fitrah ketauhidan / al-fitrah fi al-tauhid, fitrah suci dari dosa / al-fitrah fi al-dzunub, fitrah kemuliaan / al-fitrah fi al-ikraman, dan fitrah sosial / al-fitrah fi al-ijtimaiyyah.51

Pertama, fitrah ketauhidan / al-fitrah fi al-tauhid, sebenarnya sebelum manusia diciptakan bentuknya, dia telah membawa naluri ketauhidan (monoteisme) sebagai fitrahnya, yaitu naluri untuk ber-Tuhan. Hal ini dikenal dengan istilah perjanjian primordial antara manusia (makhluk) dan Khaliknya di alam roh. Dengan fitrah ketauhidan inilah, manusia akan dapat membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk. Dengan sendirinya, ia akan merasa tenteram dan bahagia hidupnya apabila dia memihak pada kebenaran, kebaikan, atau kesucian, karena hal itu sesuai dengan fitrah ketauhidannya. Sebaliknya, manusia akan kehilangan rasa ketenteraman hati serta ketenangan jiwanya manakala dia melakukan kejahatan / al-fahsya, kekejian / al-mun-kar, kepalsuan / al-batil, dan perbuatan dosa lainnya, karena bertentangan dengan hakikat fitrahnya.52

Kedua, fitrah suci dari dosa / al-fitrah fi al-dzunub, ketika manusia lahir ke dunia dari kandungan ibunya, dia dalam keadaan suci, bersih tanpa noda ataupun dosa bagaikan kertas putih.

Ketiga, fitrah kemuliaan / al-fitrah fi al-ikruman, manusia diciptakan dengan bentuk yang sempurna sebagai perwujudan atas kemuliaannya di hadapan Allah.53 Ibn Katsir menafsirkan, Allah memuliakan manusia dengan memberi susunan anatomi yang paling sempurna,54 yakni dapat berjalan dengan dua kaki, makan dengan tangan yang membedakan dengan hewan - berjalan dengan empat kaki dan makan dengan mulutnya - juga diberi penglihatan, pendengaran, serta hati / al-fuad sebagai sarana untuk mengetahui kemaslahatan atau kemudaratan urusan dunia dan agamanya.55

Keempat, fitrah sosial / al-fitrah fi al-ijtimaiyyah, fitrah jenis ini pernah ditunjukkan nabi Adam as. yang memohon kepada Allah agar menciptakan makhluk lain yang akan ikut menemaninya hidup di surga. Untuk itu, melakukan hubungan interaksi antarsesama manusia merupakan sebuah kebutuhan yang sifatnya sunatullah (natural of law).56 Sebab, manusia yang notabene sebagai makhluk sosio/animal, tentu tidak akan mampu melaksanakan fungsinya sebagai khalifah fi al-ardhi secara kaffah (komprehensif) tanpa adanya bantuan dari pihak lain.




  1. Qalb

Kata قلب/Qalb merupakan salah satu istilah - berasal dari bahasa Arab - yang sudah diadaptasi (dipinjam) oleh bahasa Indonesia - dan dieja menjadi kalbu - dan digunakan dalam arti hati atau hati nurani. Padahal makna generiknya adalah “membalik (yang berada di atas menjadi di bawah, yang di kanan menjadi di kiri, yang nyata menjadi tidak nyata), berpaling, berubah, marah, inti, esensi dan jantung”.57 Qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten.58 Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara pemenuhan realitas dan nilai-nilai positif dengan tarikan negatif yang berasal dari kandungan hatinya. Proses yang ada dalam qalb inilah yang akhirnya mengantarkan manusia kepada kualitas qalb yang berbeda satu dan lainnya.

Qalb memang menjadi salah satu ukuran kualitas manusia. Karena itu, kita sering mendengar ungkapan “berhati emas, berhati baja, berhati iblis, berhati mulia”. Sifat-sifat manusia, yang baik maupun yang buruk, juga sering dilukiskan dengan menggunakan idiom hati, seperti iri hati, panas hati, gelap hati, besar hati, kelembutan hati, jatuh hati, kecil hati dan sebagainya.

