[Tawakal] Pada akhir pelajaran tentang ridha, disebutkan bahwa dunia ini adalah perhiasan, permainan, dan sandiwara. Pada tahap ini pelaku sufi sebenarnya sudah tumbuh suatu penghayatan. Dan, bukan masih berada pada tahap awal, yaitu pada tataran objektif dan normatif. Jika kita masih pada tingkat normatif, maka kita akan terjebak pada paham jabariah. Suatu paham yang mendefinisikan bahwa hidup ini “jabbar”, terpaksa. Dalam paham ini manusia tidak mempunyai kuasa apa-apa, ia hanya berbuat sebagaimana yang ditetapkan di “lauhu l mahfuzh”, kitab induk semesta. Pemahaman dan penghayatan di maqam ridha, sudah melampaui dualisme. Hidup itu bukan jabariah dan bukan pula ‘qadariyah’ [paham yang meyakini bahwa Tuhan tidak menentukan apa-apa, dan manusia berkehendak dan bertindak bebas]. Ridha adalah sikap yang seimbang antara keyakinan predestinasi [jabbar, takdir] dan kehendak bebas, free will. Praktik birokrasi dan sentralisasi di negara-negara berkembang dise-babkan oleh masih suburnya keyakinan jabariyah, meskipun mereka tidak mengerti ‘apa itu jabariyah’. Pemahaman adanya ‘blue print’, cetak biru pada diri manusia sebenarnya hanya untuk mengingatkan kembali bahwa manusia telah berjanji untuk memenuhi ‘qadha’nya. Bukankah kita ini telah melakukan kontrak dengan Tuhan, seperti yang dinyatakan dalam QS 7:172? Dan, mengoptimalkan penggunaan cetak biru secara positif adalah untuk menunjukkan hadirnya kehendak bebas yang diberikan pada manusia. Pemahaman yang benar tentang kodrat dan iradat, ketetapan dan kehendak, akan mengantarkan manusia hidup seimbang di dunia ini. Bukan materialis dan bukan pula immaterialis. Menjadi manusia yang harmonis di tengah taman-Nya. Itulah sebabnya, saya selalu mewanti-wanti, mengingatkan bahwa setiap tahap dalam pelajaran tasawuf ini merupakan lanjutan dari pemahaman tasawuf sebelumnya. Jadi, pemahaman yang ada dalam setiap pelajaran tidak berdiri sendiri-sendiri. Semula manusia tasawuf diangkat dari kehidupan subjektifnya menuju ke kehi-dupan yang objektif dan rasional. Dari ilmu l-yaqin menuju ke kehidupan ainu l-yaqin. Dari takwa pada tangga dasar hingga menjadi manusia wara’ adalah manusia yang hidup mengikuti keyakinan berdasarkan ilmu, berdasarkan pengetahuan yang benar. Lalu manusia sufi meningkatkan dirinya ke tahap penghayatan dan pengalaman hidup, tahap ainu l-yaqin. Tahap sabar dan zuhud. Tahap tahalli. Tahap kondisioning. Nah, ridha dan tawakal adalah tahap haqqu l-yaqin. Tahap tajalli. Tahap manusia yang mewujudkan citra Ilahi. Manusia yang mengasihi tetapi bukan karena meminta dikasihi. Manusia terhormat bukan karena dihormati. Manusia kaya bukan karena melimpahnya materi. Manusia cinta, sebagai manifestasi cinta Ilahi. Tajalli! Karena itu, teori tasawuf hendaknya tidak dipahami sebagai teori semata-mata. Penghayatan dan pengalaman ditingkatkan menjadi pemahaman. Pada tahap awal orang beramal karena diberi tahu. Ada orang lain yang melang-kah dengan benar, lalu diteorikan. Teori itu disebarluaskan, untuk dipraktikkan bareng-bareng. Lahirlah manusia kolektif. Ada aturan buat hidup bersama. Ada sentralisasi dan birokrasi untuk kehidupan bersama. Penampilan individu amat lemah karena kuatnya hidup kolektif. Sebaliknya, individu yang kuat, akan merajai banyak manusia. Inilah ciri manusia di tahap takhalli, syariat. Individu tidak kuasa mengatur dirinya, tetapi diatur oleh kekuatan dari luar dirinya. Kemudian mereka berusaha meningkatkan diri mereka ke tahap tahalli. Tidak ingin lagi dibelenggu oleh kekuatan kolektif. Mereka ingin membuat improvisasi. Bukan dikuasai tetapi merasa andil, share, berperan serta dalam kehidupan ini. Aturan main bukan demi yang kuat, tetapi demi kehidupan bersama. Orang menyebutnya hidup dalam alam demokrasi. Hidup bukan hanya dituntut memenuhi kewajiban, tetapi juga mendapatkan haknya. Faktor inilah yang ditempakan dalam maqam sabar dan zuhud. Jika individu yang bertahalli semakin banyak, maka muncullah kehidupan demokrasi yang dicita-citakan bersama. Di sinilah peranan tasawuf! Bukan hanya untuk meraih kebahagiaan pribadi, diri sendiri, tetapi kebahagiaan bersama. Nah, ridha dan tawakal adalah tahapan puncak kemanusiaan. Masyarakat bukan lagi merupakan kumpulan individu yang dikuasai oleh kekuatan di luar dirinya. Tetapi masyarakat yang individu-individunya mampu beraktualisasi. Individu-individu yang mampu berbuat dan bertindak dengan kekuatan yang tumbuh dari dalam dirinya. Mereka adalah individu-individu yang sudah memahami peran dirinya dalam kehidupan ini. Kalau individu-individu itu diibaratkan “sel dan jaringan sel tubuh”, ia tidak akan mengganggu yang lain. Mereka semua tumbuh dalam keharmonisan. Mereka mengerti akan nilai dan estetika perannya masing-masing. Bagi sel yang hidup di jaringan organ otak dan sel yang hidup di jaringan organ dubur, sama-sama menerima perannya dengan rela, ridha. Sudahkah kita mengenal peran kita masing-masing? Pada tahap tawakal, yang sedang kita bahas ini, manusia tidak memandang dirinya dan Tuhannya sebagai ‘dualisme’. Manusia tidak lagi memandang dirinya dikuasai oleh faktor luar. Tuhan pun tidak lagi dipandang ada “di luar sana”. Anda masih ingatkan dengan dalil “Dia bersama kamu di mana saja kamu berada”. Dalam Hadis dinyatakan, “langit dan bumi tak dapat menjangkau-Ku, tetapi hati seorang mukmin dapat menjangkau-Ku.” Dia ada di dalam diri sekaligus di luar diri. Bagi yang belum mukmin, Tuhan tidak ada di dalam diri sekaligus tidak ada di luar diri. Nah, untuk bisa memahami aspek kesatuan hamba dan Tuhan, manunggalnya kawula dan Gusti, “tauhidu l-wujud”, marilah kita simak beberapa ayat di bawah ini. “Tuhanmu adalah Dia yang melayarkan kapal di laut untukmu agar kamu dapat mencari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penyayang terhadapmu.”1) “Dan peliharalah dirimu dari bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Sesungguhnya Allah sangat keras dalam memberikan balasan.”2) “Padahal Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan.”3)
Mari kita simak! Pertama adalah ayat pertama tentang berlayarnya kapal di lautan. Kapal yang dikemudikan oleh manusia disebut dilayarkan oleh Tuhan. Kapal terbang yang terbang di angkasa dengan menggunakan mesin, juga disebut dijalankan oleh Tuhan. Jadi, memang tak ada dualisme itu. Meskipun manusia membuat mesin sehingga pesawat bisa terbang, tetapi bekerjanya mesin itu mengikuti hukum Tuhan. Jadi, apa yang kita buat akan terwujud, maujud, bila kita membuatnya berdasar-kan hukum Tuhan. Cangkok ginjal, cangkok jantung, dan berbagai macam cangkok organ manusia terjadi mengikuti hukum Tuhan. Nah, pelajaran apa yang bisa kita petik dari ayat pertama tersebut? Ayat tersebut sebenarnya memberi tahu kita tentang proses tawakal dalam hidup ini. Kata tawakal atau dalam bahasa Arabnya “tawakkul”, artinya percaya sepenuhnya kepada Tuhan, mewakilkan kepada Tuhan. Jadi, orang yang bertawakal sebenarnya adalah orang yang menggantungkan diri 100 % kepada Tuhan. Bukan hanya rela, tetapi pasrah total kepada-Nya. Persoalannya, apakah pasrah total itu = pasif? Pasif itu sama dengan benda tak hidup, seperti batu, tanah, dan lain sebagainya. Lha, tawakal itu di dalam Hadis digambarkan seperti “burung yang pagi-pagi meninggalkan sarangnya, dan sore hari kembali ke sarangnya dengan tembolok penuh dengan makanan”. Itulah tawakal! Kalau kita melihat dunia safari di Afrika [melihat di tv], kita mengetahui bagaimana hewan-hewan itu mempertahankan hidupnya. Singa, misalnya, mencoba menggiring kawanan kijang, atau banteng hutan. Melihat ada singa yang menggiringnya, kawanan binatang mangsa itu berlari kesana-kemari. Akhirnya, ada satu ekor yang kepayahan. Nah, yang loyo itulah yang ditangkap! Jadi, dalam tawakal, perlu juga keseimbangan alam ini dijaga. Coba bayangkan kalau seekor singa membunuhi banyak hewan mangsa. Maka keseimbangan alam akan terganggu. Nah, tawakal tidak mengganggu alam, bahkan menjaga keseimbangan alam. Dan, ternyata singa tersebut tidak pasif, tetapi sangat aktif dan betul-betul mengikuti hukum alam. Menggantungkan diri kepada Tuhan ternyata sangat aktif, dengan tepat sasaran. Dinamis dan keseimbangan terjaga. Itulah tawakal! Dulu orang bertawakal kepada Tuhan dengan dilandasi doa yang khusyuk. Doa dan mantra sebenarnya sisa-sisa alam mitos yang dipertahankan dalam agama. Orang yang berdoa, bukan orang yang pasif, bila doanya sungguh-sungguh. Dengan doa yang sungguh-sungguh itu kekuatan doa [mantra] terbentuk. Karena itu, pada waktu itu doa bisa digunakan untuk pengobatan, perlindungan dari berbagai macam kejahatan dan gangguan orang lain, pencegahan penyakit, tolak bala [mencegah bencana], dan banyak keperluan lainnya. Dulu doa bisa digunakan seperti yang disebut di atas, karena waktu itu konsentrasi pikiran manusia dialirkan ke kalimat-kalimat doa. Bahkan sihir, tenung, santet, dan bebagai macam kekuatan gelap, kekuatan negatif adalah wujud dari doa. Tentu saja doa yang negatif. Doa untuk kejahatan. Ada perbedaan antara doa sebagai wahana tawakal dan doa untuk kejahatan. Doa dalam tawakal berarti mengembalikan semua kekuatan yang ada pada diri ini kepada yang empunya kekuatan, yaitu Allah. ambil contoh, doa akan bepergian: “Bismillahi tawakaltu ‘ala llahi, la haula wa la quwwata illa billah.” [Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, yang tiada daya dan kekuatan kecuali pada-Nya]. Di sini ada kesadaran bahwa pemilik daya dan kekuatan itu hanya Allah. sedangkan kita manusia ini hanya mendapatkan rahmat-Nya. Dalam wujudnya, tentu saja doa tersebut diiringi dengan aktivitas yang optimal dan benar. Waktu terus berjalan! Dalam perjalanan alam ini perubahan-perubahan terus ter-jadi. Jika semula kekusyukan itu mengalir melalui ucapan yang indah dan lembut yang disebut doa. Maka manusia memindahkan manfaat konsentrasi itu dari mulut ke otak. Sehingga terjadi perubahan dari manusia mitos menjadi manusia yang berpikir. Manusia yang memberdayakan akalnya semaksimal mungkin. Bentuk doa pun berubah dari “ucapan” ke “perenungan”, dari usaha magis ke usaha rasional. Jika dalam usaha magis kekuatan itu hanya dimiliki oleh sedikit orang, maka dalam usaha rasional kekuatan magisnya bisa didistribusikan ke banyak orang. Kekuatan rasio bisa diajarkan secara terbuka dan berkelas. Jika satu orang bertahun-tahun berpuasa dan berdoa mantra untuk bisa terbang, maka dengan rasio seseorang bisa membuat kapal terbang dan bisa mengangkut ratusan ribu orang dalam usia ekonomisnya. Jika seseorang berpuasa dan berdoa mantra selama bertahun-tahun untuk tidak mempan ditembus peluru, maka dengan rasio manusia dapat belajar secara massal untuk membuat baju anti peluru. Nah, di sini kekuatan doa mantra akhirnya dapat di-kalahkan oleh kekuatan doa pikiran. Umat secara umum salah mengerti. Dikiranya doa itu hanya tersusun dari kalimat. Apa akibatnya? Perintah dalam Al Quran “ud-‘uni astajib lakum” [berdoalah kepada-Ku niscaya Aku memperkenankanmu,” QS 40:60], akhirnya hanya menjadi retorika belaka. Padahal, orang yang sungguh-sungguh berpikir untuk membuat atau menjadikan sesuatu itu juga doa. Di tataran konkret sama! Bila ada doa mantra untuk kebaikan atau untuk kejahatan, maka doa pikiran juga begitu. Seperti yang telah saya terangkan pada pelajaran ‘ridha’ yang lalu, perubahan yang terjadi di alam mengakibatkan terjadinya perubahan aturan main. Jika di masyara-rakat yang mengalami perdagangan barter tidak terjadi hutang-piutang, maka pada sistem perdagangan terbuka timbullah hutang-piutang. Bila di dalam zaman datangnya agama Islam ada hukum “bayi sepersusuan”, lalu sekarang bagaimana dengan sistem donor susu ibu? Sekarang ada donor darah, cangkok organ, bayi tabung, kloning, dan lain sebagainya. Ini semua membawa perubahan pola berpikir manusia. Ahli hukum Islam pun akhirnya pontang-panting dibuatnya. Dan, makin lama makin pontang-panting dibuatnya, jika para pemikir Islam tidak mau memberdayakan pikirannya untuk mengantisipasi dan melakukan peramalan [ilmiah] kemungkinan yang terjadi di masa depan. Hal ini berbeda dengan Nabi saw. Wahyu yang diturunkan kepada beliau ber-sifat ke depan [futuristik]. Misalnya, pembagian waris bagi wanita, wanita bisa menjadi saksi, wanita boleh berkiprah dalam kehidupan sosial, penghapusan perbudakan, pene-gakan keadilan sosial, dan lain sebagainya. Hanya ulama Islam saja yang tertinggal dalam memahami wahyu Allah. Sehingga terjadi kebekuan berpikir dalam umat Islam. Bila di zaman dulu kita terampil berdoa, maka sekarang ini kita harus terampil berpikir. Nah, konsep tawakal pun harus di-rethingking, dilakukan pemikiran ulang. Konsepnya yang harus diubah, walaupun maknanya tetap tak berubah! Tawakal, ya tetap digambarkan seperti burung yang pergi meninggalkan sarangnya di pagi hari dengan tembolok kosong, balik sore hari dengan tembolok penuh makanan. Dulu, orang bertawakal dilandasi kerja keras disertai doa mantra dan dipasrahkan kepada Allah. Maka, sekarang orang bertawakal harus dilandasi ketrampilan kerja, disiplin, dan disertai dengan berpikir jenius. Jika dulu, orang berjamaah dalam salat, puasa, dan haji; maka, sekarang orang bertawakal dengan pemberdayaan “teamwork”. Dan, teamwork itu pun seperti kapal yang dilayarkan oleh Tuhan! Pada ayat kedua, umat Islam diperingatkan. Umat agar menjaga diri dari bencana yang tidak hanya menimpa kepada orang-orang zalim. Jika dulu orang yang mengikuti Nuh, Luth, Ibrahim, Musa, Isa, dan Nabi Muhammad langsung bisa lolos dari bencana, jika bencana datang. Tetapi, umat Islam diperingatkan bahwa terjadinya perubahan di alam, mengakibatkan bencana itu tidak pilih kasih. Karena itu umat harus pandai-pandai bertawakal. Segala macam jenis kejeniusan harus diberdayakan untuk mengantisipasi masa depan. Nah, hasilnya, apa yang kita peroleh, itu yang harus kita terima dengan ridha. Tetapi, tawakal sendiri harus merupakan jihad dan ijtihad yang maksimal. Jihad bukan perang fisik! Walaupun in a certain extent, sampai pada tingkat tertentu, fisik digunakan dalam pertempuran. Ayat kedua itu sebenarnya memberikan antisipasi bagi kenyataan di masa depan. Manusia tidak lagi hidup dalam sekat-sekat geografi seperti zaman dulu. Orang zalim maupun yang alim hidup dalam daerah, bahkan kotak yang sama. Sehingga bila terjadi bencana akan terhempas semua. Nah, kemungkinan bencana ini harus diantisipasi. Baru saja kita menyaksikan berbagai bencana yang menimpa negeri ini, bahkan berbagai macam gempa yang melanda tempat tinggal, baik di dalam dan di luar negeri. Lalu, kita saksikan secara langsung bagaimana gedung WTC dihantam hingga hancur. Siapa yang terkena bencana itu? Manusia dalam segenap kemanusiaannya. Itulah sebabnya, dari awal kita telah diperintah untuk bertakwa, beramal saleh, dan saling “ta-arruf”, saling bekerja sama antar bangsa, budaya dan agama. Jadi, dalam re-thinking konsep tawakal, ta-arruf tidak cukup diartikan saling mengenal [dalam arti sempit, konservatif]. Saling kenal, tidak lagi dalam pengertian statis, dan tertutup. Tapi, sudah menjadi dinamik dan terbuka. Manusia harus pandai melakukan kerja sama dan “teamwork” yang handal. Inilah jihad! Kemudian harus ditunjang dengan ijtihad, jihad pemikiran sehingga kita mampu memberikan solusi bagi masyarakat di masa depan. Maka lahirhal umat Islam yang ‘rahmatan lil alamin’, rahmat bagi semua. Pada ayat ketiga disebutkan bahwa Allah dan manusia adalah keberadaan yang tunggal. Karena itu jangan cari Allah di luar dirimu, tetapi carilah di dalam dirimu. Memang ada simbol-simbol bagi rumah Tuhan, seperti tempat ibadah dan Ka’bah. Tapi, itu hanya simbol. Awas, jangan keliru persepsi dalam melihat simbol. Bendera ‘Merah Putih’, adalah simbol bagi kehadiran negara Indonesia. Tetapi, bukan negara Indonesia itu sendiri. Dengan demikian bendera bisa diperlakukan secara rasional, dan bukan mitos lagi. Bila kotor, ya dicuci, kemudian diseterika, dan di simpan di almari. Jika diperlukan, ya diambil dan dikibarkan. Ka’bah pun hanya merupakan simbol bagi kehadiran Allah. Ia dikunjungi, dan dihormati. Bila kotor, ya dicuci. Bila sudah aus ya diperbaiki! Karena itu Ka’bah dalam sepanjang sejarahnya telah direnovasi beberapa kali. Hikmah dari kunjungan yang digali dan dipetik. Kemudian dengan jihad dan ijtihad haji diwujudkan untuk membangun masyarakat yang berkeadilan sosial. Jadi, haji tidak lagi merupakan kewajiban tanpa isi. Tapi, ia memberikan inspirasi untuk pembangunan umat. Kebaikan apapun yang kita lakukan datangnya dari Allah. Dan, apa saja yang kita lakukan tak akan terjadi, kecuali dengan izin-Nya. Allah memang pencipta diri dan apa yang kita kerjakan. Namun, inisiatif tetap harus lahir dari kita. Kata orang sufi, “aku dan Dia sebenarnya satu, walaupun aku bukan Dia dan Dia bukanlah aku.” Ingat, Hadis di atas, langit, bumi dan seisinya tak mampu menjangkau-Ku, tapi hati orang beriman [yang sudah aman] yang dapat menampung-Ku.
Bagian ke-23
[Tawakal] Orang yang bertawakal adalah orang yang berpijak pada kebenaran yang nyata. Tawakal bukanlah teori. Tetapi praktik kehidupan seperti yang dijalani oleh burung yang pagi-pagi meninggalkan sarangnya untuk mencari makan. Sehingga tawakal juga terkait erat dengan tekad dan keteguhan hati. Orang yang bertawakal bukanlah orang yang bekerja setengah hati. Ada satu ayat dalam Al Quran yang bahasa Indonesianya: “Maafkan mereka, mohonkan perlindungan bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan [hidupmu].
Apabila engkau telah teguh pendirian, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”1) Ayat diatas adalah bagian dari ayat 3:159. Pada ayat tersebut dinyatakan bahwa budi pekerti Nabi sangat mulia. Dengan kasih-sayang-Nya, Nabi senantiasa berlaku lemah lembut kepada semua orang yang ada di sekelilingnya. Sikap yang lemah lembut terhadap sesamanya itu wujud dari ketawakalan Nabi. Sikap yang lemah lembut itu ditunjukkan dengan sifatnya yang pemaaf. Ingat, seorang pemaaf bukanlah orang yang tak berdaya. Seorang pemaaf adalah orang yang mampu untuk membalas dendam terhadap orang yang menimpakan penderitaan, tetapi karena kebesaran jiwanya, dendam itu tidak ia lakukan. Bahkan memaafkannya. Hal ini telah dibuktikan oleh Nabi ketika beliau menaklukkan kota Mekah. Ketika rombongan Nabi memasuki kota itu, betapa takutnya penduduk Mekah. Wajah-wajah mereka pucat pasi, mereka takut terhadap pembalasan yang dilakukan oleh Muhammad beserta rombongan yang dibawanya. Tetapi, mereka kecelik, salah duga. Ternyata Muhammad memberikan permaafan dan pembebasan. Ayat di atas sebenarnya menerangkan sifat pribadi Nabi yang tampak sehabis perang Uhud. Dari sejarah kita mengetahui bahwa pada perang Uhud tentara Islam mengalami kekalahan yang berat. Disebabkan sebagian regu penempur itu tidak mema-tuhi Nabi sebagai panglima perangnya. Mereka [para tentara itu] berbuat kesalahan fatal dalam peperangan. Sehingga pasukan Islam bisa dikalahkan dan diporak-porandakan. Namun, Nabi selaku panglima perang tidak menghukum mereka yang desersi itu. Justru Nabi menghadapi mereka yang membangkang itu dengan penuh kelembutan. Sehingga mereka merasa malu dan menyesal. Mereka bertambah setia dan tidak kabur dari Nabi. Bahkan kesalahan itu harus segera dimaafkan. Cara-cara demikian ini adalah cara-cara orang yang bertawakal kepada Tuhan. Dalam kehidupan berorganisasi, bermasyarakat, bernegara, ataupun bersahabat, dibutuhkan seorang pemimpin yang lemah lembut. Bukan pemimpin yang lemah! Pemimpin yang dipatuhi, dan bukan yang ditakuti. Hal ini bisa dipenuhi bila orang itu menerapkan asas kasih sayang terhadap sesamanya. Bisa membetulkan yang salah. Tetapi bukan mencari-cari kesalahan. Kemudian memberikan maaf bila bawahan atau rekannya itu ada kemauan untuk tidak mengulangi kesalahan. Dalam kehidupan tawakal tidak dibenarkan seseorang mau menang sendiri. Justru ia harus bisa menjadi kampiun demokrasi. Mampu berunding, sehingga tercapai win-win solution, solusi yang menguntungkan semua pihak. Ingat, manusia tawakal adalah orang yang menang, orang yang tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi ia bersedia menjadi gantungan bagi bawahan atau orang-orang lainnya. Ia adalah manusia yang kaya, karena itu ia mampu berbagi. Jadi, sangatlah wajar bila dipenghujung ayat itu dinyatakan bahwa Allah mencintai [sekali lagi, mencintai] orang-orang yang bertawakal atau bertawakul. Karena sandaran orang tawakal itu hanyalah Tuhan. Orang yang bertawakal adalah orang yang condong pada perdamaian. Mengapa? Karena dalam kehidupan yang damai akan lahir keharmonisan dan keindahan hidup. Betapa sulitnya menegakkan keteraturan dan keamanan dalam kehidupan yang penuh pergolakan. Betapa sukarnya menegakkan dan memberdayakan hukum dalam nuansa yang centang-perenang. Karena itu dibutuhkan orang yang bertawakal. Orang yang cinta damai. Bukan orang yang terpaksa mau diajak damai! Orang yang cinta damai adalah orang yang bersedia memberikan perdamaian, meskipun ia dapat menolak damai bila ia mau. Karena posisinya menang. Tetapi orang yang bertawakal sepenuhnya sadar bahwa yang memiliki kekuatan hanyalah Tuhan. Ia tidak mau bersaing dengan Tuhan. Bahkan ia sepenuhnya bersandar kepada-Nya. “Jika mereka [yang memusuhimu] condong kepada perdamaian, maka condoglah kepadanya. Dan, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”2) Dalam kehidupan ini banyak orang yang dangkal pemikirannya. Sehingga siapa saja yang di luar grup atau kelompoknya dianggapnya sebagai musuhnya. Entah itu karena sentimen golongan, bangsa, ras, etnis, agama, partai, ataupun lainnya. Sehingga kerja sama yang dibangun bagaikan sarang laba-laba. Kelihatan rapi, tetapi rapuh. Hal itu disebabkan karena semua yang diluar golongannya, outgroup, dipandangnya sebagai musuh. Jadi, jalinan kerjasamanya semu. Itulah sebabnya persahabatan antar partai atau negara tidak langgeng. Karena pertimbangannya bukan ketawakalan, tetapi kepentingan. Tentu saja bukan “WWS” [win-win solution] yang dihasilkan. Jika bukan karena ketawakalan, rundingan yang terjadi bukan untuk WWS, tetapi untuk adu kuat. Mereka tawarkan apa yang paling maksimum bagi kelompoknya. Lalu, karena tarik-ulur waktu, akhirnya mereka bersedia menurunkan targetnya, sampai pihak yang dianggap lemah itu dapat menerimanya. Inilah tipe musyawarat, rundingan, atau negosiasi yang tidak berasas pada ketawakalan. Tak ada keinginan untuk hidup damai. Yang diinginkan adalah kemenangan semu. Disebut semu karena itu sebenarnya wujud dari sebuah penindasan. Golongan yang kuat ingin menunjukkan bahwa damai itu ada bila kemauannya dituruti. Dalam suatu organisasi perusahaan pun terjadi kerja sama dalam permusuhan. Dan bukan kerja sama dalam perdamaian. Bukan asas ketawakalan, partnership, tetapi asas adu kekuatan dan kekuasaan. Ada kelompok yang merasa kuat [karena etnis, atau agama] yang bekerja sama dengan kelompok yang lemah. Kerja sama yang dibangun karena adanya kepentingan, bukan ketawakalan. Sehingga mereka yang memiliki posisi tawar yang kuat mempermainkan yang posisi tawarnya lemah. Ketika kita dalam posisi yang lemah, kita tak akan bisa melihat kelemahan orang lain. Pijakan kita sangat lemah, yaitu ketergantungan dan bukan ketawakalan. Karena itu tasawuf mengajarkan fondasi yang kuat pada kesabaran dan ridha. Selama masih dalam posisi yang lemah, kita harus memiliki emosi yang tegar dan tahan terhadap tekanan-tekanan yang mereka lakukan. Kita tetap ulet untuk mencari jalan keluar. Kita harus yakin bahwa keuletan itu adalah sumber untuk mendapatkan kejayaan. Dan bila telah jaya, jangan balas dendam [ganti menindas]. Justru kita harus menciptakan nuansa kehidupan yang penuh damai. Inilah asas ketawakalan! Kemampuan sabar, zuhud, dan ridha akan mendorong seseorang benar-benar meyakini bahwa Tuhanlah yang menjadi pelindungnya. Bahkan hidupnya pun dirasakan sebagai jatah yang ia terima dari Tuhannya. Ia pekerja keras, ulet, dan cermat [smart]. Tak ada keluh kesah! Tetapi, dia tetap peduli terhadap rekan-rekannya yang merasa menderita dalam hidup ini. Semboyannya, “lebih baik aku yang berpuasa daripada dia yang merasa lapar”. Lho, koq mau? Ya, inilah prinsip deposit. Jadi, ketawakalan adalah wujud dari kasihnya manusia.