Sukses Menuai Berkah di Bulan Ramadhan
Alangkah beruntung bagi siapapun yang mengisi Ramadhan dengan amalan unggulan. Dia menyadari betul akan dilipatgandakannya amalan sehingga sangat disayangkan jika detik-detiknya tanpa dzikir, menit-menitnya tanpa tilawah, jam demi jamnya tanpa sedekah, dan hari-harinya tanpa silaturahmi.
Rumusan awal yang bisa dijadikan pondasi kesuksesan menuai berkah ini dengan benar, sesuai aturan. Seperti aturan dalam berbuka. Selapar dan sehaus apapun jika adzan maghrib belum tiba, hidangan yang ada di depan mata belum halal untuk disantap walaupun hari sudah gelap. Pun dalam sahur. Jika waktunya tiba untuk memberhentikan makan, walaupun masih lapar, tetap tidak bisa dipaksakan untuk meneruskan selain harus menghentikan segera. Karena jika diteruskan bisa membatalkan puasa. Begitu halnya aturan beribadah harus istiqamah atau terus-menerus. Seseorang yang mempunyai targetan khatam selama ramadhan. Tanpa harus bersusah-susah membacanya tiap hari, maka ia cukup menamatkannya dalam satu hari. Ini tidak sesuai dengan tuntunan. Karena Allah lebih menyukai amalan yang sedikit tapi terus-menerus daripada besar tapi sebentar.
Selain diperoleh dari ibadah maghdah, keberkahan Ramadhan dapat diperoleh dari kepedulian kita terhadap sesama. Kita dituntut untuk bisa merasakan apa yang orang lain alami. Rasa lapar, haus yang mungkin baru kita rasakan di saat shaum sekarang, itu berbeda dengan yang dialami orang lain yang sehari-harinya justru harus menahan lapar dan haus. Itupun tidak mudah didapat selain harus bersimba keringat atau meminta-minta menjual rasa malu demi sebungkus nasi atau segelas air. Berkahnya dari sedekah dengan dilipatgandakannya pahala sepuluh sampai tujuh puluh. Subhanallah perdagangan diluar biasanya. Yang tadinya satu kebaikan dibalas dengan satu kebaikan, ini diganti dengan berlipat-lipat.
Anehnya, tidak semua orang menyadarinya. Kebersahajaan hidup yang menjadi titik awal kepedulian, sering dihiraukan maka yang terjadi kepedulian terabaikan. Bersahaja bukan berati pelit dalam mengeluarkan biaya sehari-hari. Tapi bersahaja menggunakan sebaik-baiknya harta yang kita miliki untuk kemaslahatan. Seperti halnya bersedekah yang tidak akan rugi bagi siapapun yang mengeluarkannya. Seperti halnya hadits rasul ”Sedekah itu tidak menjadikan seseorang miskin selain bertambah, bertambah, dan bertambah”.
Ridha Atas Ketentuan Allah
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk selalu yakin dengan pertolongan-Nya. Mengapa? Karena keyakinan berbanding lurus dengan pertolongan-Nya. Semakin berprasangka baik atas ketentuan Allah, maka Allah pun dengan mudah menolong kita.
Tidak ada musibah satu pun yang menimpa kecuali dengan seizin Allah. Setiap tetesan air hujan terjadi atas izin-Nya. Terpeleset, terjadi dengan izin-Nya. Makan ikan durinya melintang ditenggorokkan, akan terjadi dengan seizin Allah. Yang jadi masalah, kita ridha tidak? Oleh karena itu, kita harus menghadapi semuanya dengan penuh keimanan. Ketika diuji cepat taati Allah, taati rasul-Nya.
Pertolongan Allah tidak harus sesuai yang kita inginkan. Allah tahu persis apa yang dibutuhkan kita saat ini. Maka, kita tidak perlu marah ketka keinginan kita belum terkabul atau ketika kejadian terjadi tidak sesuai dengan yang kita inginkan, karena bisa jadi itu yang terbaik bagi kita. Contohnya, suatu saat mobil yang kita tumpangi bannya meletus sehingga tidak memungkinkan meneruskan perjalanan. Kita berharap ada orang yang mau memberi tumpangan atau yang meminjamkan dongkrak. Ternyata, tidak ada sama sekali. Maklum saja, kita berada di hutan yang jarang dilewati kendaraan. Hari beranjak malam, mau tidak mau harus menginap di mobil. Pada saat itu, mungkin kita akan marah kesal. Merasa diri paling sengsara. Kita tidak pernah berpikir ada maksud dibalik ujian itu. Padahal, bisa jadi itu adalah kasih sayang Allah.
Maka, ketika ditimpa musibah kita dianjurkan untuk berinfak. Saat kita menolong orang lain melalui uang yang kita berikan, maka Allah pun dengan mudah menolong kita. Allah mengisyaratkan orang yang beruntung itu yang terpelihara dari kekikiran, dan dari sifat mementingkan diri sendiri. Bayangkan, kesulitan datang kita tetap menolong orang lain. Itulah yang mendatangkan pertolongan Allah SWT. Oleh karena itu, mengapa setiap pagi dianjurkan untuk berinfak. Rupanya hal itu yang akan menjadi penolak bala, pembuka pertolongan Allah, dilipatgandakan rezeki, dan hikmah dari setiap kejadian akan tersingkap.
Dengan demikian, nikmati setiap ujian sebagai kasih sayang Allah. Syukuri setiap kejadian dengan penuh keimanan. Yakini bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan diri kita. Wallahu a’lam bishshawwab.
Cerdas Menyikapi Kematian
Akhir-akhir ini negara kita kembali ditimpa bencana. Pesawat yang hilang beberapa minggu lalu, sampai kini belum ditemukan. Isu beredar memberi isyarat puluhan orang meninggal. Banjir, gempa, wabah flu burung pun turut menambah keprihatinan bangsa. Dan, tak sedikit yang meninggal karenanya. Namun, perlu kita yakini, setiap bencana tidak akan terjadi begitu saja.
Sebagai orang yang beriman, harus menyadari bahwa semua yang terjadi atas izin Allah SWT. Manusia, alam, kehidupan, termasuk kematian ada dalam genggaman-Nya. Memang sulit untuk tetap menyadarinya. Namun, kita harus terus berlatih, menyadarkan diri bahwa bencana kematian, adalah hal manusiawi yang berlaku bagi siapa saja.
Bagi sahabat yang sedang dirundung duka atas kepergian saudaranya, jangan sampai berlarut-larut. Sebaliknya kita harus menjadi ladang amal untuk terus mendoakan mereka. Karena mereka lebih membutuhkan doa ketimbang perasaan sedih. Apalagi meninggal di dunia tidak berarti putus peluang untuk bertemu lagi. Seharusnya ini menjadi motivasi bagi kita agar kian produktif dalam hidup. Sebagai bekal untuk kehidupan yang lebih kekal.
Kita juga harus belajar untuk tidak membenci orang yang sepertinya menjadi jalan kematian saudara kita. Sikap arif itu lebih baik. Di satu sisi, memang bencana, di lain sisi itu ketentuan Allah.
Semoga Allah memberi kemampuan bagi kita untuk senantiasa menjadi orang yang cerdas. Orang yang senantiasa mengingat mati dan mempersiapkan bekal untuk mati. Dan, semoga kita diberi kesanggupan untuk menyingkap setiap hikmah dibalik bencana. Wallahu a’lam bishshawwab.
Syarat Amal Diterima
Terkadang kita merasa cukup dengan apa yang kita lakukan. Shalat, zakat, puasa atau sedekah dirasa bisa menjadi bekal d ihari perhitungan. Namun, jangan dulu berbangga karena bisa jadi shalat yang kitategakkan, zakat atau sedekah yang kita keluarkan, dan puasa yang kita lakukan, tidak ada nilainya di sisi Allah. Lalu, hal apa yang menjadi amalan kita diterima?
Pertama, niat yang ikhlas. Ikhlas mengandung arti bersih dari segala maksud-maksud pribadi, bersih dari segala pamrih dan riya, dan bersih dari segala yang tidak disukai Allah SWT. Manusia yang ikhlas, gerak perilakunya sama sekali tidak dipengaruhi oleh ada tidaknya penghargaan. Orientasi hidupnya jelas dan tegas. Langkahnya pasti dan penh harapan. Ia akan tetap bersemangat untuk berbuat kebaikan saat dipuji atau pun dicaci. Tak ada kata frustasi dalam hidupnya, jiwanya merdeka, karena hanya Allah yang menjadi tujuan hidupnya.
Kedua, amal yang benar. Bersyukurlah kita punya pedoman hidup yang jelas yaitu Al-Quran. Segala gerak sudah ada panduannya. Baik berhubungan dengan Alllah, manusia, tumbuhan, sampai binatang ada etikanya. Subhanallah, kita patut berbangga menjadi seorang muslim. Setidaknya jika kita taat maka sudah dipastikan amalan yang kita lakukan dicatat malaikat.
Ketiga, tawakal. Tawakal artinya berpasrah diri. Maksudnya menyerahkan semua urusan pada sang Pemilik Urusan. Namun, jangan dulu pasrah begitu saja pada ketentuan-Nya tapi harus diiringi dengan ikhtiar dan doa. Seperti orang yang mau ujian. Nilai baik tidak diperoleh begitu saja dengan hanya berprasangka baik kepada guru tapi harus diawali dengan usaha dan doa.
Dengan demikian, saudaraku, dengan niat yang ikhlas, amal yang benar dan diakhiri tawakal semakin memperjelas kita untuk lebih berhati-hati dalam beramal. Jangan sampai amalan kita tertolak karena kurangnya ilmu. Wallahu a’lam bishshawwab.
Mengukur Kemampuan Diri
Salah satu hal penting dalam manajemen diri adalah ketka kita mampu mengukur keterampilan diri sendiri. Artinya, kita mampu dengan jujur menilai diri sendiri. Ketika ditawarin pekerjaan baru, perlu dipertimbangkan apakah sesuai dengan kemampuan diri atau tidak. Seandainya tidak, lebih baik tidak diterima. Dan, jika iya, jangan ditunda-tunda. Mencobanya bukan suatu kesalahan.
Dalam mengukur diri pun jangan sampai kebablasan. Percaya diri yang berlebihan dapat membuat seseorang menjadi ceroboh, tidak mau mendengar pendapat orang lain, tidak memerlukan pemikiran orang lain.
Perasaan minder pun salah satu ciri seseorang salah dalam mengukur diri. Biasanya perasaan minder akan menyebabkan seseorang sering mendramatisasi kekurangan dirinya, seakan-akan kekurangannya lebih dominan. Padahal sebenarnya dia mempunyai kemampuan, tetapi justru tenggelam oleh rasa mindernya.
Terlalu percaya diri akan menimbulkan masalah, kurang percaya diri juga akan menimbulkan masalah. Dari sini bisa disimpulkan bahwa orang yang tidak mengenal dirinya dengan tepat, maka dia hanya akan menimbulkan masalah ketika berinteraksi dengan lingkungannya.
Dengan demikian, diperlukan kemampuan untuk melihat diri dengan jujur. Pujian yang diberikan kepada kita memang terkadang dapat memberikan motivasi, tetapi jika tidak realistis akan berakibat kurang baik. Justru cacian merupakan feedback dari perbuatan yang kita lakukan. Cacian juga terkadang tidak rrealistis tetapi bisa menjadi masukan terhadap kekurangan kita walaupun cara menyampaikannya kurang etis. Itulah sebabnya kita harus terampil mengukur kemampuan diri secara proporsional, agar memiliki pengembangan diri yang baik.
Semoga kita benar-benar menjadi orang yang selalu dapat membaca situasi dengan cermat, karena tanpa kemampuan membaca situasi kita biasanya salah dalam menempatkan diri. Bukankah keadilan itu juga berarti kemampuan untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Wallahu a’lam bishshawwab.
Hikmah Dibalik Derita
Orang-orang yang dibesarkan dalam kondisi berkekurangan dalam hidupnya biasanya punya kemampuan untuk maju. Ia akan meraih kesuksesan karena jerih payahnya. Ibarat pohon atau tumbuhan yang tumbuh di padang pasir; batang dan dahannya kokoh dan kuat. Berbeda dengan tumbuhan yang hidup di daerah pegunngan; batang dan dahannya lembek dan mudah patah.
Begitu juga dengan orang-orang yang terbiasa dalam kesulitan dan derita, jiwanya pasti akan lebih kuat dan tabah dalam hidupnya. Ia akan biasa dan tidak lagi mengeluh ketika musibah datang kepadanya kecuali musibah yang besar. Mereka yang menderita biasanya tergerak untuk melakukan ikhtiar agar bisa memenuhi semua kebuuhannya.
Sebab, dengan ikhtiar yang dilakukannya itu menjadi sebuah bukti bahwa ia tidak menggantungkan dirinya ke makhluk dan benda-benda, tapi langsung kepada Allah SWT. Itulah sebabnya Rasulullah SAW sangat menganjurkan umat Islam untuk ikhtiar secara maksimal. Ikhtiar tersebut merupakan bukti ia memanfaatkan segala potensi dan kemampuan yang diberikan Allah SWT kepadanya.
Inilah salah satu bukti syukur. Inilah sebuah ajaran yang indah dari Islam bahwa manusia harus yakin dengan kemampuan dirinya dan menyerahkan segala persoalan hanya kepada Allah Yang Maha Menguasai kehidupan kita. Allah Maha Tahu semua kebutuhan dan keinginan kita. Semua yang tampak dan tersembunyi Allah ketahui.
Karena itu, untuk menggapai yang diinginkan dan kita butuhkan perlu diusahakan dengan kerja keras, tekun, ulet dan pantang menyerah. Selain harus ikhtiar, kita pun dianjurkan tawakal. Mereka yang tidak tawakal hidupnya akan dirasuki berbagai kekecewaan, menderita batin, senantiasa was-was atau takut, dan kehilangan rasa nikmat.
Karenanya, seorang muslim yang baik tidak akan menyia-nyiakan setiap kejadian dan peristiwa yang dialaminya. Ia akan berupaya mencari hikmah di balik setiap kejadian. Setiap kejadian adalah pendidikan. Apapun bentuknya, itu merupakan cara Allah mengingatkan dan menyadarkan betapa pentingnya memahami nilai agama-agama dalam kehidupan kita. Ingatlah, Allah SWT merupakan sumber atas segala masalah yang menyangkut kehidupan kita. Saudaraku berharaplah kepada Allah Yang Maha Mengetahui agar senantiasa memudahkan urusan kita.
Waktu Terbaik Seorang Hamba
Sebaik-baik saat hidup kita adalah saat di mana kita merasa sangat membutuhkan Allah. Ketika kita merasa tidak berdaya, tidak berarti apa-apa. Sesungguhnya itulah saat terbaik seorang hamba.
Maka, jika ada yang bertanya, apakah rezeki yang paling besar? Jawabannya dalah saat kita diberikan taufik, menjadi orang yang tidak berdaya di mata Allah. Orang seperti ini merasa segala ilmu, pengalaman, kemuliaan yang boleh jadi didapatkannya, tidak berarti apa-apa di sisi Allah. Yang ada hanyalah rasa malu kepada Allah.
Sebaliknya, ketika kita merasa bisa, merasa mampu. Menganggap diri memiliki ilmu, pengetahuan, amal shaleh, maka itulah hijab yang membuat kita terhalang dari pertolongan Allah. Karena saat paling mustajabnya doa adalah ketika ita mengaku tidak berdaya apa-apa, hina, kotor, bahkan merasa tidak mempunyai kebaikan sedikit pun yang bisa dipersembahkan kepada Allah. Sekaligus, ia juga mengakui karunia Allah yang sangat besar, banyak, tak terhitung yang senantiasa dilimpahkan kepadanya. Sejatinya, pada waktu seperti itulah saat terbaik seorang manusia.
Dan jika tidak. Jika merasa diri memiliki semuanya, Allah akan memberikan ’bonus’ yang akan merusak dirinya. Pertama, akan dicabut ketenangan hati dari diri. Selalu resah dan gelisah. Tidak pernah tenang menghadapi apa pun. Bagaimanakah orang seperti ini akan menikmati hidupnya?
Bonus kedua, setiap menghadapi sebuah masalah, akan berbuah masalah baru. Atau masalah lainnya yang juga pelik. Segala upaya yang dikerahkan untuk menyelesaikan masalah tidak berhasil, karena tidak dituntun Allah. Sungguh menyedihkan orang seperti ini, hidupnya tidak pernah tenang karena tidak bisa menyelesaikan masalahnya.
Jadi bila ingin menikmati hidup bahagia, belajarlah terus merendahkan diri di hadapan Allah. Merasa diri tidak memiliki apa pun, semuanya hanya titipan yang sewaktu-waktu bisa serta merta diambil Allah. Dan juga harus merasa diri hina, banyak melakukan dosa dan tidak memiliki amal shalih, sehingga senantiasa menjadi motivasi untuk terus beramal terbaik. Itulah saat terbaik seorang hamba yang sangat disukai Allah. Kalau sudah demikian, pasti akan tersingkap hijab seorang hamba dan allah, niscaya hanya kebahagiaan hidup yang akan dirasakan seorang hamba itu.
Semoga kita dimampukan Allah menjadi orang yang senantiasa malu, merunduk kepada Allah. Sangat malu, tidak ada apa-apanya. Karena, tidaklah ada orang yang merendahkan diri dan hatinya kecuali akan diangkat derajatnya oleh Allah. InsyaAllah.
Menyiasati Tipu daya Setan
Setan, Allah ciptakan untuk menyesatkan manusia. Apakah manusia akan taat terhadap perintah Allah, atau taat pada perintahnya. Jika taat pada Allah maka gagal lah usahanya, dan jika taat pada dirinya, maka berhasilah dia menjadi temannya. Maka wajar jika setan lebih suka memburu orang-orang beriman yang mendekatkan diri kepada Allah SWT dibanding manusia yang menjadi temannya.
Banyak jalan yang dilakukan setan dalam menyesatkan manusia, diantaranya, pertama, dengan membisiki hawa nafsu manusia agar senang pada pujian, penghargaan. Sehingga orang yang berhasil dikelabuinya, akan berupaya sekuat tenaga agar ia dihormati dan dihargai orang lain. Kedua, melalui panca indera. Dia bisikan mata untuk melihat pemandangan yang indah namun penuh maksiat. Telinga dia ajak mendengarkan yang mudharat daripada yang manfaat. Mulut, lebih suka membicarakan orang lain daripada dzikir, dan lain-lain. Strategi ketiga melalui sikap malas dalam beribadah kepada Allah. Seprti, lalai shalat tepat waktu dengan dalil jauh, enggan tahajud karena dingin dan mengantuk, atau membaca al-Quran.
Sesungguhnya, tipu daya setan tersebut dapat dihindari dengan berlindung kepada Allah SWT. Caranya, pertama, ketika ada pujian dari orang lain kepada kita. Kembalikan pujian itu kepada Allah karena Dialah yang Mahahebat, dan kita hanyalah hamba yang bisa sukses jika ada ridha dari-Nya. Untuk itu waspadalah. Jika orang memuji kita, sesungguhnya pujian itu semu.
Kedua, untuk menghindari godaan setan yang merasuk melalui panca indera, bisa disiasati dengan menempatkan panca inera sesuai haknya, yaitu sesuai dengan yang dianjurkan Allah SWT. Mulut, mata, telinga, tangan dan kaki kita Allah berikan untuk digunakan sebaik-baiknya, untuk beribadah kepada Allah.
Ketiga, sikap malas dengan melakukan hal yang sebaliknya dari yang dikehendaki setan. Jika malas tahajud, lawanlah. Bangun, wudhu dan shalat tahajjud segera. Begitu pula yang lainnya. Dengan begitu, lama-kelamaan kegiatan yang awalnya sulit kita kerjakan, akan menjadi kebiasaan yang gampang kita lakukan. Jangan lewatkan dzikir dan doa.
Saudaraku, janganlah takut kepada setan terkutuk. Ia hanya akan mampu mempengaruhi, membisiki manusia, bukan menerkam atau membunuh kita. Yang membuat kita tidak berdaya adalah ketika kita menurti bisikannya begitu saja. Berusaha dan berdoalah semoga Allah SWT melindungi diri kita dari godaan setan yang terkutuk. Wallahu a’lam bishshawwab.
Ikhlas, Kunci Kesuksesan
Setiap orang pasti menginginkan kesuksesan dalam hidupnya, maka dengan bersandar kepada Allah, keinginannya itu akan mudah diraih. Tidak hanya itu diperlukan juga sikap ikhlas karena dengan sikap ini yang menjadi sandaran dalam hidup hanyalah Allah bukan suami, teman, atasan maupun jabatan.
Adapun keutamaan dari ikhlas itu sendiri diantaranya: pertama, tenang. Karena yang dituju keridhaan Allah, maka setiap gerak langkahnya tidak dipengaruhi oleh ada tidaknya pujian. Seperti halnya seorang karyawan tidak akan mengurangi keikhlasan dalam bekerja di kala tidak ada atasan. Juga tidak akan melihat besar kecilnya gaji. Dia meyakini betul pahala dari Allah lebih besar. Kedua, jiwanya akan semakin kuat. Dia tidak peduli dengan ringan tidakya suatu beban, rumit tidaknya pekerjaan. Dia meyakini betul setiap beban adalah ujian yang harus dihadapi. Bahkan di kala menghadapi suatu permasalahan yang berat dijadikan sebagai tantangan yang akan memperkuat jiwanya. Ketiga, menikmati amal. Setiap detik yang dia lalui sebagai bukti penghambaan kepada sang Khalik. Maka hatinya terpaut akan kebesaran Allah. Keempat, amalnya tanpa sia-sia. Sekecil apapun amalan yang dilakukan, baginya akan meringankan dosa. Seperti halnya meringankan duri di jalan. Walaupun dianggap kecil, bagi dia berpahala besar.
Keikhlasan tidak hanya diukur pada saat pelaksanaannya saja tapi juga sebelum dan sesudahnya. Terkadang kita menilai keikhlasan seseorang pada saat pelaksanaannya saja. Lupa bahwa meluruskan niat sebelum beramal, dan evaluasi setelahnya akan mempengaruhi sejauh mana keikhlasan dia dalam berbuat. Jadi, seseorang yang lulus di awal belum tentu lulus di tengah, lulus di tengah belum tentu lulus di akhir.
Dengan memperhitungkan sepenuhnya bahwa Allah lah yang dituju, akan semakin tenang, akan memperkuat jiwa, menikmati setiap amalnya. Denan demikian, semakin sukses hidup kita maka semakin bahagia, tenang dalam hidup. Semoga kita digolongkan sebagai orang yang ikhlas, sehingga kesuksesan dalam hidup mudah diraih. Wallahu a’lam bishshawwab.
Selamat Dunia Akhirat dengan Lima ’At’
Kehidupan akan terus bergulir seiring dengan bergulirnya waktu. Saat ini kita berada di alam dunia, suatu saat kita pun akan berada di alam akhirat. Dengan demikian, keselamatan dunia dan akhirat akan menjadi tujuan utama di saat kita masih hidup. Untuk menghantarkan keselamatan itu, kita kenal dengan rumus lima at.
Pertama, tekad yang kuat. Besar kecilnya keberhasilan cita-cita bergantung pada tekadnya. Jika tekadnya kuat, dapat dipastikan apa yang dicita-citakan akan mudah di raih. Pun cita-cita ingin selamat dunia dan akhirat, tekad yang disertai amalan pun harus terus dipancangkan. Hal yang sekiranya tidak membawa keselamatan segera tinggalkan.
Kedua, perbanyak taubat. Dapat dipastikan setiap orang tidak lepas dari dosa. Maka langkah awal untuk menyelamatkan diri segera utuk bertaubat. Jangan ditunda-tunda. Jangan sampai kita mati dalam keadaan belum taubat. Naudzubillah.
Ketiga, hindari maksiat. Terkadang kita memaknai maksiat jika berbuat mesum. Padahal, tidak selamanya seperti itu. Sadar ataupun tidak kita pun sering mengalaminya. Seperti melihat orang yang bukan muhrim. Menatapnya dengan penuh ketakjuban. Yang pada akhirnya menjerumuskan pada aksi kejahatan. Untuk itu, segera hindari.
Keempat, tingkatkan taat. Tidak ada jalan lain bagi kita untuk terus mendekatkan diri pada ketaatan selain taat pada aturan yang sudah Allah siratkan dan pada apa-apa yang Rasul anjurkan.
Kelima, tebarkan manfaat. Dalam sabdanya Rasul berfirman bahwa sebaik-baik manusia adalah yang banyak manfaatnya. Memberi manfaat bagi orang pahalanya tidak hanya bisa diraih di dunia tapi juga di akhirat. Ketika kita mengajari teman yang belum bisa ngaji, dapat dipastikan pahala itu akan terus mengalir meskipun sudah meninggal.
Dengan demikian, dengan tekad yang kuat, memperbanyak taubat, menghindari maksiat, meningkatkan taat, dan menebarkan manfaat bisa menjadi jalan keselamatan dunia dan akhirat. Semoga Allah memberi kemampuan bagi kita untuk menjalaninya. Amiin. Wallahu a’lam bishshawwab.
Hidup Bersahaja
Hidup bersahaja bagi sebagian orang tak mudah dilakukan terlebih bagi yang diberi kelebihan harta. Wajar! Karena dengan harta semua kebutuhan dapat tercukupi. Dan akan sangat wajar jika konsep bersahaja diterapkan. Namun, jangan sampai konsep bersahaja menjadikan diri aman sendiri dan melupakan kaum dhuafa.
Begitu pula dengan orang miskin, walaupun tidak berharta, namun ingin kelihatan berpunya. Orang seperti ini pun tak kalah menderitanya. Ia akan tersiksa dengan hidup yang lebih besar pasak daripada tiang, dan tentu ia akan nista dan menjadi bahan cemoohan di mata orang-orang yang tahu keadaan sebenarnya.
Yang paling mulia adalah orang yang walaupun berharta tetapi berhasil hidup bersahaja. Sebenarnya ia mampu untuk hidup mewah dan memenuhi segala kehendaknya, namun ia menahan diri untuk memenuhi sesuai kebutuhan saja. Hartanya ditabungkan untuk akhirat. Orang seperti inilah yang dapat bersikap zuhud terhadap dunia, yang hanya yakin akan jaminan Allah.
Baginya, dunia tak lebih berharga dari keyakinan kepada Allah. Ia melihat dunia biasa-biasa saja, hanya sebuah persinggahan dan sarana, jalan untuk meraih kehidupan yang lebih kekal kelak. Seperti halnya tukang parkir, ia tidak pernah sombong dengan begitu banyaknya mobil yang selalu berganti-ganti, mobil mewah atau sederhana setiap saat lalu lalang di depannya. Bahkan, saat mobil-mobil itu meninggalkan lahan parkirnya, ia sungguh tidak peduli, biasa-biasa saja dan tidak pernah smapai stress atau memengaruhi kepribadiannya. Mengapa demikian? Tak lain karena ia tidak merasa memilikinya, hanya merasa dititipi saja. Bukankah wajar jika sang pemilik mengambil barang yang telah dititipkannya beberapa waktu lalu. Dan orang yang dititipi tentu tidak pantas marah atau kecewa ketika hal itu terjadi karena barang tersebut memang bukanlah miliknya.
Seharusnya, seperti inilah sikap kita terhadap dunia, harta yang ada bukan milik kita, hanya titipan dari Allah, yang suatu saat nanti pasti akan diambil kembali oleh-Nya. Dan, jika suatu saat hal itu terjadi, kita tidak kecewa karena kita tetap yakin dengan jaminan Allah. Semoga kita diberikan kekuatan utnuk bersikap zuhud melihat dunia, proporsional sesuai keperluan saja, tanpa berkeinginan memiliki yang sesungguhnya hanya titipan semata. Wallahu a’lam bishshawwab.
Menjadikan Shalat Khusyu
Setiap hari melakukan shalat. Namun, masih saja sulit untuk bisa khusyu. Mengapa? Bisa jadi shalat tidak dinikmati, hanya dijadikan penggugur kewajiban. Atau, tidak tahu makna setiap gerakan dan arti setiap bacaan. Maka tak aneh bila shalat tidak dapat mengubah dirinya.
Sayangnya, dari 24 jam jatah waktu kita sehari, waktu yang kita sisihkan untuk shalat masih sangat sedikit. Jauh sekali dari yang dicontohkan Rasulullah SAW. Beliau sangat menikmati waktu shalatnya. Hingga dalam salah satu riwayat diceritakan, jika beliau shalat terutama saat sendirian, kakinya sampai bengkak-bengkak, subhanallah. Shalat betul-betul dijadikan muara untuk mendapatkan ketentraman dengan Allah SWT. Dampak kekhusyuannya telah menjadikan beliau seorang pemimpin yang disegani.
Untuk itu, mulailah gali ilmu tentang shalat. Kini telah banyak pelatihan shalat khusyu. Banyak beredar buku pedoman shalat. Setelah ilmunya diperoleh, ciptakan situasi yang kondusif tempat, waktu, pakaian, pikiran dan perasaan betul-betul nyaman untuk bisa khusyu. Ikuti apa yang dibaca dalam shalat oleh hati dan pikiran. Hadirkan Allah di hati kita sehingga kita menyembah-Nya seolah-olah kita melihat-Nya. Terakhir, lupakan ingatan-ingatan akan duniawi.
Demikian, saudaraku. Mari kita evaluasi diri. Sudah seberapa khusyu shalat kita. Semoga dengan shalat khusyu menjadikan kita tenang dalam menjalani kehidupan, senantiasa husnudzhan dengan apapun yang Allah berikan, baik itu rezeki maupun musibah. Wallahu a’lam bishshawwab.
Balasan Lebih dengan Berbuat Lebih
Ramadhan adalah bulan ’serba lebih’ dilebihkannya balasan pahala di luar bulan-bulan biasanya. Siapapun yang penuh keikhlasan dalam mengerjakannya, dapat dipastikan ”balasan lebih” dia raih.
Balasan itu hanya dapat dia raih dengan perjuangan dan kesungguhan. Bagi siapapun yang ingin mendapatkan sesuatu yang lebih, maka harus berbuat yang lebih. Tiada yang untung ladang enteng. Jika ingin rezeki banyak, sedekahnya harus lebih banyak. Dulu yang sedekahnya cukup dengan menyisihkan 2,5% maka ditingkatkan menjadi lima atau sepuluh persen. Jika ingin merasakan nikmatnya bermunajat, maka jangan jadikan tarawih hanya sebagi rutinitas ibadah tapi juga sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah SWT. Pun pada sepuluh hari terakhir. Jika ingin derajat taqwa maka jangan jadikan masjid hanya sebagai peralihan tempat tidur saja, tapi isi saat i’tikaf itu dengan berbagai amalan. Begitupun saaat berdo’a. Jika ingin mendapat rahmat, ampunan Allah, tidak asal do’a, tapi hadirkan hati dan ketidakberdayaan diri akan ke-Mahakuasaan Allah Azza wa Jalla. Mental seperti itu perlu kita miliki karena tanpa perjuangan sedekah, tarawih, do’a dan ibadah-ibadah lain tidak akan berbuah.
Selain perjuangan, diperlukan juga kesungguhan. Kesungguhan dapat berarti keseriusan yang disertai dengan mengerahkan segala kemampuan. Di bulan Ramadhan ini, seandainya kita bisa mengoptimalkan ibadah kenapa harus setengah-setengah. Kalau kita bisa mengkhatamkan satu juz, kenapa hanya lima lembar; kalau kita bisa menahan kata-kata kenapa harus bicara hal-hal yang tidak berguna; kalau kita bersedekah dengan sepuluh kurma, kenapa yang diberikan hanya empat kurma; kalau kita bisa bersilaturahmi kenapa berdiam diri; kalau tidak ada yang bisa diberi kenapa tidak senyum berseri. Bagi siapapun yang bersungguh-sungguh dengan amalan maka Allah pun lebih sungguh-sungguh dengan balasan pahala.
Dengan demikian, dengan perjuangan dan kesungguhan yang lebih, kita akan mendapatkan yang lebih. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan dengan sebaik-baiknya sehingga Allah SWT berkenan menunutn kita menjadi ’orang yang berlebih’.
Tiga Unsur Kredibilitas
Semoga Allah memberi kenikmatan harga diri melebihi rasa nikmat pada harta, pangkat dan jawaban. Karena ada orang yang mobilnya berharga, rumahnya berharga, namun dirinya, pribadinya tidak punya harga diri. Oleh karena itu, kita bekerja tidak cukup agar mendapatkan harta melainkan agar ’terbentuk’ harga diri.
Ketika kita memandang hidup di dunia, kita memang harus bekerja sekuat tenaga. Seperti yang tersirat dalam hadits ”kita berawal duniawi seolah-olah akan berumur panjang”. Tetapi, kita juga harus sadar, esok tidak menjamin kita masih ada. Maka dengan mengingat kematian menjadikan kita tunduk pada dunia. ”orang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat mati dan mempersiapkan diri menghadapinya”.
Dalam bekerja pun sama. Walaupun banyak aturan yang diberlakukan, jika tidak disertai ilmu, akan timbul banyak masalah. Dengan demikian, kredibilitas menjadi syarat utama dalam mengatasinya. Ada tiga unsur yang menjadikan seseorang itu dikategorikan kredibel.
Pertama, adalah jujur, terpercaya sampai mati. Orang yang jujur itu adalah orang yang merdeka, tidak takut dengan siapa pun, ia bebas mengatakan, berbuat hal yang benar. Sedang, orang yang banyak berdusta, hidupnya pasti terpenjara.
Kedua, orang yang kredibel juga adalah orang yang cakap. Dengan dasar ilmu, orang-orang akan puas dengan apa yang dikerjakannya. Begitupun Rasulullah SAW, semua orang yang bertemu beliau puas, janjinya ditepati, jujur, amanah. Seharusnya, kita senantiasa dapat menambah keilmuan tentang pekerjaan yang kita geluti, agar kualitas amal yang kita berikan kian meningkat.
Ketiga, kredibilitas diperoleh dari pengembangan inovasi. Zaman terus berubah. Andai kita tidak berubah, lambat bergerak, kita akan tertinggal, terpingirkan oleh orang yang kreatif, dan inovatif.
Untuk itulah, jujur, ilmu, dan inovasi menjadi modal utama dalam mencetak pribadi yang kredibel. Wallahu a’lam bishshawwab.
Menjadi Pribadi Unggul
Memiliki pribadi unggul adalah dambaan setiap orang. Namun tidak semua orang dapat mengetahui dan memahami jalan menuju ke sana. Kadangkala kita merasa unggul menurut penilaian kita, tanpa amal nyata. Padahal, sebenarnya, pribadi unggul hanyalah dimiliki oleh seseorang yang berprestasi, yang mampu menorehkan karya nyata.
Pribadi unggul sudah ada di diri uswah kita, Rasulullah SAW. Ia unggul karena telah menorehkan prestasi yang begitu jelas, melalui risalah, akhlak dan etos kerjanya. Seharusnya kita pun sanggup untuk mencontohnya dalam setiap ucap, gerak dan langkah kita. Namun, karena merasa diri cukup dengan apa yang telah diperbuatlah, menjadikan kita terjebak akan kepuasan yang semu, yang sebenarnya masih jauh dari keunggulan. Untuk itu, ada tiga aspek yang menghantarkan seseorang mewujudkannya.
Pertama, kemampuan mengoreksi sikap mental. Disini diperlukan sikap ulet untuk terus mengoreksi kesalahan, memperbaikinya, dan mencoba untuk terus meningkatkan kemampuan. Setiap kesalahan berusaha untuk terus memperbaikinya. Kedua, berada dalam lingkungan yang kondusif. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan sangat berpengaruh pada pribadi seseorang. Pilihlah lingkungan yang sekiranya bisa memacu kita untuk terus melakukan kebaikan, dan tinggalkan lingkungan yang sekiranya bisa menjebak kita dalam kelalaian. Ketiga, perbanyak silaturahim. Silaturahim akan menjadi cermin diri. Betapa banyak manfaat yang bisa didapat. Selain dapat memanjangkan umur, meningkatkan ukhuwah, juga mendatangkan rezeki. Dan yang terpenting mendatangkan ilmu. Dengan bertegur sapa, menjadi peluang bagi kita untuk mendapatkan asupan ilmu.
Mudah-mudahan dengan ketiga potensi luar biasa ini, kita diberi kemampuan untuk menjadi pribadi unggul, pribadi yang mampu berprestasi, yang siap menghadapi setiap tantangan dalam proses nenuju keunggulan hakiki, insyaAllah.
Menata Kehormatan Diri
Hidup ini hanya sebentar. Jika waktu yang tak lama ini tidak membawa ketentraman, alangkah ruginya. Langkah awal menuju ketentraman itu berasal dari kemampuan menata harga dirinya. Tidak sedikit orang yang hari-harinya gundah gulana akibat perbuatannya kepada orang lain.
Untuk itu, langkah awal yang harus dilakukan di antaranya, membangun tekad untuk menjadi seorang muslim jujur dan terpercaya. Usahanya dengan tampil apa adanya. Apa yang kita miliki, itulah adanya. Jangan malu dengan perangkat rumah seadanya. Itu lebih baik daripada mengaku punya rumah mewah namun tidak terbukti. Apalah jadinya jika yang kita lebih-lebihkan tidak terbukti. Bukannya kehormatan yang didapat melainkan kenistaan.
Langkah kedua, biasakanlah untuk tepat waktu. Jangan sampai harga diri kita tersita gara-gara terlambat masuk kantor atau lupa membayat utang. Memalukan bukan? Alangkah lebih baik jika kita datang ke kantor lebih awal. Atau, kita bayar utang sebelum dari waktu yang disepakati. Menomorsatukan kewajiban itu lebih baik.
Langkah ketiga, jangan pernah berbuat licik dan serakah. Percayalah, tidak akan pernah beruntung dengan berbuat dzalim selain akan mendatangkan nista di dunia dan akhirat. Lalu bersikaplah transparan. Jangan terbiasa menyembunyikan apapun yang tidak layak disembunyikan. Dan, jangan melakukan sesuatu dengan diam-diam padahal orang lain berhak mengetahuinya karena itu akan memancing seseorang berprasangka buruk kepada kita.
Demikian saudaraku, semoga dengan terus mendekat pada-Nya kita kian tertuntuntun untuk menata kehormatan diri. Wallahu a’lam bishshawwab.
Hidup Bahagia Awal Kesuksesan
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita kebahagiaan. Karena bahagia ini yang akan menghantarkan kita pada kesuksesan. Menurut penelitian, orang yang hari-harinya diliputi kebahagiaan, hidupnya lebih optimis dibanding orang yang biasa-biasa. Yang cenderung pesimis. Dan, kesuksesan hanya dimiliki oleh orang-orang yang optimis.
Adapun yang menjadi indikasi seseorang mudah mencapai kesuksesan karena beberapa sebab. Pertama, kuatnya iman. Dapat dipastikan seseorang yang kuat imannya kuat pula tekadnya. Sebesar apapun persaingan tak menjadikan dirinya gentar. Kedua, tidak bergantung pada makhluk. Dia meyakini betul dengan bergantung pada makhluk maka kekecewaan yang terjadi. Di ’musim pemutihan’ atau musim PHK misalnya. Seseorang yang berjiwa optimis tidak terlalu menghiraukan apakah dirinya kena PHK atau tidak. Yang jelas, bagaimana caranya untuk tetap bekerja sebaik mungkin
Ketiga, tampil apa adanya atau just the way you are. Orang yang tampil apa adanya orientasi nya bukan pada penilaian makhluk melainkan pada Allah SWT. Mau dipuji atau tidak dipuji tetap bahagia. Keempat, jangan sebel sama orang lain. Rasa tidak suka pada orang lain pasti pernah dialami setiap orang. Bagaimana rasanya? Justru tambah sengsara. Mau bertegur sapa malas karena sebel. Mau ada kepentingan pun lebih baik dibatalkan karena sebel. Ujung-ujungnya sengsara yang terasa. Maka benarlah musuh satu terasa banyak dibandingkan dengan teman seribu.
Kelima, mudah maafkan. Orang yang bahagia hidupnya penuh dengan kelapangan. Setiap ada perlakuan yang tidak mengenakkan dari orang lain serta merta memaafkan. Karena percuma, mau dibuat sebel juga sudah terjadi. Keenam, menjauhkan diri dari dosa. Ini sudah menjadi kewajiban bagi kita selaku muslim. Karena dosa inilah yang akan mengurangi amalan. Syukur-syukur kalau ada sesuatu yang mendatangkan pahala jika tidak, kita tekor.
Nah, untuk itu saudaraku, mari kita hiasi hidup yang sebentar ini dengan kebahagiaan. Kuatkan iman, jauhkan diri dari bergantung pada makhluk, tampil apa adanya, jangan sebel sama orang lain, mudah maafkan, dan menjauhkan dari dosa. Semoga Allah tetap menggolongkan kita menjadi hamba-Nya yang bertakwa. Amiin. Wallahu a’lam bishshawwab.
Mengendalikan Diri di Bulan Suci
Ramadhan merupakan bulan pengendalian diri. Bulan yang setiap amal tidak lepas dari pencatatan Allah. Maka sudah menjadi keniscayaan bagi kita untuk menjaga diri dari perbuatan tercela.
Saudaraku, sesungguhnya Allah sangat berkuasa atas sesuatu. Tiak ada sesuatu yang terjadi tanpa seizin-Nya. Maka hati-hatilah mata, tangan, pikiran, mulut, hati kita jangan sampai lepas kendali. Karena mudah bagi Allah untuk mengambilnya kembali.
Mata kita arahkan untuk melihat hal yang bermanfaat. Pun dengan pikiran. Kita ajak untuk tetap ada dalam rel kebenaran, tidak menyimpang pada maksiat. Juga hati, ini harus benar-benar dijaga, karena hati lintasan kedua setelah pikiran, sekaligus menjadi lanjutan pada tindakan. Bisa kita bayangkan seandainya hati ini ’liar’, tidak kita jaga banyak bencana yang terjadi. Dan pada akhrinya hati akan keras yang berujung pada mati. Na’udzubillah.
Hal lain yang perlu dikendalikan yaitu lisan. Lisan yang setiap tutur katanya membawa pengaruh, dapat dipastikan tetap terjaga. Hindari ghibah atau mengumpat. Apalagi di bulan Ramadhan sangat rentan sekali. Pun telinga, perlu kita kendalikan. Hindari dari sesuatu yang tidak membawa manfaat. Musik, obrolan yang tidak berguna, hindari sejauh mungkin. Juga dengan tangan. Jika tidak kita gunakan dengan sebaik-baiknya, maka akan membawa petaka. Hal yang terkecil, semisal usil, sangat mudah untuk menjadi konflik.
Saudaraku, tidak ada yang menjadikan kita sengsara selain kita sendiri. Nikmat yang kita dapat akan bertambah jika kita syukuri. Dan nikmat akan menjadi azab jika kita pakai untuk maksiat. Untuk itu saudaraku, sebelum Allah yang Maha Memiliki mengambil mulut, pikiran, lisan, mata, hati dan tangan kita, mari kita gunakan apa yang ada dalam diri dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bishshawwab.
Sukses dalam Bekerja
Orang yang sukses dalam bekerja adalah orang yang selalu berusaha menjadi lebih baik, terus memperbaiki kualitas diri dan amalnya. Untuk itu, agar aktivitas bekerja kita bernilai ibadah dan kebaikan, ada beberapa prinsip yang harus kita jalankan, antara lain; selalu luruskan niat. Kita mencari nafkah halal untuk menafkahi anak istri, keluarga dan membantu orang lain. Jangan pernah terbersit untuk bekerja hanya untuk duniawi semata, kita akan rugi. Niatkan dalam hati, bekerja adalah bagian dari ibadah. Sehingga dalam mengerjakan amanah pun kita tetap berusaha bersikap, berbuat sesuatu yang diridhai Allah.
Kedua, dikatakan sukses dalam bekerja apabila nama bagus, citranya baik. Koruptor adalah contoh orang yang dapat harta banyak, namun nama hancur. Sehingga, kita harus mengevaluasi diri, bagaimana citra kita kalau kita bekerja? Karena jika citra bertahan lama, sedang uang akan cepat habis.
Ketiga, ketika kita bekerja, kita juga dapat menambah wawasan. Upayakan diri untuk terus meng-upgrade diri, menambah keilmuan, pengetahuan tentang pekerjaan yang diamanahkan kepada kita. Begitupun ketika kita sudah tidak bekerja lagi, pensiun, ilmu dan pengalaman selama bekerja dapat menjadi amal jariyah yang manfaat bagi sebanyak orang.
Keempat, dengan bekerja, kiyta pun harus menambah banyak saudara, menjadi ajan g silaturahmi. Bukan malah sebaliknya, menambah musuh.
Kelima, kian banyak orang lain yang diuntungkan dengan bisnis kita. Kian merata pendistribusian keuntungan bagi orang banyak. Inilah yang disebut dengan sebaik-baik manusia, yaitu orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.
Semoga Allah senantiasa memampukan kita menjalankan setiap amanah yang dititipkan kepada kita, bernilai ibadah sekaligus manfaat untuk sebanyak mungkin ummat. Amiin. Wallahu a’lam bishshawwab.
Dostları ilə paylaş: |