Versi terjemah: "Otentisitas al-Qur'an; Argumen dan Fakta Sejarah"



Yüklə 461,65 Kb.
səhifə3/5
tarix18.04.2018
ölçüsü461,65 Kb.
#48861
1   2   3   4   5

Kesimpulan; Sesungguhnya kami tidak menemukan takwilan mengenai pembahasan ini kecuali berpegang kepada riwayat tentang keberadaan shuhuf dan riwayat-riwayat yang langka dari selainnya kalau kita mengakui kebenarannya. Sedangkan permintaan mushaf yang ada di dalam rumah Sayyidah Hafshah RA oleh Sayyidina Utsman RA itu merupakan hal yang menurut ulama fiqh dinamakan sadduddzari’ah wal istidzhar dan tujuan Sayyidah Hafshah hanyalah untuk mengambil barokah dengan wujudnya mushaf di rumah beliau. Nanti akan dijelaskan mengenai sobeknya mushaf tersebut setelah wafat beliau.

Sebagian ulama hadits mengatakan bahwa sesungguhnya hadits-hadits pembahasan ini semua adalah ahadi (tidak masyhur dan tidak mutawatir). Perkataan para periwayatnya masih simpang siur dan tidak jelas. Pernyataan ini mendukung apa yang kami jelaskan sebelum kesimpulan.

Kemudian ada yang mengatakan: Dan apa gunanya pekerjaan ini, pekerjaan yang sulit yaitu jalan penulisan melalui aqtab, aktaf, likhof dan lainnya? sementara Zaid bin Tsabit RA mempunyai al-Qur’an yang didekte langsung oleh Rasulullah SAW kepadanya dan para penulis lain yang dikoordinir langsung oleh Zaid seperti dalam riwayat-riwayat yang shahih.

Jawab; tidak ada keraguan nanti akan dijelaskan pernyataan yang mendukung pertanyaan di atas. Zaid bin Tsabit RA berkata: kami berada di samping Rasulullah SAW menyusun al-Qur’an dari riqo’, Zaid tidak menyebutkan yang lainnya (hanya menyebutkan riqo’). Ini akan dijelaskan pada permulaan bab; Bagaimana Rasulullah SAW mendekte al-Qur’an kepada para penulisnya.

Sesungguhnya riwayat yang menyebutkan aqtab dan aktaf dari Zaid bin Tsabit RA walaupun ada di dalam kitab al-Bukhori, maka riwayat lain yang lebih kuat tidak sama dengan riwayat tersebut. Namun kesalahan bukan terdapat pada Zaid RA akan tetapi dari silsilah sanadnya (mata rantai transformasi hadits).

Karena riwayat aqtab dan aktaf tersebut disebutkan dalam al-Bukhori, mayoritas para ulama yang menulis tema ini menjadikannya sebagai standar acuan dan qo’idah dan memeganginya tanpa mengkritisinya. Atas dasar inilah mereka berani mengatakan bahwa tidak ditemukan mushaf pada masa Rasulullah SAW. Pendapat ini turun temurun diriwayatkan dari ulama yang satu kepada ulama yang lain. Mereka mentakwili dan menafsiri hadits-hadits yang mereka riwayatkan dengan berbagai macam tafsiran dan takwilan yang tidak sesuai. Walaupun riwayat banyak namun mereka melemahkan semua riwayat yang ada dan tidak menghiraukan keberadaannya padahal riwayat banyak tersebut merupakan dalil paling kuat yang menunjukkan atas wujudnya mushaf pada masa hidup Rasulullah SAW.

Kami sangat menghormati Imam al-Bukhori sebagaimana mereka menghormati beliau. Akan tetapi pernyataan ini bukan berarti bahwa kami telah menghantam kokohnya tembok dengan riwayat-riwayat lain dan tentunya hati kami tidak kuasa untuk mengkritisinya apalagi menyinggung pembahasan yang sangat krusial. Ini kami lakukan supaya hati kita menjadi lebih mantap dengan keimanan kepada Allah.



Contoh; Hadits yang melarang bepergian membawa mushaf yang diriwayatkan Imam Muslim yang berbunyi:

لاَ تُسَافِرُوا بِالقُرْآنِ لِئَلاَّ يَنَالَهُ الْعَدُوُّ. [رواه مسلم]

Janganlah kalian bepergian dengan membawa al-Qur’an supaya tidak jatuh ke tangan musuh Islam.” (HR. Muslim).

Ada yang mengatakan bahwa kalimat لِئَلاَّ يَنَالَهُ الْعَدُوُّ adalah tambahan dari Imam Malik. Baik riwayat ini shahih atau tidak, yang menjadi pokok kajian kami di sini yaitu larangan untuk bepergian dengan membawa al-Qur’an. Hadits ini shorih menandaskan bahwa yang dikehendaki adalah al-Qur’an secara utuh. Namun ada sebagian ulama mentakwili bahwa yang dikehendaki adalah sebagian dari al-Qur’an yang terdapat dalam shuhuf dan ada sebagian takwil ulama yang menyimpang dari pokok pembahasan dengan mengatakan: ”Yang dikehendaki yaitu al-Qur’an yang ada dalam shuhuf yang akan ditulis setelah Rasulullah SAW wafat,” bahkan menjadikan hal tersebut termasuk mukjizat. Dengan demikian, maka dia telah menjauh dari akar permasalahannya dan sangat tidak rasional.

i9I

Hadits-hadits Shohih dan Shorih Terkait Tema Ini

Termasuknya adalah hadits:

أًعْطُوا أَعْيُنَكُمْ حَظَّهَا مِنَ اْلعِبَادَةِ النَّظَرَ فِي اْلمُصْحَفِ وَالتَّفَكًّرَ فِيْهِ وَالْاِعْتِبَارَ عِنْدَ عَجَائِبِهِ. [رواه الحاكم والبيهقي]

Berikanlah kepada mata kalian bagian dari ibadah yaitu; melihat mushaf, memahami betul ayat-ayatnya, dan menjadikan ibrah keajaiban-keajaibannya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dan al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman dari Abi Sa’id al-Khudzri RA)

Apakah kalian tidak mengetahui bahwa dalam hadits di atas hingga menurut pendapat yang melemahnya menjelaskan keberadaan mushaf dan keistimewaannya? padahal dalam hadits tersebut berisi tentang pertanda kuat yang menujukkan keberadaan mushaf pada masa hidup Rasulullah SAW.

Didukung dengan adanya berbagai macam hadits lain ini menujukkan antara hadits yang satu menguatkan derajat hadits yang lain, seperti;

قِرَاءَةُ الرَّجُلِ اَلْقُرْآنَ فِيْ غَيْرِ الْمُصْحَفِ أَلْفُ دَرَجَةٍ وَقِرَاءَتُهُ فِيْ الْمُصْحَفِ تُضَاعَفُ عَلَى ذَلِكَ إِلَى أَلْفَيْ دَرَجَةٍ.

Seseorang membaca al-Qur’an dengan tanpa mushaf mendapatkan pahala seribu derajat sedangkan membaca al-Qur’an dengan mushaf pahalanya digandakan sampai dua ribu derajat.” (Hadits ini diriwayatkan At-Tobaroni dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Aus bin Abi Aus ats-Tsaqofi)

خَمْسٌ مِنَ اْلعِبَادَةِ: النَّظَرُ فِي الْمُصْحَفِ ، وَاْلكَعْبَةِ ، وَالْوَالِدَيْنِ ، وَزَمْزَمٍ ، وَوَجْهِ اْلعَالِمِ.

Ada lima perkara termasuk ibadah, yaitu; melihat mushaf, ka’bah, kedua orang tua, zam zam, dan melihat wajah ulama.” (Diriwayatkan Imam ad-Daruquthni dari Abu Hurairah)

Sehingga kalau kita meneliti hadits-hadits tersebut maka akan kita temukan banyak hadits yang menunjukkan keberadaan mushaf walaupun hadits itu diklaim dlo’if (lemah). Dan walaupun dikatakan hadits dlo’if namun hadits tersebut saling menguatkan. Dari hadits-hadits tersebut ulama menggali hukum akan keutamaan membaca al-Qur’an. Atas dasar ini, kami menjadikan hadits-hadits itu sebagai argumen dari poin pembahasan kami.

Sebelumnya kami menyitir beberapa contoh hanya karena tidak adanya kepedulian terhadap apa yang berbeda dengan hadits aqtab dan telah diketahui bahwa dalil-dalil yang kami paparkan di atas untuk meyakinkan mereka, InsyaAllah ta’ala.

i9I

Kesalahan Sudut Pandang Mereka

Sebagian ulama pengarang yang berpegang pada riwayat aqtab, aktaf dan seterusnya bahwa disana ada beberapa I’tibar (sudut pandang) bagi penulisan al-Qur’an di atasnya, yaitu;



  1. Peralatan menulis tidak mudah ditemukan pada zaman Rasulullah SAW.

  2. Stabilitas keamanan pada masa Abu Bakar lebih terjamin dari pada zaman Rasulullah SAW.

  3. Al-Qur’an diturunkan secara berkala pada zaman Rasulullah SAW, bagaimana mungkin bisa ditulis dalam mushaf?! Karena itulah al-Qur’an ditulis di atas aqtab dan lainnya seperti yang mudah digambarkan.

  4. Al-Qur’an akan mengalami perubahan (nasikh-mansukh) pada masa Rasulullah SAW.

dan i’tibar-i’tibar lainnya dari perkara yang membedakan antara zaman Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA kurang lebih selama dua tahun tiga bulan yaitu zaman dimana ide pembuatan mushaf Abu Bakar muncul.

Akan tetapi pada kenyataannya i’tibar tersebut tidak menguatkan pendapat mereka di atas dan tidak mungkin menerima pernyataan seperti itu begitu saja. Karena memang faktanya alat-alat tulis pada masa Rasulullah SAW sudah ada seperti pada zaman Abu Bakar. Ini telah kami kupas dimuka.

Tiga tahun terakhir masa Rasulullah SAW, Makkah telah dikuasai sehingga banyak orang arab masuk Islam dan mereka mengirimkan delegasi-delegasinya masing-masing. Pada tahun itulah haji wada’ dilaksanakan yang dihadiri oleh seratus ribu atau seratus duapuluh ribu orang, mereka semua masuk Islam di jazirah Arab. Allah SWT berfirman:

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا. [النصر: 2]

Dan kamu lihat manusia masuk Agama Allah dengan berbondong-bondong.” (QS. An-Nashr: 2)

Fenomena tersebut memberi kemantapan akan fakta pembacaan al-Qur’an dengan melihat mushaf seperti yang dijelaskan dalam haditsnya Abi Umamah RA. Ditambah lagi banyaknya kemurtadan, peperangan dan pertentangan pada masa Abu Bakar RA.

Kemudian masalah turunnya al-Qur’an dengan berangsur-angsur dan wujudnya nasikh-mansukh di dalamnya, bahwa stetemen ini tidak sesuai dengan fakta bahwa mushaf-mushaf yang ditulis setelah talaqqi terakhir pada masa kehidupan Rasulullah SAW hatta mushaf yang ditulis sebelumnya karena sangat memungkinkan mengetahui nasikh-mansukh dengan memberikan pertanda seperti garis, isyarat atau warna. Hal itu lebih mudah dilakukan dari pada tulisan di aktab, likhof dan lain-lain kalau kita mengakuinya.

Keberadaan mushaf para shahabat adalah perkara yang nyata akan wujudnya mushaf pada masa Rasulullah SAW disamping itu beliau berpesan kepada mereka dalam sebuah hadits:

لاَ تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْئا غَيْرَ اْلقُرْآن فَلْيَمْحُه.

Janganlah kalian menulis dariku apapun, maka barang siapa menulis dariku sesuatu selain al-Qur’an maka harus menghapusnya.”

Dan di dalam hadits Abu Umamah al-Bahili dan hadits-hadits lainnya sudah lebih dari cukup untuk mendukung apa yang kami katakan bagi orang yang menelitinya.

Adapun perintah Sayyidina Utsman membakar mushaf maka itu untuk istidzhar dan saddu dzari’ah dan karena mushaf-mushaf lain tingkatannya dibawah mushaf zaman Utsman RA (Mushaf Utsmani) baik dari segi keindahan tulisan dan lainnya.

Tidak boleh kita mengatakan bahwa selain mushaf utsmani tidak termasuk al-Qur’an dan yang al-Qur’an hanyalah Mushaf Utsmani. Karena tidak boleh mensifati shahabat seperti itu setelah Rasulullah SAW bersabda:

لاَ تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْئا غَيْرَ اْلقُرْآن فَلْيَمْحُه.

dan mereka adalah orang-orang yang paling mulia dalam mengikuti perintah beliau. Perkataan Imam al-Harits al-Muhasibi dalam kitab Fahmus Sunan termasuk yang mendukung pendapat kami yang akan kami cantumkan dalam pembahasan akhir kitab ini dan apa yang dinukil dalam kitab al-Itqon dari Ijma’ shahabat atas disalinnya Mushaf Utsmani dari lembaran-lembaran yang ditulis oleh Sayyidina Abu Bakar RA serta penjelasan tentang ijma’ mereka untuk menanggalkan mushaf yang lain.

i9I


Permulaan Surat at-Thur dan Penulisan

al-Qur’an di atas Roqq

Allah SWT berfirman:

وَالطُّورِ (1) وَكِتَابٍ مَّسْطُورٍ (2) فِي رَقٍّ مَّنشُورٍ (3) [الطور: 1-3]

Pertama, Allah SWT bersumpah demi gunung Thur, tempat dimana Allah berbicara dengan Nabi Musa AS. Kedua, Allah bersumpah demi kitab yang diturunkan kepada Rasul terakhir yaitu al-Qur’an al-‘Adzim yang ditulis di atas raqq (lulang dari kulit yang tipis) mansyur (terbuka).

Imam al-Qurthubi berkata, “Allah bersumpah demi Thur, gunung dimana Allah berbicara dengan Musa AS di atasnya sebagai bentuk tasyrif (penghormatan) dan takrim (pemulyaan) kepada beliau. Dan bersumpah demi al-Kitab al-masthur (kitab yang ditulis) yaitu al-Qur’an yang dibaca oleh semua orang mukmin melalui mushaf-mushaf.”

i9I

Bagaimana Rasulullah SAW Mendekte

al-Qur’an kepada Para Penulisnya?

Zaid bin Tsabit meriwayatkan, beliau berkata,

كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم نُؤَلَّفُ اْلقُرْآنَ مِنَ الرِّقَاعِ.

Kita berada di samping Rasulullah SAW menyusun al-Qur’an dari riqo’.” Imam al-Hakim berkata: “Ini hadits shahih sesuai dengan syarat rawi-rawi Bukhori-Muslim namun tidak diriwayatkan oleh kedua Imam tersebut.”

Dalam riwayat lain dari Zaid RA sendiri, beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنَ اْلقُرْآنِ دَعَا كَتَبَتَهُ وَقَالَ: اُكْتُبُوا آيَةَ كَذا فِي سُوْرَةِ كذا.

Rasulullah SAW ketika turun kepadanya sesuatu dari al-Qur’an, maka beliau mengundang para penulisnya dan berkata, “Tulislah kalian ayat ini di dalam surat itu.””

Imam Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Hibban dan al-Hakim meriwayatkan hadits yang berbunyi:

كَانَ رسول الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم تَنْزِلُ عَلَيْهِ السُّوَرُ ذَوَاتُ الْعَدَدِ ، فَكَانَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ دَعَا مَنْ كَانَ يَكْتُبُ ، يَقُولُ: ضَعُوا هؤلاء الآيات فِي السُّورَةِ الَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا وَكَذَا

Rasulullah SAW ketika turun kepada beliau beberapa surat yang bisa dihitung, maka beliau mengundang shahabat yang bisa menulis al-Qur’an, beliau berkata, “letakkanlah ayat-ayat itu di dalam surat yang disebutkan ini dan itu.””

Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas, beliau berkata,

كَانَ رسول الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم إِذَا نَزَلَتْ عَلَيْهِ سُوْرَةٌ دَعَا بَعْضَ مَنْ يَكْتُبُ ، فَقَالَ: ضَعُوا هذِهِ السُوْرَةَ فِي المَوْضِعِ الَّذِي يُذْكَرُ فِيهِ كَذَا وَكَذَا.

Rasulullah SAW ketika turun kepadanya sebuah surat, maka beliau mengundang sebagian shahabat yang biasa menulis al-Qur’an, lalu beliau berkata, “letakkanlah surat ini di dalam tempat yang disebutkan di dalamnya ini dan itu.””

Maka lihatlah merasa cukupnya Zaid RA atas riqo’, bentuk jamak dari ruq’ah. Ruq’ah yaitu secarik kertas, kulit atau daun. Orang Arab menggunakannya pada zaman jahiliyyah untuk mengirim surat atau tulis menulis dan para shahabat juga menggunakannya mulai dari permulaan Islam yaitu ketika masih di Makkah seperti dalam kisah masuk Islamnya sayyidina Umar RA hingga seterusnya. Merupakan hal yang maklum bahwa Rasulullah SAW juga menggunakannya sesuai dengan apa yang dikhabarkan Jibril AS melalui perintah dari Allah SWT.

Termasuk hal yang sangat jelas dalam bab ini adalah riwayat bahwa Zaid bin Tsabit menulis al-Qur’an pada setiap tahun dan melakukan talaqqi al-Qur’an di bulan Ramadlan kepada Rasulullah setelah Rasulullah SAW talaqqi al-Qur’an kepada Jibril AS. Pada tahun terakhir dari kehidupan Rasulullah SAW, beliau talaqqi kepada Jibril AS dalam satu Ramadlan dua kali dan Zaid termasuk penulis al-Qur’an setelah talaqqi yang terakhir tersebut. Kesimpulan ini juga akan disebutkan selanjutnya.

i9I


Perihal Ayat Terakhir yang Turun

Melalui bab ini kita bisa menelisik masa di mana Rasulullah SAW hidup setelah turunnya ayat terakhir dari al-Qur’an al-Karim, baik sebentar ataupun lama. Dan itu tidak lepas dari penyebaran dan terus menerusnya penulisan mushaf pada waktu it, karena banyaknya pendorong untuk melakukan hal tersebut di masa akhir hayat Rasulullah SAW dan didukung dengan masuknya manusia ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Nashr.

Perhatikanlah jadwal nama-nama ayat terakhir yang diperselisihkan beserta ulama yang mengatakannya sehingga mungkin bagi kita untuk membahas masa tersebut dengan melihat asbabunnuzul (sebab musabbab turunnya ayat al-Qur’an) apabila kita menghendakinya.

Ulama berbeda pendapat terkait akhir ayat al-Qur’an secara mutlak; Pertama, akhir ayat yang turun yaitu firman Allah SWT dalam surat al-Baqoroh:

وَاتَّقُواْ يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ. [البقرة: 281]

Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.” (QS. al-Baqoroh: 281)

Sebagian ulama menguatkan pendapat ini dengan mengatakan: “Sesungguhnya ayat ini mengisyaratkan kepada pungkasannya wahyu dan agama, karena mengandung dorongan untuk bersiap-siap menuju ma’ad (hari akhir) dan ini berbeda dengan ayat-ayat selanjutnya.”

Kedua, akhir ayat yang turun ialah ayat tentang riba, yaitu firman Allah SWT dalam surat al-Baqoroh:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ. [البقرة: 278]

Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqoroh: 287) Diriwayatkan oleh al-Bukhori dalam Afrodnya.

Ketiga, akhir ayat yang turun ialah ayat mudayanah, yaitu firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ....الآية [البقرة: 282]

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya…” (QS. Al-Baqoroh: 282)

Ibnu jarir meriwayatkan: “al-Qur’an yang paling dekat masanya dengan (penciptaan) Arsy yaitu ayat dain (hutang-piutang).



Keempat, akhir ayat yang turun ialah ayat al-kalalah (orang yang mati tidak meninggalkan ayah dan anak), yaitu firman Allah:

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ... [النساء: 176]

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah member fatwa kepadamu tentang kalalah…..”” (QS. An-Nisa’: 176). Diriwayatkan oleh al-Bukhori dan Muslim.

Kelima, akhir ayat yang turun bagian akhir surat at-Taubah:

لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ. [التوبة: 128]

Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian.” (QS. At-Taubah: 128) Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ubay bin Ka’b.

Keenam, akhir ayat yang turun ialah firman Allah SWT:

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا. [النساء: 93]

Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakannya adzab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93) Diriwayatkan oleh al-Bukhori dan lainnya.

Ketujuh, akhir ayat yang turun ialah firman Allah SWT:

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لاَ أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخْرِجُواْ مِن دِيَارِهِمْ وَأُوذُواْ فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُواْ وَقُتِلُواْ لأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ ثَوَابًا مِّن عِندِ اللَّهِ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ. [آل عمران: 195]

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan, (karena) sebagian kalian adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti, pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam Surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (QS. Ali Imran: 195) Diriwayatkan dari Ummu Salamah oleh Ibnu Marduyah.

Kedelapan, akhir ayat yang turun ialah firman Allah SWT:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا. [الكهف: 110]

Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusi seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kalian itu adalah Tuhan Yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”” (QS. Al-Kahfi: 110) Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Catatan penting: Seorang pembaca harus mengetahui bahwa al-Qur’an ditulis berdasarkan pendektean Rasulullah SAW dari awal higga akhir ayat, runtutan turunnya ayat berbeda dengan runtutan bacaannya seperti yang akan dijelaskan dari riwayat Imam al-Baghowi.

Pendapat yang benar mengenai akhir ayat seharusnya menimbang kepakaran dari ulama-ulama yang khusus mendalami masalah ini karena hal ini sangat rumit sebagaimana halnya setiap pembahasan lainnya pasti juga tidak luput dari perbedaan ulama.

i9I

Al-Qur’an Diturunkan dengan Sab’atu Ahruf

Rasulullah SAW bersabda:

أُنْزِلَ اْلقُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ.

al-Qur’an diturunkan dengan sab’atu ahruf.”

سَبْعَةِ أَحْرُفٍ maksudnya adalah wajah bacaan yang ada tujuh. Dalam arti bahwa sebagian dari lafadz al-Qur’an terkadang berbilangan atau bermacam-macam dalam bentuk dasar bangunannya manakala dibaca atau ditulis, akan tetapi pokok makna yang dimaksud tetap sama walaupun berbeda cara membacanya, menulisnya ataupun lahjahnya. Dan itu semua tidak melewati tujuh huruf tersebut.

Ada sebagian yang mengatakan bahwa kebanyakan orang Arab mengikuti lughat suku-suku Arab yang biasa digunakan pada waktu itu, yaitu lughat suku Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman.

Mereka mengatakan: Lughat-lughat di atas adalah lughat yang paling fasih. Ketika seorang pembaca mengambil (membaca) mushaf, maka dia akan menemukan perbedaan secara lafadz di dalamnya. Hikmah yang terkandung ialah untuk memudahkan dan menambah penyebaran al-Qur’an itu sendiri terlebih di masa baru masuk Islamnya penduduk Arab pada waktu itu.

Rasulullah SAW sendiri menguatkan orang yang membaca dengan satu huruf (wajah/model bacaan) dari tujuh huruf yang mana para qurra’ shahabat (shahabat ahli bacaan) berbeda-beda bacaannya ketika mereka melaporkannya kepada kanjeng Nabi SAW, karena mereka tidak keluar dari tujuh huruf yang telah disebutkan di atas.

Allah berfirman:

فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِينَ وَتُنذِرَ بِهِ قَوْمًا لُّدًّا. [مريم: 97]

Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan al-Qur’an itu kepada orang-orang yang bertaqwa dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.” (QS. Maryam: 97)

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ. [الزخرف: 3]

Sesungguhnya kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). (QS. Az-zukhruf: 3)

قُرآنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَّعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ. [الزمر: 28]

(ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (didalamnya) supaya mereka bertaqwa.” (QS. Az-Zumar: 28)

Di sini banyak perbedaan mengenai apa yang dikehendaki dengan sab’atu ahruf tersebut, dan mungkin yang kami sebutkan lebih mencocoki dan lebih shahih dari pendapat yang ada. Oleh karenanya, maka kenyataanya bahwa huruf-huruf itu tidak boleh keluar dari mushaf yang kita baca untuk selama-lamanya.

i9I

Mushaf Pada Masa Khulafaurrasyidin, Abu Bakar RA dan Ali RA. Masing-masing Menguatkan yang Lain atas Pengumpulan al-Qur’an ke dalam Mushaf

Imam as-Suyuthi dalam kitab at-Tahbir fi llmit Tafsir berkata: Imam Waki’ meriwayatkan dari as-Suddiy dari Abdi Khoir dari Ali, beliau berkata:

أَعْظَمُ النَّاسِ أَجْرًا فِي اْلمَصَاحِفِ أَبُوْ بَكْرٍ، كَانَ أَوَّلَ مَنْ جَمَعَ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ. أي في خلافته

Orang yang paling banyak pahalanya dalam mengursi mushaf adalah Abu Bakar, beliau adalah orang pertama kali yang mengumpulkan al-Qur’an di antara dua sampul (di masa khilafahnya).”

Hal ini tidak bertentangan dengan wujudnya mushaf pada masa Rasulullah SAW karena yang dimaksud bukanlah pertama kali secara muthlak. Kemudian beliau berkata, مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ tidak mengatakan أَوَّلُ مَنْ جَمَعَ الْمُصْحَفِ (pertama kali orang yang mengumpulkan mushaf). Ini memberi faidah akan wujudnya mushaf yang tidak dibukukan antara dua sampul pada masa itu.

Beliau juga menjelaskan di dalam kitab al-Itqon bahwa sayyidina Ali adalah pertama kali orang yang mengumpulkan al-Qur’an (dalam satu mushaf) dan itu dikuatkan oleh Abu Bakar. Imam Suyuthi berkata: Ketika masa-masa awal khilafah Abu Bakar maka sayyidina Ali bin Abi Thalib duduk di dalam rumahnya, lalu dikatakan kepada Abu Bakar: “Ali tidak suka membaiatmu.” Kemudian Abu Bakar mengirim utusan memanggil Ali dan berkata: “Apakah benar Anda tidak suka membaiatku?” Sayyidina Ali menjawabnya sambil berkata: “Aku melihat kitab Allah ada penambahan di dalamnya, maka aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku tidak akan mengenakan selendangku untuk shalat hingga aku mengumpulkannya sendiri. Kemudian Abu Bakar berkata kepadanya: “Maka sesungguhnya itu adalah sebaik-baiknya apa yang anda lihat.” Inilah jawaban Abu Bakar RA kepada Ali RA dengan menguatkan. Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa masing-masing keduanya mengumpulkan al-Qur’an dalam mushafnya sendiri-sendiri.

Artinya: Mushaf pertama kali yang disebarluaskan pada masa khilafah Abu Bakar ialah mushaf beliau sendiri, sedangkan perkataan Ali “Aku melihat kitab Allah ada penambahan di dalamnya” mungkin beliau mengisyaratkan bahwa ada khabar yang sampai kepada beliau dari sebagian shahabat tentang adanya penambahan. Bacalah riwayat dari sebagian shahabat yang akan dijelaskan kemudian.

Dalam kitab al-Itqon hlm. 196 dijelaskan:

Di dalam kitab Muwaththo’ Ibnu Wahb disebutkan riwayat dari Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdillah bin Umar, beliau berkata: “Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an dalam kertas-kertas, dan beliau meminta kepada Zaid bin Tsabit tapi beliau menolaknya, hingga Abu Bakar meminta pertolongan Umar kemudian beliau melaksanakannya.

Dan di dalam kitab Maghozi Musa bin Uqbah berbunyi: dari Ibnu Syihab, beliau berkata: Ketika kaum muslimin kalah dalam perang Yamamah, maka Abu Bakar kaget dan khawatir akan hilangnya sebagian dari al-Qur’an. Kemudian kaum muslimin menghadap kepada Abu Bakar dengan membawa hafalan dan tulisan mereka, lalu dikumpulkan pada masa Abi Bakar dalam kertas. Maka Abu Bakar adalah orang pertama kali mengumpulkan al-Qur’an ke dalam satu mushaf (di masa khilafahnya dan di antara dua sampul). Ini tidak bertentangan bahwa mushaf Ali RA juga dijuluki pertama kali mushaf yang dikumpulkan. Ini dikuatkan perkataan sayyidina Ali RA:

كَانَ أَوَّلَ مَنْ جَمَعَ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ أَعْظَمُ النَّاسِ أَجْرًا فِي اْلمَصَاحِفِ أَبُوْ بَكْرٍ.

Adapun perkataan “Abu Bakar kaget dan khawatir” maka ini timbul dari rasa prihatin dan kesemangatan yang menggelora karena al-Qur’an seharusnya hadir di tengah-tengah mereka dengan jalan mutawatir.

i9I


Yüklə 461,65 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin