Pusaka Madinah



Yüklə 5,93 Mb.
səhifə85/92
tarix27.10.2017
ölçüsü5,93 Mb.
#16453
1   ...   81   82   83   84   85   86   87   88   ...   92

VI. Aliran Khawarij

Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar (seperti keluar melesatnya anak pakah dari busurnya). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, seluruh kaum muslimin membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, namun gubernur Syam yaitu Muawiyyah bin Abu Sofyan tidak mau membaiatnya, bahkan memberontak dan berusaha merebut kekhalifahan. Maka terjadilah perang Shiffin antara Ali melawan Muawiyyah.

Tentara Syam sudah tersudut dan hampir kalah, untuk menunda kekalahan Amr bin Ash, salah seorang panglima Muawiyah mengusulkan agar Al-Quran diikat pada ujung tombak dan menawarkan perundingan damai dengan pihak Ali. Siasat tersebut kemudian dilaksanakan dan berhasil membuat para Qurra (penghafal Al-Quran) dari kalangan tentara Ali bin Abi Thalib menghentikan peperangan dan didukung oleh sebagian anggota tentara Ali bin Abi Thalib.

Akhirnya antara pihak Ali dan Muawiyah masing-masing mengirimkan seorang wakil untuk melakukan perundingan arbitrase mencari solusi damai atas pertikaian perebutan kekhalifahan yang sedang terjadi. Khalifah Ali mula-mula menunjuk Abdullah bin Abbas sebagai wakilnya, namun penunjukan Ali tersebut ditolak dan ditentang oleh sebagian tentaranya. Akhirnya pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asyari, sedangkan pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash.

Kedua juru runding itu sebelumnya sepakat menurunkan Ali dan Muawiyah dari kekhalifahan untuk kemudian mencari orang ke tiga yang akan diangkat sebagai khalifah yang baru. Mula-mula yang pertama naik ke mimbar adalah Abu Musa Al-Asyari wakil dari kelompok Ali menyatakan menurunkan Ali dari kekhalifahan. Giliran kedua Amr bin Ash naik ke mimbar, tetapi Amr bin Ash tidak menepati kesepakatan sebelumnya yang telah dibuat. Saat diatas mimbar Amr bin Ash menetapkan Muawiyah sebagai khalifah yang syah. Menyadari kelicikan siasat Amr bin Ash maka hasil arbitrase tersebut tidak diakui oleh pihak Ali.

Sebagian pengikut Ali tiba-tiba menolak dan mengecam arbitrase tersebut dan menyalahkan Ali karena mau melakukan tahkim atau arbitrase tersebut. Mereka keluar dari barisan pengikut Ali dan membentuk kelompok sendiri yang dikenal sebagai kelompok khawarij.

Mereka berjumlah sekitar 12.000 orang dan memusatkan gerakannya di Harurah, sehingga kelompok ini dikenal juga dengan istilah kelompok Haruriah. Mereka berpendapat bahwa Ali telah menjadi kafir karena mau melakukan tahkim arbritase dan menuntut Ali agar melakukan tobat. Demikian juga mereka mengkafirkan Muawiyah yang dianggap salah satu penyebab pertumpahan darah sesama kaum muslimin.

Kaum khawarij dikenal banyak membaca Al-Quran, rajin puasa dan tahajud namun suka berbuat anarkis, merampok baitul mal gubernur Basrah, mengkafirkan dan membunuh orang-orang yang tidak sefaham dengan mereka. Suatu ketika ada khafilah yang berpapasan dengan mereka, kemudian khafilah itu ditanya pendapatnya tentang Ali dan peristiwa arbitrase, khalifah itu memberi penilaian yang baik kepada Ali, maka merekapun membunuhnya dan semua anggota rombongan khalifah termasuk seorang wanita yang sedang hamil.

(Uraian yang lebih rinci dan detail tentang perang Shiffin, awal mula munculnya kelompok Khawarij, dialog dan diskusi Ibnu Abbas dengan mereka sebagai usaha untuk menarik kembali mereka kebarisan Khalifah Ali, penumpasan kelompok Khawarij oleh Khalifah Ali dalam perang Nahawan, dsb bisa dibaca pada buku Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir atau Tharikh (sejarah) Khulafaur Rasyidin atau buku Nahjul Balagah atau buku-buku tentang biografi Imam Ali bin Abi Thalib)

Kelompok Khawarij awal mulanya hanya kelompok politik, tapi kemudian berkembang menjadi aliran ilmu kalam. Mereka telah keluar dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.

Adapun pokok-pokok pikiran mereka dalam ilmu kalam adalah :

a. Menolak tahkim / arbitrase.

b. Membolehkan Khalifah bukan dari suku Quraisy, bahkan dari kalangan mana saja.

c. Mengharuskan seorang khalifah berbuat adil dan menetapi syariat Islam.

d. Khalifah yang dianggap telah menyimpang dari syariat Islam wajib diturunkan, bila perlu secara paksa dan dibunuh.

e. Melakukan pemberontakan kepada Khalifah yang mereka anggap dzalim dan tidak adil.

f. Menganggap pelaku dosa besar adalah kafir.

g. Membolehkan membunuh golongan diluar kelompoknya.

Aliran Khawarij dalam perkembangan selanjutnya pecah lagi menjadi beberapa sekte dari yang paling keras adalah sekte Azariqah dibawah pimpinan Nafi Ibnu Azraq. Golongan ini berpendapat bahwa orang-orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka adalah kafir dan akan kekal selama-lamanya dalam neraka, walaupun ia meninggal ketika masih anak-anak. Termasuk dalam sekte ini adalah Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Khalifah Ali ketika sedang sholat Subuh di Kufah.

Ada juga sekte yang lebih lunak seperti kelompok Najdah Ibnu Amir Al-Hanafi dari Yamamah, kelompok Ziad Ibnu Asfar. Sedangkan yang paling lunak adalah sekte Ibadiah pimpinan Abdullah bin Ibad yang tidak sampai mengkafirkan dan masih menganggap Islam kelompok diluar mereka.



VII. Aliran Syiah

Syiah artinya pendukung, maksudnya pendukung Ali bin Abi Thalib. Pada akhir masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba menyatakan diri masuk Islam. Sewaktu masih menganut agama Yahudi ia pernah mengatakan bahwa Yusya bin Nun adalah seorang yang diberi wasiat oleh Nabi Musa untuk melanjutkan memimpin Bani Israil. Setelah masuk Islam, dia menghembuskan doktrin bahwa Ali telah menerima wasiat dari Nabi Muhammad sebagai khalifah sepeninggal beliau. Lebih dari itu Abdullah bin Saba mengajarkan bahwa pada diri Ali itu mengandung unsur ketuhanan.

Abdullah bin Saba mengembara ke kota-kota Islam seperti Mesir, Basrah dan Kufah menyebarkan ajarannya itu. Pada tahun ke enam masa kekhalifahan Usman bin Affan, kerabat Usman dari kalangan Bani Umayyah banyak yang menduduki jabatan penting, seperti gubernur, sekretaris, bendahara baitul mal. Tindakan para pejabat yang terdiri atas Bani Umayah kerabat Khalifah Usman banyak yang menyengsarakan rakyat dan dikenal korup. Pada tahun ke dua belas datanglah delegasi rakyat Mesir, Basrah dan Kufah mengadukan kezaliman para Gubernur mereka. Mereka menuntut agar Usman memecat dan mengganti mereka. Khalifah Usman menyanggupi tuntutan mereka dan mengeluarkan surat pemecatan Abdullah bin Abu Sarah, Gubernur Mesir. Sebagai penggantinya Khalifah Usman mengangkat Muhammad bin Abu Bakar. Delegasi penduduk Mesir pun pulang disertai Muhammad bin Abu Bakar, calon gubernur yang baru dengan membawa surat pemecatan dari Khalifah Usman.

Pada saat perjalanan kembali ke Mesir, ditengah jalan rombongan penduduk Mesir disalip oleh seorang penunggang kuda yang berkuda cepat menuju ke arah Mesir pula. Merasa curiga rombongan penduduk Mesir mengejar dan menangkap penunggang kuda itu. Setelah diinterogasi, pada kantung minumannya ditemukan surat perintah berstempel resmi Khalifah Usman yang isinya perintah untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar dan beberapa tokoh penduduk Mesir yang sebelumnya ikut datang ke Madinah.

Mengetahui hal itu penduduk Mesir dan Muhammad bin Abu Bakar tidak jadi meneruskan perjalanan pulang ke Mesir, melainkan kembali lagi ke Madinah. Khabar perintah pembunuhan dari Khalifah Usman itu pun cepat menyebar dan sampai pula pada rombongan penduduk Basrah dan Kufah. Mereka semua pun datang kembali ke Madinah.

Dengan suasana emosional mereka mengepung rumah Khalifah Usman dan meminta penjelasan atas perintah pembunuhan tersebut. Khalifah Usman bersumpah tidak menuliskan dan tidak pernah menyuruh seseorang untuk membuat surat perintah tersebut. Kecurigaan mengarah kepada Marwan bin Hakam, keponakan sekaligus menantu Khalifah Usman yang merupakan pemegang stempel ke khalifahan. Namun Khalifah Usman enggan untuk menyerahkan Marwan bin Hakam kepada pihak pengepung.

Ketegangan terus terjadi dan semakin memuncak dan berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan oleh orang-orang yang mengepung rumahnya. Mayoritas kaum Muslimin akhirnya membaiat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah namun Muawiyah bin Abi Sofyan tidak mau mengakuinya dan bahkan menyatakan dirinya sebagai khalifah.

Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mulanya turut membaiat Ali sebagai khalifah, kemudian mereka berdua menuntut jabatan sebagai gubernur Basrah dan Kufah, namun tuntutan mereka tidak dikabulkan oleh Khalifah Ali, dengan alasan tidak mau memberikan jabatan kepada orang yang berambisi dan menuntutnya.

Akhirnya Talhah dan Zubair memberontak kepada Ali dengan alasan menuntut bela atas terbunuhnya Usman bin Affan. Keduanya berhasil membujuk Aisyah Ummul Mukminin untuk turut bergabung dalam perang Jamal. Khalifah Ali pun mengirim tentara untuk memadamkan pemberontakan itu dan terjadilah pertempuran di kota Basrah. Pada perang Jamal pihak Khalifah Ali berhasil memenangkan pertempuran. Talhah dan Zubair terbunuh, sedangkan Aisyah Ummul Mukiminin dikembalikan dengan hormat ke Madinah.

Dalam perang Jamal, Khalifah Ali melihat tentaranya yang berasal dari penduduk Kufah paling loyal terhadap dirinya. Setelah perang Jamal Khalifah Ali memutuskan memindahkan ibukota pemerintahannya ke Kufah. Pada saat di Kufah sebagian orang Kufah yang telah terpengaruh oleh ajaran Abdullah bin Saba ada yang mendatanginya dan berlebihan dalam mendukung dan mencintainya dan bahkan ada yang mengatakan bahwa engkau Ali adalah tuhan. Ketika khalifah Ali bertanya kepada mereka, Siapa kalian ? mereka menjawab, Kami adalah syiah (pendukung) Ali. Sejak itu kelompok yang dikenal sangat fanatik kepada Ali bin Abi Thalib disebut sebagai Syiah

Kaum Syiah pengikut Abdullah bin Saba dikenal sebagai Syiah Sabaiyah. Syiah Sabaiyah ini termasuk dalam kelompok Syiah Ghulat (ekstrim) yang sampai pada taraf menuhankan Ali bin Abi Thalib. Syiah Ghulat mempercayai adanya reinkarnasi (hulul) unsur ketuhanan pada Ali dan keturunannya.

Syiah Bayaniah, pengikut Bayan bin Saman menyatakan bahwa Tuhan tercipta dari cahaya yang berbentuk tubuh sebagaimana manusia dan semuanya akan hancur terkecuali wajah nya saja.

Syiah Mughiyitah pimpinan Al-Mughirah bin Said mengatakan Tuhan itu laki-laki, berjisim (bertubuh) dari cahaya, diatas kepalanya ada mahkota yang juga dari cahaya, memiliki jantung yang memancarkan ilmu-ilmu hikmah.

Mereka mengambil dari makna literal ayat-ayat Al-Quran yang menggambarkan tentang Tuhan dan menjadi penganut anthropomorpisme (menyerupakan Tuhan seperti manusia). Mereka jatuh pada tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk), faham yang demikian dinamakan Musyabbihah. Mereka juga jatuh pada tajsim (menetapkan Tuhan ber jism / bertubuh), faham yang demikian disebut Mujasimah.



Syiah Imamiah berpendapat bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Mereka menganggap Abu Bakar, Umar dan Usman telah menyerobot hak khilafah Ali bin Abi Thalib sehingga syiah imamiah sangat membenci dan suka mencaci-maki para Sahabat Nabi tersebut.

Syiah Itsna Asyariyyah (dua belas imam) menetapkan dua belas imam Syiah yang dianggap maksum, yaitu :

1. Ali bin Abi Thalib

2. Hasan bin Ali

3. Husein bin Ali

4. Ali Zainal Abidin bin Husein

5. Muhammad Al-Baqir

6. Jafar Shodiq

7. Musa Al-Kazhim

8. Ali Al-Ridha

9. Muhammad Al-Jawad

10. Ali an Naqi

11. Hasan Al-Asykari

12. Muhammad bin Hasan Al-Asykari, Al-Mahdi Al-Mukthadhar, imam yang kedua belas ini dipercaya ghaib (menghilang) di Samarah dan dipercaya akan muncul kembali sebagai Imam Mahdi Al-Muktadhar (yang ditunggu) menjelang akhir jaman.

Namun kaum syiah berbeda pendapat mengenai siapa imam-imam syiah keturunan Ali yang diakui sebagai imam, Syiah Ismailiyyah menetapkan Ismail bin Jafar Shadiq sebagai imam yang syah. Dalam perkembangan selanjutnya Syiah Ismailiyyah ini pecah lagi menjadi beberapa sekte yaitu Syiah Bathiniyyah, Karmatiyyah, Qaramithah dan Talimiyyah. Disebut Bathiniyyah karena keyakinan mereka bahwa imam-imam mereka yang maksum mengetahui tawil ayat-ayat Al-Quran secara isoterik atau imam mereka memahami makna batin dari Al-Quran. Kelompok Syiah Ismailiyyah-Batiniyyah inilah yang dikemudian hari berhasil mendirikan pemerintahan Syiah Buwaitih-Fatimiyyah di Mesir, lepas dari kekuasaan Bani Abbas di Baghdad.

Kelompok Syiah yang lebih moderat dan dekat dengan faham suni adalah Syiah Zaidiyah, pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin. Imam Zaid dikenal sebagai ahli fiqih dari kalangan syiah yang fahamnya dekat dengan faham suni. Imam Zaid berpendapat bahwa walaupun Ali lebih berhak menjadi khalifah, namun kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman tetap syah. Jadi Imam Zaid membolehkan mengangkat imam yang utama walaupun bukan yang paling utama.

Kelompok Syiah yang tidak setuju dengan pandangan Imam Zaid ini dikenal sebagai Syiah Rafidah (menolak) yaitu menolak pendapat imam Zaid dalam masalah imamah. Kelompok Syiah Rafidah ini dikenal paling suka mencaci maki Sahabat Nabi (terutama Abu Bakar dan umar) yang dianggap telah menyerobot hak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan dikenal banyak memalsukan hadits untuk memperkuat pendapat kelompoknya.

Kaum Syiah memperbolehkan taqiyyah yaitu menyembunyikan mazhab Syiah mereka, apabila keadaan tidak memungkinkan dan mengancam keselamatan dan eksistensi mereka. Pada masa kekhalifahan Al-Mustashim (609-659 H), salah seorang menteri kepercayaannya adalah Muayyidin Al-Alqami, seorang penganut Syiah Rafidah yang ber taqiyyah menyembunyikan faham Syiah Rafidahnya. Menteri ini selalu berhubungan secara rahasia dengan orang-orang Mongol dan mengatur siasat agar orang-orang Mongol dapat memasuki Baghdad. Tujuannya agar kekuasaan Bani Abbas yang sunni runtuh dan dia menginginkan agar kekuasaan beralih ke tangan orang-orang alawiyin (keturunan Ali). Konspirasi itu berhasil dengan baik, pada tanggal 10 Muharram 656 H akhirnya Baghdad jatuh ketangan orang-orang Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan.

(Uraian yang lebih rinci dan detail tentang jatuhnya kota Baghdad ketangan Mongol dapat dibaca pada buku Tarikh Khulafa Sejarah Para Khalifah- karangan Imam Jallludin As Suyuthi, pada Bab Khalifah Al-Mustashim)

Kaum Syiah yang sekarang banyak terdapat di Iran adalah Syiah Itsna Asyariyyah yang mempercayai bahwa imam imam mereka adalah wakil dan mendapat legitimasi dari Imam Syiah kedua belas yang sedang ghaib. Fiqih mereka mengikuti Imam Jafar Shadiq dan Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin. Kaum Syiah hanya mau menerima hadits dari riwayat ahlul bait atau dari sahabat Nabi yang dikenal setia mendukung Ali seperti Salman Al-Farisi, Ammar bin Yasir dan Abdullah bin Abbas.

VIII. Aliran Murjiah

Murjiah berasal dari kata arjaa yang berarti penundaan atau penagguhan. Kaum Murjiah berendapat bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar status ke-Islaman ditangguhkan, apakah masih termasuk muslim atau sudah menjadi kafir. Keputusannya diserahkan kelak kepada Allah di hari perhitungan di akhirat.

Setelah Terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, timbul kemelut politik yang berlanjut dengan perang Nahrawan dan perang Shiffin dan munculnya firqoh Syiah dan Khawarij. Setelah Khalifah Ali terbunuh oleh kaum Khawarij, Bani Umayyah menduduki singgasana kekhalifahan dengan cara paksa dan bertindak represif.

Antara Syiah, Khawarij dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan saling menumpahkan darah. Ditengah kondisi yang demikian muncullah firqoh Murjiah yang bersikap netral tidak memihak ke salah satu pihak yang saling bertikai tersebut dan tidak mau terlibat dalam pertikaian politik yang sedang terjadi.

Mereka menegaskan posisi politiknya dengan menyatakan bahwa mereka mengakui pemerintahan Bani Umayyah karena kenyataannya Bani Umayyah adalah Khalifah yang sedang berkuasa.

Mereka tidak memberi penilain terhadap semua kelompok yang bertikai. Mereka juga mengatakan bahwa kaum muslimin yang tidak kuasa melawan kekuasaan Bani Umayah yang telah merebut kekhalifahan dengan kekerasan dan banyak berbuat dzalim tidaklah mengurangi nilai keiimanannya.

Pokok pikirannya ini kemudian berkembang menjadi theologi Murjiah yang berpendapat bahwa iman itu cukup dengan keyakinan yang mantap didalam hati, adapun perkataan dan perbuatan tidak termasuk dalam iman. Sebagaimana amal kebaikan tidaklah membawa manfaat bagi orang yang kafir, mereka juga berpendapat bahwa dosa-kemaksiatan tidaklah mempengaruhi keimanan seorang muslim yang hatinya tetap mantap pada Islam.

Firqoh Murjiah terbagi dalam beberapa sekte, diantaranya :

a. Yunusiah, pengikut Yunus bin Ain An Numairi, berpendapat bahwa iman itu marifat kepada Allah, tunduk dan cinta dalam hati secara yakin. Seseorang yang berbuat maksiat tidaklah merusak keimanannya.

b. Ghassaniah, pengikut Ghassan Al-Murji, berpendapat iman itu adalah ikrar atau mencintai dan membersihkan. Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Masalah-masalah diluar iman, tidaklah mempengaruhi kepada iman. Seperti tuhan mewajibkan naik haji, tapi ada orang yang tidak tahu apakah Kabah itu di India atau di negara lain, maka orang tersebut tetap sebagai mukmin bukan kafir.

c. Tsaubaniah, pengikut Abi Tsauban Al-Murji, berpendapat bahwa iman adalah marifah atas dasar ikrar atas Allah dan Rasul-Nya. Masalah amal bagi sekte ini merupakan soal kedua saja. Abi Muaz at-Tumany dengan pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan at-Tumaniah berpendapat, iman berintikan marifah, membenarkan, mahabbah, ikhlas dan iqrar atas segala yang dibawa oleh Rasulullah. Inilah inti dari iman, selain itu tidak akan membawa kepada kekufuran. Seseorang yang menyembah kepada matahari atau bulan pada dasarnya bukan kafir tetapi mengandung benih kekafiran.

d. Al-Marisah, pengikut Bisyr Al-Murisy tidak begitu berbeda dengan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya diatas. Mereka mengatakan, iman itu adalah membenarkan dengan hati dan ikrar dengan lisan. Kekafiran terjadi kalau menentang dan ingkar. Tapi kalau seseorang sujud kepada berhala atau matahari, dia tidak kafir tetapi menyandang tanda-tanda saja dari kekafiran.

e. As-Shalihiah, pengikut Abdul Hasan As-Salehi, berpendapat iman itu mengetahui Tuhan dan kalau kufur adalah tidak mengetahui Tuhan. Mereka berpendirian bahwa iman adalah ibadat dalam arti marifah kepada Tuhan. Sedang amal saleh seperti shalat, zakat, puasa, haji semuanya hanyalah gambaran dari kepatuhan tidak termasuk ibadah kepada Allah. Sedang ibadahnya sendiri itu adalah iman.

IX. Aliran Qadariyah

Qadariah pertama kali muncul sekitar tahun 70 H / 689 M, dipimpin oleh Mabad Al Juhni Al Bisri dan Jaad bin Dirham pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (687-705 M). Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa yang pertama kali mengajarkan faham Jabariyah adalah seorang Kristen bernama Abu Yunus Sansaweh di Iraq.

Latar belakang timbulnya firqoh Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggap kejam dan dzalim. Apabila firqoh Jabariyah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah dan hal ini berarti merupakan legitimasi kekejaman Bani Umayyah, maka firqoh Qadariyah mau membatasi masalah takdir tersebut.

Mereka mengatakan bahwa kalau Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebajikan. Manusia harus bebas memilih dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah telah menentukan takdir manusia dan memaksakan berlakunya, maka Allah itu zalim. Mengapa Allah menyiksa manusia karena sesuatu yang telah ditadirkan dan dipaksakan terjadi oleh Nya ? Karena itu manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar bebas atas perbuatannya.

Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia hanyalah tergantung pada takdir Allah saja, selamat atau celaka sudah ditentukan oleh takdir Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah sesat. Sebab pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggapNya pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah melakukan kejahatan. Jadi firqoh Qadariyah menolak adanya takdir Allah dan berpendapat bahwa manusia bebas merdeka menentukan perbuatannya.

Firqoh Qadariyah mendasarkan ajarannya kepada beberapa ayat Al-Quran :



Katakanlah, kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Siapa yang mau beriman maka berimanlah dan siapa yang mau kafir maka kafirlah ia. (QS Al-Kahfi :29).

Berbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia melihat apa yang kamu perbuat. (QS Fushilat : 40).

Bagaimana apabila bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang berlipat ganda, sedang kamu bertanya : Dari mana datangnya (kekalahan) ini ? katakanlah dari kamu sendiri. (QS Al-Imran : 164).

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka sendiri yang merubahnya. (QS Ar-Rad : 11)

Faham Qadariyah segera mendapat pengikut yang cukup banyak. Karena ajarannya dianggap membahayakan kekuasaan Bani Umayah, dengan alasan ajaran Qadariyah dianggap menyimpang dari syariat dan membahayakan ketertiban umum. Penguasa Bani Umayah, melalui Panglima Hajjaj bin Yusuf menangkap Mabad Al Juhni dan beberapa pengikutnya kemudian dihukum mati di Damaskus pada tahun 80 H/690 M.

Gailan Ad Dimsyaqi adalah salah satu tokoh Qadariyah, penduduk kota Damaskus. Ayahnya pernah bekerja pada Khalifah Usman bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (102-125 H). Gailan juga dihukum mati karena faham Qadariyahnya.

Sehubungan pendapat-pendapat Qadariyah tersebut, sebelumnya ada Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :



Dari Hudzaifah ra. berkata : Rasulullah bersabda : Bagi tiap-tiap umat ada Majusinya. Dan Majusi umatku ini ialah mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barangsiapa diantara mereka itu mati, maka janganlah kalian menshalati jenazahnya. Dan barangsiapa diantara mereka itu sakit, maka janganlah kalian menjenguknya. Mereka adalah golongan Dajjal dan memang ada hak bagi Allah untuk mengkaitkan mereka itu dengan Dajjal itu. (HR Abu Dawud).

Mereka dikatakan Majusi karena berpendapat ada dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan dan keburukan. Hal ini sama persis dengan ajaran agama Majusi (Zoroaster) yang mengatakan ada Tuhan Terang (Ahura Mazda) dan ada Tuhan Gelap (Ahriman).



X. Aliran Jabariyah

Firqoh Jabariyah timbulnya hampir bersamaan dengan timbulnya Qadariyah dan tampaknya merupakan reaksi daripadanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Qadariyah muncul di Iraq, sedangkan Jabariyah muncul di Khurasan (Iran).

Pemimpinnya yang pertama adalah Jahm bin Sofyan, oleh sebab itu kadang firqoh ini disebut Jahmiyah. Ajaran-ajarannya banyak persamaannya dengal aliran Qurro agama Yahudi dan aliran Yacobiyah agama Nasrani.

Pada mulanya Jahm bin Sofyan adalah juru tulis dari seorang pemimpin bernama Suraih bin Harits Ali Nashar bin Sayyar yang memberontak di daerah Khurasan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Dia terkenal orang yang tekun dan rajin menyiarkan agama. Fatwanya yang menarik adalah bahwa manusia tidak mempunyai daya upaya, tidak ada ikhtiar dan tidak ada kasab. Segala perbuatan manusia itu terpaksa (majbur) diluar kemauannya, sebagaimana keadaan bulu ayam terbang kemana arah angin bertiup atau sepotong kayu ditengah lautan mengikuti arah hempasan ombak. Singkatnya bahwa orang-orang Jabariyah berpendapat manusia itu tidak mempunyai daya ikhtiar, semuanya sudah ditakdirkan, segala gerak perbuatan manusia dipaksa oleh adanya kehendak Allah, jadi merupakan kebalikan dari faham Qadariyah.

Jabariyah berpendapat bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatan manusia itu sejak semula sudah diketahui Allah dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia sendiri. Kodrat dan Iradat Allah adalah mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada hakikatnya segala perbuatan dan gerak-gerik manusia semuanya merupakan paksaan (majbur) oleh Allah semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula, sekalipun nantinya manusia memperoleh balasan surga atau neraka.

Pembalasan berupa surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan dan kejahatan yang diperbuat manusia semasa hidupnya. Surga dan neraka itu semata-mat abukti kebesaran Allah dalam Kodrat dan Iradat-Nya.

Kalau manusia itu diserahi kodrat dan iradat sendiri dalam mewujudkan usahanya dan Allah saja yang menanggung kodrat dan iradat yang menentukan perbuatan manusia tersebut, hal itu sulit diterima. Ibaratnya orang yang diikat lalu dilemparkan kelaut, seraya diserukan kepadanya Jagalah dirimu, jangan sampai tenggelam.

Akan tetapi faham Jabariyah ini melampaui batasm, sehingga berkeyakinan bahwa tidak berdosa kalau berbuat kejahatan, karena yang berbuat itu pada hakekatnya Allah juga. Sesatnya lagi, mereka berpendapat bahwa bila seseorang mencuri maka pada hakekatnya Allah juga yang melakukan pencurian. Bila seseorang mengerjakan shalat maka Tuhan pula yang melakukan shalat. Jadi kalau orang yang berbuat buruk atau jahat lalu dimasukkan kedalam neraka, maka Tuhan itu tidak adil, karena apapun yang diperbuat manusia kebaikan atau keburukan tidak satupun lepas dari kodrat dan iradat Nya.

Sebagian pengikut Jabariyah beranggapan telah bersatu dengan Tuhan. Disini menimbulkan faham wihdatul wujud, yaitu manunggaling kawulo gusti, bersatunya manusia dengan Tuhan.

Jabariyah dalam fahamnya, mendasarkan pada beberapa ayat Al-Quran :



Tidak dapat kamu berbuat adil diantara perempuan-perempuan itu (QS An-Nisa : 129).

Perhatikanlah pada hari kiamat yang amat susah itu, alalu mereka diseru supaya sujud (Al-Qalam : 24).

Mereka sebenarnya tidak akan percaya, sekirannya Allah tidak menghendaki (QS Al-Anam : 112).

Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat (QS As-Shaffat : 96).

Bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar (musuh) tetapi Allah lah yang melempar (mereka) (QS Al-Hadid : 22).

Tidak ada bencana yang menimpa di bumi dan diri kamu, kecuali telah (ditentukan) didalam kitab sebelum ia kamu ciptakan. (QS Al-Insan : 30).

Faham jabariyah dalam dalam theologi Islam mirip dengan faham fatalisme dalam filsafat, yaitu beranggapan secara determinis bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan dan kebebasan, sebab segala-galanya telah ditentukan sebelumnya. Bagi mereka yang berfaham Deteminis Theologi maka ketentuan itu datang dari alam makrokosmos dan mikrokosmos sebagaimana tampak dalam filasafat Tiongkok kuno, filsafat Mesir kuno dan filsafat Parmenides dari Yunani. Aliran Determinis Theologi berpendapat segala-galanya telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga manusia tidak dapat berbuat apa-apa selain menjalani takdirnya yang dipaksakan kepadanya. Mereka rela tunduk kepada ketentuan takdir (fatalist) yang telah ditetapkan sebelumnya (predestination) tanpa ada ikhtiar bebas dan mereka menolak adanya kehendak bebas (libre ar bitre).



Yüklə 5,93 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   81   82   83   84   85   86   87   88   ...   92




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin