Untuk Kalangan Sendiri


Yayasan Pendidikan Musik, Jakarta, 1986-1990



Yüklə 311,95 Kb.
səhifə4/5
tarix18.04.2018
ölçüsü311,95 Kb.
#48883
1   2   3   4   5
Yayasan Pendidikan Musik, Jakarta, 1986-1990

Konon musik haram.

Tapi tidak, bagi Tya. Tergantung aplikasinya.

Kalau mengajak kemunkaran, pasti haram.

Kalau imbauannya itu untuk mendekatkan kita dengan Allah dan Rasul-Nya,

tentu berpahala.
-----------------------------------------

( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )


6. UJIAN YANG MEMBAWA HIKMAH

Hj. LUTHFIAH SUNGKAR,

Sebenarnya dia bukan tipe mubaligah yang “toleran”. Dia malah terkesan “keras” dan ketat. Namun karena disampaikan dengan tegas tapi lembut, meneduhkan, penuh keibuan, rupanya apa yang dia sampaikan cukup menyentuh, cukup mengena. Maka dia pun menjadi mubaligah yang digandrungi kaum ibu dan remaja--bahkan bapak-bapak di banyak pengajian yang dia adakan. Seperti yang terjadi pada acara “Penyejuk Iman Islam” di Indosiar Jumat lalu, begitu line dibuka untuk penanya, telepon segera berdering. Dan belum lagi dia selesai menjawab, telepon berdering lagi. Sering penanya sampai terguguk, menangis, saat men-ceritakan masalahnya. Sebuah dakwah yang sangat interaktif. Kepada Hamid Ahmad dan Iqbal Setyarso dari Panji dia menuturkan pengalaman religiusnya yang sangat menarik--pengalaman yang telah mengantarnya menjadi mubaligah seperti sekarang ini. Silakan ikuti.


Suatu kali handphone saya berdering. Dari seorang jamaah saya rupanya. “Saya tak melayani konsultasi via handphone. Tolong, telepon lagi ke nomor telepon rumah, ya. Saya sedang dalam perjalanan.” , “Tidak bisa, Bu. Saya sudah mau bunuh diri,” kata suara dari seberang, gusar. Suara seorang remaja putri. Buru-buru saya berkata, “Baiklah, baiklah. Anda tarik nafas dalam-dalam, ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Tenangkan diri Anda. Apa sih, masalahnya?”

Penelepon itu mengatakan dia mengalami dilema. Dengan pacarnya, dia sudah hidup seperti layaknya suami istri. Sejak pacaran, ia sudah tiga kali melakukan aborsi. Setiap ketemu, si pacar selalu minta tidur bersama. Kalau menolak, dia takut pacarnya akan memutuskan hubungan. “Kalau sudah ditinggal, siapa yang mau menikah dengan saya yang sudah tak perawan lagi. Kalau saya layani dia, sampai berapa kali saya harus mengaborsi kandungan saya sementara orangtua saya tak mau tahu.” Rupanya, orangtuanya melarang ia menikah sebelum selesai kuliah. Dia merasa, masa depannya sudah demikian hancurnya. Ia bingung, apa yang harus diperbuatnya.


Saya ingatkan, dia belum hancur sama sekali, asal mau taubatan nasuha, tobat sebenar-benarnya tobat. Singkirkan masa lalu dengan kembali ke jalan Allah. Tinggalkan pacarnya, yang jelas-jelas bukan tipe lelaki yang bisa diharapkan sebagai suami. Kenakanlah busana muslimah, hiduplah seterusnya di jalan Allah, insya Allah, akan dipertemukan dengan jodoh yang didambakannya.

Itu baru secuil kisah yang pernah saya alami selama menjadi mubaligah.


Membela Perempuan.

Apa yang terjadi pada diri penelepon yang nyaris bunuh diri itu, sebetulnya banyak dialami remaja kita. Termasuk di SMP (sekolah menengah umum). Saya berprinsip, sebaiknya, kalau anak sudah balig, sudah ingin pacaran, segerakan saja menikah. Orangtua jangan menghalang-halangi, karena semakin dilarang, berati kita akan mendapatkan kenyataan yang lebih buruk.


Anda tahu, kini banyak remaja putri, yang sudah tak perawan lagi, merasa masa depannya suram, mereka jadi “ayam-ayam kampus”. Semua, karena orangtua tak mau tahu, anak dibiarkan pacaran. Kalau putri kita dibiarkan pergi berdua saja dengan pacarnya, busananya ketat, apalagi pusarnya kelihatan, apa yang bisa dilakukannya? Hasrat sudah ada, kawin dilarang, mereka akan main api tanpa sepengetahuan orangtua. Kalau mereka putus, selalu, yang perempuan yang menanggung bebannya. Bagaimana tidak? Si cowok biarpun dia biasa berzina, saat menikah tetap mengharapkan perempuan perawan. Ini tidak adil.
Saya memang terdorong mengungkapkan ayat-ayat yang membela kaum perempuan. Mengenai hak-hak kaum perempuan, sebagai istri terutama. Semua bukan argumentasi pemikiran kita tetapi Al-Quran yang mengatakan demikian. Ayat-ayat yang jarang disebut orang bahwa perempuan sabar menghadapi suami yang berbuat neko-neko itu besar pahalanya. Ada ayat-ayat yang demikian meninggikan perempuan, membuat kaum perempuan tersanjung, merasakan manisnya menjadi orang beriman.
Jumat 10 September 1999, pukul 08.00. Telepon Indosiar, yang sedang menayangkan acara “Penyejuk Iman Islam” berdering. Seorang ibu, bernama Ike, mengadu bahwa anaknya yang baru masuk perguruan tinggi kena godaan teman wanita yang lebih tua. Selisih empat tahun. “Susah sekali diomongin, bagaimana caranya supaya anak saya tetap tekun kuliahnya. Bagaimana caranya?” tanyanya.
Luthfiah menjawab, “Ini ujian. Setiap orang akan diuji. Ibu ini diuji Allah. Ketika datang ujian, ibu sudah sok tahu duluan, jangan-jangan anak saya sesudah pacaran meninggalkan kuliah. Lihat dulu masalahnya, bagaimana hubungan mereka, nggak usah lihat umurnya. Lihat akidahnya. Kalau sudah sekufu, seakidah, ya, kasih, dong. Kalau sudah demikian, nggak usah repot-repot, kembalikan kepada Allah. Bukankah Allah yang memberikan jodoh, sudah diatur Allah, baca surat Ar-Ruum: 21.”
Suamiku, Ujianku.

Kalau orang suka dengan dakwah saya, mungkin karena isi ceramah saya umumnya pernah saya alami. Kalau saya mengajak tahajud, saya sudah menjalani salat tahajud dengan penuh tawadhu’. Kalau saya mengajak pendengar bersabar, saya sudah menjalani hidup bersabar sebagai istri selama pernikahan pertama saya. Sungguh, akan berbeda, kalau penceramah hanya menyampaikan isi, tetapi ia tak mengerjakannya apa yang diceramahkannya secara sungguh-sungguh.


Saya lahir di Solo. Ibu saya keturunan Sunda, ayah orang Arab bermarga Sungkar. Saya dididik dalam keluarga yang strijk dalam agama. Sejak kecil saya sudah belajar agama. Saya sejak kecil punya cita-cita bisa tampil di muka umum. Tetapi itu tidak mungkin karena saya perempuan. Pasti akan dilarang. Adik kandung saya saja, Mark Sungkar, yang ngebet mau menjadi penyanyi, membuat nenek saya menangis. Terlebih saat dia belajar seni suara di Jerman, nenek jadi semakin rajin salat sunah dan berdoa agar adik saya mengubah keputusannya. Di mata keluarga, menjadi penyanyi itu kurang patut.
Pada 1965 saya dinikahkan. Kami sama-sama orang Arab, tapi memiliki visi dan gaya hidup yang sungguh bertolak belakang. Saya, seorang gadis desa yang lugu dengan nilai-nilai agama yang ketat, mendapat suami yang terbiasa dengan gaya hidup glamor, di tengah kalangan jet set, dan nilai-nilai yang longgar pula. Sementara saya dididik menjadi istri santun, taat kepada suami, tak pernah nangga (kelayapan ke rumah tetangga).
Setelah menikah, saya diboyong ke Jakarta. Orangtua saya berharap, dengan keteguhan agama saya, saya bisa mengubah suami saya. Saya berupaya mengingatkan suami, kadang sampai ikut ke mana ia pergi, sekadar menemani. Saya berusaha mengikuti. Terkadang sampai ikut ke bar. Tetapi, harapan ia bisa mengubah gaya hidupnya tak pernah menjadi kenyataan. Semakin hari kelakuannya semakin menjadi-jadi.
Kalau mengikuti nilai yang dibangun dalam keluarga saya, sungguh tak mudah bertukar suami. Bayangkan saja, saya anak Jawa dengan didikan Arab di Solo zaman itu, mungkin saja terlalu santun untuk bisa bilang “tidak”. Apalagi menuntut perceraian. Bagi keluarga kami, perceraian itu aib. Dan kalaupun sudah telanjur terjadi, sedapat mungkin diupayakan rujuk kembali. Sampai pada suatu ketika, setelah kami membangun rumah mewah di Petamburan (Jakarta Pusat), saya dilanda kejenuhan luar biasa. Sungguh, saya jadi tak merasakan gregetnya hidup. Masa, sih, hidup saya hanya begini-begini saja, ikut suami yang tak jelas apa visinya? Dari situ lantas timbul tekad, saya akan mengubah total penampilan. Saya hendak menjalankan ajaran agama secara total, dan karena itu saya mesti berjilbab. Itu terjadi sekitar 18 tahun lalu.
Namun berjilbab di waktu itu bisa dicibiri orang kalau belum berhaji. Kalau kita berjilbab, padahal belum berhaji, orang akan mencibir, “Eh kapan pulang hajinya?” Lain dengan sekarang. Maka, saya pun bertekad, saya mesti berangkat haji agar bisa bebas mengenakan busana muslimah. Kebetulan, suami saya juga hendak berangkat haji. Ini berkat desakan temannya agar dia berhaji setelah membangun rumah di Petamburan.
Saya bilang pada suami, saya mau ikut ke Mekah, pakai tabungan saya sendiri. Sepulang dari Mekah, ternyata kelakuan suami saya tak berubah. Saat kami sudah pindah ke Kemang (Jakarta Selatan) pun, ternyata kelakuannya tak berubah. Malah, kalau dulu ia berusaha menutupi, makin hari ia makin terangan-terangan dengan perbuatannya. Malah cenderung demonstratif, dan dia merasa hebat. Anak-anak kami yang makin dewasa makin risih melihat kelakuan ayah mereka.
Akhirnya saya hanya bisa bersabar. Saya cukup melapor kepada Allah, sembari berusaha tetap lurus. Saya kemudian memutuskan ingin mempelajari dakwah. Saya lampiaskan kekecewaan saya menghadapi perangai suami, dengan masuk jurusan dakwah di Universitas Islam As-Syafi’iyah, sampai selesai.
Keasyikan saya dengan aktivitas keagamaan sempat membuat orang heran, suami saya begitu, tapi saya malah aktif dengan kegiatan keislaman. Saya terus aktif menuntut ilmu dan ikut pengajian.
Suami masih dengan gaya hidupnya. Rasanya, sudah kelewat sering saya mengajak suami menyatukan visi. Tapi dia sulit berubah. Sampai puncaknya, dia jenuh dengan ajakan-ajakan saya. Suatu ketika terlontarlah pernyataan dari mulutnya.

Kalau begitu, kita cerai saja.”



Baiklah kalau begitu.” Tampaknya, ia memang menghendaki perceraian itu. Nyatanya, dugaan saya tak sepenuhnya benar. Ini pertama kalinya saya menyaksikannya marah besar. Sampai nyaris menyakiti fisik saya. Dia marah karena anak-anak sudah menyiapkan surat pernyataan bersegel yang tinggal ditekennya. Ia marah sekali, anak-anak memudahkan perceraian itu.
Hal yang dianggap aib dalam keluarga saya, perceraian, akhirnya tak bisa kami hindari. Meskipun demikian, keluarga saya membujuk saya untuk sabar, dan rujuk kembali. Diminta keluarga, dan demi menjaga nama baik keluarga, saya kembali rujuk. Harapan saya, dia bertobat dan hidup sebagaimana tuntunan agama. Saya jalani rumah tangga kami dengan kesabaran. Saya memaafkannya karena sadar benar betapa Allah memberi balasan besar bagi istri yang sabar menghadapi ujian seperti ini.
Karena suasana makin tak nyaman di rumah, saya ke Australia mempelajari public speaking di sebuah college di Sidney selama tiga tahun, sembari mengajar di masjid-masjid di Australia. Anak-anak saya bawa semua. Mereka saya masukkan ke public school. Suami saya yang tetap asyik dengan gaya hidupnya masih mondar-mandir Jakarta-Australia, menjenguk anak-anak.
Kami di Australia hanya empat tahun, sampai anak saya duduk di kelas tujuh. Sebab, saat itulah sekolah mewajibkan mereka minum pil KB (antihamil). Segera saja mereka saya bawa pulang ke Indonesia. Pada usia itulah anak-anak di Australia sudah menjalani seks bebas, dan itu tak bisa dilarang. Maka untuk mencegah mereka hamil terlalu muda, diberikanlah pil KB.
Di Tanah Air, saya mulai merasa Allah menggiring saya pada cita-cita masa kanak-kanak saya: tampil di muka umum. Awalnya, saya menyalurkan keinginan dakwah itu dengan membuat pengajian keluarga. Kemudian, saya mengisi kegiatan ibu-ibu PKK di sekitar tempat tinggal saya di Petamburan, Jakarta. Mengajari mereka bahasa Inggris, biarlah dengan gratisan saja asal ada penyaluran.
Selain itu saya juga aktif dalam kegiatan pengajian di masjid, sebagai pendengar. Sampai suatu ketika, saya mendengar, ada yang enggan datang ke pengajian, karena nggak punya duit. Soalnya, setiap pengajian di masjid, selalu diedarkan kotak tromol yang mesti diisi duit sekadarnya. Hati saya tersentak.
Lantas saya sendiri juga mencoba mengukur diri saya, ah rasanya saya juga bisa mengajar. Baiklah, sekarang ibu-ibu mengaji saja di rumah saya, tidak pakai bawa duit, malah kalau yang dhuafa saya siapkan uang transpor. Sejak itulah, rumah saya setiap Ahad pagi dihadiri ibu-ibu yang mendengarkan ceramah saya. Saking banyaknya jamaah, saya sampai membuka tenda agar yang meluber di luar tidak kepanasan.
Rupanya begitulah Allah menggiring hamba-Nya. Cita-cita saya di waktu kecil akhirnya dikabulkan, meski melalui jalan berliku.
Menghadapi suami seperti itu, kesabaran ternyata ada batasnya juga. Sungguh, meski sudah saya kuat-kuatkan, memang sulit sekali membuatnya berubah. Kami menjalani nikah-rujuk itu sampai tiga kali, dengan begitu, jatuhlah talak bain. Artinya, tak mungkin kami menikah lagi terkecuali ada muhallil, yakni saya menikah dengan seseorang, kemudian bercerai dulu baru boleh menikah lagi dengan dia. Tapi itu rasanya mustahil. Sebab, dengan suami saya sekarang, kami sudah merasa sama-sama cocok.
Telepon di Indosiar berdering lagi. Seorang ibu, Prapti di Jakarta, mengeluh suaminya sering berselingkuh. “Saya sudah minta cerai, tapi nggak dikasih. Kalau dianya sih bilang, ya udah, kita cerai. Ini sampai ketiga kali, tapi masih belum juga dipenuhi. Dia malah sering pergi. Bagaimana, ini, Bu Hajjah?”
Luthfiah menjawab, “Laki-laki diberi kelebihan, dan dia wajib mengayomi wanita, maka dia tidak bisa sembarangan mengatakan talak. Laki-laki diberi amanat Allah, dia pegang talak. Ini tak bisa sembarang dia bilang, ‘Saya ceraikan, saya ceraikan.’ Nggak bisa. Kalau Ibu mau kembali lagi, nikah lagi aja. Bikin akad baru lagi, diberikan kesempatan talak satu dan talak dua itu, supaya kita menyesal serta tak mengulangi kesalahan lagi. Kalau tidak ada penyesalan, hancur dong.”
Sekufu. Sejak menjanda, saya semakin rajin salat tahajud. Kalau Allah akan memberikan jodoh kembali, saya hanya mengharapkan lelaki yang bisa menyayangi anak-anak saya dan ibunda saya. Selain itu, ia bisa sama-sama bersujud kepada Allah, yang dari lisannya hanya keluar kalam Allah, bisa bersama-sama berjalan di jalan Allah khususnya dalam dakwah.
Alhamdulillah, doa saya dikabulkan. Tujuh tahun lalu, saya menikah dengan dokter Mulya Tarmizi. Dari soal nasib, kami punya persamaan, bahwa masing-masing merasa tidak satu visi dengan pasangannya dalam memandang dan menjalani hidup. Insya Allah, kami kini sama-sama cocok, bisa bersatu dalam dakwah, mengisi hidup dengan amalan dan makin merasakan nikmatnya menjadi orang beriman. Baik saya maupun suami saya, sama-sama punya waktu khusus untuk berdakwah.
Saya dengan suami kedua ini dipertemukan Allah saat sama-sama diminta berceramah mengenai masalah AIDS di sebuah stasiun televisi swasta. Saya bicara dari perspektif Islam, dia dari perspektif kedokteran. Bagaimana kami sepakat menikah, ini lantaran anak-anak sayalah yang merekomendasikannya. Menurut pandangan anak-anak saya, kami berdua sudah se-kufu. Mereka jugalah yang mendorong pernikahan ini. Soalnya, sebagai janda, tentu sebaiknya anak-anaknyalah yang mengupayakan jodoh, biar mereka tahu benar siapa ayah-nya.

Biodata Singkat: Nama : Luthfiah Sungkar

Lahir : Solo, 12 Juni 1947

Menikah : Pertama, 1965, dikaruniai lima anak, enam cucu

Kedua, 1992, dengan dr. Mulia Tarmizi, belum dikarunia anak
Pendidikan : Kursus bahasa Inggris, komputer, sarjana jurusan Dakwah

Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta; diploma Public Speaking di sebuah college di Sidney, Australia


Aktivitas Tetap : Pengajar Islamic English pada Universitas Islam Jakarta; pengasuh acara live “Penyejuk Iman ” di sebuah stasiun televisi swasta; setiap Minggu pagi bertablig di rumah

--------------------------------


( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )

( PENGALAMAN RELIGIUS / PANJI NO.23 TAHUN III 22 SEPTEMBER 1999 )



7. ALLAH SELALU MEMBERI YANG TERBAIK

MIEKE WIJAYA,

Ada satu problem yang selalu mengikuti langkah manusia: kesenjangan antara yang diinginkan dengan yang terjadi. Bagi Mieke Wijaya, artis lawas yang berulang tahun ke 59 pada bulan ini, memahami kesenjangan itu sebagai cobaan. Bagaimanakah potensi negatif dari setiap cobaan bisa diubah menjadi positif? Berikut pengalaman istri aktor almarhum Dicky Iskandar Zulkarnaen ini sebagaimana dituturkan kepada Minggarini dan Arimurti, reporter magang dari Jurusan Komunikasi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.


Hidup, ya cobaan.

Karena setiap kejadian memang tak selalu sesuai dengan harapan kita. Atau sebaliknya, tak semua yang kita inginkan, bahkan telah kita upayakan, bisa menjadi kenyataan. Pada akhirnya, semua tergantung kepada sikap kita menghadapi setiap cobaan itu. Ketika mobil yang kita kendarai terserempet bajaj, misalnya, apakah membuat kita memaki-maki atau justru beristigfar dan menyelesaikannya dengan baik-baik? Bisakah cobaan-cobaan "sepele" seperti itu menjadikan kita lebih tabah dan mawas diri? Barangkali memang ada kesalahan-kesalahan kecil yang telah kita perbuat, lalu kita melalaikannya, maka Allah menegur kita melalui cobaan itu.


Hasil mawas diri itu lantas coba kita simpulkan dalam setiap salat, yang minimal lima kali sehari, dengan doa, "Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in." Hanya kepada-Mu- lah kami menyembah, dan hanya kepada-Mu-lah kami mohon pertolongan. Dengan demikian, insya Allah, cobaan-cobaan itu justru akan menjadi tangga bagi kita untuk meningkatkan kualitas jiwa, kualitas iman, dan tentu pada akhirnya kualitas hidup. Jika tidak, mungkin kita akan merasakan kesengsaraan yang panjang dalam hidup. Setiap cobaan, sekecil apa pun, selalu saja menjadi batu sandung yang mengakibatkan luka dan semakin membuat kita rapuh. Sengsara sekali, kan?
Diantar Doa Duha. Saya belajar melihat sisi positif sebuah musibah dari peristiwa sakit hingga wafatnya suami saya, Dicky Zulkarnaen, pada 1995. Almarhum terserang stroke setahun sebelumnya, dan sejak saat itu dia sudah tidak bisa bicara atau mengucapkan kata-kata lagi. Kami sudah melakukan semua upaya untuk menyembuhkan dia. Februari 1994, dia menjalani operasi jantung di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura. Kembali ke Tanah Air, ternyata sakitnya tidak sembuh juga. Maka pada Maret 1994, dia harus dirawat lagi di RSUP Pertamina, Jakarta, dan selanjutnya berobat jalan.
Kondisi suami saya sejak itu tidak pernah pulih. Bahkan pada Agustus 1994, secara medis, dia dinyatakan telah mati. Dia memang sudah tidak mampu memberi respon apa-apa. Wilayah putih pada biji matanya juga sudah melebar. Tapi saya tidak menyerah. Saya berusaha keras untuk tetap mempertahankan dia, dengan segala cara, dengan segala doa. "Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia, Ya Allah. Jangan ambil dia. Masa-masa yang telah kami lewati terlalu indah untuk segera berakhir." Saya hampir-hampir tak punya kegiatan lain kecuali menemani dia di sisi pembaringan. Saya yakin, Allah pasti melihat dan mendengar setiap usaha dan doa yang kami lakukan.
Dan ternyata dia memang bertahan terus. Saya yakin, itu karena doa-doa yang saya pintakan setiap saat. Meski kondisinya tetap sama; dikatakan telah meninggal, tidak, karena dia masih bernyawa; dikatakan hidup juga tidak karena dia tidak bisa merespon apa-apa. Saya terus berdoa, terus bermunajat, agar dia tetap diizinkan berada di tengah-tengah kami.
Hingga suatu hari, saya merasa ada sesuatu yang keliru. Ya, sehari menjelang kematiannya, ketika pagi harinya saya tatap lagi wajahnya yang baru saja saya cukur, saya tiba-tiba dihinggapi perasaan bersalah: kok saya terus ngotot mempertahankan dia? Sudah setahun lebih dia terbaring, dengan kondisi seperti itu, karena doa-doa saya. Dia belum bisa pergi karena saya belum merelakannya, belum mengikhlaskannya. Dia bertahan dalam kondisi antara hidup dan mati, hanya untuk memenuhi keinginan saya. "Ya, Allah, hamba-Mu mohon ampun. Selama ini saya seakan berupaya melawan kehendak-Mu." Dalam setiap upaya penyembuhan yang saya lakukan selama ini, tak sedikitpun terbetik dalam hati kemungkinan dia memang sudah saatnya menghadap Sang Pencipta. "Astagfirullah, ampuni hamba-Mu, ya Allah. Kini, apa pun yang Engkau inginkan, pasti itulah yang terbaik. Saya ikhlas. Ambillah dia bila itu yang terbaik; sembuhkan dia bila itu lebih baik."
Keesokan harinya, pagi Jum’at 10 Maret 1995, saya masih sempat menerima telpon Nia (artis Nia Zulkarnaen, putri pasangan Mieke dan Dicky, Red.), mengabarkan hasil pemeriksaan laboratorium ayahnya. "Hasilnya bagus, Ma!" ujar Nia gembira. Berita itu lantas saya sampaikan kepada almarhum.
Beberapa saat kemudian, kakak Nia masuk untuk melaksanakan salat Duha dekat ayahnya. Sementara dia salat, saya ambil buku Kumpulan Doa Salat Duha, dan saya baca sambil memeluk almarhum. Pada saat itulah, tanpa saya sadari, almarhum menghembuskan nafasnya yang terakhir. Saya baru mengetahuinya setelah selesai berdoa. Dia telah pergi, betul-betul pergi. Pergi dengan tenang dan damai. Pergi ketika saya betul-betul telah siap melepaskannya dan mengikhlaskannya. Pergi ketika saya sedang berdoa dan menyerahkan keputusan kepada-Nya, "Ambillah dia, ya Allah, bila itu yang terbaik. Sembuhkan dia bila itu lebih baik." Innalillahi wa innailahi rajiun. Semua kita memang miliknya semata, dan pada akhirnya semua kita akan kembali kepada-Nya jua. Bagi kami yang ditinggalkan, jelas sangat tidak mudah. Tapi kami ikhlas karena pasti itulah yang terbaik.
Sempat Jauh. Mengenang itu semua, lagi-lagi saya merasa bersyukur telah dibekali nilai-nilai agama sejak dini. Sejak usia lima tahun kami sudah disuruh berpuasa, diajari salat, dipanggilkan guru ngaji. Menginjak usia remaja saya bahkan sempat belajar melagukan Al-Quran di bawah bimbingan seorang qari’ah terkenal. Saya yakin, nilai-nilai keagamaan itulah yang selalu muncul, membantu saya ketika mengambil sikap, pada setiap masa-masa sulit seperti peristiwa di atas.
Memang, ketika sibuk-sibuknya di dunia film, saya sempat merasa jauh dari kenikmatan ibadah. Salat sering tertinggal, ngaji pun jadi jarang. Tapi, alhamdulillah, semua tidak hilang sama sekali. Sejalan dengan bertambahnya usia, kesadaran saya pun tumbuh kembali. Terlebih ketika mulai tergolong tidak muda lagi, dan anak-anak mulai tumbuh menjadi remaja. Secara rutin kami memanggil ustadz ke rumah, untuk belajar mengaji, memperlancar ibadah, dan memperluas wawasan keagamaan. Dan setelah menunaikan ibadah haji pada 1993, saya merasa tak ingin lagi melakukan apa pun yang kira-kira dilarang agama. Insya Allah.
Alhamdulillah, cucu-cucu saya sejak usia tujuh tahun sudah bisa berpuasa secara penuh. Mereka juga sudah hapal doa-doa salat dan doa sehari-hari. Menyenangkan sekali. Setiap saya salat, mereka pasti berebut ikut. Juga setiap saya akan ke acara-acara keagamaan. Menurut saya, dampaknya bagus. Mereka akan merasa dekat dengan nilai-nilai agama dan tanpa dipaksa-paksa akan menjaga prilaku sesuai dengan norma-norma. Mudah-mudahan.
Mama Harus Pakai Jilbab.

Dulu, sebagai artis, saya tidak pernah membayangkan mengenakan jilbab seperti ini setiap hari. Bukan cuma karena sempat jauh dari agama, tapi juga dalam pemahaman saya, pakaian muslimah itu tidak wajib hukumnya. Boleh pakai, boleh tidak. Malah saya pikir, memakai jilbab justru menimbulkan kesan pamer, "Nih, gue udah haji, nih. Makanya gue pake jilbab." Karenanya, ketika akan berangkat menunaikan ibadah haji, saya sempat bilang sama anak-anak, "Ah, kayaknya, nanti kalau Mama pulang, nggak akan pakai jilbab, deh. Kecuali pada momen-momen tertentu saja."


Eh, rupanya kata-kata saya itu dicatat malaikat. Suatu ketika di masjid Nabawi, sambil menunggu waktu salat Isya sehabis salat Magrib, saya sedang duduk membaca Quran, datanglah seorang wanita Maroko, mengaku berprofesi sebagai guru, mengajak saya ngobrol tentang Islam di Indonesia. "Apakah wanita-wanita Indonesia memakai jilbab?"
"Sebagian, ya. Dan kecendrungannya semakin lama semakin bertambah. Dibanding ketika saya remaja, sekarang jumlah pemakai jilbab jauh sangat banyak sekali."
"Oh, senang mendengarnya. Lantas, Anda sendiri bagaimana?"
"Saya? Ah, saya tidak."
Wanita itu tersenyum, menunjuk Al-Quran di tangan saya, lantas meminta, "Maukah Anda membacakan surah An-Nisa ayat 31 untuk saya?"
Kenapa tidak, pikir saya. Saya lantas membaca ayat yang dimaksud, sekaligus dengan terjemahannya. Pada intinya, ayat tersebut menyatakan bahwa setiap muslimah wajib menutup auratnya dengan pakaian panjang, tanpa melihat apakah dia sudah haji atau belum. Pada saat itulah saya tersadar, "Oh ternyata memang wajib, toh?" Saya membayangkan, anak-anak pasti surprise melihat mamanya tak lagi mau melepaskan jilbab sepulang dari haji. "Ya, sejak saat ini, Mama harus selalu pakai jilbab."
Aduh, Ada Kewajiban, nih!.

Bagi sementara orang, ibadah itu menyulitkan. Tapi dalam pengalaman saya, tidak. Jilbab ini, misalnya, tetap tidak menghalangi saya untuk terus menggeluti dunia akting. Ketika harus memerankan tokoh antagonis, misalnya, ya saya memilih melepaskan jilbab ketika shooting. Tidak apa-apa, untuk menjaga citra jilbab itu sendiri.


Begitu pula dengan salat, puasa, dan ibadah sehari-hari lainnya. Bila kita memang sudah bertekad akan menjalankannya, Allah pasti memberi kemudahan, sesibuk apa pun kita. Dan untungnya, saya ini termasuk orang yang tidak bisa tenang bila waktu salat telah tiba sementara saya belum menunaikannya. Saya pasti gelisah, tidak peduli ketika itu saya sedang berada di dalam kendaraan, di pasar, di ruang dokter, dan sebagainya. Saya pasti akan segera mencari tempat untuk menunaikan salat.
Saya juga sering mengingatkan teman-teman sesama artis, jangan karena ada shooting lalu kita meninggalkan salat. "Bilang saja, ‘aduh, ada kewajiban superpenting, nih!" Kalau betul-betul kepepet, dalam perjalanan jauh, misalnya, Allah Maha bijaksana, salat bisa dijamak. Bahkan, kalau kita sedang sakit pun, salat bisa dilaksanakan sambil tidur. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk meninggalkan ibadah.
Jaga Terus. Barangkali, karena selalu menjaga ibadah itulah, alhamdulillah, selama ini saya juga dijaga Allah dari hal-hal yang tidak pantas. Jangankan berbuat, untuk berpikir atau berniat saja saya pasti gemetar. Entah, kok rasanya ada sensor di dalam dada ini yang setiap saat memberi peringatan.
Selain dari dalam, penjagaan dari luar pun tidak sedikit. Itulah manfaatnya berjilbab, aktif dalam kegiatan agama di lingkungan rumah, di masyarakat, dan di lembaga-lembaga sosial. Saya senang menghabiskan waktu di yayasan-yayasan Islam seperti Al-Islamiyah Foundation, BAZIS DKI, Bidang Kesejahteraan dan Kerohanian Parfi, Yayasan Al-Ikhsan, yang secara rutin mengadakan acara penyantunan terhadap fakir miskin. Lingkungan seperti itu juga sangat efektif menjaga saya untuk tetap berada di jalan yang diridai Allah. Mau meleset sedikit, "Eit! Ibu kan sudah menjadi tempat kami bertanya. Beri contoh yang baik, dong!"***
Muzakkir Husain

Biodata Nama Mieke Wijaya

Lahir Bandung ,17 Maret 1940

Pendidikan terakhir: Akademi Teater Perfini "Usmar Ismail"

Organisasi: Ketua Bidang Kesejahteraan dan Kerohanian Parfi

Penasehat Yayasan Al-Ikhsan, Jakarta

Pengurus BAZIS DKI Jakarta

Koordinator Seni Budaya Al-Islamiyah Foundation, Jakarta

Koordinator Bidang Seni Budaya, DPP PPP
Prestasi: Berkali-kali terpilih sebagai Aktris Terbaik dan Pemeran Pembantu Terbaik pada Festival Film Indonesia sejak 1955. Terakhir berhasil meraih Asian Television Awards untuk Pemeran Pembantu Terbaik dalam sinetron "Jakarta-Perth", di Singapura, 1996.

-------------------------------

( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )
8. KELUARGA, LAUTAN HIKMAHKU

TETRASWARI DIAHINGATI HANDRIANTO,

Ini sebagian lembaran hidup seorang muslimah Jawa. Ibu muda yang masa kanak-kanak dan remajanya berada di lingkungan sekuler, menemukan pencerahan menjelang menikah sampai berkeluarga. Ada banyak hikmah ia temukan dalam usianya yang masih relatif muda. Untuk Panji, Tetraswari Diahingati Handrianto menuangkan sendiri pengalaman religiusnya.


"What is God to you?" tanya Ellen McCally, saudara angkatku yang berasal dari Amerika. Ia tinggal di rumah kami selama setahun dalam rangka pertukaran pelajar. Untuk sejenak aku terpaku. Mungkin karena tidak sabar menunggu, dia menjawab sendiri menurut versinya tentang Tuhan, yang kemudian aku benarkan.
Aneh, mengapa aku tidak mampu menjawab? Yang pasti bukan karena keterbatasan kemampuan bahasa Inggrisku, melainkan mungkin karena keterbatasanku mengenai konsep Tuhan dalam Islam, agama yang kuanut. Sebenarnya, banyak pertanyaan yang seharusnya sudah kupikirkan pada usia itu (18 tahun). Bagi seorang muslimah, usia 13 adalah batas ketika dia harus mulai berpikir kritis tentang siapa dia, dari mana dia, dan untuk apa dia hidup. Tapi mengapa aku tidak demikian? Penyesalan ini terus mengikutiku sampai kini. Sampai aku mampu menjawab semua pertanyaan itu.
Sinis terhadap Islam.

Sewaktu kecil aku tinggal dalam suasana kampung di Bogor. Di belakang rumah kami, hanya selisih tiga petak rumah, ada madrasah. Setiap sore selalu terdengar suara anak-anak sebayaku mengaji Al-Quran dengan hafalan. Tapi setiap mendengar suara-suara itu, hanya ketakutan yang kurasakan. Masih ingat ketika setiap malam Jumat di TVRI ada acara pembacaan ayat suci Al-Quran aku buru-buru minta ibu atau kakakku mematikan televisi. Aku merasa takut. Waktu masuk kelas 4 SD, aku berkawan dengan mereka yang hampir semuanya sudah mampu membaca Al-Quran walaupun perlahan-lahan. Aku malu dan mulai ikut kegiatan di madrasah belakang rumah.


Sialnya, madrasah itu bahasa pengantarnya bahasa Sunda. Aku sama sekali tidak mengerti penjelasan ustadz, ditambah lagi, semua murid madrasah sudah mampu membaca dan banyak hafal ayat. Aku malu dan lengkap sudah keenggananku mengaji. Terlebih keluargaku keluarga Jawa yang sangat "jawa". Bayangkan saja, tatkala aku kanak-kanak, katakanlah sampai usia 12 tahun, bapak sering meninggalkan aku karena dia tengah belajar di luar negeri. Aku dapat mengetahui kondisi bapak dari sikap ibu sehari-hari. Kalau ibu terlihat gelisah, kerap menangis, pasti ujian bapak tidak bagus nilainya. Atau, bapak sedang mengalami kesulitan belajar. Kalau sedang dalam kondisi demikian, ibu jadi sering salat. Aku tidak tahu persis apakah doa-doa dalam salat yang ibu ucapkan dalam bahasa Arab atau bahasa Jawa. Yang jelas, di depannya aku pernah melihat ada dupa, kembang, buah pisang, dan jajan pasar. Aku masih terlalu kecil untuk bisa bertanya untuk apa semua itu. Yang aku ingat, aku selalu exited menanti ibu selesai salat untuk kemudian melahap semua makanan yang ada.
Pada zaman itu, kami memang belum dekat dengan kehidupan bernuansa Islami walaupun kami mengaku muslim. Paling tidak itulah jawabanku setiap teman Amerikaku bertanya, What's your religion? Pernah memang orangtuaku mengundang guru mengaji khusus untuk kami berempat (aku mempunyai tiga kakak laki-laki), tapi entah kenapa kami justru selalu ngerjain guru kami itu. Guru mengaji itu anak buah bapak di kantor. Kebetulan pemahaman Islamnya baik sehingga dipercayakanlah dia mengajari kami berempat. Dasar kami memang bandel, saat dia sedang mengajar, kami suka cekikikan sendiri atau kalau dia mau menulis kapurnya kami sembunyikan. Terus kami pura-pura ikut mencari. Pokoknya, guru bisa tidak nyaman mengajari kami. Akhirnya dia berhenti mengajari kami.
Pandanganku yang amat minor tentang Islam hadir justru saat aku duduk di bangku SMA. Pada zaman itu mulai merebak penggunaan kerudung oleh remaja-remaja muslimah. Aku memandangnya secara sinis. Kampunganlah, ekstremislah atau bisa menimbulkan penyakit kulit bila badan tak terkena sinar matahari. Ketika ada kasus pelarangan jilbab di SMA negeri yang kemudian masuk ke pengadilan sehingga ramai, aku menjadi tak habis pikir. Kalau mau pakai jilbab ya sekolah saja di sekolah Islam atau madrasah. Mengapa harus pusing. Kalau ingin sekolah negeri ya jilbabnya dibuka. Itu yang terlintas di benakku. Bahkan saat pecah peristiwa Tanjung Priok, dari berita di koran aku merasa bahwa mereka adalah Islam militan yang memang harus diredam pergerakannya. Tak lupa aku bangga dengan TNI yang tegas menegakkan hukum di bumi pertiwi ini.
Itulah masa kanak-kanak dan remaja yang aku anggap sebagai pikiran yang sangat situasional, masih mudah terombang-ambing oleh informasi yang sudah terdistorsi, terutama mengenai Islam. Apalagi pemerintah Orde Baru waktu itu masih menganggap kekuatan Islam sebagai ekstrem kanan, sama bahayanya dengan ekstrem kiri alias komunis.
Akan halnya dengan kedua orangtuaku, ada satu hal yang kusyukuri. Sejak beberapa tahun belakangan, bapak dan ibu rajin salat. Beliau pun sudah berhaji dua tahun lalu. Satu kemajuan besar dalam keluargaku. Keluarga di mana aku menjadikannya sebagai lahan berbakti. Bagaimanapun, kepada orangtua anak tak pernah bisa membalas budi, terutama kepada ibu. Kepada dia, aku berutang nyawa karena dia yang melahirkanku. Mana mungkin aku membalasnya? Berbakti saja, sebenarnya tak cukup karena saat melahirkan aku, ibu bertaruh nyawa.
Aku paham bagaimana sulitnya menjadi orangtua karena kini aku seorang ibu dari seorang putri. Semoga kami sekeluarga menjadi orang saleh yang selalu bergerak di jalan Allah. Terlebih, kedua orangtuaku makin sepuh. Tak terbayang, andai mereka karena perbedaan memandang sesuatu hal antara kami yang dianggap fundamentalis dengan orangtuaku, lantas hadir ranjau-ranjau menuju husnul khatimah. Jangan. Ya Allah, jauhkan kami, orangtua kami, dari aral menuju-Mu.
Tertolong Sikap Bapak.

Tatkala aku sekolah di Bandung, aku punya kawan pria yang amat dekat. Dia Katolik. Dia pernah bilang, “Kenapa sih Islam itu pakai azan segala. Mengganggu orang tidur.” Saat itu, dengan pemahaman Islam yang dangkal, aku tak bisa memberi jawaban. Aku orangnya pasif. Bahkan dia pernah mengajakku keluar dari Islam. Caranya lembut. Kebetulan waktu itu menjelang ujian semester. Biasa, di kalangan umat Katolik kalau mau ujian, mereka berdoa di gereja, ada novena di gereja. Dia bilang,”Semua orang datang di gereja. Cuma ada satu orang yang sangat kuharapkan bisa hadir di sana, ternyata tidak datang. Orang itu, kamu.”


Mendengar itu, dalam hati aku tertawa. Ah, aku tahu kamu mau mengajak aku masuk Ka-tolik. Meski aku orangnya rame, waktu itu suka cekakakan, untuk soal pindah agama rasanya tak bakalan, deh. Soalnya, bapak sudah mewanti-wanti aku, ketika dia tahu aku dekat dengan kawan yang Katolik ini. Waktu bapak tahu aku dekat dengan dia, bapak bilang, ”Kamu jangan cari masalah.” Memang, sejak pertama aku di Bandung dan belum merasa fit in, kawan dekat yang laki-laki, ya cuma dia ini. Bapak mengingatkanku, dengan nada keras lagi. Aku memang bersyukur benar. Dalam soal agama, bapak keras terhadapku dalam arti dia tak ingin anaknya keluar dari Islam.
Saat kawan Katolik-ku menyoal azan yang menurut dia mengganggu itu, aku belum bisa menjawabnya. Kalau sekarang aku ditanya hal yang sama, aku akan katakan, azan itu panggilan salat. Semua orang harus mendengarnya, harus diingatkan. Makanya dikeraskan dengan maksud membangunkan. Orang nonmuslim seharusnya mengerti itu. Maklum, kita di sini negeri sekuler sejak awal. Mereka sulit memahami azan.
Hubunganku dengannya tak berlanjut. Memasuki usia kepala dua aku mulai menghadapi problem serius. Dengan bantuan ibu semua masalah itu bisa selesai dengan baik. Sebagai anak bungsu aku cenderung manja. Sangat bergantung pada ibu. Sampai-sampai terpikir, aku tak mungkin sanggup hidup bila ibu menghadap-Nya. Hubunganku dengan ibu begitu erat, seperti seorang ibu dan bayinya. Padahal aku juga sadar, aku sudah beranjak dewasa.
Suatu ketika, entah sengaja atau tidak, aku pernah mendengar bahwa sebagai manusia, kita hanya boleh bergantung kepada Yang Mahakuasa dan bila kita bergantung kepada sesama, Allah mampu mengubah menjadi sebaliknya. Itulah yang terjadi kemudian. Kami seperti musuh dalam selimut gara-gara ibu tak setuju dengan calon mantu yang kuajukan.
Sebagai anak manja yang tinggal di luar kota kelahiran, mendapatkan teman pria yang melindungi membuat aku sangat senang. Hubungan kami sangat dekat dan ibu waktu itu sangat merestui mengingat beliaulah yang punya ide untuk “menjadikan” kami. Begitu hubungan kami sudah menjurus ke arah perkawinan, Allah berkehendak lain. Makin dekat hubungan kami, makin menjauh hubungan pacarku dan keluarganya dengan keluargaku. Puncaknya, orangtuaku menolak lelaki itu. Aku berontak. Selama ini orangtuaku selalu bilang ya terhadap apa yang kuminta. Aku kehilangan arah. Orang yang selama ini kupercaya tiba-tiba menjadi musuhku. Berkali-kali aku harus menemui seorang psikolog dan seorang temanku yang kebetulan dokter mengatakan bahwa aku menderita psikosomatis.
Aku tak tahu persis kronologinya, yang kuingat, aku pernah sampai menginginkan kematian dengan cara yang buruk. Aku pernah menyilet nadiku meski tak sampai pendarahan hebat. Karena memang saat itu aku juga masih takut mati. Silet yang tajam sempat menghunjam tapi tak sampai memutus nadiku. Alhamdulillah, aku tak jadi gelap mata meneruskan perbuatan bodoh itu. Kalau ingat hal itu, aku malu kepada Allah.
Rindu Salat.

Walaupun selama itu aku sering tidak mengingat Allah, aku merasakan bahwa Dia mengetahui kesulitanku, Dia menyayangiku. Sampai suatu ketika, Allah mengirimkan se-orang lain yang dapat aku ajak bicara dan percaya. Dia mengirimkan seorang saudara jauh, yang tidak pernah aku kenal sebelumnya, yang entah kenapa, begitu memperhatikan keluarga kami. Dari saudara inilah aku dikenalkan kepada seorang pembimbing (ustadzah).


Ustadzah itu memang bukan guru mengaji biasa. Ia menerangkan Islam melalui pemikiran yang aku belum sampai untuk ke sana. Namun ada satu hal yang selalu aku ingat darinya. Ia suatu ketika mengatakan, segala sesuatu yang menyangkut urusan hidup sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain tolok ukur perbuatan kita adalah hukum Islam. Karena pasti akan diridhai Allah dan menghasilkan akhir yang baik. Bila suatu pekerjaan dimulai dengan baik akan memberikan hasil yang baik pula. Demikian juga dalam menentukan jodoh, apabila sejak awal menimbulkan keburukan, tentunya tidak akan menghasilkan akhir yang baik.
Kata-katanya membuatku lega. Sampai sekarang aku selalu mengingatnya. Maka setiap aku akan memulai sesuatu aku selalu berpikir dahulu, apakah ini baik? Apakah sesuai dengan ajaran Islam? Apakah Allah akan ridha dengan perbuatan ini? Apakah ini semata-mata karena Allah dan tak karena yang lain? Setelah hati ini pasti dan pengetahuan aku mengatakan ya, aku lakukan pekerjaan itu.
Setelah aku mulai memahami Islam, aku merasa sangat dekat dengan-Nya. Aku berusaha melaksanakan semua perintah-Nya. Termasuk mengenakan jilbab. Cerita tentang jilbabku juga malu benar kalau kuingat. Setelah beberapa kali aku mengaji, ustadzahku kerap bertanya, kapan aku berjilbab? Aku cuma menjawab sekenanya dan tak tergerak untuk berjilbab. Mengaji pun karena dasarnya diarahkan saudara jauhku, terasa selalu ada “pesan sponsor” sehingga belum sepenuhnya aku mencemplungkan diri dalam ikhtiar mendekati Allah.
Sampai suatu ketika kudengar mantan pacarku ternyata menikah. Gadis yang dinikahinya ternyata berjilbab. Entah pikiran dari mana aku jadi benci benar dengan jilbab. Kebencian yang kualami sempat kurenungkan sehabis salat. Bahkan terbawa sepanjang perjalanan Jakarta-Bogor ke tempatku bekerja. Ah, kalau aku membenci jilbab, bisa-bisa aku akan membenci Islam. Bisa-bisa aku akan mudah membenci sesuatu yang terkait dengan masa laluku. Aku akan makin jauh dari Islam. Maka kulawan kebencian itu. Bagaimana sih kalau aku juga berjilbab. Biarlah, apa yang semula kubenci, kuhadapi dalam keseharianku.
Dalam perlawanan batin inilah aku tampil berjilbab. Aku juga mulai “nakal” dengan makin rajin mengajukan pertanyaan yang mungkin saja naif kepada ustadzah. Bukan kepuasan batin karena pencecaranku itu yang kudapat, tapi suasana baru. Bahwa aku menemukan keindahan Islam. Keluasan ajaran-Nya melalui argumentasi ustadzah.
Aku mulai bisa berjalan tegak kendati orangtuaku menganggap kegiatan mengajiku sebagai pelarian. Saudara yang menghubungkan aku dengan pembimbing dan teman-teman aktivis Islam banyak memberi dukungan. Ia selalu bercerita tentang teman-temannya beserta kegiatan keislaman di lingkungan pergaulannya. Penuturannya sangat menarik sehingga aku bergabung dengan mereka.
Pengajian yang kuikuti di pesantren Al Azhar Bogor, membuatku makin mantap berjilbab. Jilbabku bukan lagi perlawanan atas kebencian, tetapi benar-benar kesiapan batin sehingga aku sepenuhnya mengenakan busana muslimah ini sesuai perintah-Nya.
Efek lain dari pengajian itu, setiap hari aku amat merindukan waktu salat. Ingin cepat salat fardu dan salat duha atau terjun di samudera keheningan bertahajud. Pada kesempatan itulah aku begitu bebas mengadu, bebas bercerita, dan sering aku mengucapkan ya Allah, I love you, aku mencintai-Mu.
Teman-teman kuliahku yang sering meneleponku ke kantor sering mendapatkan aku tidak di tempat karena sedang salat. Maka proteslah mereka, "Kamu kok salat melulu sih!" Aku hanya dapat tersenyum menanggapinya.
Karunia dan Peringatan-Nya.

Mahabesar Allah yang selalu mendengar jerit tangis umatnya. Tidak sedikit pengalaman yang membuat bertambah kecintaanku pada Allah. Terutama ketika Dia mendengar jeritan permohonan aku. Aku pun merasa kecintaanku ini timbul karena kecintaan Allah padaku. Saat itu aku memang sudah bekerja di Jakarta dengan menduduki posisi yang boleh dibilang strategis dan putus hubungan dengan calon yang tidak direstui ibu. Seperti biasa, aku merasa takut (aku selalu ketakutan pada situasi baru).


Waktu itu aku berpikir, alangkah indahnya hidup kalau aku bisa mendapatkan seorang suami yang saleh di kota metropolitan yang banyak polusi akhlak ini. Aku begitu takut mendapatkan laki-laki yang salah karena bagaimanapun, aku adalah seorang yang sangat menginginkan keluarga sakinah. Sejak remaja pun aku sudah membayangkan memiliki keluarga damai, sejahtera, bahagia. Aku percaya, kebahagiaan dunia terindah dan membawa nilai amal adalah kebahagiaan bersama keluarga.
Waktu itu, setiap selesai salat, aku selalu berdoa lama sekali. Aku berdoa dengan menggunakan kata-kataku sendiri, memohon, Allah menghadirkan jodoh muslim nan saleh. Tak berapa lama, saudara jauh yang pernah membantu aku dulu, kini membantu lagi dengan memperkenalkan aku pada seorang muslim yang aku anggap saleh. Setahun kemudian ia menjadi suamiku.
Aku percaya keluarga adalah lautan yang di dalamnya kita dapat menjaring ibadah. Oleh sebab itu, keluarga menjadi prioritas utama dibanding hal-hal lain di dunia ini. Dengan alasan ini juga aku memutuskan untuk keluar dari kantor tempat aku bekerja selama tiga tahun terakhir. Padahal boleh dibilang di kantor itu aku berpendapatan lebih dari cukup. Terlebih kedudukan aku cukup tinggi dan mempunyai prospek yang cerah. Tapi dengan jabatan di bidang akuntansi dan keuangan itu, aku kerap harus pulang larut. Suamiku selalu mengatakan bahwa rezeki kita dari Allah adalah tetap, dalam arti, kalaupun pendapatan kita berkurang, pengeluaran kita pun bisa berkurang. Dengan percaya pada pernyataan ini dan semata-mata untuk membina keluarga sakinah mawadah wa rahmah yang diridhai Allah, aku keluar dari kantor walaupun gaji suami (yang lebih rendah dari gajiku) secara akal, jauh dari cukup.
Sekali lagi Allah menggunakan kekuasaan-Nya dalam menentukan nasib dan keluargaku. Sewaktu kuliah di Bandung dulu, aku pernah mengajar paro waktu pada sebuah lembaga bahasa. Agar tidak terlalu menganggur, suamiku mengizinkan aku untuk bekerja paro waktu lagi. Alhamdulillah tanpa mengalami kesulitan, tiga bulan setelah keluar dari kantor yang dulu, aku mulai mengajar pada lembaga bahasa yang sama di Jakarta ini. Ternyata Allah memberikan lautan yang lebih luas lagi untukku menjaring ibadah. Bukankah dengan mengajarkan ilmu yang bermanfaat pada orang lain, terlebih jika ikhlas dan sadar semata-mata karena Allah, kita juga beribadah? Dan yang tak kalah penting, aku dapat membantu suami dalam menjamin roda kehidupan keluarga terus berputar.
Sembilan bulan lamanya aku dikaruniai-Nya hadiah berbulan madu. Aku amat bersyukur, Allah demikian mengerti bahwa aku memerlukan waktu untuk mengenal suami dan menyatukan visi mengenai keluarga dengannya. Karena waktu yang cukup itu, aku merasa benar-benar siap waktu membawa Arini dalam perutku selama sembilan bulan kemudian. Sampai-sampai aku sering memberi nasihat pada kakak dan adik ipar yang juga hamil. Begitu banyak buku mengenai persalinan yang aku baca. Dalam hati aku mengatakan, aku siap.
Mungkin pada waktu itu aku agak sombong, seolah-olah aku sudah tahu semua. Alhamdulillah Allah menyadarkan aku kembali dengan memberikan persalinan yang sulit. Aku harus diinduksi selama 24 jam dan harus tetap tidur telentang selama itu pula. Juga postpartum syndrom yang kualami selama seminggu, disusul dengan Arini yang harus masuk rumah sakit untuk disinar karena kuning dan terakhir aku mengalami demam tinggi begitu Arini keluar dari rumah sakit sehingga kami harus dipisahkan. Pada saat-saat itu aku berpikir apakah ini ujian atau peringatan. Tapi apa pun itu, aku bersyukur, karena aku diajari untuk bersabar dan berintrospeksi diri, langsung dari Allah.
Islam Rasional.

Ilmu agamaku tidaklah tinggi, tapi Allah menghadiahkan padaku tidak hanya seorang suami yang saleh, dia juga seorang guru yang sabar dan cukup luas ilmu agamanya. Dari dialah aku mendapat jawaban atas pertanyaan siapa aku, dari mana aku, dan untuk apa aku hidup. Dari dia pula aku mendapat penjelasan mengenai tak adanya Tuhan selain Allah, mengapa mempercayai Muhammad, mengapa mempercayai Al-Quran. Semua penjelasannya masuk akal, bahkan tanpa mengetahui isi Al-Quran sebelumnya.


Aku begitu mantap. Aku tidak beragama Islam karena bapakku muslim, tak juga karena nenek moyangku muslim, bahkan aku tidak tahu apakah mereka membaca dua kalimah syahadat atau tidak. Tidak juga karena aku telah mengalami cobaan atau peringatan nan berat. Tapi aku menjadi muslim karena akal membawaku percaya bahwa ada kuasa yang mahatinggi, yang tak mungkin dimiliki oleh Tuhan lain selain Allah. Aku menjadi pengikut Muhammad karena secara akalku percaya beliaulah utusan Allah, manusia yang Al-Amin. Tak mungkin berbohong.
Tak ada doa yang lebih sering kuucapkan selain memohon Allah meridhai keluarga menjadi keluarga sakinah mawadah wa rahmah. Alhamdulillah sampai saat ini kami diberikan kebahagiaan dan kesejahteraan. Memang kadang-kadang kami dihadapi kesulitan keuangan juga cobaan dalam kesehatan. Tapi Allah selalu saja mengangkat kesulitan kami.
Pernah suatu saat suami harus pergi untuk menghadiri pernikahan seorang famili di luar kota. Padahal saat itu dana kami benar-benar sedang minim dan bulan masih jauh dari tanggal baru. Aku ditinggal untuk beberapa hari dengan seorang bayi dua bulan dan uang hanya Rp30.000, tak ada juga tabungan sepeser pun. Aku ingat waktu itu bahwa aku punya "tabungan" pada tetangga. Dia pernah berutang padaku. Karena perlu dana untuk membayar telepon dan koran, maka dengan terpaksa aku menagih uang itu. Tapi bukannya aku mendapat pengembalian, aku malah mendapat keluhan bahwa anaknya yang seumur anakku sedang sakit, dan dia tidak punya uang untuk membawa anaknya ke Puskesmas.
Karena iba, aku menjadi bingung. Di satu pihak aku butuh uang untuk keluarga, di pihak lain seorang tetangga mengeluh pada aku. Apa yang harus aku perbuat? Aku kemudian ingat sikap Rasul. Beliau selalu membantu orang yang membutuhkan bantuan dan berkorban untuk mereka serta mengajak keluarganya untuk bersabar. Dengan pikiran itulah disertai ucapan semua ini semata-mata karena Allah, aku serahkan separo dari uang yang aku miliki kepada tetanggaku itu.
Tanpa diduga suamiku bisa pulang lebih awal dari rencana semula. Wajahnya berseri-seri. “Ada rezeki buat Arini,” ujarnya. Ternyata pada pertemuan keluarga itu suamiku banyak mendapatkan hadiah uang dari kerabatnya, disertai ucapan selamat atas kelahiran Arini. Alhamdulillah, aku langsung teringat apakah ini juga kado dari Allah atas kesabaranku kemarin? Ini membuatku makin percaya, Allah melihat segala sesuatu. Baik hal-hal kecil maupun besar yang terjadi pada diri dan keluargaku. Aku makin mencintai-Nya.
Bio Data Nama : Tetraswari Diahingati, S.E.

Tanggal Lahir : 9 Mei 1969

Menikah : 31 Desember 1995

Suami : Ir. Budi Handrianto

Anak : Arini Izzataddini

Pendidikan: Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Katolik Parahyangan, Bandung (1993)

SMA Negri 2 Bogor, (1987)

SMP Negri 2 Bogor (1984)

Gertrude Fellows School, Ames, Iowa USA (1978-1981)

SDN Pengadilan 2 Bogor (1978)

Organisasi: Lingkar Studi Muslimah (LSM), Bogor (anggota)

Forum Kajian dan Amal Islam (Fokalis), Jakarta (sekretaris)

Pengalaman Kerja: Periset Paro Waktu Matari Adv. Inc., Bandung (1988-1991)

Instruktur Paro Waktu LBIB Yayasan LIA, Bandung (1991-1993)

Chief Accountant PT Petrolog Multi Usaha Mandiri, Jakarta (1993-1996)

English Instructor pada Lembaga Bahasa LIA, Pengadegan Jakarta (1996-sekarang).


( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )

( PENGALAMAN RELIGIUS / PANJI NO. 17 TAHUN III. 11 AGUSTUS 1999 )

9. KEBERANIAN DARI ALLAH

WAN AZIZAH WAN ISMAIL,

Tidak ringan cobaan yang dia hadapi. Tapi dia merasa Allah menyertainya.


Ketika pamor suaminya, Anwar Ibrahim, semakin bersinar setelah terpilih menjadi wakil perdana menteri pada 1993, Wan Azizah Wan Ismail, 46 tahun, seakan menjadi role model bagi wanita Malaysia. Istilah "kerudung Datin Azizah" sempat mencuat, membedakan gaya berkerudung yang sudah ada dengan gaya Azizah yang mirip mahasiswi. Beberapa pengamat melihat, justru penampilan Azizah-lah yang turut mendongkrak citra Anwar sebagai pemimpin masa depan tanah Melayu-Islam. Pakar oftalmologi ini memang mempesona: tertib berbahasa, luwes membawa diri, rendah hati, ramah, dan murah senyum.
Namun segalanya seakan berubah. Setelah pemecatan Anwar, diikuti dengan pemenjaraan terhadap suaminya itu, pada 20 September lalu, Azizah tampil beda. Ibu dari enam anak ini--Nurul Izzah (17), Nurun Nuha (14), Nurul Ihsan (13), Nurul Ilham (11), Nurul Iman (8), dan Nurul Hana (6)--kini menjadi wanita pemberani, tegas, dan lantang. Dia tampil mengambil alih kepemimpinan gerakan reformasi yang ditinggalkan suaminya, jago menyampaikan pidato, tak canggung mengeritik pemerintah, meski tetap selalu tersenyum. Namanya lalu disandingkan dengan beberapa wanita Asia lain yang terpaksa terjun ke kancah politik karena tuntutan keadaan, seperti Corazon Aquino dari Filipina, Benazir Bhutto dari Pakistan, dan Sonia Gandhi dari India. Tapi, semudah itukah perubahan tersebut?
Selayaknyalah tidak. Sebab, di balik penampilannya yang tegar itu, Azizah menghadapi tidak sedikit tekanan. Dakwaan korupsi dan homoseksual terhadap suaminya merupakan beban yang paling berat. Ditambah sikap represif pemerintah yang membatasi ruang gerak Azizah sekeluarga. Kediamannya kini dijaga setidaknya delapan polisi setiap saat, siang dan malam, tak seorang pun selain keluarga yang boleh berkunjung. Teleponnya disadap, e-mail-nya diputus, dan, yang lebih pedih lagi, dia dan anak-anak tidak diperkenankan menjenguk Anwar di penjara. Sejak penahanan hingga hari ini, baru sekali dia sekeluarga boleh bertemu Anwar, yaitu setelah persidangan hari kedua, dua pekan lalu. Selebihnya, mereka hanya bisa melihat Anwar dari kejauhan, ketika disidangkan. Kini, Nurul Hana, anaknya terkecil, sedang demam panas merindukan ayahnya.
Yang tak kalah menyakitkan, sebagian besar media massa Malaysia mengikuti sikap Mahathir. Anwar seakan telah divonis bersalah meski pengadilan baru memulai persidangan. Aib keluarga Anwar dibahas panjang hampir setiap hari. Termasuk cerita tentang perkawinan Anwar-Azizah yang diisukan tidak direstui sehingga menempuh cara kawin lari. Azizah bahkan disebut mencontoh sikap Hillary Clinton yang membela habis-habisan suaminya yang diterpa isu skandal seks. Padahal, ia melihat semua itu semata sebagai panggilan agama.
Bisakah Azizah bertahan? Berikut penuturan Wan Azizah kepada Muzakkir Husain dari Panji, dalam kesempatan wawancara di kediamannya, Jalan Setiamurni I/8 Bukit Damansara, Kuala Lumpur.
Sebenarnya Bang Anwar sudah ditekan untuk mundur jauh sebelum dia dilucuti dari tugas sebagai timbalan (deputi) perdana menteri, 2 September lalu. Semula dia tetap bertahan. Tapi lama kelamaan dia kesal juga dan berkata kepada saya, "Saya nak mundur." Saya kata, jangan! Karena, jika melakukannya, berarti kita mengaku kalah.
Rupanya pihak kerajaan sudah tak tahan akan dia karena suka mengeritik perilaku korup, menentang kronisme, kolusi, dan nepotisme. Dia terlalu populer sehingga harus dicegah jangan sampai ikut pilihan raya tahun depan. Tentu dia akan semakin keras menghapus KKN bila memegang tali teraju kerajaan nantinya.
Sejak saat itu pula saya sudah mendapat firasat akan ada sesuatu yang berat akan menimpa kami. Benar saja, Mahathir memakai tangan besinya, melucuti Bang Anwar bahkan menahannya di bawah akta keselamatan negara (Internal Security Act-ISA, yang membolehkan penangkapan seseorang tanpa kesalahan yang jelas dan tanpa pengadilan, Red.). Hari-hari berat pun bermulalah. Hari-hari yang tak mungkin saya lalui tanpa pertolongan Allah.
Martabat Keluarga.

Kami tidak berniat menentang kerajaan, hanya maukan keadilan. Ini sebab utama mengapa adanya reformasi. Bukan untuk bergaduh. Pihak kerajaan tidak memberi pilihan buat kami selain melawan. Saya tentu melawan. Saya percaya, karena saya di pihak yang benar, maka Tuhan akan bersama saya.


Martabat keluarga saya telah diinjak-injak. Dakwaan ke atas suami saya tidak rasional. Saya adalah orang yang paling dekat dengan dia sejak kami menikah pada 1980. Saya tahu apa yang dia lakukan. Saya tahu dia tidak melakukan rasuah (korupsi) apalagi perilaku seksual di luar tabi’i (homoseksual). Saya meneladani cara hidup dia. Dia taat sembahyang, selalu pulang ke rumah, tak pernah lupa menelepon atau mengirim faks bila berada di tempat jauh. Dia itu family man. Bila ada masa, dia akan ajarkan anak-anaknya pengetahuan agama. Dia imami sembahyang kami, dia pun rutin khutbah ke mana-mana. Adakah dia sempat berpikir nak berbuat durjana seperti yang dituduhkan? Itu semua fitnah, karut, hanyalah konspirasi politik untuk hilangkan suami saya, supaya beliau tidak bertanding dalam pemilihan dan meneruskan karier politiknya.
Pedihnya, pers tempatan (dalam negeri) dikawal pula oleh kerajaan. Hampir semua akhbar turut mengaibkan suami saya, keluarga saya. Kalaupun betul suami saya tak bermoral, umpamanya, biarlah undang-undang yang menentukan. Jangan kami terlalu diaibkan sekali dengan pemberitaan yang tak adil setiap hari. Sepertinya tidak ada lagi sisi hidup kami yang tidak dikomentari dengan negatif. Bukan hanya komentar-komentar para politikus yang mencari muka lagi yang mereka muat berpanjang-panjang, tapi sampai-sampai ada yang menulis bahwa perkawinan kami tak direstui orangtua, kami kawin lari, dan sebagainya.
Ada lagi yang menyamakan saya dengan Hillary Clinton, sebab tuduhan seksual kepada Bang Anwar. Kalau Hillary masih terus mempertahankan suaminya yang nyata mengakui skandalnya dengan Monica Lewinsky, mengapa saya tidak boleh membela suami saya, sedangkan dia sudah berpuluh kali menyatakan tidak melakukan perbuatan terkutuk itu. Dan saya menjadi saksi kebenaran perkataannya.
Melawan Kezaliman.

Setelah Bang Anwar ditangkap, kami pun rasanya telah dimasukkan ke dalam penjara. Rumah dikawal siang malam, nak terima tamu tak boleh, nak email pun tak boleh, dapat menelepon tapi itu pun direkod. Terlebih lagi, ketemu Bang Anwar pun tak boleh. Jelas kami semua bimbang di rumah ini. Apalagi kami mendengar kabar, kemungkinan besar Bang Anwar akan disuntik HIV untuk membuktikan dia bersalah. Astaghfirullahal ‘azhim.


Hingga tanggal 29 September lalu, pertama kali Bang Anwar dibawa ke mahkamah, itulah pertama kali saya dan anak-anak boleh melihat dia sejak ditahan. Dan, ya Allah, ya Tuhankuu.… Ketika saya melihatnya pertama kali, saya shock. Sebelum ditahan, dia sehat wal afiat. Sekarang saya dapati mukanya lebam-lebam dan tubuhnya secara keseluruhan tidak stabil. Terus terang, keadaan ini amat merisaukan saya. Naluri saya mengatakan, dia telah disiksa.
Menurut Bang Anwar, pada malam penahanan, matanya ditutup dan tangannya digari ke belakang. Setibanya di penjara Bukit Aman, beliau dipukuli di bagian muka, bagian kepala, dan tengkuk. Hidung dan bibirnya berdarah. Bang Anwar mengalami kecederaan kuat sehingga pingsan satu hari.
Saya yakin, dia lebih terok (sengsara) lagi dari yang dia ungkapkan. Dia menghindari anak-anaknya sedih. Saya perhatikan, setiap mau berdiri, dia goyah, dan menahankan sakit pada perut. Kesan lebam yang belum hilang setelah sepuluh hari menunjukkan adanya tumbukan yang kuat.
Inilah yang semakin membulatkan tekad saya, dan saya juga yakin, tekad rakyat Malaysia. Bahwa kezaliman telah berlaku. Seakan tampak dengan nyata, orang yang digari tangannya ke belakang, ditutup matanya, dan dipukuli. Itu hanya bagian dari kezaliman yang lebih luas dan dalam masa yang lebih panjang dari rezim Mahathir. Tekad untuk meneruskan reformasi yang sudah dimulai oleh Bang Anwar muncul dan tidak akan terbendung lagi.
Saya teringat kata-kata Bang Anwar bahwa itu bagian dari panggilan agama, yaitu perintah menegakkan keadilan di muka bumi. Adalah wajib meluruskan yang bengkok, mengoreksi yang salah. Kita memang diperintahkan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam Islam, menuduh seorang muslim berzina tanpa dapat menunjukkan saksi empat orang, samalah dia dengan fitnah. Yang melakukan itu bisa dicambuk 80 kali sebagai hukuman memfitnah. Saya yakin, itulah yang tengah berlaku, dan setting politik yang melatar-belakanginya itulah yang harus direformasi. Rasa takut dalam diri saya seakan hilang. Saya ikhlas menerima risiko yang terberat sekalipun. Saya yakin saya benar, maka Allah akan menemani saya. Insya Allah. Allah akan menolong orang yang menuntut yang hak.
Kepedihan dan tekanan merupakan cobaan dari Allah untuk menguji bagaimana kita menangani sebuah masalah. Apakah tetap dengan ketakwaan, dengan iman dan amal, atau putus asa dan kufur.
Hikmah Besar.

Masih banyak karunia Allah yang boleh saya syukuri. Anak-anak, alhamdulillah, di luar batas yang mereka mampu pikul, tetap bisa tegar. Terkadang saya bimbang apakah mereka akan terus kuat, tidak boleh jumpa bapa atau sekadar menelepon, tapi lagi-lagi Allah memberikan kekuatan. Saya yakin, Dia tidak memberi beban melebihi yang bisa kami pikul.


Terutama anak sulung saya, Nurul Izzah. Dia tiba-tiba menjadi wanita perkasa yang tampil mengawal muruah (harga atau kehormatan diri) keluarga. Pada saat-saat lemah, saya sering mendapat inspirasi lagi dari dia. Ketegarannya sehari-hari dan ketabahannya setiap kali berdoa membangkitkan ketegaran dan ketabahan pada diriku sendiri. Mestilah Allah yang menurunkan karunia itu melalui Izzah.
Musibah ini telah membuat kami semua semakin mendekatkan diri kepada Allah. Kami memperbanyak istighfar, memohon keridhaan Allah s.w.t., bila kemungkinan melakukan sesuatu yang telanjur pada masa dulu. Justru dengan musibah ini saya merasa Allah menyayangi kami, dengan memberi kami petunjuk dan sekaligus menarik kami kembali sekiranya telah terlewat atau terlebih.
Hikmah yang lain lagi, walaupun musibah ini memang sangat berat dipikul, tetapi ianya telah membawa kesadaran kepada rakyat. Rakyat jelata semuanya tercelik matanya bahwa negara kami memerlukan perubahan, reformasi, untuk mendapatkan suasana yang sebaik mungkin. Mereka bersedia untuk berjuang bersama, menghilangkan penekanan dari peringkat atasan yang telah mengungkung kebebasan hukum, pada pihak kehakiman, pihak polis, pihak pers. Berjuang menghapuskan praktek-praktek korupsi, kolusi, kronisme, dan nepotisme. Sehingga Malaysia akan lebih berjaya lagi. Insya Allah.
Satu lagi hikmahnya, saya tahu, Bang Anwar baru sekarang dilihat bukan sama-sama sekongkol dengan Mahathir, bukan sekongkol dengan pihak-pihak yang ingin mengungkung rakyatnya. Ya, memang dia pernah di dalam kerajaan yang sekarang. Tapi kerajaan itu pulalah yang dulu menahannya pada tahun 1970-an, dan kerajaan itu juga yang dia masuki dengan keinginan mengubah dari dalam. Tapi nyata sekali dia tidak berdaya. Jadi, dia dipecat dan dihina begitu sekali membuka mata kita bahwa dia telah mencoba, dan karena kecobaannya itu, penentangannya itu membawa akibat. Ya, semua ini mesti mempunyai hikmah.
Ngidam Kelapa Muda.

Saya sudah terlibat dengan perjuangan Bang Anwar sejak dulu lagi. Saya istri pejuang. Jadi bila perkara ini berlaku, ia bukan perkara baru dalam hidup saya. Dulu pun kami begini juga.


Istri seorang pejuang perlu kuat. Perlu tabah. Itulah yang telah saya tanam sejak dahulu. Saya masih ingat masa saya mengandungkan Nurul Izzah dahulu. Saya mengidam kelapa muda yang pohonnya ada di depan rumah. Saya minta Abang Anwar ambilkan. Tapi karena kesibukannya yang tak kenal waktu, walaupun itu satu kerja mudah, permintaan saya itu tidak pernah dia tunaikan. Sampai sekarang saya masih ingat peristiwa itu.
Yang saya tangkap, bukanlah dia mengabaikan saya karena perjuangannya. Tapi dia memberi peringatan kepada saya agar tidak menjadi perempuan yang lemah. Sebaliknya saya perlu tahu tanggung jawab suami saya di luar lebih besar. Perkara kecil tidak perlu diperbesarkan. Kalau boleh diuruskan sendiri, jangan terlalu bergantung pada suami. Peringatan inilah yang sedikit sebanyak membentuk siapa diri saya hari ini.
Jilbab Gadis Belanda.

Ketika saya belia, tidak ada apa-apa yang istimewa. Saya belajar di sekolah rendah misionaris Kristen. Sekolah itu boleh menerima pelajar muslim di bawah pengawasan pemerintah. Ketika murid-murid nonmuslim belajar bahasa Melayu, kami yang muslim masuk kelas agama. Kebanyakan sekolah-sekolah pada masa itu menyediakan kelas agama sesuai anak didiknya.


Selain di sekolah, pendidikan keagamaan saya juga berlangsung di rumah, di bawah asuhan keluarga bapa. Usia sebelas bulan saya dititipkan di rumah bibi di Kedah karena bapa saya, hospital assistant di sebuah rumah sakit di Singapura, mendapat tugas belajar ke Inggris. Suasana keagamaan di seputar rumah cukup baik untuk membentuk religiusitas saya.
Tapi pengetahuan keagamaan saya rasanya jauh lebih mendalam ketika saya belajar di Irlandia. Mungkin karena dorongan naluri, ingin mendapat komunitas yang sesuai dengan negara asal, di sana saya banyak mengikuti pengajian keislaman yang diadakan oleh persatuan-persatuan muslim yang ada. Saya merasakan betul masa-masa itu sebagai periode menggali pengetahuan, umum dan agama.
Suatu hari pada 1973, saya berkenalan dengan seorang gadis Belanda yang sangat cantik. Dia juga mahasiswi tugas belajar di Irlandia. Dia memakai kerudung yang, masya Allah, seakan-akan memancarkan cahayanya. Saya termenung dan berpikir dalam hati, kalaulah dia yang menganut Islam selepas Kristen, terpanggil memakai kerudung, kenapa saya yang terlahir sebagai Islam, tidak? Saya juga teringat dari sejarah Malaysia, kerudung sebenarnya termasuk pakaian asli orang-orang Melayu. Saya tergerak ingin mengenakan kerudung, dan alhamdulillah sejak saat itu tidak pernah tanggal lagi.
Sejak awal saya tidak merasa janggal memakai kerudung. Memang sempat lingkungan saya memberi reaksi lucu: saya dianggap biarawati Cina. Saya jelaskan kepada mereka konsep jilbab dari aspek agama dan kultur. Pada akhirnya mereka menerima saja saya berpakaian begini.
Bertemu di Hospital. Kembali dari Irlandia, saya masuk bekerja di hospital besar Kuala Lumpur. Di sanalah saya bertemu Bang Anwar, pada 1979. Aneh, juga, sebab saya sebenarnya sedang bertugas merawat seorang pasien yang ternyata abang iparnya. Dia datang membezuk, dan pada masa itulah kami berkenalan. Kami menikah pada 1980.
Sejak berkenalan saya sudah melihat keutamaan pribadi Bang Anwar. Dia ramah tapi sopan. Bahkan setelah melamar pun, dia tidak ingin mengajak saya jalan bersama karena menjaga muruah. Inilah yang membuat saya sedih, dia dituduh yang tidak-tidak, bahkan kisah perkawinan kami ditulis tidak-tidak.
Mengenang itu semua, saya terdorong akan kembali menekuni pekerjaan di hospital. Selama ini pun saya tidak meninggalkan bidang kedokteran ini sama sekali dengan menjadi sukarelawan di Hospital Universiti. Tapi saya amat berharap, selepas ini semua, saya boleh melakukannya lagi sepenuh waktu. Apalagi saya baru saja mendapat ijazah post graduate di bidang ini. Di tengah hiruk pikuk reformasi ini, setelah saya bertemu Bang Anwar kemarin, pihak universiti datang ke rumah untuk menyampaikan ijazah kepada saya. Hal ini baru pertama kali berlaku, presiden universiti datang ke rumah mahasiswa untuk memberikan ijazah. Dia datang sekaligus untuk menyampaikan simpati dan mendoakan reformasi terus berjalan. Alhamdulillah.
Nama Datin Seri Wan Azizah Wan Ismail

Lahir Singapura, 3 Desember 1952

Pendidikan : Kedokteran Mata di College of Surgeons, Dublin, Irlandia

Pengalaman: Dokter bagian Mata Hospital Besar Kuala Lumpur

Sukarelawan Hospital Universiti, Kuala Lumpur


Kepedihan dan tekanan merupakan cobaan dari Allah


untuk menguji bagaimana kita menangani sebuah masalah.

Apakah tetap dengan ketakwaan, dengan iman dan amal,

atau putus asa dan kufur.

-----------------------------


( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )



10. BERMESRAAN DENGAN JILBAB

Pertanyaan:
Busana muslim makin populer saat ini. Tidak lagi hanya di masjid atau di pesantren-pesantren, tapi di pusat-pusat perbelanjaan pun dengan mudah kita saksikan orang-orang yang berbusana muslim. Namun, saya agak terusik ketika sering menemukan di antara mereka ada yang bermesra-mesraan layaknya sedang pacaran atau mungkin sepasang suami-istri. Bagaimana masalah ini dilihat dari etika Islam?” Su’aidah Arfah (Jambi).
Jawaban Prof. Ali Mustafa Yaqub, M.A. (Guru Besar Institut Ilmu Al-Quran, Jakarta)
Bersikap mesra terhadap istri atau sebaliknya adalah hal yang dianjurkan agar bahtera rumah tangga tetap harmonis. Tetapi, meskipun "bermesraan" itu hukumnya halal bagi pasangan suami-istri, bukan berarti boleh dilakukan di sembarang tempat. Jika hal itu dilakukan di tempat umum sehingga dengan mudah dilihat orang lain, maka apa yang tadinya dihukumi halal pun menjadi haram.
Jangankan memperlihatkan perbuatan mesra atau intim, menceritakannya saja (kepada orang lain) tidak boleh. Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, disebutkan: "Kalau ada seorang istri atau suami menceritakan kepada orang lain tentang apa yang dilakukannya dengan suami atau istri pada malam hari, dia itu tidak akan mendapatkan bau surga." Artinya, baunya saja tidak dapat, apalagi untuk masuk surga.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, disebutkan:
"Setiap umat-Ku akan diampuni dosanya kecuali orang-orang yang memamerkan atau memperlihatkan maksiatnya."
Kalau dilihat dari kedua hadis tersebut, perbuatan suami-istri yang melakukan perbuatan intim dan dilihat atau ditonton orang lain, haram hukumnya. Perbuatan seperti itu termasuk dalam kategori dosa yang berat sehingga Allah sendiri tidak mau mengampuninya, kecuali kalau betul-betul bertobat.
Nah, karena bermesraan di depan umum itu termasuk perbuatan munkar, maka bagi mereka yang melihat atau mengetahuinya, wajib untuk mencegah atau mengingatkan. Memang tidak mudah mencegahnya, terlebih saat ini kehidupan masyarakat kita makin permisif dan individualis. Apa yang sebelumnya dianggap tabu, kini dianggap sebagai hal yang biasa. Orang pun malas mengingatkan karena hal tersebut dianggap bukan menjadi tanggung jawabnya, itu urusan orang lain. Sedangkan si pelaku, menganggap tindakan bermesraan itu wajar dan halal karena dilakukannya dengan istri atau suaminya.
Tugas kita sebagai sesama muslim adalah saling mengingatkan. Namun, tentu harus dilakukan dengan cara yang baik agar selain pesan yang kita berikan bisa diterima, mereka juga tidak tersinggung atau merasa dipermalukan.
Rasulullah sebagai junjungan dan panutan kita, telah memberikan teladan yang baik tentang etika suami-istri. Beliau, misalnya, tidak pernah bepergian dengan membawa keempat istrinya sekaligus. Untuk itu, pernah suatu kali Nabi memilih--istrinya yang akan diajak pergi--dengan cara mengundinya. Nabi juga tidak pernah tidur satu ranjang dengan lebih dari satu istri. Dengan demikian jelaslah, hubungan mesra Nabi dengan istrinya tidak terlihat atau ditonton oleh istrinya yang lain.
Orang yang dengan sengaja mempertontonkan kemesraan atau keintimannya di depan orang lain adalah orang yang sudah tidak punya rasa malu. Akibatnya, martabat orang tersebut bisa jatuh lebih rendah dari binatang. Lihat saja, dalam bermesraan atau berhubungan intim, binatang juga sembunyi-sembnyi melakukannya.
Apakah dengan tidak bersikap mesra terhadap istri atau tidak melayani sikap manja istri di depan umum berarti si suami tidak setia? Tentu saja tidak. Kesetiaan dan rasa sayang terhadap pasangannya tidak bisa diukur dari "berani-tidaknya" bermesraan di depan umum. Yang lebih penting dari seorang suami adalah sikapnya yang dewasa dan tindakannya yang bertanggung jawab.
Salah satu bentuk tanggung jawab suami adalah memenuhi kebutuhan rohani istri dan menyadarkan istri bahwa bermesraan di depan umum adalah haram hukumnya. Tetapi, selagi tidak mengandung unsur yang haram, sudah selayaknya sang suami memberikan perhatian lebih pada istrinya, baik dengan cara bermesraan atau dengan memenuhi kebutuhan jasmaninya.
Secara umum, sang suami punya tanggung jawab moral terahadap istri dan anak-anaknya agar terhindar dari murka Allah. Dalam Surah at-Tahrim Ayat 6 dikatakan:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."
Tanggung jawab sang suami itu tidak hanya mengajak istri untuk tidak berbuat maksiat seperti yang telah disebutkan, tetapi juga menjaga anak-istri dengan tidak memberikan makanan yang haram, tidak boleh menyekolahkan yang menyebabkan si anak menjadi musyrik. Suami atau ayah dari anak-anaknya juga bertanggung jawab dalam memberikan pengarahan dan pengajaran.

( Sumber: Panjimas Online - http://www.panjimas.co.id )


------------------------------------
11. ---( masih dalam proses ‘research & editing’ )-----
( Sumber: …………………………………………. )

( ……………………………..)




CIRI-CIRI WANITA SOLEHAH

Subject: [daarut-tauhiid] CIRI-CIRI WANITA SOLEHAH

Date: Mon, 3 Jan 2000 14:14:19 +0800

From: "Miftachul Arifin (BAT OP AEE)"

Reply-To: daarut-tauhiid@egroups.com

To: "'DT'"


Yüklə 311,95 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin