Model adalah suatu pola atau gaya dari suatu proses pembelajaran yang berlangsung untuk mencapai keberhasilan dari suatu program pembelajaran. Sedangkan pembelajaran adalah suatu upaya yang sistematik dan disengaja untuk menciptakan kondisi agar terjadi proses belajar mengajar. Model Konvensional adalah model lama yang kering dengan variasi dan terjebak kedalam rutinitas metode ceramah pasif dan proses “menghafal” materi pelajaran. Hal ini diungkapkan oleh Al Mukhtar (1999:70) yang menyatakan :
Proses belajar masih lemah dan terperangkap pada “proses menghafal”, menyentuh kognitif tingkat rendah. Proses belajar belum mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi…Kualitas partisipasi siswa dalam belajar masih rendah, mereka belum diperankan sebagai pembelajar secara mandiri melakukan kegiatan belajar. Lebih dari itu, belajar belum diartikan sebagai pengembangan potensi berfikir, posisi menerima masih banyak dilakukan oleh siswa. Begitu pula siswa belum dilibatkan secra optimal dalam pembentukan konsep berdasarkan potensi intelektual dan emosional dirinya sendiri.
Slavin (1995:19) menjelaskan bahwa secara historis cooperative learning telah dikenal sejak lama. Pada saat itu guru mendorong para siswa untuk kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau tutor sebaya. Hal ini dilakukan karena didasarkan pada keyakinan bahwa siswa akan lebih baik apabila mengajar atau diajar oleh siswa yang lain. Ini berarti bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru saja, melainkan dapat juga dilakukan melalui teman lain yaitu teman sebaya. Hal ini dilakukan karena keyakinan bahwa siswa akan lebih baik apabila mengajar atau diajar oleh siswa lain. Ini berarti bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru saja, melainkan dapat juga dilakukan melalui teman sebaya.
Cooperative adalah mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu tim. Sedangkan Cooperative Learning artinya belajar bersama-sama dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cooperative learning adalah menyangkut teknik pengelompokkan yang didalamnya siswa bekerja terarah pada tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-5 orang (Bernet dalam Broto Kiswoyo, 1995 :9)
Cooperative Learning adalah model pembelajaran yang sistematis yang mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis (Davidson dan Warsharn :1992).
Pada hakekatnya cooperative learning sama dengan kerja kelompok, oleh karena itu banyak guru mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang aneh dalam cooperative learning karena mereka menganggap telah terbiasa menggunakannya. Walaupun cooperative learning terjadi dlam bentuk kerja kelompok, tetapi tidak setiap kerja kelompok dikatakan cooperative learning. Ishak Abdullah (2001:19-20) menjelaskan bahwa pembelajaran cooperative dilaksanakan melalaui sharing proses antara peserta belajar, sehingga dapat mewujudkan pemahaman bersama di antara peserta belajar itu sendiri.
Menurut Bernet dalam Broto Kiswoyo (1995:9) ada lima unsur dasar yang dapat membedakan antara cooperative learning dengan belajar kelompok .
-
Positive interdependence, yaitu hubungan antar timbal balik yang didasari adanya kepentingan yang sama atau perasaan yang sama diantara anggota kelompok dimana keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau sebaliknya.
-
Interaction Face to face, yaitu interaksi yang langsung terjadi antara siswa tanpa adanya perentara. Tidak adanya penonjolan kekuatan individu dan yang ada hanya pola interaksi dan perubahan yang bersifat verbal diantara siswa.
-
Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok sehingga siswa termotivasi untuk membantu temannya, karena tujuan dalam cooperative learning adalah menjadikan setiap anggota kelompok lebih kuat pribadinya.
-
Membutuhkan keluwesan, yaitu menciptakan hubungan antar pribadi, mengembangkan kemampuan kelompok dan memelihara hubungan kerja yang efektif.
-
Meningkatkan keterampilan bekerjasama dalam memecahkan masalah (proses kelompok), yaitu tujuan terpenting yang diharapkan dapat tercapai dalam cooperative learning adalah siswa belajar keterampilan bekerjasama dan berhubungan. Ini merupakan keterampilan yang penting dan diperlukan dalam masyarakat.
Beberapa konsep dasar pengembangan Model Cooperative Learning seperti yang tertera berikut ini :
-
Kejelasan tujuan pembelajaran
-
Penerimaan siswa secara menyeluruh tentang tujuan belajar
-
Saling membutuhkan sesama anggota kelompok
-
Keterbukaan dalam interaksi pembelajaran
-
Tanggung jawab individu
-
Heterogenitas kelompok
-
Sikap dan perilaku sosial yang positif
-
Defrefing (refleksi)
-
Kepuasan dalam belajar
Menurut Al Muchtar (2003:13) pendidikan multikultural sebagai sebuah paradigma dalam pengembangan pendidikan yang diunggulkan dan dijadikan wacana berkaitan dengan bagaimana memperkuat peran pendidikan dalam mentransformasikan nilai-nilai kemajemukan, pluralitas dan keragaman untuk membentuk sikap keterbukaan, toleransi dan memperkuat demokrasi, dengan demikian dapat memperkuat ketahanan budaya. Lebih lanjut Al Muchtar (2003:17) mengemukakan, bahwa pendidikan multikultural bertujuan memperkuat makna dan validitas sosial budaya pendidikan, menginternalisasikan nilai-nilai untuk menghargai pluralitas dengan menekankan ajaran etika nilai budaya yang bersumber dari ajaran agama, yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan spiritual serta pengamalan akhlak mulia. Sementara menurut Wiriaatmadja (2002:255) tujuan utama pendidikan multikultural ialah mempersiapkan anak didik dengan sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan budaya etnik mereka, budaya nasional dan antar budaya etnik lainnya.
Adapun sasaran pendidikan multikultural menurut Banks sebagaimana dikutip oleh Skeel (1995:102) mengarahkan siswa tanpa memandang perbedaan jender, sosial, budaya, ras, dan etnik memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan/pengalaman belajar siswa di sekolah; membantu siswa untuk mengembangkan sikap positif terhadap adanya perbedaan budaya, suku, dan agama/kepercayaan; memberikan kekuatan kepada siswa yang menjadi korban tindak kejahatan dengan mengajarkan kepada mereka bagaimana mengambil keputusan dan keterampilan sosial; membantu para siswa mengembangkan ketergantungan lintas budaya dan cara pandang mereka terhadap perbedaan kelompok.
Langkah-langkah operasional pendidikan multikultural yang disajikan di kelas majemuk, miniatur Indonesia. Memberi penjelasan dan pemahaman kepada siswa bahwa kita (Indonesia) ditakdirkan menjadi bangsa yang majemuk, sehingga diharapkan siswa dapat menyadarinya. Kemajemukan bukan sesuatu hal yang dapat dijadikan alasan oleh kita untuk saling bermusuhan, tetapi justru sebagai aset bangsa yang dapat mempersatukan kita. Bagi kita bersatu dalam kemajemukan adalah suatu anugrah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang patut kita syukuri.
-
Mengarahkan siswa akan keharusan dalam kehidupan masyarakat dan bangsa yang majemuk, di antaranya saling menghormati/menghargai perbedaan, toleransi, dan tenggang rasa.
-
Menanamkan kesadaran/keyakinan kepada siswa, bahwa hidup damai tanpa konflik akan membuahkan ketenangan dan kesejahteraan.
Perbedaan pendidikan global dengan pendidikan multikultural. Menurut Sapriya (2002:155), pendidikan global merupakan upaya untuk menanamkan suatu pandangan (perspective) tentang dunia kepada para siswa dengan memfokuskan bahwa terdapat saling keterkaitan antar budaya, umat manusia dan kondisi planet bumi. Pada umumnya, tujuan pendidikan setiap mata pelajaran untuk kondisi saat ini menekankan pada kemampuan siswa dalam berpikir kritis (critical thinking skill), namun ada hal yang unik dalam pendidikan global, yakni fokus substansinya yang berasal dari hal-hal mendunia yang semakin bercirikan pluralisme, interdependensi dan perubahan. Tujuan pendidikan global adalah untuk mengembangkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitudes) yang diperlukan untuk hidup secara efektif dalam dunia yang sumber daya alamnya semakin menipis dan ditandai oleh keragaman etnis, pluralisme budaya dan semakin saling ketergantungan. Sementara Kniep (Sapriya, 2002:158) mengemukakan bahwa isi pendidikan global dirumuskan dari realitas sejarah dan kondisi saat ini yang menggambarkan dunia sebagai masyarakat global. Dari hasil analisisnya ini, Kniep memperkenalkan empat unsur kajian yang dianggap esensial dan mendasar dari pendidikan global: (1) kajian tentang nilai manusia (the study of human values); (2) kajian tentang sistem global (the study of global systems); (3) kajian tentang masalah-masalah dan isu-isu global (the study of global problems and issues); dan (4) kajian tentang sejarah hubungan dan saling ketergantungan antar orang, budaya, dan bangsa (the study of the history of contacts and interdependence among peoples, cultures, and nations).
Perbedaan antara pendidikan global dengan pendidikan multikultural, yaitu bahwa pendidikan global ini lebih menekankan hal-hal yang sifatnya mendunia yang bercirikan pluralisme, interdependensi dan perubahan. Contoh materi pendidikan global: Isu-isu global seperti HAM, terorisme dan wabah HIV/AIDS; dan peranan organisasi-organisasi internasional.
Sedangkan pendidikan multikultural lebih menekankan kepada keragaman budaya pada tingkat lokal dan nasional dalam rangka memperkuat ketahanan budaya dan integritas nasional. Contoh materi pendidikan multikultural: teloransi; dan pemahaman keragaman budaya, etnik dan agama.
Dostları ilə paylaş: |