Dalam Al-Quran sangat jelas sekali tergambar bahwa posisi qalb itu berbolak balik, sebagaimana yang di firmankan Allah Swt dalam Al-quran (1). Q.S. Qaf (50) ayat 37 “Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki Qalb , atau yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi saksi”. (2). Q.S. Al-Hadid (57) ayat 27 “...Kami jadikan di dalam qalb orang-orang yang mengikuti (Isa.As) kasih sayang dan rahmat...”. (3). Q.S. Ali Imran (3) ayat 151 “Kami akan mencampakkan ke dalam hato orang-orang kafir rasa takut...”. (4). Q.S.Al-Hujurat (49) ayat 7 “...Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menghiasinya indah dalam Qalbmu...”. Dari ayat di atas, M. Quraish Shihab menafsirkan kata-kata “qalb sebagai wadah  dari pengajaran, kasih sayang, takut, dan keimanan”.59

Dari berbagai ayat al-Qur’an, akan didapati bahwasannya qalb menjadi satu alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai60 dan hanya menampung hal-hal yang disadarinya saja. Hal ini lalu menjadi landasan dasar, bahwa di hari kiamat, yang akan bertanggung jawab atas semua prilaku adalah qalb yang melakukan kesemuanya itu dengan penuh kesadaran.61 Ini menjadi satu isyarat bahwasannya keputusan yang di hasilkan qalb mengandung implikasi pahala dan dosa.62 

Dalam pandangan kaum sufi qalb juga bermakna sesuatu yang bersifat halus dan rabbani yang mampu mencapai hakekat sesuatu. qalb mampu memperoleh pengetahuan (al-ma’rifat) melalui daya cinta rasa (al-zawqiyat), qalb akan memperoleh puncak pengetahuan apabila manusia telah mensucikan dirinya dan menghasilkan ilham (bisikan suci dari Allah Swt) dan Hasyf (terbukanya dinding yang menghalangi qalb). Sedangkan dalam pandangan Qusyairy melihat pengetahuan qalbiah jauh lebih luas dari pada pengetahuan akhliah, karena akal mampu memperoleh pengetahuan yang sebenarnya mengenal Tuhan, sedangkan qalb dapat mengetahui hakekat semua yang ada.63

Jadi dapat dipahami bahwa qalb merupakan fitrah nafsani yang berfungsi sebagai kekuatan luar biasa (super natural), dalam jasad manusia. Kekuatan itu akan bermakna jika potensi qalb itu berjalan sesuai dengan fitrahnya, sebab qalb itu mempunyai peluang untuk diselewengkan (lari dari fitrah) jika yang bersangkutan tidak mendengarkan suara hati yang sesungguhnya lahir dari hati nurani yang dalam. Maka disinilah tuntutan qalb bisa berjalan secara efektif dan mempunyai makna dalam kehidupan sehari-hari. qalb yang bersih, tajam dan bercahaya dimungkinkan bagi seseorang untuk memahami kebenaran-kebenaran atau pengetahuan yang bersifat hakiki maupun yang tak tampak oleh mata. Apabila qalb dihidupakan dalam diri manusia, maka manusia akan berkembang lebih baik dan lebih optimal, dengan cara inilah pemberdayaan manusia dapat lebih dioptimalkan.64

Selain itu, qalb juga mempunyai fungsi untuk mengetahui (mengenal) Pencipta-nya, mencintai, mengesakan dan hanya beribadah kepada-Nya. Hati pula yang membuat seseorang merasa senang mendekatkan diri kepada Allah, ridha, tawakkal, selalu mengingat-Nya, dan tidak suka atau benci terhadap kemaksiatan, sedih dan menyesal ketika berdosa dan tidak melaksanakan perintah Allah dengan sebaik-baiknya.65 Sesungguhnya pengetahuan yang ada pada qalb bersifat supra-rasional. Qalb adalah satu bagian kecil dari nafs. Ia bagaikan satu kotak yang bisa disegel.66 Kotak ini pun bisa diperlebar dengan amal perbuatan,67 diperkecil, dipersempit dan lain sebagainya.68

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa qalb (hati) adalah merupakan potensi fitrah nafsaniah yang harus dikembangkan sesuai dengan petunjuk ajaran agama Allah Swt. Sebab potensi yang dimiliki itu tidak akan bisa berkembang begitu saja tanpa adanya upaya-upaya yang harus dilakukan, diantara upaya itu adalah membantu individu dalam mengentaskan permasalahan yang terjadi untuk membuka pintu hati nurani secara jujur dan terbuka, jika potensi itu tidak berkembang secara baik dan benar maka peranan qalb tenulah belum terberdayakan secara optimal.


  1. Fu’ad

Pengulangan kata فؤاد / fu’ad dengan beragam kata jadiannya terdapat dalam 16 ayat. Tak sedikit yang mengartikannya sama sebagaimana mereka mengartikan qalb dan ‘aql, bahkan ada sebagian yang mengartikannya otak sebagai bekal bagi janin untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk.69

Fu’ad merupakan potensi qalb yang berkaitan dengan indrawi, mengolah informasi yang sering dikembangakan berada dalam otak manusia (fungsi rasio, kognitif). Fu’ad mempunyai tanggung jawab intelektual yang jujur kepada apa yang dilihatnya. Potensi ini cendrung dan selalu merujuk kepada objektivitas, kejujuran dan jauh dari sikap kebohongan,70 sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. An-Najm ayat 11 “Hati tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya”.  Dan juga bisa ditemukan QS. Al-Isra, ayat 36 “...Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semua itu akan diminta pertangung jawabannya”.

Potensi fu’ad adalah potensi yang mampu menerima informasi dan menganalisisnya sedemikian rupa sehinga ia mampu mengambil pelajaran dari informasi tersebut. Fu’ad yang bersikap jujur dan objektif akan selalu haus dengan kebenaran, dan bertindak di atas rujukan yang benar pula.

Dilihat dari karakteristiknya, fu’ad selalu disertai oleh;


  1. Kemunculan indera

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ. (النهل : 78)

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. an-Nahl : 78)


وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ. (الموءمنون : 78)

“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. (al-Mu’minun:78)71




  1. Memiliki kecenderungan72

وَلِتَصْغَى إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوا مَا هُمْ مُقْتَرِفُونَ. (الأنعام : 113)

“Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan”. (QS. Al-An’am (6) : 113)




  1. Tanggung jawab73

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا. (الأسراء : 36)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isra’ (17) :36)

Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa fu’ad adalah bagian dari pada hati yang berkaitan dengan ma’rifat. Fu’ad adalah tempat melihat dan bagian hati adalah pengetahuan jika pengetahuan dan ru’yah disatukan, sesuatu yang tidak dapat terlihat dapat diketahui dan seseorang hamba menjadi yakin. Fu’ad merupakan tempat ma’rifat dan rahasia-rahasia, alat penglihat batin setiap kali seseorang mendapat sesuatu yang bermanfaat, maka yang pertama kali merasakan manfaat adalah fu’ad, lalu qalb. Fu’ad terletak ditengah-tengah Qalb, sedangkan qalb berada di tengah-tengah shadr.


  1. Bashar

Secara etimologisnya, bashara mengandung makna melihat. Dalam literarur Arab, kalimat ini digunakan untuk indera penglihatan disertai dengan pandangan hati. Jika dihubungkan dengan manusia, maka ia memiliki empat makna; a) ketajaman hati, b) kecerdasan, c) kemantapan dalam beragama, dan d) keyakinan hati dalam hal agama dan realita. Dalam bahasa Indonesianya, ia lebih dikenal dengan sebutan ‘hati nurani’. Posisinya dalam sistem nafsani adalah sebagai pengingat, penegur dan pengoreksi atas apa yang dilakukan oleh qalb dan ‘aql, disaat keduanya berada dalam posisi menyimpang.

Dalam surah al-Qiyamah : 14-15;



بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ . وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ.

“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya”.


Dalam ayat di atas disebutkan bahwasannya bashirah tetap bekerja walaupun manusia mengunakan seribu satu macam argumen yang menampiknya. Sebenarnya manusia bukannya tidak mengetahui tentang amal-amalnya, ia tidak butuh diberitahu karena anggota badannya ketika itu akan menjadi saksi terhadap dirinya.74 Bashirah merupakan satu cahaya Allah yang ditiupkannya ke dalam qalb. Karenanyalah ia tidak bisa di manipulasi dan karena itu pula ia mampu memahami dengan jujur dan mengakui kebenaran agama. Menurut ibn Katsir, bashirah merupakan pendengaran, penglihatan, pandangan, kedua tangan, kedua kaki, dan seluruh anggota tubuhnya.75

Bashirah dalam arti nurani diisyaratkan dalam QS. al-Qiyamah 14-15 seperti di atas. Bahkan manusia itu mampu melihat diri sendiri, meskipun dia masih mengemukakan alasan-alasannya. Sebagian mufasir, antara lain al-Farra’, Ibn ‘Abbas, Muqatil dan Sa’id ibn Jabir menafsirkan bashirah pada ayat ini sebagai mata batin,  seperti yang dikutip oleh al-Maraghi, dan Fakhr al-Razi menafsirkan dengan akal sehat.76 Menurut Ibn Qayyim al-Jawzi, bashirah adalah cahaya yang ditiupkan Allah ke dalam Qalb, oleh karena itu ia mampu memandang hakikat kebenaran seperti pandangan mata.

Jika dikaitkan dengan sistem nafs manusia, maka arti bashirah yang tepat adalah seperti yang dipaparkan al-Farra’ dan Fakhr al-Razi, yaitu mata batin atau akal sehat. Akal yang sehat jika digunakan secara optimal memungkinkannya mencapai kebenaran, karena ia memiliki kekuatan yang sama dengan pandangan mata batin, dan itu akan muncul secara optimal pada orang yang memiliki.

Jika dibandingkan dengan qalb, maka hati nurani memiliki pandangan yang lebih tajam dan konsisten. Pada surat al-Qiyamah (75) :14-15 di atas disebutkan bahwa bashirah itu tetap bekerja melihat meskipun manusia masih mengemukakan alasan-alasannya. Ayat ini sebenarnya juga mengisyaratkan karakter qalb yang tidak konsisten, yang meskipun mengerti kebenaran tetapi masih berusaha mengelak dengan mengemukakan alasan-alasan. Jadi hati nurani tetap jujur dan konsisten meskipun hati manusia masih berusaha untuk menutup-nutupi kesalahannya atau berdalih dengan berbagai alasan. Kekuatan konsistensi bashirah adalah sangat wajar, karena seperti dikatakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jawzi bahwa bashirah itu adalah nur Allah yang ditiupkan ke dalam qalb.

Bashirah bukan hanya diperlukan untuk introspeksi diri, tetapi juga untuk secara jujur memahami dan mengakui kebenaran agama. Dalam surat Yusuf (12) : 108 disebutkan, “Katakanlah, inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata (bashirah). Ibn katsir menafsirkan bashirah dalam ayat ini dengan mengatakan bahwa kebenaran agama Allah ini merupakan keyakinan yang bisa diuji dengan bashirah, baik dengan pendekatan syar’i  maupun ‘aqli.77

Dari uraian di atas teranglah bahwa Manusia adalah mahluk yang unik, yang secara potensial memiliki seluruh natur semua mahluk Tuhan. Dalam bentuk aktual, ia diberi kewenangan seluas-luasnya oleh-Nya untuk memilih potensi mana yang diaktualisasikan. Tidak berkelebihan jika dinyatakan “al-Insan kawn shaghir, wa al-kawn insan kabir” (manusia adalah mikro kosmos, sedang kosmos adalah manusia makro). Karena natur yang serba ada itulah maka ia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi.

Predikat khalifah ternyata menimbulkan banyak polemik. Iblis yang terstruktur dari api mengalami kesalahan persepsi dalam melihat kompleksitas citra manusia. Ia hanya melihat aspek jasmaniah dan melupakan aspek ruhaniah, sehingga ia mengatakan “Aku lebih baik darinya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Shad : 76). Sementara dalam QS. al-Baqarah ayat 30-34 disebutkan bahwa malaikat semula berpikir negatif (negative thinking) terhadap potensi dasar manusia, seperti kecenderungan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah, tanpa memperhatikan keunikannya. Malaikat bahkan menunjukkan suprioritasnya dengan menyatakan “Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Malaikat segera menyadari kesalahannya setelah Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Ketika Allah Swt dalam QS. al-Ahzab ayat 72 menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung yang tingkat ‘kemusliman-’nya (selalu tunduk pada sunnah-Nya) terjamin ternyata enggan menerimanya. Namun dengan segala kekurangan dan kelebihan, manusia mau dan ternyata mampu menerima amanah itu. Manusia kemudian menjadi mandataris Allah Swt untuk mengelola, memanfaatkan dan melestarikan alam semesta, sehingga tak salah jika setiap melakukan suatu perbuatan dianjurkan membaca basmalah.


  1. Hawa dan syahwat

Kata hawa atau ahwa disebut 17 kali dalam al-Qur’an.78 Secara etimologis, kata hawa bermakna “kosong, jauh”, sedangkan dari sudut leksiologis kata tersebut bermakna kecenderungan atau kecintaan kepada yang jelek, kecenderungan hati kepada kejelekan. Al-Raghib menambahkan bahwa kecenderungan jiwa pada syahwat disebut al-hawa, karena ia menjatuhkan seseorang akan kehidupan dunia ini ke dalam kecelakaan dan dalam kehidupan akhirat ke dalam neraka.79

Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa pengertian hawa nafsu itu berhubungan erat dengan syahwat, sehingga menurut Toshihiku Izutsu, kata hawa merupakan sinonim dari kata syahwat, yakni suatu kata yang bermakna keinginan atau nafsu. Bahkan dalam konteks tersebut kata syahwat dapat menggantikan kata hawa tanpa menyebabkan perubahan makna yang nyata.80

Dari kata nafs dalam al-Qur’an, timbul kata nafsu yang dalam kata bahasa Indonesia telah berubah sama sekali artinya yang artinya syahwat, bersifat pejoratif, berkonotasi seksual. Padahal kata nafs yang bermakna nafsu itu sendiri bersifat netral, bisa baik dan buruk.81 Dalam kehidupan sehari-hari dikenal kata nafsu yang dipahami sebagai daya yang terdapat dalam diri setiap manusia. Nafsu ini walaupun tidak tampak dirasakan kehadirannya ketika seseorang terdorong dengan dukungan emosi atau perasaan yang kental, untuk bertindak dan memuaskan hatinya. Nafsu ini disebut juga nafsu syahwat (libido). Tetapi bernafsu tidak hanya identik dengan seks, bernafsu bisa digunakan untuk sebagainya.

Dalam al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa syahwat adalah merupakan anugerah dari Tuhan.82 Dalam bahasa Inggris nafsu disebut juga passion, lust, desire, yang bersifat netral, identik dengan berhasrat dalam bahasa Indonesia. Namun dalam pengertian sehari-hari di Indonesia mengandung konotasi negatif. Padahal nafsu sendiri adalah gejala alamiah, dan juga manusiawi, karena ia merupakan bagian dari instink, naluri atau tabiat yang sudah ada pada manusia sejak lahir. Nafsu pada umumnya mendorong kepada kehendak-kehenda rendah yang menjurus hal-hal yang negatif. Namun ada pula nafsu yang mendapat rahmat yang membawa kepada kebaikan yang kelak dalam perkembangan ilmu tasawuf disebut sebagai al-nafs al-muthmainnah atau kepribadian yang mengandung sifat kasih sayang.83 Dari sini dapat dijelaskan bahwa dalam al-Qur’an ada dua jenis nafsu, yaitu nafsu yang berdampak negatif akan dilaknat oleh Allah, dan nafsu yang positif akan mendapatkan rahmat-Nya.

Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa nafs atau nafsu, emosi, memiliki kecenderungan terhadap kejelekan. Namun demikian emosi yang ada pada manusia ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tetapi juga mendorong manusia mencapai puncak keilmuan yang sangat tinggi.84

Dalam al-Qur’an, syahwat di hubungkan dengan pikiran-pikiran yang didorong oleh hawa nafsu,85 dengan keinginan terhadap kelezatan dan kesenangan,86 dan prilaku menyimpang.87 Ini semua tidak terlepas dari asal kata syahwat / شهي yang bermakna menginginkan kenikmatan.

Syahwat dan hawa nafsu merupakan salah satu bentuk dorongan-dorongan yang ada pada nafs, baik dalam bentuk yang di sadari ataupun tidak disadari. Ia adalah satu satu penggerak tingkah laku, walaupun terkadang lebih di konotasikan sebagai penggerak tingkah laku negatif.88 

Apabila semua kerja komponen ini di visualisasikan, maka akan tampak bagaimana qalb bekerja memahami, mengolah, menampung realitas sekelilingnya dan memutuskan sesuatu. Qalb memiliki potensinya yang dinamis. Namun ia pun sangat temperamental, fluktuatif, emosional dan tidak bisa konsisten. Untuk memecahkan permasalahan tersebut, qalb bekerja sama dengan aql dalam merasionalisasikan keadaan yang ada. Keselarasan keduanya itulah yang lebih di sebut sebagai fikir plus zikir. Disaat keduanya masih terkontaminasi oleh syahwat dan hawa nafsu dan menjerumuskan nafs, maka disinilah peran bashirah. ia memberikan sinyal, melakukan koreksinya serta mengingatkannya akan fu’adnya. Dengan kesatuan semua komponen inilah, maka nafs pun menjadi bertingkat sesuai dengan usaha yang dihasilkannya. Potensi nafs dalam berbuat baik dan kecenderungannya kepada kenikmatan dengan jalan apapun, membuat nafs harus bisa mengendalikan dan menyeimbangankan semua komponen dalam dirinya. Disinilah semuanya berproses hingga memunculkan tingkah laku. Demikian sekilas tentang sistem dan komponen potensi al-Insan.




  1. Yüklə 288,19 Kb.

    Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin