PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG
TEMA POKOK PENDIDIKAN II (IBADAH, SHOLAT, PUASA, ZAKAT, HAJI DAN AKHLAK) *
-
Perspektif Al-Qur’an tentang Tema Pokok Pendidikan II
-
Ibadah
Kita mengetahui, bahwa tugas pokok manusia di dunia ini adalah beribadah (menyembah) Allah Yang Esa. Kita pun tahu, bahwa pengertian ibadah itu ialah benar-benar tunduk yang disertai dengan penuh rasa cinta kepada Allah. Kita juga tahu, bahwa ibadah dalam islam itu meliputi seluruh persoalan keagamaan dan seluruh aspek hidup.1
Tinggal satu masalah yang sering dipertanyakanoleh sebagaian orang, yaitu: mengapa kita harus menyembah Allah? Atau dengan kata lain: mengapa Allah mewajibkankita untuk menyembahNya dan taat kepadaNya padahal Dia tidak butuh itu semua? Apakah tujuan sebenarnya kita diharuskan untuk menyembah itu? Apakah ibadah kita itu demi kepentingan Dia? Termasuk juga khusuk kita, berdiri kita di pintuNya, kepatuhan kita terhadap perintah-perintahNya dan jauh kita dari larangan-laranganNya? Ataukah manfaat dari ibadah itu kembali kepada kita sendirik ini? Apakah hakikat manfaat itu jika ada, ataukah tujuannya itu semata-mata perintah dan taat begitu saja? Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu adalah sebagai berikut:
-
Ibadahnya seorang hamba itu tidak untuk kepentingan Allah.
-
Betapapun hamba itu berpaling, tetap tidak akan mengurangi wibawa Allah.
-
Pujian orang itu tidak menambah kekuasaan Allah.
-
Ingkarnya manusia itu tidak mengurangi kekuasaan Allah.
-
Allah Maha Kaya, kita maha memerlukan.
-
Allah adalah zat yang penuh kasih dan pemurah.
-
Dia adalah baik dan penyayang, yang tidak akan menyuruh kita berbuat sesuatu, melainkan di dalamnya ada kebaikan dan kemaslahatan kita sebagai makhluk ini, lebih-lebih hak Dia sebagai kewajiban apa saja yang Ia kehendaki.
-
Ia memaksakan kita apa yang Ia mau, dengan hukum dan nikmatnya kepada kita.
-
Ia menentukan peribadatan kita yang mendasar itu ialah untuk Allah SWT.
-
Tetapi Ia tidak akan memaksakan sesuatu kepada kita, melainkan yang memang benar-benar bermanfaat buat kita dan maslahat buat kita yang memang kita sedang membutuhkannya dalam setiap pernafasan kita ini.2
-
Shalat
Shalat adalah bentuk ibadah yang luhur sejak dahulu kala, dan syari’at yang dimiliki oleh setiap agama pada umumnya. Hampir tidak kita jumpai dalam sejarah agama-agama didunia ini, suatu agama yang dikenal tanpa mengerjakan shalat. Sementara itu, sesungguhnya shalat dalam islam mempunyai keistemewaan-keistimewaan khusus, yang mengandung berbagai rahasia yang amat tinggi, yang semuanya itu tidak dimiliki oleh shalat dalam agama apapun selain islam.3
Dalam ajaran Islam, ibadah shalat merupakan suatu ibadah yang sangat diutamakan, dimana perbuatan seseorang yang pertama kali yang dinilai adalah shalatnya. Jika shalatnya sudah baik dan benar, maka keseluruhan amal orang itu baik. Namun bila sebaliknya, maka amal orang tersebut dianggap orang yang berperilaku buruk. Selain itu, shalat juga termasuk kedalam salah satu rukun islam.4
-
Definisi Shalat
Secara lughah, atau pengertian menurut bahasa, shalat berma’na do’a. Secara istilah, shalatlah adalah beberapa perkataan yang dimulai dengan takbir diiringi dengan niat dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syari’at.5
Dalam pengertian tersebut baru tampak lahiriyahnya saja, sebab apabila seseorang tidak dapat melakukan shalat dengan cara berdiri, duduk, rukuk dan sujud karena sakit, maka ia dibolehkan shalat dengan cara berbaring. Demikian halnya bila seseorang dalam perjalanan, maka ia dibolehkan mendahulukan atau mengakhirkan waktu shalat dan mengakhiri jumlah raka’at.6
Dengan adanya kemungkinan untuk meninggalkan unsur-unsur lahiriah, maka dapat diketahui bahwa definisi shalat seperti diatas belum lengkap, sebab jika hanya dipahami dengan pengertian tersebut seseorang dalam melakukan shalat belum tercegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar, sebagaimana disebutkan didalam Al-Qur’an :
“ ...Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. ..”(QS. Al-Ankabut:45).7
Agar makna shalat itu menjadi lengkap, perlu memahami makna hakikat dan jiwa shalat tersebut, dimana shalat dikerjakan dengan khusyu’, khudhu’ dan ikhlas. Adapun hakikat shalat ialah menghadapkan hati dan jiwa kepada Allah dengan cara yang dapat mendatangkan perasaan takut dan cinta kepadaNya, serta menumbuhkan dalam jiwa akan kebesaranNya dan kesempurnaan kekuasaanNya. Sedangkan jiwa shalat, ialah menghadap Allah dengan khusyu, ikhlas dan kesadaran hati, baik dalam berdzikir maupun memuji.8
Dari uraian diatas dapat disusun definisi shalat yang mencakup lahiriah, hakikat dan jiwa shalat, yakni: shalat ialah menghadapkan hati dan jiwa kepada Allah dengan cara yang dapat mendatangkan takut dan cinta dengan menumbuhkan kebesaran serta kekuasaanNya, yang dilakukan dengan penuh khusyu’dan ikhlas dalam beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.9
-
Hikmah shalat
Hikmah yang dimaksud di sini adalah hakikat tentang sesuatu (termasuk shalat) berdasarkan kemampuan fikir manusia dengan argumentasi ilmiah yang luas dan dalam. Dalam Al-Quran disebutkan : “serulah (manusia)kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah...”hikmah hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang menggunakan akal pikiran. Terdapat ‘ibrah bagi orang-orang yang mempunyai akal, sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran :
“sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu yang mempunyai akal”.10
Hikmah juga mengandung arti mengajarkan halal dan haram. Ia mengandung ilmu hakikat sesuatu apa yang diperkuat dengan ilmu pengetahuan. Ia juga membicarakan ilmu dan metodenya. Muihamad Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar, mengatakan : “hikmah ialah ilmu yang shahih yang akan menimbulkan kehendak untuk berbuat yang bermanfaat karena padanya terdapat pandangan terdapat dan paham tentang hukum-hukum dan rahasia-rahasia persoalan.11
Hikmah dapat juga berarti pengetahuan tentang hal-hal yang dibalik kenyataan. Hikmah berarti pula kebijaksanaan, pandai meletakkan sesuatu pada tempatnya, sehingga segalanya dapat berjalan lancar dan berhasil. Ahli hikmat itu bisa dinamakan ahli pikir atau ahli filsafat. Jika dikaitkan antara ilmu dengan hikmah, maka tidak dapat dipisahkan. Ilmu tanpa hikmah menjadi dangkal, sedang hikmah tanpa ilmu menjadi hampa.12
Hikmah dalam arti ibadah mengandung tanggung jawab secara akhlaq. Islam tidak mengenal atau atau memisahkan ahlak dari penerapan hikmah. Islam tidak memisahkan hubungan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan pergaulan hidup. Islam juga menganjurkan manusia untuk bertutur lembut guna menumbuhkan sifat-sifat ihsan, sifat malu, dan memelihara masyarakat dari kerusakaan moral.13
Hikmah ibadah shalat yang dimaksudkan di sini adalah isi kandungan atau substansi dan essensi shalat tersebut, atau hal-hal yang tersirat dari praktek lahiriah pengamalan shalat.14
Al-Quran banyak memberikan indikasi tentang hikmah shalat, antara lain tercegahnya perbuatan keji dan munkar. Apa hubungan seseorang dalam melakukan sikap berdiri, ruku’, sujud dalam shalat adalah bukan merupakan perbuatan biasa tanpa makna dan tujuan. Perbuatannya itu bukan sembarang perbuatan, karena mengandung nilai-nilai yang tinggi, yang ditujukan dan diiringi dengan hati dan jiwa yang pasrah dan tunduk kepada penciptaNya. Kepasrahan dan ketundukan akan hukum dan undang-undang yang dibuat olehNya. Allah SWT memiliki segala kemahaan, maka Dia adalah Maha Sempurna. Seseorang yang tunduk dan patuh kepadaNya, akan ditulari pancaran kesempurnaanNya. Karenaya, manusia itu akan terhindarkan dirinya dari perbuatan-perbuatan tercela, yang akan dapat merusak dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan pula sebagai berikut:
“...Maka kecelakaanlah (masuk neraka Wail) bagi orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna...”(QS. 107/al-Ma’un:4-7).15
Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa seseorang yang mengamalkan shalat akan memperoleh kecelakaan, karena ia lalai dalam pengamalan shalatnya. Lalai dalam shalat secara lahir adalah bersikap enggan atau malas, secara batin hati dan jiwanya tidak ditujukan kepada Allah SWT. Orang yang mengamalkan shalat juga akan mengalami kecelakaan, karena dalam jiwanya terdapat pikiran-pikiran buruk yang ingin mendapat pujian (riya). Orang tersebut bersikap tidak ikhlas dalam pengamalan shalatnya. Juga akan dimasukkan ke dalam neraka (Wail) bagi orang yang shalat, namun dalam praktek hidup kesehariannya bersikap kikir, enggan memberikan pertolongan kepada sesamanya. Oleh karena itu, shalat mengandung hikmah mendidik manusia tidak berlaku malas, berjiwa bersih, dan bersikap penolong.16
Shalat juga mengandung hikmah sebagai media penghubung antara makhluq (insan) dengan khalik (penciptanya). Disamping itu, dengan mengamalkan shalat seseorang akan lebih sering mengingat Allah, menghidupkan rasa tunduk dan patuh kepadaNya, serta menumbuhkan dalam jiwa rasa kebesaran dan kekuasaanNya. Dengan shalat seseorang akan terpelihara jiwanya dari sikap keluh kesah, dan mampu bersikap sabar.17
Shalatpun mengandung didikan disiplin, karena orang yang mengamalkan shalat adalah orang yang menepati waktu, sebab shalat itu ditentukan waktu-waktu-waktunya. Mengamalkan shalat akan menghapus dosa selama tidak melakukan dosa besar sepanjang hidupnya.18
Hikmah yang lain bagi orang yang mengamalkan shalat adalah terjaga kebersihan lahir dan batinnya. Hal itu disebabkan setiap mau melakukan shalat terlebih dahulu bersih lahirnya dari hadats dan najis dengan cara berwudhu, dan bersih batinnya dari sifat-sifat keangkuhan dan kesombongan. Orang yang mendirikan shalat akan terjaga kesehatan fisik maupun jiwanya, karena gerakan-gerakan-gerakan dalam shalat tersebut dapat membentuk kesehatan fisik.19
Di samping itu, shalat juga merupakan ikatan rasa persaudaraan dan persatuan masyarakat, karena orang-orang yang sama-sama melaksanakan shalat merasakan ikatan batin yang menyatukan rasa dan kepribadian mereka. Dengan demikian, shalat merupakan alat perekat hubungan sosial ditengah-tengah masyarakat dan dapat digerakkan untuk membangun dan mengembangkan rasa persaudaraan yang kuat dan berbuat untuk kesejahteraan bersama. Shalat juga dapat memperdalam rasa disiplin diri dan membuat seseorang bersikap disiplin dan berpendirian, menampilkan pribadi yang memiliki akhlak yang mulia, dan memberikan kekuatan (lahir dan batin) dan ketenangan jiwa dalam menghadapi berbagai godaan dunia. Dengan demikian, shalat juga dapat menjadi tembok penangkal bagi seseorang untuk mengendalikan emosi dan melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Waktu shalat yang lima kali sehari semalam merupakan saat-saat yang tepat bagi seorang muslim untuk melakukan evaluasi diri, sehingga tindakannya dapat diawasi dan dievaluasi secara rutin dan teratur. Oleh karena itu, seorang muslim yang melaksanakan shalat dengan konsisten akan dapat menjaga dan memelihara kehidupannya setiap hari. Dengan demikian, misi shalat akan dibawa kedalam kehidupan diluar shalat, dan kehidupan diluar shalat akan dievaluasi pada waktu shalat. Karena itu, shalat yang dilakukan lima kali sehari semalam akan dapat mencegah orang dari perbuatan dosa dan kemungkaran.20
-
Puasa
Puasa telah lama dikenal oleh ummat manusia. Namun ia bukan berarti telah usang atau ketinggalan zaman. Karena generasi abad kedua puluh ini masih melakukannya dengan berbagai motif dan dorongan. Puasa dalam arti “mengendalikan dan menahan diri untuk tidak makan dan minum dalam waktu-waktu tertentu” dilakukan antara lain dengan tujuan memelihara kesehatan atau merampingkan tubuh, atau dalam bentuk mogok makan sebagai pertanda protes atas perlakuan pihak lain, atau dilakukan sebagai tanda solidaritas atas malapetaka yang menimpa teman atau saudara, seperti yang terdapat disementara suku-suku India dan lainnya yang hingga kini masih berlaku. Puasa dengan aneka ragam tujuan dan bentuk tersebut dihimpun oleh satu esensi, yaitu “pengendalian diri”.21
firman Allah yang berbunyi :
183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa...(QS. Al-Baqoroh: 183).22
Puasa yang dilakukan umat Islam digaris bawahi oleh Al-Qur’an sebagai “bertujuan untuk memperoleh taqwa”. Tujuan tersebut tercapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri. Memahami dan menghayati arti puasa memerlukan pemahaman terhadap dua hal pokok menyangkut hakikat manusia dan kewajibannya di bumi ini. Pertama, manusia diciptakan oleh Tuhan dari tanah, kemudian dihembuskan kepadanya Ruh ciptaanNya, dan diberikan potensi untuk mengembangkan dirinya hingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya wajar untuk menjadi khalifah (pengganti) Tuhan dalam memakmurkan bumi ini. Kedua, dalam perjalanan manusia menuju ke bumi, ia (Adam) melewati “transit” di Surga, agar pengalaman yang diperolehnya disana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugas pokoknya di bumi ini. Pengalaman tersebut antara lain adalah persentuhannya dengan surga itu sendiri. Disana telah tersedia segala macam kebutuhan manusia, antara lain sandang pangan serta ketentraman lahir dan batin. Hal ini mendorongnya untuk menciptakan bayangan surga di bumi, sebagaimana pengalamannya dengan setan mendorongnya untuk berhati-hati agar tidak terpedaya lagi sehingga mengalami kepahitan yang dirasakan ketika terusir dari surga.
-
Pengertian Puasa
Puasa berasal dari kata al-shaum (bentuk tunggal), al-syiam (bentuk jamak). Secara etimologi bermakna menahan diri dari sesuatu, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.23
Al-Qur’an menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syari’at. Sekali Al-Qur’an juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak berbicara: “Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorag manusia pun. (QS. Maryam:26).24
Demikian ucapan maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa a.s.). kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kerja yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah bentuk baik untuk kamu”, dan sekali menunjukkan kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita yaitu ash-shaimin wash-shaimat.25
Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan” dan “berhenti” atau “ tidak bergerak”. Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas apapun aktifitas itu di namai shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, di persempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiam hanya di gunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari”.26
-
Tujuan Puasa
Secara jelas Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwa’an atau la’allakum tattaquun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digaris bawahi beberapa penjelasan dari Nabi SAW. Misalnya, “Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga”. Ini berarti bahwa menahan diribdari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firmanNya bahwa “Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan”.27
Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapapun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dari keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan mereka. Disini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa, melakukannya demi karena Allah SWT. Demikian antara lain penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi diatas.28
Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan dan sebagainya. Tetapi seorang yang Berpuasa Ramadhan dengan benar , sesuai dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah semata.29
-
Keutamaan dan Hikmah Puasa
Ibadah puasa memilki keutamaan tersendiri, dimana puasa merupakan bentuk ibadah yang khususnya ditujukan kepada Allah, berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya seperti shalat dan sedekah (zakat). Maksudnya, mungkin saja ada kecendrungan hati ketika melakukan shalat zakat karena termotivasi seseorang. Misalnya ingin mendapat pujian. Namun ibadah puasa tidak karena yang lain, kecuali hanya untuk Allah. Ibadah puasa dilakukan secara diam-diam, tidak terlihat, berbeda dengan ibadah yang lain, yang tampak perwujudannya. Ibadah puasa juga merupakanbentuk ibadah yang dirahasiakan. Oleh karenanya, hanya Allah yang mengetahui dan melihat amalan itu, dan Dialah yang akan membalasnya. Hal ini dikemukakan dalam sebuah hadis qudsi, diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah SWT berfirman yang artinya: “Tiap amal anak Adam (manusia) adalah untuknya (untuk manusia sendiri), kecuali puasa. (Puasa) adalah untuk-Ku, dan Aku akan membalasnya (tanpa hitungan)”.30
Puasa juga merupakan salah satu rukun islam yang lima. Bagi orang yang berpuasa dibulan Ramadhan karena mengharapa ridho Allah dan menjaga diri dari segala yang patut dijaga, ia akan beroleh ampun dari Allah atas segala dosa-dosanya dimasa lalu, sebagaimana dikemukakan oleh hadis berikut: “Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata, bahwa Nabi SAW bersabda: Barang siapa berpuasa pada bulan ramadhan dan mengetahui batas-batasnya, dan ia menjaga diri dari segala apa yang patut dijaga, dihapuslah dosa-dosa sebelumnya” (HR. Ahmad dan al-Baihaqy dengan sanad yang baik).31
Puasa pada dasarnya merupakan proses latihan menuju tingkat ketaqwaan terhadap Allah SWT. Sebagaimana dinyatakan pada akhir ayat surat Al-Baqarah 183. Disamping itu,puasa adalah ibadah ritual, yang memiliki makna yang dalam. Puasa merupan wahana latihan mengendalikan hawa nafsu dan menahan keinginan untuk melakukan perbuatan yang dilarang Allah SWT. Ibadah puasa menguji kekuatan imam seseorang sejauh mana imannya mampu membendung keinginan-keinginan dan dorongan-dorongan nafsu yang mengajak untuk melakukan perbuatan yang dilarang Allah. 32
Ibadah puasa berfungsi pula sebagai wahana memupuk dan melatih rasa kepedulian dan perhatian terhadap sesama. Selain itu dapat memberikan kesehatan (baik jasmani maupun rohani), sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW “ berpuasalah kamu maka kamu akan sehat” (HR. Abu Dawud).33
Berkenaan dengan ini Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Perut adalah rumah dari segala penyakit dan penjagaan atas makanan adalah permulaan pengobatan. Permulaan dari segala penyakit adalah mengisi perut berlebih-lebihan”.34
Berpuasa juga akan dapat melatih kejujuran. Kesabaran dan ketaqwaan (tabah) dalam menghadapi berbagai cobaan hidup. Selanjutnya, yang terpenting dengan melakukan puasa seorang muslim mewujudkan rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan kepada hamba-hamba-Nya.35
Demikian halnya, dengan berpuasa orang akan terhindar dari perselisihan dan konflik yang tidak berkesudahan. Melakukan puasa hakikatnya mendidik diri, mengontrol atau mengevaluasi diri, membina dan meningkatkan pengetahuan dan perubahan sikap sendiri, serta mengarahkan dirinya menuju tujuan yang diridhai Tuhannya untuk menjadi manusia yang patuh dan taat serta tunduk kepadaNya. Bermanfa’at bagi dirinya akan pula mengandung efek kebaikan bagi lingkungannya, baik sesamanya maupun alam sekitarnya. Oleh karenanya, puasa adalah merupakan sarana pendidikan yang akan dapat mencapai tujuan untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya, yaitu manusia yang bertaqwa.36
-
Zakat
Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Seseorang yang memenuhi syarat-syaratnya dituntut menunaikan, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau terpaksa “dengan tekanan penguasa”.37 Karena tidak diterima zakat atau tidak sah mengeluarkan zakat kecuali dengan niat.38Oleh karena itu, agama menetapkan ‘amilin’ atau petugas-petugas khusus yang mengolahnya, disamping menetapkan sanksi-sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap mereka yang enggan. Zakat merupakan salah satu sendi pokok ajaran islam. Bahkan Al-Qur’an menjadikan zakat dan shalat sebagai lambang dari keseluruhan ajaran islam: Apabila mereka kaum musyrik, bertobat,mendirikan shalat, menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudara seagama. (QS. 9:11).39
-
Pengertian Zakat
Zakat, ialah nama atau sebutan dari sesuatu hak Allah ta’ala yang dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin. Dinamakan zakat, karena didalamnya terkandung harapan untuk beroleh berkat, membersihkan jiwa dan memupuknya dengan berbagai kebajikan. Kata-kata zakat, arti aslinya ialah suci, berkembang, berkah, tumbuh, bersih dan baik. Allah SWT berfirman:
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah: 103).40
Maksud ayat tersebut adalah agar Rasul atau penguasa (di negara Islam manapun) diperintahkan untuk memungut harta kekayaan orang-orang mu’min, baik yang bersifat wajib (zakat) maupun yang bersifat anjuran (sedekah), guna membersihkan mereka dari penyakit kikir dan serakah, sifat-sifat rendah dan kejam terhadap fakir-miskin dan orang-orang yang tidak berpunya, dan sifat-sifat hina lainnya. Selain itu, juga untuk menyucikan jiwa mereka, menumbuhkan dan mengangkat derajatnya dengan berkah dan kebajikan, baik dari segi moral maupun amal, hingga dengan demikian ia akan layak mendapatkan kebahagiaan, baik dunia maupun akhirat.41
-
Landasan Filosofis Kewajiban Zakat
-
Istikhlaf
-
Solidaritas
-
Persaudaraan.42
-
Dampak Zakat
Pertama, mengikis habis sifat-sifat kikir didalam jiwa seseorang, serta melatihnya memiliki sifat-sifat dermawan, dan mengantarnya mensyukuri nikmat Alloh, sehingga pada akhirnya ia dapat menyucikan diri dan mengembangkan kepribadiannya. Kedua, menciptakan ketenangan dan ketentraman, bukan hanya kepada penerima, tetapi juga kepada pemberi zakat, infaq dan shadaqoh. Ketiga, mengembangkan harta benda. Pengembangan ini dapat ditinjau dar dua sisi: (a) sisi spiritual, dan (b) sisi ekonomis-psikologis.43
-
Hikmah Zakat
Zakat pada dasarnya merupakan implementasi dari pandangan dasar Islam tentang alam, yaitu alam adalah milik Allah. Demikian pula dengan harta yang diperoleh seseorang adalah milik mutlak Allah. Manusia hanya memiliki amanat dan hak guna pakai, yang bersifat sementara. Oleh karena itu, pada setiap harta yang diperoleh terdapat hak Allah yang harus ditunaikan berdasarkan aturan yang ditetapkannya yaitu, zakat.44
Syari’at islam tentang zakat mendorong adanya pemerataan pendapatan dan pemilikan harta di kalangan masyarakat muslim, menghilangkan monopoli dan penumpukan harta pada sebagian masyarakat. Selanjutnya mendorong lahirnya sistem ekonomi berdasarkan kerjasama dan tolong-menolong.45
Dari segi penerima zakat (mustahiq), zakat memberikan harapan dan optimisme. Mereka memiliki harapan untuk dapat menyambung hidupnya dan mengubah nasibnya, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki, dan kecemburuan kepada orang-orang kaya, sehingga kesenjangan antara kaya dan miskin dapat diperkecil, bahkan mungkin dihilangkan. Disamping itu, ibadah zakat dapat mendidik orang untuk membersihkan jiwanya dari sifat kikir, tamak, sombong dan angkuh, karena kekayaannya, dan menumbuhkan sifat perhatian dan peduli terhadap orang yang lemah dan miskin.46
Selanjutnya, Djaelan Husnan dkk., dalam bukunya “Kuliah Ibadah” dengan sangat rinci menjelaskan hikmah zakat sebagai berikut:
-
Hikmah Zakat bagi Orang yang menunaikannya:
-
Dapat menyucikan diri dari sifat kikir dan cinta harta yang berlebih-lebihan, yang menjadi penghalang bagi keberuntungan, dan membiasakan diri bersifat murah yang membawa keberuntungan.
-
Dapat menyuburkan sifat-sifat baik.
-
Dapat menyuburkan harta.
-
Mendekatkan diri kepada Allah dan menimbulkan perasaan bahwa kebahagiaan itu terletak dalam kesediaan mengeluarkan harta dijalan Allah.
-
Membuktikan kebenaran Tauhid dan SyahadatNya.
-
Menjadi bukti syukur atas nikmat Tuhan
-
Menyedikitkan kecurangan yang akan membawa kesesatan.
-
Membiasakan diri dengan sifat Allah, yaitu melimpahkan kebajikan dan rahmat kepada sesama manusia, bermurah hati dan mempunyai perasaan peri kemanusiaan, dan lain sebagainya.
-
Hikmah Zakat bagi Orang yang Menerima Zakat:
-
Menghilangkan kesulitan hidup fakir-miskin
-
Memelihara fakir miskin dari kehinaan
-
Menguatkan iman orang yang dibujuk hatinya, dan mendorong yang lain memeluk agama Islam.
-
Membantu orang-orang yang berhutang dalam membayar hutangnya.
-
Membantu orang-orang yang berjuang dijalan Allah.
-
Memudahkn ibnu sabil dalam perjalanan.
-
Hikmah bagi Kedua belah Pihak
-
Mendorong baik yang kaya maupun yang miskin untuk sama-sama menyempurnakan imannya.
-
Mewujudkan persaudaraan dan kasih sayang antara kedua belah pihak.47
-
Haji
Artinya: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullahbarangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali-Imron: 96-97).
-
Pengertian Haji
Lafazh “al-hajj” difathahkan, bisa juga dibaca dengan “al-hijj”. Ibadah haji telah disepakati oleh seluruh ulama sebagai salah satu rukun Islam yang lima. Al-hajj, secara etimologi berarti “tujuan, maksud, dan menyengaja”. Dalam arti terminologi, haji berarti bermaksud dengan sengaja mengunjungi Baitulloh (ka’bah) menurut syarat-syarat dan rukun yang tertentu, karena memenuhi panggilan Allah semata. Ayat yang ditulis pada permulaan pembahasan ini menunjukkan kewajibannya.48
-
Hikmah Ibadah Haji
Hikmah yang terkandung dalam ibadah haji sangatlah luas, karena ibadah haji adalah ibadah paling paripurna. Pertama dilihat dari segi historis-geografis, ibadah haji mengandung pelajaran menghargai jasa-jasa pendahulu, dimana Rasulullah SAW menghargai jasa-jasa perjuangan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta Siti Hajar sebagai kakek dan nenek moyangnya, yang telah mendirikan rumah ibadah pertama di muka bumi ini bagi manusia. perjuangan berat ketiga pendahulunya itu dilestarikan bukan dalam bentuk prasasti atau peninggalan-peninggalan berbentuk fisik, namun dengan menapaktilasi perjalanan para pendahulunya diwujudkan dengan perilaku perbuatan, sehingga orang yang menunaikan ibadah haji dapat merasakan langsung perjuangan berat dalam menunaikan ibadah haji. Bahkan dalam beberapa hadis dikemukakan, bahwa pelaksanaan ibadah haji adalah sebagai bentuk jihad fi sabilillah. Disamping itu, dalam melaksanakan ibadah haji dapat secara langsung melihat dan merasakan medan yang berat, yang terdiri dari luasnya padang pasir yang kering dan tandus. Dengan demikian, akan dapat memotivasi setiap bentuk amaliah ibadah seberat apapun, hendaknya dilakukan dengan tabah dan penuh kesabaran, serta selalu penuh harap mendapat pertolongan Tuhan.49
Kedua secara sosiologis, bagi para jama’ah haji akan merasakan dan mengalami suasana percampurbauran beragam budaya dari berbagai penjuru dunia, baik dari segi bahasa, watak/perangai/perilaku, maupun warna kulit, dapat menyatu dalam satu langkah dalam beribadah menuju keridhoan Illahi Rabbi. Disamping itu, dalam melaksanakan ibadah haji menggunakan pakaian yang sama, berwarna putih dan tidak berjahit, dimana menunjukkan perlambang persamaan harkat dan martabat manusia, tidak ada yang lebih tinggi antara yang satu dengan lainnya, kecuali karena taqwanya semata kepada Allah SWT. Pakaian yang dikenakan sewaktu ibadah haji adalah warna pakaian yang akan dikenakannya sewaktu ia mengakhiri hidupnya didunia ini (sebagaimana kain kafan yang berwarna putih), akan dapat mengingatkan bahwa manusia hakikatnya akan mengakhiri hidupnya didunia yang fana ini, manakala menghadap Allah kelak, atribut apapun yang disandangnya didunia ini akan ditanggalkan. Hanya ketaqwaan yang akan diperhitungkan dihadapan Allah.50
Ketiga secara pedagogis, ibadah haji dapat mendidik manusia untuk meningkatkan amal perbuatan kepada yang lebih baik dan menuju suatu kesempurnaan (walaupun manusia tidak akan ada yang sempurna). Dengan melakukan ibadah haji dapat mengambil i’tibar (pelajaran) atas berbagai pengalaman yang ditemuinya untuk selalu melakukan introspeksi dan evaluasi diri, sehingga dirinya tidak merasa sebagai orang terbaik, karena ternyata kebaikan yang ada pada dirinya juga didapatkan pada orang lain, bahkan mungkin terasa bahwa orang lain itu lebih baik dari dirinya. Oleh karenanya, dengan ibadah haji akan memunculkan suatu sifat utama dengan selalu menghargai orang lain dan mencintainya, sebagaimana menghargai dan mencintai dirinya sendiri. Pada dirinya akan tertanam suatu sifat yang akan memunculkan sikap saling harga-menghargai, yang pada akhirnya akan tercipta suasana penuh kedamaian bersama.51
-
Akhlak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yakni khuluq yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Qalam ayat 4:
Artinya:“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.52
Bertolak dari pengertian bahasa diatas, yakni akhlak sebagai kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen keanekaragaman tersebut.
Artinya:“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda”. (QS. Al-Lail:4).53
DAFTAR PUSTAKA
M. Ma’rifat Iman KH, Ibadah Akhlak “Tinjauan Eksoteris dan Esoteris”, Jakarta: Uhamka, 2002.
M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an, Bandung: Mizan,1994.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1998.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Llima Madzab, Jakarta: Lentera, 2011.
Yusuf Al Qardlawi, Ibadah dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1998.
Dostları ilə paylaş: |