Hegemoni faktor politik dan ekonomi dalam



Yüklə 0,56 Mb.
səhifə4/7
tarix11.09.2018
ölçüsü0,56 Mb.
#80287
1   2   3   4   5   6   7

Perilaku politik santri

Martin Van Bruinessen menjelaskan tentang hubungan antara ulama dan umaro selalu bersifat ambivalen. Pendapat ini dikuatkannya dengan mengemukakan sebuah hadis yang mengatakan “seburuk buruk ulama adalah mereka yang menemui umara dan sebaik-baik umara adalah mereka yang menemui ulama”. Pendasaran ini disebabkan adanya pemikiran bahwa ulama senantiasa memberikan legitimasi keagamaan kepada pemegang kekauasaan de facto. Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa kekuasaan itu selalu korup, dan berdekatan dengan mereka akan merusak harkat moral ulama dan integritas ajaran mereka,para ulama.45

Konsep politik dalam Islam sangat erat kaitannya dengan hukum, sebab salah satu yang penting dalam hukum Islam mengharuskan adanya lembaga kekuasaan untuk menjalankan hukum itu.46 Konsep politik dalam Islam adalah politik tingkat tinggi yaitu politik yang berpegang pada politik kebangsaan, politik kerakyatan dan etika politik.47

Politik kebangsaan adalah sebuah politik yang konsisten dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final Negara bagi bangsa indonsia yang selama berratus-ratus tahun diperjuangkan oleh para pejuang bangsa Indonesia.

Politik kerakyatan adalah politik yang aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun. Sehingga untuk itu semua etika politik harus ditanamkan pada para pejabat pada khususnya serta masyarakat dan bangsa pada umumnya agar tercipta kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara.

Etika politik adalah sebuah sikap yang harus dijunjung tinggi, dihayati dan diamalkan. Menurut Frans Magnis Suseno etika politik atau filsafat moral mengenai dimensi politik kehidupan manusia merupakan bagian dari etika sosial yang menyangkut tentang tanggung jawab dan kewajiban manusia terhadap sesamanya yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia tetapi juga terhadap Yang Ilahi.48 Etika politik yang harus diterapkan dalam pemerintahan di Indonesia pada umumnya adalah sebuah etika politik yang berlandaskan kepada pancasila.

Dalam Filsafat Pancasila terkandung suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif  (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Sebagai suatu nilai, Pancasila merupakan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila diambil dari nilai-nilai al Qur’an dan hadis yang merupakan karakter politik pesantren dan seharusnya juga menjadi karakter politik bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim dan beberapa wilayah di dalamnya merupakan basis pesantren. Dengan demikian sudah seharusnyalah politik yang digunakan harus berkarakter pesantren.

Menurut sejarah, sebagaimana yang dipaparkan Ainna Amalia, karakter politik pesantren sangat visioner, reformatif, dan reflektif dengan semangat perjuangan dan pemihakan bagi kepentingan masyarakat. Politik pesantren yang mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara lebih mengedepankan rasa optimisme dan selalu berfikir dan bertindak positif demi kepentingan rakyat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan itu semua maka butuhnya menjadikan nilai-nilai Qur’ani sebagai landasan atau roh bagi pembenahan sistem bernegara yang dimulai dari penataan mental manusianya.

Nila- nilai qur’ani tersebut adalah :



  1. Terciptanya sosok pemimpin yang mulia atau Al akrom. Yang diambil dari ayat alQur’an S. Al Hujurat ayat 13 :

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dalam ayat ini dijelaskan manusia yang mulia disisi Allah itu adalah manusia yang memegang teguh ketakwaannya. Hal ini mengandung pengertian bahwa bentuk individu yang ideal adalah yang memiliki kesalehan yang transendental. Politikus akrom dipersonifikasikan dengan niat baik penuh keikhlasan. Bertindak hanya karena Allah, bukan semata mata kepentingan pribadi atau golongan.



  1. Pemimpin yang solih atau al Sholih yang diambil dari QS. Al Anbiya’ ; 105.

dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur49 sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.”

Dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa individu dengan kesalihan horizontal adalah individu yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi, jujur, tawadu’ (humbleness), sederhana, santun dalam bertutur dan bertindak, istiqomah baik dalam bentuk kepatuhan terhadap aturan maupun ketaatan memenuhi tanggung jawab yang diemban.



  1. Pemimpin yang teladan al Uswah al hasanah (memiliki keteladanan) yaitu individu yang memiliki sikap, pola pikir dan tutur sapa yang dapat dijadikan suri tauladan bagi masyarakatnya, dengan kata lain dapat menjadi role model bagi orang lain yang dikembangkan menjadi bentuk komunikasi yang terbuka, demokratis, serta siap memimpin sekaligus bersedia dipimpin.

  2. Pemimpin yang tidak matre atau gila harta al Zuhd (tidak berorientasi pada materi). Individu dengan sifat Zuhd tidak akan memiliki orientasi hidup yang bersifat kebendaan dan jabatan. Sesuatu yang berupa materi hanya perantara untuk pencapaian yang lebih tinggi, yakni ridlo Allah SWT. Segala sesuatu yang dia lakukan di dunia bertujuan hanya untuk beribadah kepada Allah dalam rangka mewujudkan firman Allah :

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat : 56 )

  1. Pejuang al Kifah al Mawaddah (pemimpin yang memiliki daya juang). Individu yang memiliki daya juang akan berani melakukan sesuatu demi kemajuan masyarakat, bangsa, dan agama tanpa pamrih pribadi. Tidak takut dengan resiko yang dihadapi dengan selalu bertawakkal kepada Allah.

  2. Independen al I’timad ala al Nafs (kemandirian), yakni yang menghindari ketergantungan kepada pihak lain. Karena itu, independensi sikap, prinsip, dan pandangan hidup tidak terkoyak oleh pihak lain. Seorang politikus ketika menjabat sudah seharusnya melepaskan diri dari ketergantungan atau keterikatan dengan partai yang mengusungnya. Hal ini karena dia adalah pemimpin semua rakyat, milik semua rakyat dengan kebijakan yang adil dan menyeluruh untuk semua rakyat bukan untuk partainya saja. Maka sudah seharusnyalah dalam segala kebijakannya harus menjaga independensi sikap dari ketergantungan, keberpihakan atau pengaruh partainya.

Nilai-nilai tersebut bisa menjadi pegangan bagi tercapainya kehidupan bernegara yang adil dan sejahtera. Karena itu, sebenarnya tersemat harapan besar bagi kalangan pesantren yang terjun kedunia politik praktis atau politik di kalangan kota yang berbasis santri bahwa mereka dapat membawa missi pembenahan system demokrasi yang dianggap gagal.50 Hal ini semua bisa diwujudkan kalau para politikus muslim Indonesia tetap memposisikan sikap politiknya pada politik tingkat tinggi (high politics) bukan malah terhanyut pada pola permainan politik praktis/partai (low politics).

Berkaitan dengan itu semua diharapkan kepada semua warga, masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Islam pada khususnya untuk memilih pemimpin mereka dengan memperhatikan beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin tersebut yang sudah dipaparkan di muka. Hal ini diharapkan ketika pemimpin yang terpilih sesuai dengan persyaratannya maka akan terealisasi politik tingkat tinggi (high politics).

Akan tetapi apabila masyarakat Indonesia masih membiarkan dirinya terbuai dengan kenikmatan money politik yang sifatnya hanya sesaat dan membiarkan mereka politikus-politikus rakus yang berperangai seperti tikus menjabat maka tidak akan terwujud baldatun toyyibatun wa robbun ghoffur yang didamba-dambakan oleh pejuang bangsa. Karena jika benar itu dibiarkan terus terjadi maka bangsa akan mengalami kerugian dan kemunduran yang sangat drastis. Kalau tidak mau disebut pada akhirnya akan terjerembab pada kenistaan, karena korupsi dimana-mana, perselingkuhan merajalela dan menjadi trend pejabat bangsa. Maka masyarakatnyapun tak jauh berbeda….. na’uzubillah.

Antony Black menyatakan bahwa salah satu sebab kenapa negara menjadi mundur adalah disebabkan adanya pengangkatan pejabat yang tidak cakap, dan kesalahan mengalokasikan tanah garapan militer. Solusinya adalah dengan penghapusan tradisi suap, mengangkat hanya orang yang layak, memberikan gaji yang memadai kepada para pejabat negara, dan menyusun peraturan untuk penetapan timer. Memberikan jabatan politik dan militernya kepada orang yang memiliki latar belakang dan pendidikan yang sesuai.



Sebagaimana yang dikutip oleh antony black bahwa seorang penguasa harus jujur, teratur dan harus menghindari kemewahan. Pranata yang baik dalam pemerintahan dan agama dan restorasi kekuatan militer tergantung pada pelaksanaan syari’at. Hal ini tergantung pada ilmu agama dan karenanya sangat penting untuk mengangkat para ulama yang layak. Reformasi sitem pengangkatan pejabat agama khususnya syekhul islam dalam hal ini teramat dibutuhkan.51


  1. Kesimpulan dan penutup

  1. Kesimpulan

Ahmad Abdul Qodir Abu Fariz memberikan 12 persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang kepala negara yaitu ; Islam, dewasa atau aqil baligh, berakal, merdeka, laki-laki, adalah (Kelayakan Moral), Mempunyai Kemampuan, Berpengetahuan, tidak meminta Imaroh atau jabatan, berdiam di dalam negeri, sehat indra dan anggota badan, keturunan Quraisy.

Sementara menurut Sulaiman Rosyid dalam Fiqh Islam menjelaskan beberapa syarat menjadi seorang pemimpin adalah berpengetahuan tinggi, Adil, kifayah atau bertanggung jawab, dan sejahtera pancaindara dan anggotanya.

Politik ala pesantren adalah konsep politik yang diajarkan dalam Islam yaitu politik tingkat tinggi, politik yang berpegang pada dan menjunjung tinggi politik kebangsaan, politik kerakyatan dan etika politik.


  1. Penutup

Dengan lantunan Alhamdulillahirobbil ‘alamin yang tak terhingga, akhirnya artikel ini selesai juga meskipun dalam waktu yang cukup lama. Pun demikian artikel ini memiliki banyak kekurangan sehingga kami mohon keluasan pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan dan pengayaan penulis pada artikel-artikel selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, PT Srambi Ilmu Semesta, Jakarta 2006

Ainna amalia F.N, Psantren dan Anas Urbaningrum,Jawa Pos edisi Rabu 22 Januari 2014

Abdurrahman Tsanie, Mutiara Kehidupan Manusia, Ababil Pers Surabaya,2003

Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2005

Hamdan Daulay, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik, LESFI,Yogyakarta 2001

H. Jalaludin, Teologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002, cet 2

Michael T.Gibbons, Tafsir Politik, CV. Qolam, Yogyakarta, 2002

M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fikih dalam Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1994

Muhammad Abdul Qodir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, Robbani Press, Jakarta 2000

Martin Van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta 1998

Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, tt

KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN


Oleh Shofaussamawati52

Abstract
In Islam, leadership is very strategic, Islam considers that the leaders fulfill their duty to realize the condition of the people who baldatun thoyyibatun warobbun ghafur. Namely the Islamic community life systems implement Islamic values ​​so as to achieve the level of prosperity and well-being equitable with justice for all citizens.



Therefore it becomes very important for us to uncover how exactly the Quran as a source of doctrine and way of life of Muslims speak (giving demands) on the establishment of the leadership in Islam. The term leadership in the Koran are found by various terms, including the caliph, ulil amri. Whereas Imamate and leadership principles according to the Qur'an is trustworthy, fair, deliberation, and amar ma’ruf nahi munkar. Al-Qur'an also suggests qualities must a leader among which are patient and steadfast, able to demonstrate a good path to his people, and good.
Keywords: Leadership, Al-Quran, Islam


  1. Pendahuluan

Pada tahun 2014 ini Negara kita Indonesia mempunyai beberapa agenda politik, mulai dari pemilukada untuk memilih bupati, walikota dan gubernur di berbagai daerah, pemilu legislative untuk memilih para wakil rakyat baik DPRD TK II, DPRD TK I, DPR Pusat dan pemilu presiden untuk memilih capres dan cawapres sebagai pemimpin negara, sehingga banyak orang menyebut tahun ini adalah tahun politik.

Dari deretan agenda itu pada intinya masyarakat Indonesia mempunyai tugas untuk memilih para pimpinan baik dari tingkat daerah, bupati dan gubernur maupun tingkat pusat yaitu presiden.Yang menjadi permasalahan adalah masyarakat dalam memilih seorang pemimpin kebanyakan atau bahhkan bisa dikatakan mayoritas berdasarkan subyektifitasnya masing-masing.Maka bagaimana sebetulnya sumber ajaran kita umat Islam memberikan tuntunan dalam memilih seorang pemimpin. Di sisi lain seorang pemimpin yang sudah dipilih oleh rakyat dia juga harus tahu apa itu kepemimpinan dan bagaimana seseorang pemimpin itu bisa menjadi pemimpin yang ideal, bisa memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Oleh karena itu,dalam tulisan ini penulis berusaha untuk mengungkap apa itu kepemimpinan dan bagaimana kriteria seorang pemimpin dalam perspektif al-Qur’an.


  1. Istilah Kepemimpinan

Dalam kamus bahasa Indonesia istilah kepemimpinan berasal dari kata“pimpin” yang mempunyai arti “dibimbing”. Sedangkan kata pemimpin itusendiri mempunyai makna “orang yang memimpin.” Jadi kepemimpinanadalah cara untuk memimpin.53Sedangkan kepemimpinan ditinjau dari segi bahasa, berasal dari kataleadership (kepemimpinan) yang berasal dari kata leader (pemimpin).Kataini muncul sekitar tahun 1300-an. Sedangkan kata leadership munculkemudian sekitar tahun 1700-an. Hingga pada tahun 1940-an, kajian tentangkepemimpinan didasarkan pada teori sifat.Teori ini terbatas hanya mencarisifat-sifat kepribadian, sosial, fisik atau intelektual yang membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin.Artinya, kepemimpinan itu dibawa sejaklahir atau bakat bawaan.54

Jika kepemimpinan lebih memiliki arti luas, pemimpin merupakanspesifikasi dari kepemimpinan tersebut. Dengan demikian, pemimpin bisadiartikan sebagai individu yang menduduki suatu status tertentu di atasindividu yang lain di dalam kelompok, dapat dianggap seorang pimpinan ataupemimpin.55Hal ini memungkinkan bahwa dalam menduduki posisinyamelalui pemberian atribut-atribut secara formal atau tertentu.

Di dalam Al-Qur’an kepemimpinan diungkapkan dengan berabagai macam istilah antara lainkhalifah, Imam, Uli al-Amri, dan masih banyak lagi yang lainnya.


  1. Khalifah

Dalam Al-Qur’an kata yang berasal dari Kh-l-f ini ternyata disebut sebanyak 127 kali, dalam 12 kata kejadian. Maknanya berkisar diantara kata kerja menggantikan, meninggalkan, atau kata benda pengganti atau pewaris, tetapi ada juga yang artinya telah “menyimpang” seperti berselisih, menyalahi janji, atau beraneka ragam.56Sedangkan dari perkataan khalf yang artinya suksesi, pergantian atau generasi penerus, wakil, pengganti, penguasa – yang terulang sebanyak 22 kali dalam Al-Qur’an – lahir kata khilafah.Kata ini menurut keterangan Ensiklopedi Islam, adalah istilah yang muncul dalam sejarah pemerintahan Islam sebagai institusi politik Islam, yang bersinonim dengan kata imamah yangberarti kepemimpinan.57

Adapun ayat-ayat yang menunjukkan istilah khalifah baik dalam bentuk mufrad maupun jamaknya, antara lain:

وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة، قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك، قال إني أعلم ما لا تعلمون البقرة: 30
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Quraish Shihab di dalam “Tafsir al-Mishbah” mengatakan bahwa ayatini merupakan penyampaian Allah kepada para malaikat tentang rencana-Nyamenciptakan manusia di muka bumi ini. Penyampaian kepada mereka menjadisangat penting, karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkutmanusia. Ada yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yangbertugas memelihara, ada yang membimbingnya.58Penyampaian ini bisa jadi merupakan bagian dari proses penciptaanalam raya dan kesiapannya untuk dihuni manusia pertama (Adam) dengannyaman. Maksud Allah ini kemudian didengar oleh malaikat dan malaikat lalubertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah(manusia) ini akan merusak dan menumpahkan darah.59Dugaan iniberdasarkan pada pengalaman mereka sebelumnya. Pertanyaan mereka jugabisa lahir penamaan Allah terhadap makhluk yang akan diciptakan itu dengankhalifah.60

Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama’ yang lain telahmenjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah untukmenyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolongorang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanyakejahatan dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecualidengan adanya imam (pimpinan).61

أوعجبتم أن جاءكم ذكر من ربكم على رجل منكم لينذركم واذكروا إذ جعلكم خلفاء من بعد قوم نوح وزادكم في الخلق بصطة فاذكروا آلاء الله لعلكم تفلحون (الأعراف: 69


Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu?Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu).Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

وهو الذي جعلكم خلائف الأرض ورفع بعضكم فوق بعض درجات ليبلوكم في ما ءاتا كم ، إن ربك سريع العقاب وإنه لغفور الرحيم (الأنعام: 165



Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

يا داود إنا جعلناك خليفة في الأرض فاحكم بين الناس بالحق ولا تتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله ، إن الذين يضلون عن سبيل الله لهم عذاب شديد العقاب (ص: 26



Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Allah menyuruh kepada Nabi Dawud, untuk menjadi khalifah, menjadihakim di antara manusia, karena beliau mempuyai kekuasaan.Untuk itu manusia wajib mendengarkan dan mentaatinya.Kemudian Allah menjelaskan kepada Nabi Dawud kaidah-kaidah hukum untuk diajarkan kepada manusia.Pertama, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan dalil artinya hukumilah manusia dengan seadil-adinya sebagaimana berdirinya langit dan bumi.Ini merupakan kaidah-kaidah hukum yang paling utama dan penting dalam penegakan hukum.Kedua, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, artinya jangan condong dengan hawa nafsumu ketika memutuskan suatu perkara atau karena asanya kepentingan duninya ketika sedang menghukumi, maka sesunggunya mengikuti hawa hafsu akan lebih menjerumuskan ke api neraka sebagaimana Allah berfirman: “Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” artinyasesungguhnya mengikuti hawa nafsu menjadi sebab terjerumus kepadakesesatan dan melenceng dari kebenaran yang haqiqi dan akibatnya adalah,kedhaliman, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an “Sesungguhnyaorang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat,karena mereka melupakan hari perhitungan.” artinya sesungguhnya merekayang melenceng dari jalan kebenaran dan keadilan, dan mereka akanmendapatkan siksa yang amat besar dan pedinya dihari kiyamat nanti.62

Ayat ini mengisyaratkan bahwa, salah satu tugas dan kewajiban utamaseorang khalifah (pemimpin) adalah menegakkan supremasi hukum secara adil (al haq).Artinya tidak membedakan golongan, dan juga seorang pemimpin tidak boleh menjalankan kepemimpinannya dengan mengikuti hawa nafsu. Tugas kepemimpinan adalah tugas fisabilillah (jalan allah) dan karenanya mulia.

هو الذي جعلكم خلائف في الأرض ، فمن كفر فعليه كفره ولا يزيد الكافرين كفرهم عند ربهم إلا مقتا ، ولا يزيد

الكافرين كفرهم إلا خسارا (فاطر(39



Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.

Dari beberapa ayat tersebut di atas menjadi jelas, bahwa konsep khalifah dimulai sejak nabi Adam secara personil yaitu memimpin dirinya sendiri, dan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam juga mencakup memimpin dirinya sendiri yakni mengarahkandiri sendiri ke arah kebaikan.Disamping memimpin diri sendiri, konsep khalifah juga berlaku dalam memimpin umat, hal ini dapat dilihat dari diangkatnya nabi Daud sebagai khalifah.

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa (1) kata khalifah digunakan oleh al-Qur’an untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.Dalam hal ini Daud mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan; (2) Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu.Karena itu baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu (lihat QS 20:16 dan QS 38: 26).

Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai khalifah dijelaskan Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami). Jikalau benar kaidah yang mengatakan bahwa penggunaan bentuk plural, selain berarti lita’zhim, juga bisa bermakna mengandung keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat. Adapun Adam dipilih langsung oleh Allah, tanpa unsur keterlibatan pihak lain.Sejarah mencatat bahwa Daud bukan saja Nabi tetapi juga penguasa kerajaan (“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmahS.QS. 38: 20). Allah mengisyaratkan bahwa Daud bukan saja dipilih oleh Allah tetapi juga diangkat oleh masyarakat.

Oleh karena itu, dalam pandangan al-Qur’an, pemimpin yang diangkat oleh masyarakat sebenarnya berada pada posisi menerima amanah, sedangkan masyarakat sebagai pemberi amanah. Tentu saja, ajaran agama mengatur bahwa penerima amanah, pada saatnya nanti, harus mempertanggungjawabkan amanahnya kepada si pemberi amanah, yaitu pada “pengadilan” masyarakat di dunia, dan “pengadilan” Allah swt di Padang Mahsyar nanti.Konsep khalifah di sini mempunyai syarat antara lain, tidak membuat kerusakan di muka bumi, memutuskan suatu perkara secara adil dan tidak menuruti hawa nafsunya. Allah memberi ancaman bagi khalifah yang tidak melaksanakan perintah Allah tersebut.


  1. Imamah

Dalam Al-Qur’an kata imam terulang sebanyak 7 kali, sedangkan kata aimmahjamaknya kata imamterulang 5 kali.Kata imam dalam Al-Qur’an mempunyai beberapa arti yaitu, nabi, pedoman, kitab/buku/teks, jalan lurus, dan pemimpin.63

Adapun ayat-ayat yang menunjukkan istilah imam antara lain:

والذين يقولون ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما (الفرقان:

Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

وإذ ابتلى إبراهيم ربه بكلمات فأتمهن قال إني جاعلك للناس إماما قال ومن ذريتي قال لا ينال عهد الظالمين (البقرة:



Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".

Dalam Tafsir Al-Mizan karya Allamah Thabathaba’i juz 1 halaman. 273, dalam menjelaskan ayat di atas beliau menyebutkan sebuah riwayat yang diriwayatkan Imam Ja’far Ash-Shadiq as :

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menerima Nabi Ibrahim as sebagai seorang hamba sebelum Dia mengangkatnya menjadi seorang mabi, mengangkatnya menjadi nabi sebelum Dia memilihnya menjadi rasul, mengangkatnya menjadi rasul sebelum Ia menjadikannya sebagai kekasih-Nya (Khalilullah), dan menjadikannya sebagai khalilullah sebelum mengangkatnya menjadi seorang imam. Dan setelah Allah menganugerahkan semua itu kepadanya, Dia berfirman: “Sungguh Aku telah mengangkatmu menjadi imam bagi seluruh manusia”. Karena imamah itu sangat agung baginya, maka beliau memohon kepada Allah: “Dan dari keturunanku juga!”. Kemudian Allah menjawab: “Janjiku ini (imamah) tidak akan dapat digapai oleh orang-orang yang zalim”. Selanjutnya Imam Ja’far berkata: “Orang yang bodoh tidak akan menjadi imam bagi orang yang bertakwa”.

Allamah Thabathaba’i mengatakan berdasarkan riwayat di atas, yang dimaksud dengan “Kalimat” dalam ayat ini adalah imamah Nabi Ibrahim as, Ishak dan keturunannya yang kemudian ia menyempurnakannya dengan imamah Muhammad SAW dan para imam Ahlul Bayt a.s dari keturunan Nabi Ismail as Kemudian Allah memperjelas persoalan ini dengan firman-Nya: “Sungguh Aku akan menjadikan kamu imam bagi seluruh manusia.”

Allah menguji Nabi Ibrahim dengan berbagai macam ujian, dimana ujian yang diberikan kepada beliau.Sebagai seorang Nabi, ujian yang diberikan kepada beliau tidaklah ringan.Misalnya perintah untuk menyembelih anaknya.Padahal sudah bertahun-tahun beliau menginginkan anak, dan Allah mengabulkan permintaan beliau ketika usianya sudah lanjut.Maka betapa sulit kita bayangkan beratnya ujian yang beliau hadapi ketika anak yang sangat disayanginya masih muda belia tiba-tiba diminta untuk disembelih.

Biasanya memang kalau kita menyenangi sesuatu ,maka Allah akan menguji apakah kesenangan terhadap sesuatu itu melengahkan ingatnya kepada Allah. Tentu saja memang kualitas ujian berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Jika kita menyukai sesuatu dengan berlebihan maka Allah pasti akan menguji.

Begitu pula ujian bagi Nabi Ibrahim saat ia diusir oleh bapaknya. Ia tidak lagi diakui anak oleh Azar sang bapak. Begitu pula saat ia menghadapi raja Namrudz. Semua berhala ia hancurkan dengan tangannya, kecuali yang paling besar. Dengan menyisakan patung yang paling besar, ia bermaksud untuk menyadarkan masyarakatnya melalui nalar mereka. Dalam Al-Qur'an juga memberitakan perjalanan Nabi Ibrahim dalam menemukan Tuhan yang pantas disembah dengan melihat jagad raya ini hingga ia mengagumi bulan, matahari dan sebagainya dan akhirnya ia menemukan bahwa hanya Allah lah Dzat yang pantas untuk disembah. Ia berkesimpulan bahwa semua benda-benda yang ia temukan tadi akan hancur dan lenyap, dan ada Dzat yang tidak hancur dan lenyap yakni Allah SWT.

Begitu pula ujian yang ia terima untuk membangun Ka'bah dan meninggalkan istrinya, Hajar, sendirian di tanah yang tandus Makkah bersama anaknya, Ismail. Padahal saat itu ia berdomisili di Syiria. Nabi Ibrahim menjenguk anak istrinya ini hanya 3,5 tahun sekali, akibat jaraknya yang jauh. Ia betul-betul luarbiasa dalam bertawakkal kepada Allah SWT.

Bahwasanya dalam surat Al Baqarah ayat 124 mengisyaratkan bahwa kepemimpinan dan keteladanan harus berdasarkan keimanan dan ketaqwaan, pengetahuan dan keberhasilan dalam aneka ujian. Karena itu kepemimpinan tidak akan dapat dianugerahkan oleh Allah kepada orang-orang yang  zalim, yakni yang berlaku aniaya.

Dalam surat ini menjelaskan salah satu perbedaan yang menunjukkan ciri pandangan islam tentang kepemimpinan dengan pandangan-pandangan yang lain. Islam menilai bahwa kepemimpinan bukan hanya sekedar kontrak sosial, yang melahirkan janji dari pemimpin untuk melayani yang dipimpin sesuai kesepakatan bersama, serta ketaatan dari yang dipimpin kepada pemimpin, tetapi juga harus terjalin hubungan harmonis antara yang diberi wewenang memimpin dengan Tuhan.Yaitu berupa janjin untuk menjalankan kepemimpinan sesuai dengan nilai-nilai yang diamanatkan-Nya.

 (janjiku tidak mendapatkan orang-orang yang zalim), menunjukkan bahwa perolehan kepemimpinan lebih banyak merupakan anugerah, bukan upaya manusia. itulah sebabnya ayat tersebut menyatakan “janjiku tidak mendapatkan orang-orang yang zalim”, dalam arti bahwa mereka yang aktif mencari kedudukan , tetapi justru “janji” yang menjadi pelaku (subyek). Janji itu yang tidak menemui atau mendapatkan mereka.

Dari penafsiran QS Al Baqarah ayat 124 dapat dipahami bahwa kepemimpinan tergantung pada karakter pemimpinnya. Sifat-sifat yang dimiliki antara lain kepribadian, keunggulan fisik, dan kemampuan sosial.  Dalam ayat ini juga diterangkan bahwa kepemimpinan dalam islam lebih kepada anugerah bukan kepada upaya manusia. Dan tidak mungkin Allah memilih seorang yang zalim sebagai seorang pemimpin.Karakter pemimpin haruslah baik yang meliputi aspek kepribadian dan kemapuan sosial.Kepribadian yang dimiliki seorang pemimpin yang dimaksud tentunya tidak zalim seperti yang tercantum dalam QS Al Baqarah ayat 124.Artinya ayat ini juga menekankan terhadap identifikasi pribadi, pembangkitan motivasi oleh pemimpin dan pengaruh pemimpin terhadap tujuan- tujuan dan rasa percaya diri para pengikut. Identifikasi pribadi disini dapat diartikan  pengetahuan yang dimiliki seorang pemimpin, keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

وجعلناهم أئمة يهدون بأمرنا وأوحينا عليهم فعل الخيرات وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وكانوا لنا عابدين (الأنبياء:

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah

,ونريد أن نمن على الذين استضعفوا في الأرض ونجعلهم أئمة ونجعلهم الوارثون (القصص: 4



Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)

Konsep imam di sini, mempunyai syarat memerintahkan kepada kebajikan sekaligus melaksanakannya.Dan juga aspek menolong yang lemah sebagaimana yang diajarkan Allah, juga dianjurkan.



  1. Ulial- Amri

Istilah Ulual-Amri oleh ahli Al-Qur’an, Nazwar Syamsu, diterjemahkan sebagai functionaries, orang yang mengemban tugas, atau diserahi menjalankan fungsi tertentu dalam suatuorganisasi.64Hal yang menarik memahami uli al-Amri ini adalah keragaman pengertian yang terkandung dalam kata amr. Istilah yang mempunyai akar kata yang sama dengan amr yang berinduk kepada kata a-m-r, dalm Al-Qur’an berulang sebanyak 257 kali. Sedang kata amr sendiri disebut sebanyak 176 kali dengan berbagai arti, menurut konteks ayatnya.65kata amr bisa diterjemahkan dengan perintah (sebagai perintah Tuhan), urusan (manusia atau Tuhan), perkara, sesuatu, keputusan (oleh Tuhan atau manusia), kepastian (yang ditentukan oleh Tuhan), bahkan juga bisa diartikan sebagaia tugas, misi, kewajiban dan kepemimpinan.66

Berbeda dengan ayat-ayat yang menunjukkan istilah amr, ayat-ayat yang menunjuk pada istilah ulial-Amri dalam Al-Qur’an hanya disebut 2 kali

ياأيها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم ، فإن تنازعتم في شيئ فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الأخر ، ذلك خير وأحسن تأويلا (النساء:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

وإذا جاءكم أمر من الأمن أو الخوف أذاعوا به ، ولو ردوه إلى الرسول وإلى أولى الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم ، ولولا فضل الله عليكم ورحمته لاتبعتم الشيطان إلا قليلا (النساء:



Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (diantaramu).

Adapun maksud dari dua ayat di atas jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ulial-Amri adalah mereka yang mengurusi segala urusan umum, sehingga mereka termasuk orang-orang yang harus ditaati setelah taat terhadap perintah Rasul.Tidak disebutkannya kata taat pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan RasulNya, mka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka.Apabila terjadi persilangan pendapat maka yang diutamakan adalah Allah dan Rasul-Nya.




  1. Prinsip-prinsip Kepemimpinan

Dalam Al-Qur’an juga menyebutkan prinsip-prinsip kepemimpinan antara lain, amanah, adil, syura(musyawarah), dan amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al- munkar.

  1. Amanah

Dalam Kamus Kontemporer (al-Ashr) Amanah diartikan dengan kejujuran, kepercayaan (hal dapat dipercaya).67 Amanah ini merupakan salah satu sifat wajib bagi Rasul.Ada sebuah ungkapan “kekuasan adalah amanah, karena itu harus dilaksanakan dengan penuh amanah”. Ungkapan ini menurut Said Agil Husin Al-Munawwar, menyiratkan dua hal.Pertama, apabila manusia berkuasa di muka bumi, menjadi khalifah, maka kekuasaan yang diperoleh sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah SWT. (delegationofauthority) karena Allah sebagai sumber segala kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar amanah dari Allah yang bersifat relative, yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.Kedua,karena kekuasaan itu pada dasarnya amanah, maka pelaksanaannya pun memerlukan amanah. Amanah dalam hal ini adalah sikap penuh pertanggungjawaban, jujur dan memegang teguh prinsip.Amanah dalam arti ini sebagai prinsip atau nilai.68 Mengenai Amanah ini Allah berfirman:

إنا عرضنا الأمانة على السماوات والأرض والجبال فأبين أن يحملنها وأشفقن منها وحملها الإنسان ، إنه كان ظلوما جهولا (الأحزاب:



Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh

Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa amanah yang dimaksud adalah ketaatan dalam menjalankan kewajiban (taklif) syar’i, seperti sholat, puasa dan lainnya.Lebih jauh Az-Zuhaili menafsirkan bahwa kata amanah dalam ayat di atas juga mencakup amanah terhadap harta, menjaga kemaluan, menjaga pendengaran, penglihatan, lisan batin, tangan dan langkah kaki. Kegagalan menerima amanah ini (akibat manusia itu amat zalim dan amat bodoh) akan mengakibatkan manusia terbagi menjadi tiga golongan (sebagaimana diisyaratkan oleh ayat selanjutnya QS 33: 73): pertama, munafikin, yaitu sebagaimana digambarkan dalam hadis: kalau berkata selalu berdusta; kalau berjanji selalu ingkar; dan kalau diberi amanah berlaku khianat (Musnad Ahmad, Hadis Nomor: 6583); kedua, golongan musyrikin, yaitu golongan yang baik tersembunyi maupun terang-terangan telah berlaku syirik dan menentang Rasul; ketiga Mu’minun, yang dalam ayat ini digambarkan sebagai mereka yang diterima taubatnya.



Amanah keagamaaan yang dibebankan kepada manusia itu sedemikian berat, apalagi jika ditambah amanah keduniawian berupa kekuasaan.Sudah jelas bahwa dua golongan pertama, munafik dan musyrik, bukan saja gagal menerima amanah keagamaan namun harus dipandang tidak juga layak menerima amanah keduniawian. Perhatikan firman Allah berikut ini : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.”

Tinggal satu golongan lagi yang layak menerima dan menjalankan amanah, yaitu golongan mu’min.Namun mengapa Allah mengisyaratkan Mu’min yang layak menerima amanah itu sebagai Mu’min yang diterima tobatnya?Rupanya, Allah tahu bahwa seorang pemimpin tidak bebas dari kesalahan.Adam dan Daud yang disebut sebagai khalifah ternyata juga sempat melakukan perbuatan tercela.Namun mereka segera bertaubat (lihat Qs 7: 23 dan Qs 38: 25).Jadi, carilah pemimpin yang bersedia dikoreksi, bersedia mengakui kesalahan, bersedia memperbaiki kesalahannya, dan gemar mengucapkan isitighfar pada Allah swt.sebagai wujud kehinaan dan kerendahan diri ketika berhadapan dengan Dzat Yang Maha Agung.

Apakah kriteria itu sudah cukup? Allah mengingatkan Daud dalam QS 38: 26, “Hai Daud, sesungguhanya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” Allah sebagai pemberi amanah dari “langit” menentukan bahwa pemimpin itu harus menegakkan hukum (law enforcement) dan keadilan serta menghindarkan diri dari mengikuti hawa nafsu. Tanpa keadilan, yang berlaku adalah “hukum rimba”: siapa yang kuat, maka dialah yang menang. Hawa nafsu adalah godaan terus menerus didalam diri kita yang selalu mengajak kita untuk menyimpang dari kebenaran.Hawa nafsu jugalah yang membawa penguasa terus memperkaya diri sementara rakyat makan tiwul.

Apakah semua itu sudah cukup? Dengarkan tuntutan penduduk “bumi” yang juga telah memberi amanah kepada Daud (Qs 38: 22), “Berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus (Wahdina ila sawa`i al-shirat).” Pesan dari “langit” akan keadilan dan kebenaran rupanya juga cocok dengan kebutuhan penduduk “bumi”. Namun ada satu tambahan, yaitu, masyarakat juga menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk kepada yang dipimpin akan sawa’i al-shirat. Kalau kita kembali merujuk pada Imam al-Mawardi, dalam al-Nukat wa al-’Uyun, pemberi amanah menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk kepada tujuan atau maksud-maksud yang benar.Ini berarti pemimpin tidak boleh memberi informasi yang keliru, plin-plan, bahkan juga tidak boleh menyembunyikan informasi yang benar, layak, pantas dan harus diketahui oleh masyarakat.Pemimpin juga harus menjadi teladan agar yang dipimpin merasa yakin bahwa pemimpin tidak pernah berniat mencelakakan masyarakat. Sebelum menunjuki jalan yang lurus, pemimpin harus “meluruskan” dirinya terlebih dahulu

إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل، إن الله نعمّا يعظكم به، إن الله كان سميعا بصيرا (النساء:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Dua ayat di atas jelas menunjukkan perintah Allah mengenai harus dilaksanakannya sebuah amanah.Manusia dalam melaksanakan amanah yang dikaitkan dengan tugas kepemimpinannya memerlukan dukungan dari ilmu pengetahuan dan hidayah dari Allah.Hal ini dapat dilihat firman Allah “Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu”, pengajarannya bisa lewat hidayah yang merupakan anugrah dari Allah, juga bisa melalui ilmu pengetahuan.

Dalam Al-Qur’an istilah Amanah juga diungkapkan dengan kata Risalah.

فتولى عنهم وقال يا قومي لقد أبلغتكم رسالة ربي ونصحت لكم ولكن لا تحبون التاصحين (الأعراف:



Maka Nabi Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat".

Dalam ayat datas, kata risalah yang dimaknai amanat.Maksudnya disini Allah telah memberikan amanat kepada nabi Shaleh untuk menyampaikan ajaran Tuhan kepada umatnya dan Nabi disini juga berfungsi sebagai pemimpin bagi umatnya.




  1. Adil

Kata Adil ini merupakan serapan dari bahsa arab ‘adl. Dalam Al-Qur’an istilah adil menggunakan tiga term yaitu ‘adl, qisth dan haqq.Dari akar kata ‘a-d-l sebagai kata benda, kata ini disebut sebanyak 14 kali dalam Al-Qur’an.Sedangkan kata qisth berasal dari akar kata q-s-th, diulang sebanyak 15 kali sebagai kata benda.69Sedangkan kata haqq dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 251 kali. Adapun ayat-ayat yang berbicara mengenai keadilan antara lain:

قل أمر ربي بالقسط، وأقيموا وجوهكم عند كل مسجد وادعوه مخلصين له الدين، كما بدأكم تعودون (الأعراف:(29


Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menyuruh orang menjalankan keadailan. Secara konkret, yang disebut keadilan (qisth) itu adalah: (a) mengkonsentrasikan perhatian dalam shalat kepada Allah dan (b) mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.[22]Dari uraian tersebut dapat ditarik kepada aspek kepemimpinan, yaitu seorang pemimpin harus benar-benar ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan juga orientasinya semata-mata karena Allah. Sehingga ketika dua hal tersebut sudah tertanam maka akan melahirkan suatu tingkah laku yang baik.

إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل إن الله نعمّا يعظكم به، إن الله كان سميعا بصيرا (النساء:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Ayat di atas juga telah disinggung pada pembahasan amanah, karena ayat tersebut mengajarkan manusia tentang dasar-dasar pemerintahan yang baik dan benar yaitu menjalankan amanah dan menetapkan suatu hukum dengan adil.

ولقد أرسلنا رسلا من قبلك منهم من قصصنا عليك ومنهم من لم نقصص عليك، وما كان لرسول أن يأتي بأية إلا بإذن الله، فإذا جاء أمر الله قضي بالحق وخسر هنالك المبطلون (المؤمن:



Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil.Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batilAyat ini juga berisi tentang perintah berbuat adil, yang didalmnya digambarkan tentang keadilan yang dijalnkan oleh utusan Allah yang juga berfungsi sebagai pemimpin bagi umatnya.
c. Musyawarah

Musyawarah, apabila diambil dari kata kerja syawara-yusyawiru, atau syura, yang berasal dari kata syawara-yasyuru, adalah kata-kata yang terdapat dalam Al-Qur’an. Yang pertama merujuk merujuk pada ayat 159 surat Alu Imran, sedangkan istilah syura merujuk kepada Al-Qur’an surat Asy-Syura ayat 38.70 Selain dua istilah di atas ada juga kata yang maknanya menunjukkan musyawarah yaitu kata i’tamir dalam surat ath-Thalaq ayat 6. Adapun ayat-ayat tersebut di atas yaitu:

فبما رحمة من الله لنت لهم، ولو كنت فظّا غليظ القلب لانفضوا من حولك، فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الأمر، فإذا عزمت فتوكل على الله، إن الله يحب المتوكلين (ال عمران:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Dari kata “wasyawirhum” yang terdapat pada ayat ini mengandung konotasi “saling” atau “berinteraksi”, antara yang di atas dan yang di bawah. Dari pemahaman tersebut dapat ditarik kesimpulan behwa pemimpin yang baik adalah yang mengakomodir pendapat bawahannya artinya tidak otoriter.


والذين استجابوا لربهم وأقاموا الصلاة وأمرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون (الشورى:

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
Jika pada ayat sebelumya menunjukkan adanya interaksi, maka pada ayat ini yakni istilah syura terkandung konotasi “berasal dari pihak tertentu”.Dari sini juga dapat ditarik pemahaman bahwa tidak selamanya pemimpin harus mendengarkan bawahannya, artinya pemimpin harus bisa memilih situasi dan kondisi kapan dia harus mendengarkan bawahannya dan kapan pula dia harus memutuskan secara mandiri.Jadi pemimpin yang baik adalah pemimpin yang situasional.


  1. Amr Ma’ruf Nahy Munkar

Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, ada juga entry “amar makruf Nahi Munkar” yang diartikan sebagai “suruuhan untuk berbuat baik serta mencegah dari perbuatan jahat.”Istilah itu diperlakukan dal satu kesatuan istilah, dan satu kesatuan arti pula, seolah-olah keduanya tidak dapat dipisahkan.71 Istilah amrma’ruf nahy munkar - seperti ya’muruna bi al-ma’ruf wa yanhawna ‘an al-munkar - ternyata secara berulang disebut secara utuh, artinya tidak dipisahkan antara amr ma’ruf dan nahy munkar. Istilah tersebut berulang cukup banyak, 9 kali, sekalipun hanya dalam 5 surat.[26] Adapun ayat-ayat tersebut antara lain:

ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر، وأولئك هم المفلحون (ال عمران:



Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أوليآء بعض، يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة ويطيعون الله والرسول، أولئك سيرحمهم الله، إن الله عزيز حكيم (التوبة: 71)



Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

الذين إن مكناهم في الأرض أقاموا الصلاة وأتوا الزكاة وأمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر، ولله عاقبة الأمور (الحج



yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.

Ketiga ayat di atas menunjukkan perintah amr ma’ruf dan nahy munkar. Dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya yang disusun oleh Hasbi Ashshiddiqi dkk., ma'ruf diartikan sebagai segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.72 Dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip kepemimpinan amr ma’ruf dan nahy munkar sangat ditekankan oleh Allah karena dari prinsip ini akan melahirkan hal-hal yang akan membawa kebaikan pada suatu kepemimpinan.




  1. Sifat Pemimpin

Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah:

(1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin.Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut.

(2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya.

(3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan.




  1. Penutup

Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cermin" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".

DAFTAR PUSTAKA

Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta, tt.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. ke-4, 1994.

Ghalia Indonesia, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Hasbi Ashshiddiqi et.al.,Al-Qur’an Dan Terjemahnya,, Departemen Agama RI, Jakarta, tt.

M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 2002, Cet. II.

M. Quraish Shihab,

M. Hasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 1999.

Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press, Jakarta, 2002.

Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir Fli aqidah Wa syariah Wal Minha, Beirut: Darul Al- Fikri Al- Ma’sir, Juz 23, t.th.




Yüklə 0,56 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin