Nilai-nilai kebajikan dalam konsep sabar



Yüklə 113,16 Kb.
tarix06.09.2018
ölçüsü113,16 Kb.
#78491


NILAI-NILAI KEBAJIKAN DALAM KONSEP SABAR

MENURUT AL-QUR’AN
Umar Latif

Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry

Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh

ABSTRACT

The mention of the word patience, in the Koran are often confined to the attitude and the act itself. The Qur'an even describe the nature of this patient as a fundamental behaviors or air-knowledge. Someone who behave thus anchored in the nature obey the truth, with an emphasis on mental and powerful knowledge. Therefore, the Qur'an implies patience at its properties more valuable spiritual and air-righteous deeds.


Kata Kunci: Nilai-nilai kebajikan; Sabar, al-Qur’an


  1. Pendahuluan

Secara normatif, fungsi utama seorang hamba yang sebenarnya adalah mengabdi kepada sang pencipta, selalu memperhatikan kehendak-kehendaknya apa pun yang dikehendakinya dan mentaati perintahnya tanpa mengeluh, yakni bersabar. Inilah kemudian mengapa al-Qur’an begitu mementingkan hamba Allah untuk selalu bersikap kepada kepatuhan mutlak, kerendahan diri dan penuh penyerahan, seperti ungkapan ta’ah (patuh),1 qunut (setia; berserah diri),2 khusyu’ (penyerahan),3 dan tadarruj (menghinakan diri).4 Penyebutan untuk kelompok istilah-istilah ini memiliki makna religius yang sesungguhnya dan istilah-istilah ini pun tidak dapat dimaknai secara sederhana dan umum. Bahkan istilah-istilah tersebut sangat bertentangan dengan sikap keras kepala yang menolak untuk patuh.

Meski sikap menolak untuk patuh dan keras kepala untuk tunduk dalam kondisi apa saja—dan ini berlawanan dengan sifat sabar, al-Qur’an telah meniscayakan sifat keberanian sebagaimana gaya hidup masyarakat pagan-Jahiliyah dalam konteks yang lebih modert dengan mempertimbangkan inti keasliannya. Semangat keberanian yang diperlihatkan al-Qur’an, kini menjadi lebih mulia dan terhormat dan dilandasi oleh disiplin yang tinggi dengan tujuan yang luhur berdasarkan agama yang benar, yakni keberanian di jalan Allah.5

Adalah benar bahwa sabar antonim dari sifat shaja’ah, yang merupakan unsur esensial dari muruwah, yakni sikap berani mati tanpa pertimbangan akal sehat.6 Sikap dan karakter yang dibuktikan dengan tindakan “berani” model ini, dalam al-Qur’an disebutkan adalah makhluk yang selalu erat kaitannya dengan keadaan merugi kecuali orang-orang yang mempunyai empat (4) sifat, di antaranya: 1) beriman 2) beramal shaleh 3) saling berwasiat kepada kebenaran dan 4) saling berwasiat kepada kesabaran.7 Terkait penunjukan pada point keempat, bahwa kata sabar merupakan di antara sifat-sifat kebajikan, seperti halnya keberanian, kesetiaan, dan kejujuran. Meski kemudian, al-Qur’an membedakan sifat kesabaran yang berpangkal kepada sikap atau nafs. Al-Qur’an telah menggarisbawahi di mana sifat sabar sejatinya diperlukan, namun tidak selamanya mesti dipusatkan secara fisik, dan sifat ini terkadang memerlukan usaha dari dalam ketika menghadapi tantangan; karena itu nilai sabar menjadi penyeimbang.8

Dikarenakan sifat sabar ini memiliki indepedensi makna secara mendasar, yakni menahan atau mampu bertahan, kiranya nilai-nilai etis-spiritual yang melatarinya barangkali ikut mewarnai dan menambah semangat dalam konteks yang sesungguhnya dari sisi yang lain. Maksud ini bahwa sabar perlu dititikberatkan berdasarkan dimensi relasional yang berhubungan langsung pada unsur kemurahan hati dalam bertindak, menerima dengan lapang dada (syukr), berpikiran positif, dan tidak berdampak pada perbuatan yang sewenang-wenang (dhalim) adalah bagian inti yang patut dipertimbangkan secara realistis; dan sabar merupakan sebuah keyakinan yang diperlihatkan melalui sikap mental yang siap menerima kebenaran.

Realisasi ini dapat dibuktikan melalui praktek atau perbuatan seorang hamba, yang termanifestasi dalam konsep iman. Atau dengan kata lain, bahwa kesabaran dalam bertindak (salihat) adalah keimanan yang sepenuhnya terwujud melalui perbuatan lahiriah. Bahkan al-Qur’an menyebutkan dengan ungkapan الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ , di mana iman memiliki korelasi ke dalam perbuatan. Sejatinya, orang-orang yang beriman belum dapat dikatakan beriman secara komprehensif dan sungguh-sungguh apabila belum mewujudkan keyakinannya itu dalam bentuk perbuatan-perbuatan tertentu dan perbuatan-perbuatan itu mesti dilakukan secara sabar.

وَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ، هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ (البقرة: 82)

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.”

Penegasan al-Qur’an ini jelas memperlihatkan bagaimana komposisi iman dan amal shaleh dalam satu mata rantai yang utuh, dan tidak memerlukan pemisahan sebagaimana dipahami dalam doktrin-doktrin teologi tertentu. Terkait dengan amal shaleh atau perbuatan baik, tampak jelas telah menghubungkan kepada sejumlah media eksternal sebagai alat bantu dengan tujuan memperoleh keimanan. Media-media ini acapkali diulang-ulang dalam al-Qur’an, seperti ungkapan: Jangan menyembah selain Allah, berbuat baik kepada kedua orangtua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, mengucapkan kata-kata yang baik kepada manusia, mendirikan shalat, dan membayar zakat.9

Apa yang mendasari seluruh ungkapan yang dimaksud al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 83 di atas, tentu berorientasi secara kontekstual, dengan melihat bahwa perbuatan-perbuatan itu mengandung kebajikan yang landasannya adalah kesabaran. Di sini, di mana setiap perbuatan seorang hamba memiliki nilai dan tingkat kesabaran yang berbeda-beda dan berbeda-beda pula cara mengatasinya. Oleh karena itu, al-Jilani memberi uraian bahwa sabar berarti sikap menyesuaikan diri dengan Allah dalam qada dan takdir-Nya. Sesungguhnya sabar pada waktu yang pertama kali adalah idtirar (yang tidak dapat diusahakan), dan pada waktu yang kedua kali adalah ikhtiyar (dapat diusahakan). Dan dengan demikian, kesabaran adalah sesuatu yang tidak akan datang hanya dengan pengakuan saja.10




  1. Konsep Dasar Sabar

Secara literasi, bahwa kata sabr mengandung makna sebagai bentuk menahan diri dari keluh kesah. Maksud dari makna ini berarti tindakan ber-sabar harus dipersiapkan dengan sekuat tenaga dan pertimbangan yang menyeluruh.11 Dengan demikian, secara kontekstual sabar berarti membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik (luhur).

Adapun menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, sabar artinya menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan amarah; menahan lidah dari keluh kesah; menahan anggota tubuh dari kekacauan.12 Sementara menurut Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, bahwa para ulama menyebutkan sejumlah definisi sabar, di antaranya adalah sebagai berikut:



  1. Meneguk cairan pahit tanpa muka mengerut;

  2. Diam terhadap musibah;

  3. Berteguh hati atas aturan-aturan Al-Quran dan As-Sunnah;

  4. Tak pernah mengadu;

  5. Tidak ada perbedaan antara sedang nikmat dan sedang diuji meskipun dua-duanya mengandung bahaya;13

Dengan demikian, menurut Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, sabar adalah bertahan diri untuk menjalankan berbagai ketaatan, menjauhi larangan dan menghadapi berbagai ujian dengan rela dan pasrah. Al-Shabr (Yang Mahasabar) juga merupakan salah satu ungkapan yang terdapat dalam asma'ul husna, yakni yang tak tergesa-gesa melakukan tindakan sebelum waktunya.14

Meski kemudian, berdasarkan konteksnya, al-Qur'an telah menyebutkan secara berulang-ulang pada kata sabr. Petunjuk ayat-ayat yang berorientasi pada kesabaran jika ditelusuri secara keseluruhan, terdapat 103 kali dalam al-Qur'an, dan kata-kata tersebut digunakan dalam berbagai bentuk baik dari segi isim maupun fi'il-nya.15 Ini menunjukkan bahwa kata sabar memiliki kualitas yang tinggi dalam konteks perbuatan hamba dan menjadi standar iman dalam bentuk yang sesungguhnya. Adapun ayat-ayat yang ada, para ulama mengklasifikasikan sabar dalam al-Qur'an menjadi beberapa macam, di antaranya sebagai berikut;



  1. Sabar merupakan perintah Allah Swt. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS. al-Baqarah ayat 153: "Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."

  2. Larangan isti'ja l(tergesa-gesa/tidak sabar), sebagaimana yang Allah firmankan (QS. Al-Ahqaf ayat 35): "Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka..."

  3. Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar, sebagaimana yang terdapat dalam al-Baqarah ayat 177: "...Dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa."

  4. Allah Swt akan mencintai orang-orang yang sabar. Dalam surat Ali Imran ayat 146: "Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar."

  5. Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar. Maksud ini Allah Swt senantiasa akan menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar. Allah berfirman (QS. 8: 46); "Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar."

  6. Mendapatkan pahala surga dari Allah. Allah mengatakan dalam al-Qur'an (13: 23-24); "(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun ‘alaikum bima shabartum" (keselamatan bagi kalian, atas kesabaran yang kalian lakukan). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu."

Hubungan variatif berdasarkan klasifikasi kata sabar yang disebutkan al-Qur’an merupakan satu di antara stasiun-stasiun (maqamat) agama, dan satu anak tangga dari tangga seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah. Struktur maqamat ini mesti diaplikasikan melalui perbuatan. Seseorang bisa bersabar jika dalam dirinya sudah terstruktur kualitas imannya. Karena itu, sabar bisa bersifat fisik, bisa juga bersifat psikis. Karena sabar bermakna kemampuan mengendalikan emosi, maka nama sabar berbeda-beda tergantung obyeknya.

  1. Ketabahan menghadapi musibah, disebut sabar, kebalikannya adalah gelisah (jaza') dan keluh kesah (hala');

  2. Kesabaran menghadapi godaan hidup nikmat disebut, mampu menahan diri (dhabit dan nafs), kebalikannya adalah tidak tahanan (bathar);

  3. Kesabaran dalam peperangan disebut pemberani, kebalikannya disebut pengecut;

  4. Kesabaran dalam menahan amarah disebut santun (hilm), kebalikannya disebut pemarah (tazammur);

  5. Kesabaran dalam menghadapi bencana yang mencekam disebut lapang dada, kebalikannya disebut sempit dadanya;

  6. Kesabaran dalam mendengar gossip disebut mampu menyembunyikan rahasia (katum);

  7. Kesabaran terhadap kemewahan disebut zuhud, kebalikannya disebut serakah, loba (al-hirsh);

  8. Kesabaran dalam menerima yang sedikit disebut kaya hati (qana'ah), kebalikannya disebut tamak, rakus (syarahun);16

Terlepas dari beragam pandangan tentang tingkatan makna sabr, pada dasarnya kesabaran adalah wujud dari konsistensi diri seseorang untuk memegang prinsip yang telah dipegangi sebelumnya.17 Atas dasar itu, maka al-Qur’an mengajak manusia agar mengawasi diri dengan kesabaran. Hal ini kualitas kesabaran mempunyai faedah yang besar dalam membina jiwa, memantapkan kepribadian, meningkatkan kekuatan manusia dalam menahan penderitaan, memperbaharui kekuatan manusia dalam menghadapi berbagai problem hidup, beban hidup, musibah, dan bencana, serta menggerakkan kesanggupannya untuk terus-menerus berjihad dalam konteks yang lebih luas.

Sementara menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, sabar ini ada tiga macam: pertama, sabar dalam ketaatan kepada Allah, kedua, sabar dari kedurhakaan kepada Allah, dan ketiga, sabar dalam ujian Allah. Dua macam yang pertama merupakan kesabaran yang berkaitan dengan tindakan yang dikehendaki dan tiga yang terakhir tidak berkait dengan tindakan yang dikehendaki.18 Demikian juga penilaian sabar oleh Yusuf Qardawi, di mana beliau membagi ke dalam dua hal, yakni menahan diri terhadap yang disukai dan menanggung hal-hal yang tidak disukai.19

Untuk menjelaskan hal ini lebih lanjut, berdasarkan pandangan kedua tokoh di atas, al-Qur’an memberi informasi lebih dalam bentuk yang sesungguhnya, yakni:


  1. Sabar terhadap Petaka Dunia

Cobaan hidup, baik fisik maupun non fisik, akan menimpa semua orang, baik berupa lapar, haus, sakit, rasa takut, kehilangan orang-orang yang dicintai, kerugian harta benda dan lain sebagainya. Cobaan seperti itu bersifat alami, manusiawi, oleh sebab itu tidak ada seorangpun yang dapat menghindar. Yang diperlukan adalah menerimanya dengan penuh kesabaran, seraya memulangkan segala sesuatunya kepada Allah Swt.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنْفُسِ والثَّمَرَاتِ، وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ قَالُوْا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. (البقرة: 155)

Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.”


b. Sabar terhadap Gejolak Nafsu

Hawa nafsu menginginkan segala macam kenikmatan hidup, kesenangan dan kemegahan dunia. Untuk mengendalikan segala keinginan itu diperlukan kesabaran. Jangan sampai semua kesenangan hidup dunia itu membuat seseorang lupa diri, apalagi lupa Tuhan. Al-Qur'an mengingatkan, jangan sampai harta benda dan anak-anak (di antara yang diinginkan oleh hawa nafsu manusia) menyebabkan seseorang lalai dari mengingat Allah Swt.



يَأيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ، وَمَنْ يَفْعَلْ ذَالِكَ فَأُلئِكَ هُمُ الْخَاصِرُوْنَ.(المنافقون: 9)

Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.”




  1. Sabar patuh kepada Allah Swt

Dalam menta'ati perintah Allah, terutama dalam beribadah kepada-Nya diperlukan kesabaran.

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَا بينهما فَأْعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ، هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا.(مريم: 65)

Artinya: “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)”?

Berdasarkan uraian di atas dan sejumlah informasi lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an dan tidak disebutkan dalam tulisan ini, seperti sabar dalam berdakwah, pada saat peperangan (al-Baqarah ayat 177), dan pergaulan (al-Nisa ayat 19) merupakan bukti bahwa al-Qur’an begitu memperhatikan aspek sabar. Adapun tingkatan orang-orang sabar dalam al-Qur’an disebutkan memiliki tiga karakter, di antaranya adalah:

Pertama, mampu menekan dorongan hawa nafsu secara baik dan berusaha terus menerus hingga tidak ada perlawanan sedikitpun, dan orang itu bersabar secara konstan. Mereka adalah orang yang sudah mencapai tingkat shiddiqin. Kedua, mampu tunduk secara total kepada dorongan hawa nafsunya sehingga motivasi agama sama sekali tidak dapat muncul. Mereka termasuk kategori orang-orang yang lalai (al-Ghafilun). Ketiga, orang yang senantiasa dalam konflik antara dorongan hawa nafsu dengan dorongan keberagamaan, adalah orang yang mencampuradukkan kebenaran dengan kesalahan.20

Pemahaman pada tingkatan shiddiq dan ghafilun merupakan padanan kata yang saling berlawanan. Meski karakternya sama-sama dibangun melalui sebuah kekuatan. Pada hakikatnya, kata ghafilun merupakan sifat seseorang yang memerintah dan menguasai orang lain, bukan sifat orang yang diperintah dan dikuasai (shiddiq). Indikasi ini memperlihatkan komposisi karakter yang saling berlawanan, dan karakter ini tidak serta merta dapat ditunjukkan bahwa karakter shiddiq adalah orang yang lemah; karena sabar adalah karakter menahan tanpa adanya perlawanan.

Berbeda kemudian, jika seseorang mampu menahan kemarahan ketika ia dihina dalam konteks yang begitu pasif—lemah fisik, pengetahuan dan mentalnya, maka karakter ini belum bisa dikatakan telah bersabar. Sabar adalah orang yang memiliki kekuatan penuh dengan mental yang kuat dan mampu menerima nilai kebenaran; dan hubungan ini tentu sangat eret kaitannya dengan sifat halim yang telah ditunjukkan dalam al-Qur’an.21 Dengan demikian, apa yang menjadi ukuran kesabaran adalah pada saat yang sama seseorang memiliki kekuatan untuk mengendalikan diri dari berbuat kekerasan atau mencoba menimbulkan keputus-asaan.

Lebih lanjut, bahwa kesabaran merupakan pola perilaku tertentu yang dilatar belakangi oleh kesadaran yang nyata terhadap keunggulan dan kekuatan diri sendiri. Praktek sabar sesungguhnya bukanlah sikap orang yang lemah (’ajz), yakni sifat tidak dapat menahan diri dan terlalu cepat bersikap keras kepala. Namun sabar merupakan simbol kekuatan (qudrah). Dengan kata lain, praktek sabar berarti mampu memberanikan diri dalam menerima segala bentuk ujian dan cobaan sebagaimana uraian yang telah disebutkan di atas. Semangat keberanian inilah yang diperlihatkan Qur’an dan menjadi tuntutan bagi hamba melalui kegagahan sikap dan tingkah laku.

Dengan semua ini, tidak selalu mudah terutama bagi seseorang yang tidak dapat melihat hal-hal yang tersembunyi di bawah permukaan, untuk membedakan antara keberanian untuk bersabar yang sesungguhnya, yakni seseorang yang menunjukkan sikap kelembutan dan kelemahan padahal ia begitu kuat, dan seseorang yang boleh dikatakan “terpaksa” bersikap lembut dan lemah karena dirinya memang lemah. Dan sabar bahkan cenderung dipahami secara keliru berdasarkan konteksnya lantaran ketidakmampuan untuk membalas; sebuah penilaian yang didasari pada sisi permukaan.

Oleh karena itu, sifat dasar sabar dalam Islam menempati posisi yang istimewa. Al-Qur'an mengaitkan sifat-sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia lainnya. Seperti terdapat dalam surat al-Sajdah ayat 24 tentang keyakinan, surat Ibrahim ayat 5 tentang syukr, surat al-Nahl ayat 41-42 tentang tawakkal dan surat Ali 'Imran ayat 15-17 tentang taqwa. Petunjuk keragaman yang diberikan al-Qur’an ini pada kata sabar telah memberikan satu sifat untuk memperoleh sifat kemuliaan lainnya. Sifat-sifat ini sejatinya proses pembentukan untuk mencapai tingkatan sabar. Dan bagaimanapun idealnya konsep sabar yang diperlihatkan al-Qur’an, jika masih dipahami bahwa sabar sebatas konsep religius semata, tentu akan berdampak bahwa penekanan kata sabar akan mempengaruhi sisi substansial perbuatan hamba. Sebagai analogi, yakni ketika sakit tentu memerlukan obat sebagai usaha penyembuhan, demikian pula ketika lapar tentu memerlukan asupan makanan serta sisi perbuatan lainnya yang serupa sebagai wujud pengabdian.

Bentuk usaha ini adalah contoh bagaimana nilai kesabaran mesti dipakemkan melalui tindakan nyata, tanpa mesti menunggu dengan cara-cara yang tidak baik. Dengan demikian, kesabaran berarti menentukan medium-medium melalui perbuatan-perbuatan yang mengadung kebaikan dalam rangka menuju keimanan.


  1. Nilai Kebajikan

Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang yang bertaqwa kepada Allah. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kesabaran merupakan setengahnya keimanan. Sabar memiliki kaitan yang tidak mungkin dipisahkan dari keimanan: Kaitan antara sabar dengan iman, adalah seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran, sebagaimana juga tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala. Sabar sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang terdapat dalam jiwa insan.

Sabar juga memiliki dimensi untuk merubah sebuah kondisi, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, menuju perbaikan agar lebih baik dan baik lagi. Bahkan seseorang dikatakan dapat dikatakan tidak sabar, jika ia menerima kondisi buruk, pasrah dan menyerah begitu saja. Sabar dalam ibadah diimplementasikan dalam bentuk melawan dan memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidur, kemudian berwudhu lalu berjalan menuju masjid dan malaksanakan shalat secara berjamaah. Namun bentuk realisasi ini memerlukan tindakan secara jelas, di antaranya harus:



Pertama, mental. Maksud ini berhubungan dengan akal dan pikiran yang kerap mudah lupa atau malas berpikir. Bahkan terkadang tidak memiliki kemampuan membedakan antara halal dan haram, yang bermanfaat dan yang bermudharat serta antara hak dan yang bathil. Indikasi ini tentu sesuai dengan firman Tuhan dalam surat al-Baqarah ayat 44, yang Artinya: “Mengapa kamu menyeru orang lain berbuat kebaikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu senantiasa membaca al-Kitab, apakah kamu tidak berakal (berpikir).

Kedua, spiritual. Hubungannya tentu berorientasi dengan masalah ruh, semangat atau jiwa-religius dan erat kaitannya dengan agama, keimanan, keshalehan dan nilai-nilai transendental. Kombinasi ini tentu tidak berdiri sendiri, melainkan memerlukan langkah-langkah verbal dengan menyatakan dirinya sebagai Islam, dengan fokus utamanya berdasarkan pada konsepsi wujud manusia sebagai hamba Allah yang menyerah.

Ketiga, moral (akhlak). Konsep ini menunjukkan suatu keadaan yang melakat pada jiwa manusia, yang di dalamnya akan melahirkan sejumlah perbuatan-perbuatan yang terkadang tidak mampu dikontrol secara normatif. Karena itu, sikap dan karakter manusia cenderung melahirkan nilai-nilai etika yang bersifat universal.

Dari ketiga indikasi yang dimaksudkan di atas, bahwa nilai kebajikan dalam konsep sabar serta bentuk pengendalian yang mungkin ditimbulkan akibat emosi secara berlebihan dapat diperjelas di antaranya sebagai berikut:



  1. Tetap konsisten (istiqamah) dalam kebenaran (al-haqq).

  2. Berpikir positif dan bersikap realistis dalam menerima apa pun yang datang dari Allah sebagai bagian dari perjalanan hidup.

  3. Mampu mengatasi masalah serta memiliki solusi; zikir dan doa.22

Untuk menjaga keseimbangan antara apa yang dipercayai sebagai nilai kebenaran dalam agama, dengan tingkat pengakuan yang terdapat dalam perbuatan manusia dipahami sebagai sebuah narasi berdasarkan kehendak Tuhan Swt. Bahkan perbuatan manusia tidak dikatakan maksimal, kalau manusia belum sepenuhnya menyerahkan diri sebagai predikat dalam menentukan spesifikasi perbuatannya sebagaimana tujuan agama. Meski kemudian, pengakuan dan minat manusia pada al-Qur’an sangat-lah objektif. Artinya, perbuatan manusia selalu menuntut pada pembenaran. Terlebih, akal pikiran manusia dianggap memiliki prestisius tinggi untuk membongkar nilai-nilai yang terkadandung di dalam al-Qur’an sebagai kepercayaan manusia.

Peranan al-Qur’an dalam kehidupan individu adalah untuk memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas. Perasaan-perasaan positif seperti itu akan menjadi suatu motivasi untuk bertindak atau melakukan aktivitas. Karena perbuatan yang dilakukan dengan landasan keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian dan ketaatan. Motivasi dapat mendorong seseorang untuk menjadi kreatif, berbuat kebajikan dan mau berkorban.

Al-Qur’an sebagai obat telah memenuhi prinsip-prinsip pengobatan, karena di dalamnya dijelaskan bahwa Allah yang menyembuhkan segala penyakit. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, maka di dalamnya disebutkan sesuatu yang haram dan yang halal yang kemudian hal itu akan menjadi petunjuk bagi manusia untuk membedakan mana yang buruk dan yang baik bagi kesehatan. Al-Qur’an merupakan kitab yang mengandung kebenaran, karena berasal dari sisi Allah langsung, sehingga di dalamnya penuh keyakinan yang benar dan tidak mengandung takhayyul.

Mengingat tubuh manusia dipandang menjadi tempat tinggalnya roh, maka tubuh dan roh itu sangat berkaitan, sehingga mencerminkan dua aspek. Pertama, sebagai simbol tentang keberadaannya. Kedua, manusia harus memelihara wujud lahiriahnya dalam kondisi yang baik dan sehat. Fungsi fisik, walaupun hanya sekedar membantu psikis struktur nafsani, tapi keduanya memiliki hubungan yang erat karena kehidupan bukan sekedar hidup rohaniah tapi juga hidup jasmaniah. Oleh karena itu, keduanya harus berinteraksi untuk kewujudkan suatu tingkah laku.23

Keberadaan dari aspek batiniah (jiwa dan roh) tersebutlah yang secara mutlak menjadi bergantung pada yang disebut jasmani. Olah kerena itu, kesehatan dan pemeliharaan jasmani merupakan hal yang amat penting menurut ilmu kedokteran dan agama, yaitu menjaga kondisi kesehatan, lahiriah dan batiniah manusia.24

Memperlihatkan seorang hamba telah beriman kepada Tuhan berarti ikut membatasi segala keyakinannya yang berada di luar konteks Tuhan. Bagaimana pun, nilai-nilai yang didapat seorang hamba adalah mengharapkan rahmat Tuhan sebagai pilihan kebaikan, dan kebaikan yang berada di sekitar hambanya adalah bukti konkrit adanya tingkat kepedulian Tuhan kepada hambanya juga. Karena itu, dengan sendirinya Islam sebagai nilai-nilai kebajikan melalui perbuatan-perbuatan hamba bagi seluruh alam juga merupakan agama yang peduli kepada nasib manusia. Nasib manusia di dunia berhubungan dengan pandangan mereka tentang hidup.

Meski kemudian beranggapan bahwa hidup itu buruk yang ada dalam satu kebudayaan akan mendorong masyarakatnya melakukan segala usaha untuk memadamkan hidup guna meraih kebahagiaan sejati, sehingga kehidupan mereka tidak berkembang. Al-Qur'an mengajarkan bahwa hidup itu merupakan ujian supaya manusia melakukan usaha yang terbaik (Q.S. al-Mulk ayat 2) dan mengidealkan hayah thayyibah, hidup sejahtera, bagi orang beriman (Q.S. al-Nahl, l6: 97).

Di samping itu pula, bahwa pertimbangan akan adanya nila­i-nilai kebajikan tentu melewati berbagai proses, yang salah satunya berupa sabar dan jujur. Kedua sifat ini merupakan arah pembentukan karakter seorang hamba yang hendak membentuk sikap daya tahan yang dijalani seorang hamba dalam menerima ujian-ujian dari Tuhan. Lebih lanjut, kesabaran dan kejujuran merupakan aspek keyakinan yang khas yang diperlihatkan seseorang tatkala ia berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Ketika kedua sifat ini dan tentu sifat-sifat yang lainnya, baik berupa kemurahan hati, keberanian dan kesetiaan yang juga termasuk ciri dari rahmat (nilai-nilai kebajikan) yang sering disebut dalam al-Qur’an mampu diakomodir dan dikonstruk dalam tatanan kehidupan seorang hamba, tentu ini akan melahirkan sikap positif dan menunjukkan sebagai bukti seorang hamba yang beriman.

Demikian pula paradigma Islam yang qur'ani itu adalah agama rahmat dengan pengertian itu, maka ekspresi Islam yang sesuai dengan al-Qur'an, baik dalam pemikiran, perbuatan dan persekutuan atau keummatan adalah ekspresi yang memberikan kebaikan yang nyata bagi kehidupan, khususnya manusia. Apabila laknat bagi masyarakat yang berperadaban itu adalah kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan, maka Islam yang qur'ani itu adalah agama yang secara aktual dapat membebaskan umat dari ketiga kutukan itu, bukan malah memeliharanya apalagi membela dan memperjuangkannya.

Oleh karena itu, seseorang yang tidak dapat mengendalikan dan mengarahkan jiwanya, serta tidak dapat menentukan kehendak dan akalnya maka akan menimbulkan sifat marah. Ketika seseorang sedang marah, maka pasti ia tidak mampu lagi mengendalikan akal dan aktivitasnya atau bahkan tidak mampu mengendalikan ucapanya, hal ini akan membawa kepada tindakan yang tidak terkontrol atau mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena terbawa oleh emosi. Apa yang menjadi takaran yang menimbulkan sifat amarah adalah ketidak-konsistensi dalam menjalankan kebenaran dari Allah baik dalam sikap maupun perbuatan akan mengeliminasi kekhawatiran dan kesedihan dalam hidup.

Oleh karena itu, dimensi ke-Tuhanan, sesungguhnya berorientasi kepada tuntutan ideal Tuhan atas manusia yang tertuang dalam al-Qur`an dan dimensi kemanusiaannya berupapengakuan Tuhan atas realitas manusia yang diciptakan-Nya sebagai makhluk yang memiliki keistimewaan, di antaranya ialah hidayah atau petunjuk hidup (innā hadaynāhu al-sabīl immā shākiran wa immā kafūran), sekaligus juga memiliki kelemahan (wa khuliq al-Insān da’īfan), seperti sifat-sifat buruknya zalūman jahūlam (berbuat aniaya dan bodoh).

Dalam konteks ini, agaknya dapat dipertimbangkan sebagai indikasi kuat dalam al-Qur`an terdapat pesan-pesannya yang menghendaki kolaborasi dan integrasi antara iman dan amal shaleh sebagai sendi kebajikan bagi hamba. Dan penggabungan ini mesti melalui karakteristik Uli al-Albab yang dielaborasikan dan diintegrasikan antara berpikir yang berdimensi rasional dan logis dengan aspek spiritual dengan cara zikir yang berdimenasi penghayatan dan renungan. Untuk itu, kebenaran pada nilai-nilai al-Qur’an melalui konsep sabar dipandang sebagai kebenaran yang absolut, meski faktor keseimbangan menjadi hal urgen bagi manusia dalam mengkonfirmasikan dirinya pada wilayah yang lebih istimewa; dan proses pencapaian yang demikian dapat dikategorikan ke dalam rahmat atau nilai-nilai kebajikan dalam bertindak.


D. Kesimpulan

Sebagaimana uraian sebelumnya, bahwa sabar dimaknai sebagai sesuatu untuk menahan atau mampu bertahan. Maksud pemahaman ini sesungguhnya, bahwa sabar memerlukan reaksi secara menyeluruh dalam prakteknya. Ini menandakan bahwa seseorang yang ber-sabar berarti telah siap menerima segala konsekuensi secara tulus, dan konsekuensi yang diterima bukanlah penilaian yang mengandung nilai negatif melainkan sesuatu yang bernilai kebajikan. Untuk itu, kebenaran yang terkandung di dalam nilai sabar, berdasarkan petunjuk al-Qur’an dipandang sebagai kebenaran yang absolut.

Ini merupakan pola khas al-Qur’an membutikan kepada hamba-hambanya di mana konsep sabar harus dipahami sebagai konsep religius. Dikatakan religius, menurut al-Qur’an, perbuatan manusia harus dibangun dan dipahami melalui tindakan nyata dan sumbernya terletak pada kemampuan psikologis yang disebut luub, qalb (hati). Semua aktivitas mental adalah tindakan kongkret kemampuan atau prinsip dasar hati. Hati adalah sesuatu yang memungkinkan untuk memahami segala sesuatu secara mendalam, dan bentuk pemahaman hati lebih spesifik ketika menerima atau merespon setiap perihal yang terjadi—apakah bernilai baik, buruk, musibah, bahagia, dll sebagai suatu reaksi keimanan dalam sudut pandang keadilan dan kebaikan Tuhan berdasarkan aspeknya.

Tuhan yang Maha Pemurah, Pengasih, Penyayang dan Pengampun merupakan salah satu tindakan Ilahi yang bersifat etis bagi hamba-hambanya, dan juga sekaligus hamba-hambanya merespons ke-etisan pemberian Tuhan ini dengan cara-cara yang nyata, yakni dalam bentuk sabar yang sesungguhnya. Dengan demikian, konsepsi sabar memiliki integritas dan ber-kombinasi secara langsung ke dalam iman sebagai perwujudan perilaku dan sifat manusia.

Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” QS. Al-Syura ayat 43;

Sungguh telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” QS. Ali Imran ayat 118;



DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Qadir al-Jilani, al-Fath al-Rabbani wa al-Faid al-Rahmani, Bairut: al-Maktabah al-Syaya‘biyyah, 1988


Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006
Abu Muhammad ibn Ahmad Sa‘id ibn Hazm al-Andalisi, ditahqiq ‘Abd al-Ghaffar Sulaiman al-Bandari, al-Isal al-Mahalli bi al-Athar, Jilid ke-11, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, 1988
Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Afzalur Rahman, al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1992
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Diterjemahkan oleh Anshori Umar Situnggal, dkk, Semarang: Toha Putra, 1993
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997
Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Anggota IKAPI, 2002
Ibnu Qayyim Jauziyah, Madarijus Salikin; Pendakian Menuju Allah, Penjabaran Konkrit,. (Terj)., Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003
Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, (Terj)., Dadang Sobar Ali, Bandung: Pustaka Setia, 2006
Terkait pembahasan ini, lihat lebih lanjut tulisan Umar Latif, “Konsep Amarah Menurut Al-Qur’an,” al-Bayan, edisi/Vol. 21 No. 32, hlm. 5-6.
Toshihiko Izutsu, (peng.,) Machasin, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Sementik terhadap Al-Qur’an, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003
_______, (Terj.,) Mansurddin, Etika Beragama dalam Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993
Yusuf Qardawi, al-Qur'an Menyuruh Kita Sabar, (Terj)., Aziz Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press, 1990



1Lihat al-Maidah ayat 92

2Al-Baqarah ayat 110.

3Al-Hadid ayat 16.

4Al-An’am ayat 42.

5Penulis hanya menyebut tiga contoh ayat al-Qur’an terkait sifat keberanian yang ditunjukkannya, lihat dalam surat al-Taubah 13; 14 dan ayat 123. Ketiga ayat ini adalah bentuk keberanian dan semangat yang melandasi sisi perintah agama secara benar. Meski sesungguhnya pembicaraan dan semangat keberanian yang diperlihatkan dalam al-Qur’an jauh lebih banyak dari yang dimaksud oleh penulis.

6Terkait pembahasan ini, lihat lebih lanjut tulisan Umar Latif, “Konsep Amarah Menurut Al-Qur’an,” al-Bayan, edisi/Vol. 21 No. 31, hlm. 5-6.

7Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Diterjemahkan oleh Anshori Umar Situnggal, dkk, (Semarang: Toha Putra, 1993), jilid ke-30, hlm. 412.

8Toshihiko Izutsu, (Terj.,) Mansurddin, Etika Beragama dalam Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 157 dst.

9Lihat lebih jelas dalam surat al-Baqarah ayat 82.

10‘Abd al-Qadir al-Jilani, al-Fath al-Rabbani wa al-Faid al-Rhamani, (Bairut: al-Maktabah al-Syaya‘biyyah, 1988), hlm. 135.

11Ibnu Qayyim Jauziyah, Madarijus Salikin; Pendakian Menuju Allah, Penjabaran Konkrit,. (Terj)., Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 206.

12Ibid.

13Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, (Terj)., Dadang Sobar Ali, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 342.

14Ibid.

15Ahmad Warson Munawir, al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 761.

16Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 73-74.

17Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta: Anggota IKAPI, 2002), hlm. 44.

18Ibnu Qayyim Jauziyah, Madarijus Salikin…, hlm. 206.

19Yusuf Qardawi, al-Qur'an Menyuruh Kita Sabar, (Terj)., Aziz Salim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani Press, 1990), hlm. 39.

20Achmad Mubarok, Psikologi…, hlm. 74.

21Toshihiko Izutsu, (peng.,) Machasin, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Sementik terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 230-231.

Toshihiko Izutsu, (peng.,) Machasin, Relasi Tuhan dan Manusia…, hlm. 244;258.

22Abu Muhammad ibn Ahmad Sa‘id ibn Hazm al-Andalisi, ditahqiq ‘Abd al-Ghaffar Sulaiman al-Bandari, al-Isal al-Mahalli bi al-Athar, Jilid ke-11, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, 1988), hlm. 228.

23Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), hlm. 132.

24Afzalur Rahman, al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 354.

Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 2, juli 2015



Yüklə 113,16 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin