Hegemoni faktor politik dan ekonomi dalam



Yüklə 0,56 Mb.
səhifə3/7
tarix11.09.2018
ölçüsü0,56 Mb.
#80287
1   2   3   4   5   6   7

In the midst of political and bawdy Indonesian civilization is getting worse and is more opaque guided by the Qur'an and the Hadith is the best alternative to clear up the nation's morality. Kota santri is an area in which there are many Islamic educational institutions, there are many kiai and students who recite and study the Qur'an and Sunnah. That then the teachings contained in the two books used as reference and a foundation in every work, including as a reference in choosing a leader, lead and politics. In Islam a leader chosen based on the requirements demanded by the welfare of a country depends on who is controlling it (the leader).


Keywords: leadership, local polical, city students



  1. Pendahuluan

Kota santri adalah sebuah daerah atau kota yang di dalamnya terdapat banyak pondok pesantren dan madrasah-madrasah yang dipimpin oleh seorang kiai. Sebagian besar masyarakat kota santri adalah santri atau murid dari madrasah-madrasah pada pondok pesentren di daerah tersebut ataupun di daerah lain yang ada di kota itu. Kiai27 adalah ikon dalam masyarakat yang menjadi panutan dalam setiap ucapan dan tingkah lakunya.

Pada umumnya dalam pondok pesantren diajarkan segala bidang keilmuan Islam yang digali dari al Qur’an, Hadis dan Ijma’ para ulama salaf maupun kontemporer. Kiai adalah tokoh elit dalam sebuah masyarakat santri yang mengajarkan semua hal yang berkaitan dengan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat sesuai dengat syari’at Islam berlandaskan pada al Qur’an dan Hadis dan semua keilmuan Islam.



Dengan berkembangnya waktu santri di pondok pesantren tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu akhirat saja, tetapi mereka juga diberi pelajaran umum dan berbagai keterampilan praktis sebagai bekal mereka untuk terjun ke tengah masyarakat. Pesantren yang selama ini identik dengan sufisme, sebenarnya sudah melangkah maju menuju pesantren modern yang membuka kebebasan berfikir dan berpolitik.28 Yang seharusnya juga berlandaskan dan berpedoman pada al Qur’an dan Hadis karena Rosulullah bersabda “aku tinggalkan dua perkara yang apabila kamu berpegang teguh terhadap keduanya maka tidak akan tersesat, dua perkara tersebut adalah kitab al Qur’an dan Sunnah beliau. Al Qur’an dan hadis adalah pedoman hidup bagi umat Islam, segala tindakan perbuatan dan semua tatacara kehidupan umat Islam di atur di dalamnya sehingga umat Islam harus beracuan pada al Qur’an dan Sunnah.

Di tengah carut marutnya politik dan peradaban bangsa Indonesia yang semakin terpuruk dan semakin buram ini berpedoman pada al Qur’an dan Hadis adalah merupakan alternatif terbaik untuk menjernihkan moralitas bangsa. Lewat pengamalan al Qur’an dan Sunnah secara sungguh-sungguh manusia akan terbimbing pada jalan yang lurus. Manusia yang taat menjalankan ajaran al Qur’an dan Hadis akan membersihkan dirinya dari perbuatan tercela. Sebab dalam alQur’an dan Hadis menuntut satunya kata dengan tindakan karena jika tidak maka kebencian Allah yang didapatkannya. Sebagaimana firman dalam al Qur’an Surat Shaff ayat 2-3 : ‘Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”

Artinya kalau dalam al Qur’an dan Hadis mengajarkan perlunya keluhuran akhlaq, seorang muslim tidak cukup hanya dengan ucapan tapi yang lebih penting adalah perwujudan ucapan itu dalam sebuah tindakan. Jadi sangat memprihatinkan kalau ada seorang muslim yang begitu fasih dalam mengucapkan ajaran Islam, tetapi dia sendiri tidak bisa mewujudkan apa yang diucapkannya dalam sebuah tindakan. Dengan demikian kalau umat Islam sudah bisa mewujudkan satunya ucapan dengan tindakannya maka dengan sendirinya keluhuran moralitas di tengah masyarakat Islam pun akan bisa terwujud.

Kesatuan ucapan dan tindakan yang diatur dalam al Qur’an dan Hadis tersebut menyangkut segala hal yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia termasuk diantaranya dalam berbangsa dan bernegara juga dalam berpolitik. Dibutuhkan adanya keserasian antara ucapan dan tindakan dalam berpolitik. Artinya seorang politikus muslim yang taat menjalankan ajaran al Qur’an dan Hadis akan membersihkan dirinya dari perbuatan-perbuatan tercela dalam berpolitik. Sehingga sebuah negara atau birokrasi yang dipimpin oleh seorang birokrat yang selalu beracuan pada Qur’an dan Hadis dalam setiap aspek pemerintahannya maka terwujudlah sebuah pemerintahan yang adil dan bijaksana dengan menjunjung tinggi moralitas bangsa yang berdasarkan pada pancasila sebagai dasar negara Indonesia.



Dalam Islam, seorang pemimpin dipilih berdasarkan pada persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki karena kesejahteraan sebuah negara bergantung kepada siapa yang mengendalikannya (pemimpinnya). Jika sang pemimpin punya komitmen kuat untuk membangun negaranya maka rakyatnyapun mudah untuk diatur dan diarahkan, tetapi bila sebaliknya maka sebaliknya pulalah yang akan terjadikan. Para pelajar, mahasiswa, masyarakat pada umumnya yang tumbuh dalam perlakuan penguasa yang tidak adil dan tiran atau dlolim akan diperbudak, akibatnya mereka akan kehilangan energy yang akhirnya membuat mereka malas dan mendorong mereka untuk berbohong. Tindakan dan perilaku mereka bertentangan dengan apa yang mereka pikirkan, karena mereka takut akan mendapatkan perlakuan yang kejam jika mereka mengatakan yang sebenarnya. Jadi mereka dibiasakan untuk berbohong dan melakukan tipu daya.29 Begitu juga pada sebuah daerah, kelurahan, kecamatan ataukah kabupaten, atau bahkan di sebuah lembaga pendidikan, di kampus misalnya, semuanya sama.

Terlebih pada sebuah daerah yang kemudian disebut sebagai kota santri. Kota santri adalah sebuah daerah yang di dalamnya terdapat banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam, terdapat banyak kiai dan santri yang mengaji dan mengkaji al Qur’an dan Sunnah. Yang kemudian ajaran-ajaran yang terdapat dalam dua kitab tersebut dijadikan acuan dan landasan dalam setiap perbuatan, termasuk diantaranya sebagai acuan dalam memilih pemimpin, memimpin dan berpolitik sekalipun, maka sudah selayaknya dan bahkan wajar apabila rakyat di sebuah kota santri ketika memilih pemimpinnya berlandaskan dan beracuan pada al Qur’an dan Hadis dan penteladanan terhadap kiai karena hal itu merupakan bentuk komitmen terhadap ajaran yang mereka terima.

Bentuk lain dari komitmen tersebut adalah bahwa masyarakat pada kota santri tidak akan melakukan GOLPUT dalam proses pemilihan pemimpinnya karena memilih atau memberikan suaranya pada seorang calon pemimpin adalah hak setiap orang dan sebuah bentuk perjuangan dalam merealisasikan konsep “cinta tanah air”.

Akan tetapi sangat tidak wajar jika masyarakat kota santri memilih pemimpinnya tidak beracuan pada al Qur’an dan Hadis serta tidak menteladani kiai sehingga mereka tidak memiliki komitmen dalam memilih pemimpinnya. Tidak heran jika dalam pemilihan pemimpin banyak bermunculan masyarakat yang GOLPUT yang orientasinya BERJUANG. Kita tahu bahwa GOLPUT adalah GOLongan PUTih. Sebutan ini diberikan pada mereka yang tidak mau memihak atau tidak mau memberikan suaranya untuk calon pemimpinnya sehingga jumlah perolehan suara berkurang. Akan tetapi GOLPUT yang penulis maksud adalah GOLongan Pencari Uang Tunai yang orientasinya pada BERJUANG = BERas baJU dan uANG artinya golongan ini adalah golongan masyarakat yang mau memilih seorang untuk menjadi pemimpinnya jika dia dibayar atau diberi uang tunai dari salah satu orang yang mencalonkan diri untuk dipilih menjadi pemimpin tersebut atau lebih memilih pemimpin mereka dengar ukuran berapa uang yang dibagi-bagikan, yang lebih banyak nominal pembagiannya dialah yang dipilih.30

Masyarakat tidak menyadari bahwa sebenarnya seorang pemimpin yang mendapatkan kekuasaan dengan cara membayar masyarakatnya untuk memilihnya menjabat sebagai pemimpin maka besar kemungkinan dia akan mencari ganti rugi terhadap uang yang sudah digunakannya membayar penduduk atau warga untuk memilihnya. Hal itu ia lakukan pada saat ia berkuasa sehingga hal ini membuka peluang terjadinya korupsi. Ketika seseorang meminta suatu jabatan maka hal ini didasari adanya kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi atau golongan terhadap jabatan tersebut.

Sehingga dari latar belakang ini maka muncul beberapa permasalahan yang akan menjadi kajian dalam tulisan ini yang seharusnya menjadi acuan bagi masyarakat kota santri dalam memilih pepimpin-peminpin mereka dalam sebuah birokrasi.


  1. Persyaratan-persyaratan apa yang harus dimiliki oleh seseorang sehingga dia masuk dalam kriteria seorang pemimpin menurut Islam?

  2. Bagaimana konsep perilaku politik santri yang seharusnya diterapkan dalam pemerintahan ?



  1. Pembahasan

  1. Konsep pemimpin dalam islam

Pemimpin dalam bahasa arab disebut imamah, khalifah, maupun sultan. Imamah dan ummah berasal dari akar kata yang sama amm berarti kehendak atau maksud. Selanjutnya dari akar kata ini terbentuk kata imam yang berarti orang yang diikuti dan imamah kekuasaan atau kekuatan yang ditaati dan diikuti. Sampai akhir abad dua hijriyah istilah imamah belum dipergunakan secara resmi dalam literatur maupun dalam percakapan sehari hari kecuali dalam arti ibadah seperti imam dalam shalat. Istilah ini kemudian muncul pada akhir abad kedua atau permulaan abad ketiga dalam buku fiqh karya al-Syafii dan Abu Yusuf. Sejak saat itu istilah ini menjadi sangat populer dan hampir secara eksklusi dalam kaitannya dengan politik untuk menyebut khalifah, sedang untuk menyebut pemimpin suatu lembaga lain, misalnya militer, dipergunakan istilah amir. 31

Kata khalifah terdapat dalam al Qur’an dengan konteks pengertian pewarisan, penerimaan pewarisan, atau pengganti bukan sebagai institusi politik. Sementara terdapat pula beberapa ayat al Qu’an32 yang menunjukkan arti sebagai “penguasa’ atau “pengatur” dengan demikian dipandang dapat berkaitan dengan institusi politik. Ayat al Qur’an tersebut adalah terdapat pada surat Al-An’am ayat 165: dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menurut fitrahnya sendiri manusia dengan sendirinya terdorong untuk membangun kekuasaan untuk kepentingan mengatur kehidupan politiknya. Secara historis tidak bisa dibantah bahwa setelah Nabi Muhammad wafat institusi politik yang dilembagakan secara formal disebut dengan istilah khalifah, walaupun pada mulanya tidak dimaksudkan sebagai nama lembaga politik tertentu, tetapi lebih berarti sebagai penerimaan atau penggantian dari suatu kekuasaan terdahulu.

Kata Sultan dan Sultah berasal dari akar kata yang sama dengan sallata berarti memberi kekuasaan, sultah berarti kekuasaan (dalam arti umum), sultanah lembaga kekuasaan politik yang dipimpin sultan. Khalifah merupakan simbol kekuasaan keagamaan yang sah, sementara sultan hanya pelaksana setelah mendapat pengesahan khalifah. Sehingga dengan demikian penguasa pada institusi politik tertinggi (pemerintahan) disebut khalifah.


  1. Syarat syarat pemimpin

Ahmad Abdul Qodir Abu Fariz memberikan 12 persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang kepala negara yaitu ; Islam, dewasa atau aqil baligh, berakal, merdeka, laki-laki, adalah (Kelayakan Moral), mempunyai kemampuan, berpengetahuan, tidak meminta Imaroh atau jabatan, berdiam di dalam negeri, sehat indra dan anggota badan, keturunan Quraisy. 33

Sementara menurut Sulaiman Rosyid dalam Fiqh Islam menjelaskan beberapa syarat menjadi seorang pemimpin adalah berpengetahuan tinggi, adil, kifayah atau bertanggung jawab, dan sejahtera panca indera dan anggotanya.34

Beberapa diantara Syarat-syarat ini menurut penulis bisa digunakan sebagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pemimpin yang ada di lingkungan masyarakat Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim, bahkan di lingkungan kota santri. Syarat-syarat tersebut adalah :




  1. Islam

Kepala negara atau pemimpin apapun dalam lingkungan masyarakat Islam harus beragama Islam. Orang kafir sehebat apapun tidak dibenarkan memegang jabatan penting ini secara mutlak. Masyarakat Islam akan berada pada sebuah ancaman yang besar ketika mereka mengangkat pemimpin dari golongan non Islam. Dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa orang-orang non Islam selamanya tidak akan pernah rela melihat orang Islam berada dalam kejayaan.

Dalam al Qur’an surat al Baqoroh ayat 120 dijelaskan :

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesunguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”35(QS. Al Baqoroh ; 120)
Sejarahpun mengatakan demikian. Mulai dari runtuhnya dinasti Abbasiyah oleh tentara Mongol sampai pada peperangan yang marak terjadi di negara Arab adalah bentuk nyata dari ketidakrelaan orang-orang atau negara non Islam terhadap kejayaan negara Islam.


  1. Dewasa atau aqil baligh

Seorang pemimpin ataupun kepala negara disyaratkan sudah baligh atau mencapai usia dewasa karena menjadi prasyarat beban agama atau taklif. Anak di bawah umur tidak dikenai kewajiban agama sedangkan imamah adalah taklif yang paling berat untuk diemban.

Keharusan seorang pemimpin memiliki sifat dewasa bukan saja dewasa dalam segi usia tapi juga memiliki kedewasaan dalam segi berfikir dan bersikap. Kedewasaan berpikir dan bersikap dibutuhkan oleh seorang pemimpin untuk menghadapi kemungkinan persoalan yang akan muncul sehingga dia mampu menghadapinya dengan sikap yang tenang dengan pemikiran yang matang.




  1. Berakal

Akal juga perangkat taklif agama. Olehsebab itu tidak dibenarkan mengangkat orang yang tidak sempurna akalnya (gila) menjadi pemimpin, melainkan harus memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi sehingga memungkinkan baginya berpikir dan mencermati persoalan-persoalan umat serta menemukan jalan keluar yang tepat.

Seorang calon pemimpin sudah selayaknya dilakukan tes oleh psikiater untuk mengetahui tingkat kewarasannya, ketahanan mentalnya dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi ketika dia menjabat sebagai seorang pemimpin. Atau dengan kata lain tingkat stresnya dalam menghadapi permasalahan yang muncul pada masa kepemimpinannya.

Gila di sini banyak macamnya, diantaranya gila harta sehingga bisa mengakibatkan seseorang menjadi koruptor. Gila jabatan yang bisa menyebabkan seseorang mempraktekkan money politik atau apapun namanya agar dia mendapatkan jabatan, walaupun dengan menghalalkan segala cara yang penting bisa menjabat. Demikian juga gila wanita yang mengakibatkan seorang pejabat melakukan perselingkuhan nasional, tidak cukup dengan satu istri tetapi memiliki banyak wanita simpanan sebagai tempat pencucian uang dengan mudah. Atau dengan kata lain gila harta, tahta dan wanita yang sekarang ini sedang marak dipraktikkan oleh para pejabat di Indonesia.

Pemimpin yang berakal adalah seorang pemimpin yang tidak gila harta,jabatan dan wanita. Pemimpin yang berakal adalah seorang pemimpin yang bekerja dan berjuang demi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyatnya. Bukan pemimpin yang berakal namanya jika dia hanya memikirkan kesejahteraan keluarganya dan kesenangan-kesenangan pribadinya, memburu kemewahan hidup akan tetapi dia adalah digolongkan pada pemimpin yang tidak waras atau gila.




  1. Merdeka

Syarat seorang pemimpin menurut Ahmad abdul qodir Abu Fariz adalah Bukan seorang hamba sahaya atau merdeka. Merdeka merupakan syarat mutlak yang harus juga dipenuhi oleh seorang pemimpin agar dia mempunyai kebebasan untuk mengurus urusan umat dan memiliki kewenangan atas orang lain dan dapat melakukan ibadah wajib dan sunnah secara bebas.

Hal ini mengandung pengertian bahwa seorang pemimpin memiliki kebebasan penuh dalam mengatur dan menjalankan roda pemerintahannya. Dalam bernegara dan berpolitik seorang pemimpin seharusnya sudah tidak lagi tergantung pada partai manapun yang mengusungnya tetapi ketika dia menjabat maka dia milik semua rakyatnya. Tidak dibenarkan jika dalam kepemimpinnya, dalam memutuskan kebijakannya masih dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan partainya atau salah satu partai tertentu sehingga kebijakan yang diambilnya terkesan berat sebelah.




  1. Laki-laki

Para ulama salaf dan juga khalaf telah sepakat bahwasanya tidak dibenarkan perempuan memegang kepmimpinan negara Islam karena bertitik tolak pada sabda Rosulullah :”tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada seorang perempuan.” Dan juga adanya firman Allah SWT ;

“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri36 ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)37 wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya38, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya39. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. An Nisa’ 34)

Kalimat laki-laki adalah pemimpin bagi wanita inilah yang kemudian dijadikan sandaran hukum untuk mengangkat laki-laki sebagai pemimpin dalam segala hal. Oleh sebab itu laki-laki lebih didahulukan dari pada perempuan, dan pada umumnya laki-laki lebih berkemampuan dari pada perempuan. Ayat ini meskipun diturunkan khusus mengenai kepemimpinan dalam keluarga akan tetapi ungkapan ayat ini menyangkut keumuman lafadz bukan keumuman sebab. Oleh sebab itu ayat ini tetap berlaku bagi kepemimpinan laki-laki dalam sebuah negara atau organisasi. Karena juga laki-laki dipandang lebih kuat fisik maupun mentalnya serta lebih lurus pandangannya dibanding perempuan. Secara psikologis perempuan lebih gampang trenyuh dan lebih sensitif perasaannya.

Akan tetapi pendapat ini banyak dibantah karena seorang wanitapun memiliki kemampuan untuk memimpin jika mereka diberi keleluasaan dan kesempatan. Sebagai bukti bahwa Indonesia pernah dipimpin oleh seorang presiden perempuan. Meskipun demikian pendapat diatas tidak bisa sepenuhnya dipungkiri karena diakui atau tidak kepemimpinan perempuan memiliki banyak kekurangan walaupun kepemimpinan laki-lakipun tidak jauh berbeda.




  1. ‘Adalah (kelayakan moral)

Yang dimaksud adil (layak moral) bagi calon kepala negara tidak berarti dia terpelihara dari kesalahan : ucapan, perbuatan dan sikap. Sebab sifat ma’shum hanya dimiliki oleh para rosul yang memang mendapat perlindungan dari Allah dari perbuatan dosa dan ma’siat.

Yang dimaksud dengan layak moral di sini adalah bahwa seorang pemimpin yang melaksanakan kewajiban-kewajiban dan rukun-rukun dalam rukun Islam dengan baik dan tetap menjauhi dosa-dosa besar, tidak terus menerus melakukan dosa dosa kecil. Meskipun dosa-dosa kecil tidak menggugurkan kelayakan moralnya namun harus segera beristighfar dari perbuatan salah dan dosa kecil yang disadari dengan tetap berniat untuk memperbaiki diri. Bertutur kata yang jujur, tampak teguh memegang amanah, jauh dari meragukan, dapat mengendalikan diri saat gembira dan saat marah, tidak secara terang-terangan melakukan maksiat dan tidak bertindak dlalim dalam pemerintahan.

Oleh sebab itu tidak dibenarkan mengangkat pemimpin yang fasik. Sebab orang fasik adalah orang yang meremehkan aturan agama, tidak peduli dengan perbuatan dosa, tidak menjauhi kedzaliman terhadap orang lain, dan sikap berat sebelah. Sementara itu seorang pemimpin memiliki tugas memerangi kemungkaran, menghukum orang-orang fasik dan pelanggar hukum. Jadi mana mungkin diangkat menjadi pemimpin seorang yang melakukan perbuatan-perbuatan buruk ?

Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa :


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ بُنْدَارٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar Bundar berkata, telah mencerit akan kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah berkata, telah menceritakan kepadaku Khubaib bin 'Abdurrahman dari Hafsh bin 'Ashim dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; pemimpin yang adil, seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan 'ibadah kepada Rabbnya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah; mereka tidak bertemu kecuali karena Allah dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang diajak berbuat maksiat oleh seorang wani :ta kaya lagi cantik lalu dia berkata, 'Aku takut kepada Allah', dan seorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, serta seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allah dengan mengasingkan diri hingga kedua matanya basah karena menangis."


Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa ada tujuh orang yang mendapatkan naungan Allah pada suatu masa dimana tidak ada naungan selain naungan Allah. Salah satu dari ketujuh orang itu adalah pemimpin yang adil disebut pertama kali dibanding ke enam orang lainnya. Pemimpin yang adil adalah seorang pemimpin yang menempatkan segala sesuatu, segala urusan ataupun segala permasalahan sesuai tempatnya, dan mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak menyimpang dari kaidah adil tersebut.

Dalam hadis lain diriwayatkan pula bahwa :


حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا فُضَيْلٌ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَإِنَّ أَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَشَدَّهُ عَذَابًا إِمَامٌ جَائِرٌ

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam berkata; telah menceritakan kepada kami Fudhail dari 'Athiyyah dari Abu Sa'id ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah 'azza wajalla pada hari kiamat dan paling dekat tempat duduknya dari-Nya adalah seorang pemimpin yang adil, sedangkan orang yang paling dibenci Allah pada hari kiamat dan paling keras siksanya adalah seorang pemimpin yang lalim."

Juga diriwayatkan bahwa:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا سَعْدَانُ الْجُهَنِيُّ عَنْ سَعْدٍ أَبِي مُجَاهِدٍ الطَّائِيِّ عَنْ أَبِي مُدِلَّةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِمَامُ الْعَادِلُ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُ

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Waki' berkata; telah menceritakan kepada kami Sa'dan Al Juhani dari Sa'd Abu Mujahid Ath Tha`i dari Abu Mudillah dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Seorang pemimpin yang adil tidak akan ditolak doanya."
Dari beberapa hadis di atas nampak jelas bahwa seorang pemimpin mendapatkan keutamaan di sisi Allah adalah pemimpin yang adil. Oleh sebab itu, hendaknya masyarakat santri dalam memilih pemimpinnya harus didasari pada tujuan untuk memilih pemimpin yang mampu bersikap adil dalam kepemimpinannya. Jika pemimpinnya adil maka masyarakatnya menjadi aman, nyaman dan tentram. Akan tetapi jika pemimpinnya dhalim maka masyarakatnya akan selalu dilanda konflik, kecemasan, penindasan dan kesewenang-wenangan dari pemimpinnya.


  1. Mempunyai kemampuan

Seorang pemimpin harus mampu mengarahkan diri pada kepentingan umat, berani dan tegar, memiliki daya nalar yang baik, memusatkan pikiran untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan mengurusinya, menyingkirkan kerusakan, cerdik dalam berpolitik, memiliki kesadaran tinggi, tidak lengah, memahami kemampuan para pembantunya dan akhlaq mereka agar dapat memilih dan menempatkan mereka pada posisi yang tepat.

Ibnu Khaldun berkata jika kepala negara tegas dalam menegakkan hukum pidana dan mendobrak peperangan, memahami politik hukum dan perang, mampu mengarahkan manusia kearah sana, mengetahui liku-liku persekongkolan, kuat menghadapi beratnya politik, maka dengan demikian ia mampu melindungi agama, memerangi musuh, menegakkan hukum, dan mengurus kepentingan.

لا يصلح الناس فوضى لا سراة لهم ولا سراة إذا جهالهم سادوا

“Manusia tidak akan beres tanpa pemimpin dan bukanlah seorang pemimpin jika orang yang bodoh yang memimpin”




  1. Berpengetahuan

Para ulama membuat persyaratan hendaknya seorang pemimpin memiliki ilmu pengetahuan. Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan. Sebagian mereka berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang disyaratkan adalah ijtihad. Alasannya adalah karena seorang pemimpin melihat persoalan-persoalan yang timbul yang ia hadapi. Apalagi jika ada perselisihan antara rakyat atau pejabatnya maka dia mampu berijtihad sehingga mampu membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah.

Artinya bahwa seorang pemimpin harus cerdas dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam masa kepemimpinannya. Memiliki pengetahuan luas sehingga dia mampu mencari solusi atau ide-ide baru guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul.

Asy-Syahristani mengemukakan : “sekelompok ahlussunnah cenderung membolehkan imam yang bukan mujtahid, yang tidak menguasai masalah ijtihad. Akan tetapi harus didampingi para mujtahid untuk menjadikan rujukan yang dapat memberi fatwa mengenai halal dan haram. Syarat ijtihad dan keberanian bagi imam tidak berlaku disebabkan karena dua persyaratan itu sulit ditemukan pada diri seseorang.40

أطلب في الحياة العلم والمال تحر الرئاسة على الناس لأنهم بين خاص وعام فالخاصة تفضلك بالعلم والعامة تفضلك بالمال41

Sehingga dengan adanya ungkapan ini maka seorang pemimpin harus memiliki ilmu pengetahuan minimal tentang ketatanegaraan dan politik. Sedangkan untuk pengetahuan-pengetahuan bidang yang lain bisa dibantu oleh para menteri-menteri yang diangkatnya.


  1. Tidak meminta imarah

Tidak meminta imarah atau jabatan. Abu Faris menjelaskan bahwa Islam melarang seseorang meminta jabatan kepemimpinan sebab menurutnya hal itu merupakan pengakuan diri suci, lebih suci dibanding orang lain. Sehingga dia layak dipilih. Ini merupakan hal yang tercela karena dzat yang paling suci adalah Allah SWT.42 Dengan mengutip potongan ayat firman Allah dalam QS. An Najm ayat 32:

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Dalam sebuah hadispun dijelaskan bahwa Rosulullahpun melarang umat Islam untuk meminta jabatan atau memberikan jabatan kepada orang yang memintanya. Sebagaimana sabda beliau: “Dan kami, demi Allah sungguh tidak memberikan kepemimpinan ini kepada seseorang yang memintanya, dan tidak pula yang berambisi kepadanya.

Dan pada kesempatan yang lain beliau juga bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah : “Hai Abdurrahman, janganlah kamu meminta kepemimpinan, sebab jika kamu diberi karena meminta kamu tidak akan dibantu, dan jika diberi bukan karena meminta, maka kamu akan dibantu..

Secara umum meminta kepemimpinan dalam agama ini dilarang. Nash-nash al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW yang jumlahnya cukup banyak menguatkan keharamannya atau setidaknya menunjukkan kemakruhannya. Apalagi meminta jabatan dengan memberikan uang kepada masyarakat agar masyarakat memilihya menjadi pemimpin. yang kemudian pemberian itu disebut money politik.

Money politik bisa dihukumi sebagai suap. Suap adalah memberikan harta atau barang berharga kepada orang lain dengan tujuan-tujuan tertentu selain Allah berdasarkan kepentingan-kepentingan pribadi. Ini hukumnya haram. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Hadist Sunan Abu Daud, hadis no 3109 :


حدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Al Harits bin Abdurrahman dari Abu Salamah dari Abdullah bin 'Amru ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melaknat orang yang memberi uang sogokan dan orang yang menerimanya."


  1. Berdiam di dalam negeri

Seorang pemimpin atau kepala negara harus warga negara yang bertempat tinggal di dalam negeri dan hidup bersama warganya dan ikut merasakan apa yang mereka hadapi. Karena tidak mungkin seorang pemimpin yang tidak tinggal di daerah atau wilayah kepemimpinannya bisa menangani masalah-masalah dan mengambil kebijakan politik dalam negeri dan luar negerinya dari jauh, dan diapun tidak ikut merasakan problem-problem yang dihadapi masyarakatnya di negaranya, tidak memiliki kepekaan dan mengambil kebijakan

Allah SWT berfirman dalam surat An Anfal ayat 72 :

“Sesungguhnya orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan kepada orang-orag muhajirin, mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan terhadap orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atas kamu melindungi mereka hingga mereka itu hijrah. (al-Anfal 72).43


  1. Sehat indra dan anggota badan

Maksud persyaratan ini adalah sehat indra dan anggota badan yang tidak menyebabkan gangguan serius dalam kepemimpinan seperti tidak mempunyai daya penglihatan, wicara, pendengaran dan lain-lain yang member pengaruh terhadap penalaran dan analisis. Sedangkan cacat fisik adalah seperti tidak sempurna kedua tangan atau kakinya yang menyebabkan gangguan pada kelincahan dan gerakan serta kurang menarik pemandangan serta megurangi wibawa dimata umum. Tidak juga gila, buta,tuli dan pelat serta kekurangan-kekurangan fisik atau mental yang berdampak tidak dapat melaksanakan pekerjaan. Diisyaratkan bebas dari itu semua dikarenakan berdampak pada kesempurnaan pelaksanaan tugas.

Di samping beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk kemudian bisa dipilih menjadi seorang pemimpin secara garis besar bisa kita simpulkan bahwa mereka juga harus memiliki ke empat sifat Rosulullah Muhammad SAW.

Rosulullah Muhammad SAW adalah seorang pemimpin yang sempurna. Beliau selain memiliki syarat-syarat yang telah disebutkan di atas juga memiiki sifat-sifat yang utama yang dianugrahkan Allah kepada beliau. Sifat tersebut adalah tabligh, shiddiq, amanah, dan fathonah. Semuanya itu menggambarkan kesempurnaan pribadi Rosulullah SAW sebagai sosok panutan serta bagaimana kaum muslimin menyikapi dalam menteladani perilaku beliau.44

Kesempurnaan beliau sebagai seorang pemimpin negara sudah selayaknya dijadikan acuan oleh para pemimpin bangsa Indonesia dalam segala lini. Sehingga selain persyaratan di atas maka seorang pemimpin juga harus memiliki sifat tabligh, shiddiq, amanah, fatonah.

Tabligh artinya menyampaikan. Dalam sebuah kepemimpinan seorang pemimpin harus transparan terhadap rakyatnya. Selalu menyampaikan segala sesuatu apa adanya tanpa harus ada yang ditutup tutupi, demi kelancaran kepemimpinannya dan kemaslahatan warganya. Sehingga terhindar dari perbuatan manipulasi dan pemalsuan data.

Shiddiq bermakna benar. Seorang pemimpin sudah seharusnya menjunjung tinggi kebenaran dan menyatakan perang terhadap kedloliman. Dalam sebuah kepemimpinan, seorang pemimpin ditutut untuk berlaku benar baik dalam ucapan maupun perbuatan.

Benar dalam ucapan adalah berkata benar atau jujur. menyampaikan segala sesuatu dengan benar, transparan tanpa ada aspek manipulasi.dengan memperhatikan sabda Rosul “katakanlah yang benar walaupun itu menyakikan.” Sedangkan benar dalam perbuatan adalah benar dalam bersikap, mengambil kebijakan kebijakan yang sifatnya untuk kemaslahatan umatnya/warganya

Amanah adalah melaksanakan kepemimpinan dengan jujur, Bertanggung jawab terhadap segala persoalan-persoalan yang muncul pada masa kepemimpinannya dengan sebaik-baiknya, dengan segala daya upayanya. Mengatasi persoalan-persoalan dengan bijaksana. Menghindar bahkan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela yang dapat mencoreng nama baik dirinya dan kepemimpinannya. Seperti korupsi, kolusi dan nepotisme atau perbuatan khianat lainnya yang sangat merugikan kepemimpinannya dan bahkan rakyatnya.

Fatonah artinya cerdas. Seorang pemimpin dituntut cerdas dalam berpikir, berucap dan bersikap. Cerdas dalam berfikir adalah seorang mampu memikirkan dan mencari solusi terhadap persoalan-persoalan yang muncul. Cerdas dalam berucap adalah selalu santun dan penuh tatakrama dalam berbahasa untuk menyampaikan ide-ide inovatifnya. Cerdas dalam bersikap adalah seorang pemimpin dituntut untuk bijaksana dan berusaha untuk selalu tepat dalam mengambil kebijakan-kebijakan terkait permasalahan-permasalahan dalam kepemimpinannya.


  1. Yüklə 0,56 Mb.

    Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin