Setelah kaum Khazraj melihat bahwa kaum Aus telah membaiat Abû Bakar, maka tiada pilihan lain lagi bagi mereka, kecua¬li berbuat serupa. Meskipun Sa’d bin ‘Ubâdah tetap tidak hendak membaiat Abû Bakar sampai ia dibunuh oleh ‘Umar di kemudian hari, tetapi anak buahnya kemudian membaiat Abû Bakar.
Siapa sebenarnya yang lebih dahulu membaiat Abû Bakar setelah ‘Umar bin Khaththâb?
Zubair bin Bakkâr dalam “Al-Muwaffaqiat” berkata yang berasal dari Muhammad bin Ishâq bahwa klan Aws menuduh pembaiat pertama adalah Basyîr bin Sa’d dari klan Khazraj sedang klan Khazraj menyatakan bahwa Usaid bin Hudhair dari klan Aws-lah yang pertama membaiat Abû Bakar.
Ibn Abîl-Hadîd mengatakan: Semua orang tahu Basyîr bin Sa’d dari klan Khazraj dan Usaid bin Hudhair dari klan Aws yang secara historis bermusuhan, kedua-duanya ingin menghancurkan Sa’d bin ‘Ubâdah. Karena Basyîr berasal dari klan Khazraj dan sepupu Sa’d bin ‘Ubâdah maka masuk akal bila klan Khazraj menolak anggapan bahwa pembaiat pertama adalah Basyîr.
Demikian pula klan Aws menolak Usaid bin Hudhair sebagai pembaiat pertama dan mengatakan bahwa Basyîr-lah yang ingin manjatuhkan Sa’d bin ‘Ubâdah, dengki karena merasa kurang dibandingkan dengan Sa’d, sepupunya itu. Basyîr bermata satu (a’war).
Maka menurut Ibn Abîl-Hadîd yang betul adalah bahwa yang pertama membaiat Abû Bakar adalah ‘Umar, kemudian Basyîr bin Sa’d kemu¬dian Usaid bin Hudhair, lalu Abû ‘Ubaidah bin Jarrâh dan akhirnya Sâlim maulâ Abî Hudzaifah.
Jelaslah, kedengkian dan persaingan antar suku telah memungkinkan Abû Bakar mendapatkan baiat kaum Muslimîn.
Agaknya setelah itu banyak kabilah-kabilah Arab yang datang ke Madînah untuk membeli keperluan sehari-hari di pasar Madînah yang dibuka pada hari Kamis, telah diseret ‘Umar untuk membaiat Abû Bakar, seperti Aslam dan anggota klannya. Thabarî melaporkan bahwa ‘Umar telah bertaka, “Tatkala saya lihat Aslam, tahulah saya pertolongan telah datang.” Tetapi Banyak juga yang tidak hendak membaiat Abû Bakar dan malah menolak menyerahkan zakat mereka kepadanya.
Kaum Khazraj dan Aus sebenarnya membaiat Abû Bakar dengan segala alasan untuk kelangsungan hidup suku mereka masing-masing dan sebutir alasan untuk kemuliaan Abû Bakar. Bagi kaum Muhâjirîn pembaiatan ini dijadikan bukti segala keutamaan Abû Bakar.
Beberapa tahun kemudian, tahun 63 H.,683 M. pasukan Yazîd bin Mu’âwiyah menduduki Madînah, membunuh ribuan kaum Anshâr dan keluarga mereka dan menghamili 1000 perempuan mereka, mengingatkan orang akan pidato Hubâb bin Mundzir yang sangat menakuti dominasi kaum Muhâjirîn.
Sebagai gambaran, di kemudian hari, kebanyakan kaum Quraisy berpihak kepada Mu’âwiyah seperti Gubernur Mesir, ‘Amr bin ‘Âsh, Sekretaris Negara Khalîfah ‘Utsmân, Marwân bin Hakam, Gubernur-gubernur seperti Walîd bin ‘Uqbah, ‘Abdullâh bin ‘Umar dan keluarga Banû ‘Umayyah lainnya. Barangkali Thalhah bin ‘Ubaidillâh dan Zubair bin ‘Awwâm yang dengan bantuan ‘Â’isyah memerangi ‘Alî dapat dimasukkan dalam kelompok ini. Mereka telah menjadi kaya raya di zaman ‘Utsmân.
Peristiwa saqifah m
Dan kebanyakan kaum Anshâr berpihak pada ‘Alî. Abû Ja’far Al-Iskâfî menggambarkannya dengan tepat:
‘Semua orang Makkah amat membenci ‘Alî dan semua orang Quraisy melawannya dan berpihak kepada Banû ‘Umayyah’.
Barangkali yang dimaksudkan faltah atau ‘seperti faltah kaum Jahiliah’, dan ‘kalau ada yang melakukan hal serupa maka bunuhlah dia’ dapat kita simpulkan sebagai berikut:
Tindakan mengadakan pertemuan di Saqîfah itu sendiri oleh banyak kalangan dianggap sebagai tindakan salah. Karena selama ini masjid dianggap sebagai pusat kegiatan Islam.
Pertemuan itu sendiri bukanlah musyawarah karena banyak sahabat tidak diikutsertakan.
Dikatakan bahwa faktor utama terpilihnya Abû Bakar adalah hadis yang disampaikannya bahwa ‘Pemimpin adalah dari kaum Quraisy’ dan bahwa ia adalah keluarga Rasûl. Agaknya argumentasi Abû Bakar ini dibuat secara tergesa gesa. Hadis Abû Bakar tersebut punya dampak luar biasa di kalangan kaum Suni. Sedang Abû Bakar sendiri pada akhir hayatnya menyatakan keraguannya terhadap hadis tersebut dengan mengatakan bahwa ia menyesal tidak bertanya kepada Rasûl Allâh apakah orang Anshâr punya hak juga untuk kekhalifahan itu yang terkenal dengan nama ‘Riwayat Tiga dan Tiga’. Abû Bakar berkata di akhir hayatnya kepada ‘Abdurrahmân bin ‘Auf:‘Ada tiga hal yang telah kulakukan, yang tidak ingin kulakukan. Dan tiga hal yang tidak aku lakukan, tetapi ingin kulakukan. Tentang tiga yang telah kulakukan tapi mestinya tidak kulakukan, aku tidak boleh menyerbu ke rumah Fâthimah sama sekali biarpun akan timbul perang. Yang tidak kulakukan, yang mestinya kulakukan... Aku ingin tanya kepada Rasûl Allâh saw. siapa yang seharusnya jadi pemimpin umat ini, sehingga tidak akan ada yang berbeda pendapat. Aku juga ingin tanyakan apakah ada tempat bagi Anshâr untuk kepemimpinan umat ini. ‘Umar sendiri berkata tatkala ia ditusuk dan hendak menetapkan anggota Sûyrâ: ‘Andaikata satu dari dua orang ini masih hidup akan aku menjadikannya khalîfah, Sâlim maulâ Abî Hudzaifah dan Abû ‘Ubaidah al-Jarrâh . Ia juga mengatakan: ‘Andaikata Sâlim masih hidup, aku tidak akan bentuk Sûyrâ.’ . Sedang Sâlim bukanlah orang Quraisy. Abû Bakar dianggap satu-satunya sahabat yang menyampaikan hadis ‘Pemimpin adalah dari orang Quraisy’. Dampak hadis yang diragukan sendiri oleh Abû Bakar di kemudian hari ini adalah terbungkamnya suara Anshâr yang mayoritas dan menghapus kesan musyawarah. Hal ini akan dibicarakan di bagian lain.
Tatkala ‘Umar menjabat tangan Abû Bakar, mufakat belum tercapai.
Seharusnya para sahabat mengatur penguburan Rasûl Allâh saw. dahulu, sehingga tidak akan terbengkalai selama tiga hari dan terpaksa dikuburkan oleh keluarga beliau pada hari Rabu malam.
Pembaiatan itu telah menyebabkan pembunuhan terhadap pemimpin kaum Anshâr, Sa’d bin ‘Ubâdah, kemudian hari, dan penyerbuan ke rumah Fâthimah yang akan dibicarakan pada bab-bab berikut .
Andaikata ‘Umar dan Abû Bakar mengajak kaum Anshâr kembali ke masjid maka keadaan akan jadi lain. Tatkala ‘Alî bin Abî Thâlib diangkat jadi khalîfah 25 tahun kemudian, di Kûfah beliau menanyakan para sahabat akan khotbah Rasûl di Ghadîr Khumm dan 11 orang saha¬bat menyatakan mendengar Rasûl bersabda: ‘Barangsiapa menganggap aku sebagai maulânya maka ‘Alî adalah maulânya juga. Ya Allâh, cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memu¬suhinya!’. Baru 73 hari yang lalu khotbah ini diucapkan dan ‘Umar serta Abû Bakar datang memberi selamat kepada ‘Alî. Hadis ini bukan hadis yang lemah tapi hadis yang kuat. Dan berpu¬luh hadis yang hampir serupa telah diucapkan Rasûl untuk ‘Alî seperti: ‘Kedudukanmu di sisiku seperti Hârûn terhadap Mûsâ, hanya saja tidak ada lagi Nabî sepeninggalku’. ‘Aku adalah gudang ilmu dan ‘Alî adalah pintunya’. dan lain-lain.
‘Umar dan Abû Bakar tahu akan hal ini. ‘Umar juga telah mengatakan kepada Ibnu ‘Abbâs bahwa ‘Alî adalah yang paling utama, tetapi orang Arab tidak menyukai kerasulan dan kekhalifahan berkumpul pada Banû Hâsyim. Itu barangkali, satu sebab menga¬pa ‘Umar tidak mengajak jemaah kembali ke masjid.
Barangkali yang tidak disadari Abû Bakar dan ‘Umar adalah dampak tindakan kekerasan mereka terhadap keluarga Rasûl Allâh saw. , seperti penyerbuan ke rumah Fâthimah yang akan dibicarakan di bab berikut , terhadap anak-anak mereka dan penguasa-penguasa di kemudian hari. Kalau Abû Bakar dan ‘Umar sendiri yang mengetahui betul keutamaan ‘Alî sudah bertindak demikian, apalagi orang lain. ‘Â’isyah, anak Abû Bakar, meskipun telah diperintahkan Allâh agar tinggal di rumah, telah memerangi ‘Alî dan menyebabkan 20.000 kaum Muslimîn meninggal dunia. ‘Abdullâh bin ‘Umar tidak mau membaiat ‘Alî di kemudian hari, malah membaiat Mu’âwiyah dan Yazîd bin Mu’âwiyah dan gubernur Hajjâj bin Yûsuf. Keduanya membuat hadis-hadis yang memojokkan ‘Alî . Tatkala ‘Abdullâh bin Zubair dikritik karena akan membakar keluarga Rasûl, adiknya ‘Urwah membela ‘Abdullâh dengan mengatakan bahwa ‘Abdullâh hanya mencontoh perbuatan ‘Umar bin Khaththâb tatkala ‘Umar hendak membakar rumah ‘Fâthimah.
Banyak orang berpendapat bahwa andaikata ‘Umar mengajak jemaah ke masjid maka umat dan agama Islam akan maju lebih pesat dan tidak akan ada fitnah di kemudian hari yang datang susul-menyusul terutama sesudah ‘Utsmân meninggal. Juga berakibat terbunuhnya anak-cucu Rasûl Allâh saw.
Peristiwa saqifah n
SERANGAN KE RUMAH FATHIMAH AZ ZAHRA AS
Seorang Sunni mengatakan bahwa kekhalifahan Abu Bakar merupakan ijma ulama yang wajib diterima bagi setiap Muslim. Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa kita percaya ijma bersifat mengikat. Akan tetapi bagaimana bisa Sunni membuat ijma terhadap sesuatu yang Rasul dan beberapa sahabat lainnya tentang? Penentangan ini merupakan bukti jelas pada suatu kenyataan bahwa tidak ada ijma untuk masalah tersebut.
Mengenai Nabi Muhammad, kami menyebutkan hadis Sunni yang sahih pada artikel sebelumnya di mana Nabi memberikan kedudukan kepada Ali sebagaimana Nabi Harun bagi Nabi Musa. Kedudukan ini dijelaskan dalam Quran yang telah kami sebutkan ayat-ayatnya. Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa;
1) Allah lah yang patut menunjuk khalifah.
2) Ayat tersebut juga menggunakan kata ukhlafni yang merupakan bentuk kata kerja dari khalif.
Selain itu, kami mengetengahkan riwayat bersejarah yang dicatat oleh Ulama Sunni berkenaan dengan fakta bahwa Nabi Muhammad dengan tegas menyatakan Ali sebagai penggantinya pada khutbah pertamanya. Kami juga menyebutkan hadis sahih Ghadir Khum di mana Nabi Muhammad mengumumkan penunjikan 'Ali sepeninggal beliau secara resrni.
Tidak semua sahabat sepakat bahwa keempat khalifah ini adalah pengganti Nabi Muhammad yang sah. Kaum Muslimin sepakat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dipilih oleh sejumlah orang yang terbatas dan merupakan hal yang mengejutkan bagi sahabat lainnya. Oleh sejumlah orang terbatas artinya mayoritas sahabat Nabi Muhammad yang utama tidak mengetahui pemilihan ini. 'Ali, Ibnu Abbas, Utsman, Thalhah, Zubair, Sa’d bin Abi Waqqash, Salman Farisi, Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Miqdad, Abdurrahman bin Auf adalah di antara sahabat-sahabat yang tidak diajak berunding bahkan diberitahu. Bahkan Umar sendiri mengakui, pemilihan Abu Bakar dilakukan tanpa perundingan dengan kaum Muslimin.l
Kita tidak dapat menutup mata pada kenyataan yang tidak dapat disangkal yang bahkan dicatat oleh ulama-ulama Sunni dan meskipun telah menjadi ijma. Setelah Nabi Muhammad wafat, orang-orang yang melaksanakan apa yang diperintahkan Nabi Muhammad seperti Ammar bin Yasir, Abu Dzar Ghiffari, Miqdad, Salman Farisi, Ibnu Abbas, dan sahabat-sahabat lain seperti Abbas, Utbah bin Abi Lahab, Bara bin Azib, Ubay bin Ka’b, Sa’d bin Abi Waqqash, dan lain-lain berkumpul di rumah Fathimah. Demikian juga dengan Thalhah dan Zubair yang awalnya setia kepada Ali dan bergabung dengan yang lainnya di rumah Fathimah. Mereka berkumpul di rumah Fathimah sebagai tempat berlindung karena mereka menentang mayoritas orang-orang. Berdasarkan hadis Shahih Bukhari, Umar mengakui bahwa Ali dan pengikutnya menentang Abu Bakar.
Bukhari meriwayatkan bahwa Umar berkata,
“Tidak diragukan lagi setelah Rasul wafat, kami diberi tahu bahwa kaum Anshar tidak sepakat dengan kami dan berkumpul di balairung Bani Saidah. Ali dan Zubair dan orang – orang yang bersama mereka menentang kami.