Bab III terma-terma tentang potensi al-insan menurut al-quran



Yüklə 288,19 Kb.
səhifə3/4
tarix27.10.2017
ölçüsü288,19 Kb.
#17236
1   2   3   4

Potensi Intelektual (‘Aql)

Aql secara bahasa dari mashdar ya’qilu, ‘aqala, ‘aqlaa, artinya menahan dan memegang erat apa yang dia ketahui.89 Juga bermakna tali pengikat, penghalang, yang dalam bahasa al-Quran berarti sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa.90

Secara etimologi akal memiliki al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hajr (menahan), al-nahy (melarang), dan man’u (mencegah). Orang yang berakal disebut al-’aqil yaitu orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya jika hawa nafsunya terlihat maka jiwa (psikis) rasionalitasnya mampu bereksistensi. Akal merupakan bahagian dari fitrah nafsani manusia yang memiliki dua makna yang berbeda: (1). Akal jasmani yaitu salah satu organ tubuh yang terletak dikepala, akal ini lazimnya disebut dengan otak (al-dimagh), (2). Akal ruhani yaitu cahaya (al-nur) nurani dan daya nafsani yang dipersiapkan dan mampu memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikat). Konsep fitrah juga digunakan sebagai konsep intelektual yang digunakan bagi kritik ajaran Islam atas teori-teori yang sekuler tentang sifat dasar manusia.91

Aql yang arti dasarnya mengikat, menahan, atau mengaitkan, kemudian berkembang dalam arti memahami dan memaknai - tidak pernah disebut dalam al-Qur’an dalam bentuk kata benda (‘aql), melainkan dalam bentuk verba (kata kerja), seperti: (يعقل) ya’qilu, (تعقل) ta’qilu, (تعقلون) ta’qilun, dan sebagainya. Dari 49 ayat yang menyebut verba dari ‘aql itu mengandung arti: mengerti, memahami dan berpikir. Akan tetapi, pengertian berpikir juga diungkap oleh al-Qur’an dengan menggunakan kata seperti: (نظر) nazhara atau melihat secara abstrak,92 (تدبر) tadabbara yang berarti merenungkan,93 (تفكر) tafakkara yang berarti berpikir,94 (فقه-يفقه) faqiha-yafqahu yang berarti mengerti,95 (تذكر) tazdakkara yang berarti mengingat, memperoleh pengertian, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari96 dan (فهم-يفهم) fahima-yafhamu yang berarti memahami.97 Dengan mengutip Thabathaba’i, bahwa akal adalah sesuatu yang dengannya Allah di-sembah. Dengan kata lain, akal adalah lentera yang dengannya seseorang dapat mengenali “Wajah” Allah.98

Al-Qur’an menunjukkan bahwasannya manusia memiliki daya mengetahui. Daya ini muncul sebagai akibat adanya daya pikir, seperti (تفكور) tafakkur (memikirkan), (نظر) nadzara (mengamati), (إعتبر) i’tibar (menginterpretasikan) dan lain-lain. Selain itu pula, akal memiliki daya memahami, seperti (تدبور) tadabbur (memahami dengan seksama), (تعمل) ta’ammul (merenungkan), (إستبثر) istibtsar (melihat dengan mata batin), (تذكور) tadzakkur (mengingat) dan lain-lain. Daya berpikir ini menggunakan alat indra sebagai sumber dalam memperoleh informasi dari luar, yang meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa lidah, peraba dan lain-lain. Kesemuanya ini didasarkan pada 18 ayat yang menggunakan kata (تفكور) tafakkur. Kesemuanya membicarakan hal konkret yang berkaitan dengan hukum alam. Sedangkan daya memahami menggunakan persepsi-dalam, sebagaimana tampak dalam ayat-ayat yang menggunakan kata (تدبور) tadabbur. Kesemuanya membicarakan hal abstrak yaitu berupa ayat Allah di balik realitas maupun di balik teks.99

Secara garis besar, pengetahun dan informasi yang didapatkan akal lebih bersifat rasional. Akal dengan segala karakteristiknya akan menentukan tanggung jawabnya di hari akhirat kelak. Akallah yang suatu saat nanti akan bertanggung jawab atas segala amal, tingkah dan prilaku. Dengan demikian maka bisa dikatakan bahwasannya akal merupakan satu komponen penting dalam diri manusia. Selain qalb, akal dengan segala kerasionalannya mampu mengantarkan manusia kepada jalan yang lurus. Siapapun yang tidak mengotimalkan fungsi akal, maka sesungguhnya ia telah memilih jalan kesesatan. Akal yang tidak berfungsi inilah yang akhirnya membuat manusia mampu menyimpangkan dirinya dari kebenaran dan memposisikan dirinya untuk menjadi seseorang yang selalu gagal dalam hidup.

Kata ‘aql tidak ditemukan dalam al-Qur’an kecuali dalam bentuk kata kerja, ini seolah mengisyaratkan bahwa proses berpikir dengan akal adalah kerja dan proses yang terus menerus dan bukan hasil perbuatan. Dari sini dapat dikatakan bahwasannya ‘aql bukanlah suatu substansi yang bereksistensi. Ia merupakan aktivitas dari suatu substansi. Bila dipahami demikian, maka apakah substansi ‘aql itu? Firman Allah;



أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آَذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ. (الحج : 46)

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (QS. Hajj (22): 46)


Berlandaskan dengan ayat ini, para ulama berpendapat bahwasannya yang ber’aql adalah qalb dan bukan otak, dengan pertimbangan bahwa ‘aql disebut dengan nama qalb,100 dan tempat kebodohan dan lupa adalah qalb, hingga dengan demikian maka qalb merupakan tempat ‘aql dan pemahaman.101

Sedang di sisi lain, Wahbah Zuhaili menyatakan bahwasannya yang berakal adalah otak, dengan pertimbangan, 1) otak merupakan sistem pengingat manusia. ia mampu menentukan pilihan dan menggerakkan manusia; 2) alat yang dapat mencapai daya kognisi adalah otak; 3) apabila sistem otak rusak, maka manusia akan menjadi ‘gila’; 4) dalam keseharian, orang yang sedikit kecerdasannya dikatakan ‘lemah otak’. 5) akal mampu mencapai puncak kemuliaan, karena itulah ia terletak di kepala.102

Aql dari segi bahasa bermakna tali pengikat dan penghalang. Bisa dikatakan bahwasannya al-Qur’an mengartikan akal sebagai sesuatu yang mengikat dan menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa dengan karakteristik sebagai; Pertama, mampu memahami dan menggambarkan sesuatu.103 Al-Qur’an dalam hal ini pun mengisyaratkan adanya perbedaan daya akal yang ada pada tiap individu manusia dalam memahami segala sesuatunya, dengan memberikan istilah berbeda antara satu dengan lainnya (orang-orang yang berakal, (ألىالألباب) ulil albab (orang yang mempunyai saripati akal), (ألى الأنها) ulil an-nuha (orang yang memiliki pencegah), (ألىالأبصار) ulil al-abshar (orang yang memiliki pandangan tajam), (ألىالعلم) ulul al-’ilmi (orang yang berilmu),حجر) ذى) dzi hijr (orang yang memiliki daya tahan), dan lain-lain. Keaneka ragaman daya akal ini pun tampak dari segi optimalisasinya dalam mencapai pemahaman (نظر) nadzara (melihat secara abstrak), (تفكور) tafakkur (berpikir), (تدبور) tadabbur (merenung), (تذكر) tadzakkara (mengingat), (فهم) fahima (memahami), dan lain sebagainya.

Kedua, sebagai dorongan moral,104 dan ketiga, mampu mengambil pelajaran dan kesimpulan serta ‘hikmah’. Untuk maksud ini, biasanya al-Qur’an menggunakan kata rusyd yang menggabungkan dua karakteristik di atas. Selain karakteristik di atas, al-Qur’an pun menerangkan akan pertumbuhan akal,105 pertumbuhan kemampuan106 dan juga kapasitasnya.107

Kemudian lain dari pada itu, al-Qur’an pun menyebutkan ciri kecedasan akal, antara lain: mampu memahami hukum kausalitas,108 memahami sistem jagad raya,109 mampu berpikir distinktif,110 menyusun argumen dengan logis,111 berpikir kritis,112 mampu mengatur taktik dan strategi.113 Sesungguhnya akal adalah pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Dengan akal manusia dapat menemukan, mengembangkan, mengkonstruksi dan bahkan menciptakan ilmu pengetahuan. Dengan akal pula manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya.

Terkait dengan peran dan fungsi ‘aql, - dikutip dalam Mujib - al-Ghazali memakanai ‘aql sebagai: (1). Sebutan yang membedakan antara manusia dan hewan, (2). Ilmu yang lahir disaat anak mencapai usia akhir baliqh sehingga mampu membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, (3). Ilmu yang di dapat dari pengalaman sehingga dapat dikatakan siapa yang bayak pengalaman maka dialah orang yang berakal, (4). Kekuatan yang dapat menghentikan naluriah untuk menerawang untuk jauh keangkasa, mengekang dan menundukkan syahwat yang selalu menginginkan kenikmatan.114Penelitian V.S. Ramachandran Direktur Center for Brain and Cognition di Universitas California, San Diago secara teratur menuturkan pengalamannya, “ada cahaya Ilahiyah yang menyinari segala sesuatu”.  Teori ini disebutnya sebagai “Titik Tuhan” (God Spoot) atau “Modul Tuhan” (God Module) di dalam otak manusia, baik manusia normal maupun yang terserang epilepsi. Dalam ilmu neurologi dan psikologi bahwa otak manusia bisa mengetahui, memahami dan mencapai kebenaran.  

Daniel Goleman pakar psikologi abad modren melihat perbedaan kemampuan intelektual antara kaum pria dan kaum wanita Tidak itu saja, bahkan dengan berani melalui penelitiannya Ia mengatakan bahwa kecerdasan intelektual yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagian hidup, sekolah dan budaya kita menitikberatkan pada kemampuan akademis, mengabaikan kemampuan kecerdasan emosional, yaitu serangkaian ciri-ciri sebahagian karakter yang sangat besar pengaruhnya terhadap nasib kita.115

Dapat dipahami bahwa kecerdasan intelektual merupakan fitrah akal yang berpotensi untuk baik dan buruknya berfikir seseorang, potensi akal juga merupakan kekuatan nalar untuk berfikir dan berbuat serta bertindak, sehingga dibutuhkanlah peranan Qalb dalam mengambil keputusan dalam mempengaruhi daya fikir seseorang. Kekuatan antara akal dengan Qalb tidak bisa dipisahkan, manusia yang mempunyai akal setiap waktu akan berkembang sesuai dengan kadarnya tapi kalau tidak diiringi dengan pertumbuhan Qalb maka manusia itu tidak akan berprilaku sesuai dengan fitrahnya.


  1. Potensi Inderawi

Inderawi merupakan potensi jasmani yang diciptakan oleh Allah untuk manusia, seperti pendengaran, penglihatan dan lain sebagainya. Sebagaimana Allah berfirman;

إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. Al-Insan : 2)

Pada ayat lain

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ. (النهل : 78)

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. an-Nahl : 78)


Potensi inderawi/jamani ini merupakan aspek biologis yang dipersiapkan sebagai wadah dari potensi ruhani. Ia memiliki arti bagi kehidupan manusia untuk mengembangkan proses biologisnya. Daya ini disebut dengan daya hidup. Daya hidup kendatipun bersifat abstrak tetapi ia belum mampu menggerakan tingkah laku. Tingkah laku baru akan terwujud jika potensi inderawi/jasmani telah ditempati oleh potensi ruhani. Proses ini terjjadi pada manusia ketika manusia berusia empat bulan dalam kandungan (pada saat yang bersamaan berkembang potensi nafs).116 Oleh karena natur potensi inderawi/jasmani inilah maka ia tidak mampu bereksistensi dengan sendirinya.

Mengenai potensi inderawi/jasmani dan strukturnya didalam berproses, secara sederhana bisa dikatakan bahwa inderawi adalah kutub fisik yang berfungsi secara khusus pada awal proses. Kutub fisiklah yang menangkap atau menerima bahan atau pengolahan yang telah disajikan oleh dunia, sedangkan kutub mental berkegiatan untuk mengelola bahan tersebut sampai pada tahap kepenuhan diri. Dengan demikian, inderawi harus dimengerti secara luas, yaitu sebagai hasil dari seluruh proses yang bersifat obyektif, tidak berubah dan menjadi bahan bagi kutub fisik dari pengada-pengada baru. Di dalam pengertian yang digunakan dini, inderawi bukan hanya terbatas pada tubuh, seperti mata untuk melihat, telinga untuk mendengar dan lidah untuk berbicara. Tetapi juga segala bentuk ekspresi yang bisa diamati pada manusia yang telah selesai berproses setiap saatnya, misalnya saja termasuk didalamnya, bagaimana seorang tertawa, menangis, berjalan, lari, duduk, tidur dan seterusnya.117

Semua persepsi yang ditangkap oleh inderawi tersebut akan diproses dan diolah oleh dimensi mental manusia yang pada gilirannya mewujud dalam bentuk perilaku nyata. Perilaku ini bisa positif dan bisa juga negative. Di sini terlihat adanya kerjasama antara aspek ruhaniah dan aspek fisik manusia dalam mewujudkan suatu perbuatan. Oleh karena itu Allah meminta pertanggungjawaban dari setiap aspek atau dimensi komponen potensi manusia, sebagaimana firman Allah;

...إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا. (الأسراء : 36)

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isra’ (17) :36)
Potensi yang ada pada diri manusia dengan segala dimensinya menggambarkan manusia sebagai makhluk yang potensional condisional. Artinya suatu makhluk yang memiliki potensi untuk berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengelilingi kehidupannya sehari-hari. akan tetapi aktualisasi dari potensi-potensi tersebut menutup upaya manusia itu sendiri. Pengejawantahan diri baru teraktualisasikan bila manusia banyak melakukan aktivitas dan inisiatif. Karena itupula al-Quran seringkali mengajak manusia untuk melakukan jihad (berusaha dengan bersungguh-sungguh) dan berikhtiar.


1 Ruh atau jiwa di sini tidak diartikan sekedar nyawa, seperti yang dimiliki hewan ataupun tumbuhan. Ruh atau jiwa ini dapat dikatakan sebagai entitas yang memunculkan keberadaan “aku” dalam tubuh manusia. Karena ruh atau jiwa inilah manusia dapat mengenali dirinya sendiri dan membedakan dirinya dengan lainnya

2

Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, 1986), h. 826. selanjutnya disebut Lewis Makluf, al-Munjid



3 Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), h. 1545. selanjutnya disebut Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia

4

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 250. selanjutnya disebut Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an



5

Ibnu Manzur Muhammad Ibnu Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab, Juz VIII, (Kairo: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1968), h. 119-120. selanjutnya disebut Ibnu Manzur, Lisan al-Arab



6 Lihat Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahrash li Iifadli al-Qur’an al- Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 881-885. selanjutnya disebut Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahrash

7 “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu …” (QS. Al-A’raaf (7) : 189)

8

Abi Fida’ Ismail Ibn Katsir al-Quraisy al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Cairo: Dar al-Hadist, 1988), jil. 3, h. 505, selanjutnya disebut Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir. lih. Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir. Juz II, h. 263. Lih. juga Nidzam al-Din al-Hasan bin Muhammad bin Husein al-Qummy al-Nisaaburry, Tafsir Gharaib al-Qur’an wa Gharaaib al-Furqan, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 359, yang menjelaskan bahwa nafs wahidah menunjuk pada diri Adam



9 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Juz IX, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), h. 476

10

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…”. (QS. Al-Hujarat (49) : 13)



11

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (QS. Adz-Dzariyat (51) : 49)



12

Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz IX, (Cairo: Musthafa al-Babi al- Halabi, 1974), h. 264, selanjutnya disebut Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi



13 “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut” (QS. Al-Insan (76) : 1)

14

Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz VIII, h. 267



15

Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz VIII, h. 269



16

Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, jil. 3, h. 410, lih. QS. Al-Anfal (8) : 5



17

lihat QS. Al-Fajr (89) : 27-30



18

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”. (QS. Yusuf (12) : 53).



19 “…dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (QS. al-Qayimah (75) : 2)

20

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku”. QS. al-Fajr (89) : 27-30). Lih. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an, h. 265



21

Fazlurrahman, The Qoranic Foundation and Strukture of Muslem Society (ter. Juniarso Ridwan, dkk,), (Bandung: Risalah, 1983), h. 363



22

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah, (Jakarta: Pustaka Karim, 1992), h. 196-197



23 Sukanto, Mm, & Dadiri Hasyim, Nafsiologi: Refleksi Analisa Tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 53-54

24

Sukanto, Mm, Nafsiologi: Suatu Pendekatan Alternatif atas Psikologi, (Jakarta: Integritas Press, 1985), h. 43



25

Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, jil. 3, h. 575. lih. Hafidz Dasuki, dkk., al-Qur’an al-Karim & Tafsirannya, (Semarang: PT. Citra Effhar, 1993), Jil. I, h. 497



26

Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”.



27 Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, jil. 7, h. 113

28

Sulaiman Ibnu Umar, al-Futuha al-Ilahiyah bi Taudlihi al-Tafsir al-Jalalain li Daqaiq al-Khafiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1970), Jilid III, h. 602



29 Bintusy Syathi’, Maqal fi al-Insan: Dirasah Qur’aniyah, terj. Adib Arief, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), h. 178

30

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an, h. 260



31 Hanna Djumhana Bastaman, Integritas Psikologi dengan Islam: menuju Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 78, lihat QS. al-Fajr : 27-28.

32

Shafi’i dalam Fuat Nashori Subandi, (ed.), Membangun Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Sipress, 1996), h. 105-107



33 Ibn Manzur, Lisan al-’Arab, h. 1763-1771. Lihat juga, Ahmad, Al-Munawwir, h. 1232

34

Ibn Manzur, Lisan al-’Arab, h. 1763-1771



35

Dalam QS. Al-Syu’ara’ : 193, QS. al-Baqarah : 87, QS. al-Ma’arij : 4, QS. al-Naba’ : 38 dan QS. al-Qadr : 4.



36

Dalam QS. al-Mujadalah : 22



37

Dalam QS. Al-Shura : 52, lihat Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 128



38 Materi manusia merupakan saripati tanah liat yang merupakan cikal bakal Nabi Adam dan keturunannya. Materi atau sel benih (nutfah) ini, yang semula adalah tanah liat, setelah melewati berbagai proses, akhirnya menjadi manusia. Tanah liat berubah menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan). Makanan menjadi darah, darah menjadi sperma dan indung telur. Sperma kemudian bersatu dengan indung telur dalam suatu wadah hasil dari persatuan yang terjadi di dalam rahim, setelah melalui proses transformasi yang panjang sehingga menjadi resam tubuh yang harmonis (jibillah) dan menjadi cocok untuk menerima ruh. Adapun penerimaan ruh ini semuanya langsung dari Allah, dan ini diberikan tatkala embrio sudah siap dan cocok untuk menerimanya. Lihat Ali Issa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka, 1987), h. 115

39 Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, h. 128

40 Ibn Manzur, Lisan al-’Arab, h. 1768

41

M. Uthman Najati, Al-Dirasah al-Nafsaniyyah ‘inda al-’Ulama’, al-Muslimin, terj. (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 144



42 Ibn Sina, Ahwa al-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fuad al-Ahwani (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyah, 1952), h. 258

Yüklə 288,19 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin