Home Kolom Blog Pustaka Hijabers Market
Sign in
Belum Jadi Member
Daftar Sekarang
Pustaka Islam Al-Qur'an Online Konsultasi Syariah Video Audio Live Makkah Live Madinah
Pustaka » Ulumul Hadits » Hadist » Macam-macam Hadits
Macam-macam Hadits
Ditinjau dari segi nilai sanad, hadits dikelompokkan dalam tiga macam, shohih, hasan, dan dhoif.
Kamis, 14 Juni 2012
Tulisan Terkait
-
Hadist
-
Hadits Adalah Sumber Hukum Islam Kedua
-
Hadits Pertama Arbain Nawawi
-
Tiga Unsur Hadits
Ditinjau dari segi nilai sanad, hadits dikelompokkan dalam tiga macam, shohih, hasan, dan dhoif.
1. Hadits Shohih, yaitu hadits yang cukup sanadnya dari awal sampai akhir dan oleh orang-orang yang sempurna hafalannya. Syarat hadits shohih adalah:
a. Sanadnya bersambung;
b. Perawinya adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga
kehormatan dirinya (muruah);
c. Dhobit, yakni memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki; dan
d. Hadits yang diriwayatkannya tidak bertentangan dengan hadits mutawatir atau dengan ayat al-Qur`an.
Hadits shohih dibagi dua:
a. Shohih Lizatihi, yakni hadits yang shohih dengan sendirinya tanpa diperkuat dengan keterangan lainnya. Contohnya adalah sabda Nabi Muhammad saw., ``Tangan di atas (yang memberi) lebih baik dari tangan di baivah (yang menerima). `` (HR. Bukhori dan Muslim)
b. Shohih Lighoirihi, yakni hadits yang keshohihannya diperkuat dengan keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi Muhammad saw., ``Kalau sekiranya tidak terlalu menyusahkan umatku untuk mengerjakannya, maka aku perintahkan bersiwak (gosok gigi) setiap akan sholat.`` (HR. Hasan)
Dilihat dari sanadnya, semata-mata hadits Hasan Lizatihi, namun karena dikuatkan dengan riwayat Bukhori, maka jadilah ia shohih lighoirihi.
2. Hadits Hasan, adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun tidak sempurna hafalannya. Hadits hasan dibagi dua:
a. Hasan Lizatihi, yakni hadits yang dengan sendirinya dikatakan hasan. Hadits ini ada yang sampai ke tingkat lighoirihi;
dan
b. Hasan Lighoirihi, yakni hadits yang derajat hasannya dibantu dengan keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi
Muhammad saw., ``Sembelihan bagi bayi hezvan yang berada dalam perut ibunya, cukuplah dengan sembelihan ibunya saja.`` (HR. Tirmidzi, Hakim, dan Darimi)
Hadits di atas jika kita ambil sanad dari Imam Darimi, adalah Darimi menerima dari 1) Ishak bin Ibrohim, dari 2) Itab bin Bashir, dari 3) Ubaidillah bin Abu Ziyad, dari 4) Abu Zubair, dari 5) Jabir, dari Nabi Muhammad saw. Nama yang tercela dalam sanad di atas adalah nomor 3 (Ubaidillah bin Abu Ziyad). Sebab menurut Abu Yatim ia bukanlah seorang yang kuat hafalannya dan tidak teguh pendiriannya.:
3. Hadits Dhoif (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan. Contohnya, ``Barangsiapa berkata kepada orang miskin: `bergembiralah`, maka luajib baginya surga``. (HR. Ibnu A`di) Di antara perawi hadits tersebut ialah Abdul Mali bin Harun. Menurut Imam Yahya, ia seorang pendusta. Sedangkan Ibnu Hiban memvonisnya sebagai pemalsu hadits.
Dari segi keterputusan sanad, hadits dhoif terbagi menjadi lima macam:
a. hadits mursal, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi`in dengan menyebutkan ia menerimanya langsung dari Nabi Muhammad saw., padahal tabi`in (generasi setelah sahabat) tidaklah mungkin bertemu dengan nabi.
b. Hadits munqothi` yaitu hadits yang salah seorang rawinya gugur (tidak disebutkan namanya) tidak saja pada sahabat, namun bisa terjadi pada rawi yang di tengah atau di akhir;
c. Hadits al-mu`adhdhol, yaitu hadits yang dua orang atau lebih dari perawinya setelah sahabat secara berurutan tidak disebutkan dalam rangkaian sanad;
d. Hadits mudallas, yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan hadits tersebut dari orang yang sezaman dengannya, tetapi tidak menerimanya secara langsung dari yang bersangkutan;
e. Hadits mu`allal, yaitu hadits yang kelihatannya selamat, tetapi sesungguhnya memiliki cacat yang tersembunyi, baik pada sanad maupun pada matannya.
Ditinjau dari segi lain-lainnya, hadits dhoif terbagi dalam enam macam:
1. hadits mudhthorib, yaitu hadits yang kemampuan ingatan dan pemahaman periwayatnya kurang;
2. hadits maqluub, yaitu hadits yang terjadi pembalikan di dalamnya, baik pada sanad, nama periwayat, maupun matannya;
3. hadits mudho`af, yaitu hadits yang lemah matan dan sanadnya sehingga diperselisihkan oleh para `ulama. Contohnya, ``asal segala penyakit adalah dingin.`` (HR. Anas dengan sanad yang lemah)
4. hadits syaaz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang shiqoh,namun menyalahi riwayat orang banyak yang
shiqoh juga;
5. hadits mungkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang lemah dan riwayatnya berbeda dengan riwayat yang
shiqoh;
6. hadits matruuk, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang dituduh suka berdusta, nyata kefasikannya, ragu dalam periwayatan, atau pelupa.
ILMU AL-NASIKH WA AL-MANSUKH
-
A. Pengertian
Naskh menururt bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian.”
Ilmu Nasikh wa Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits yang datang kemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu.
Para muhadditsin memberikan ta’rif ilmu itu secara lengkap ialah:
هوالعلم ااذ ي يبحث عن الاحاديث المتعارضة التلى لايمكن التو فيق بينها من حيث الحكم على بعضها باء نه ناسخ, وعلى بعضهاالاخر بانه منسوخ, فما ثبت تقد مه كان منسوخا وما تاخره كان ناسخا.
”Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagianya, karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadis yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadis terakhir adalah sebagai nasikh.”[1]
-
B. Urgensi
Banyaknya redaksi hadis yang kontradiktif yang sulit dipahami maksudnya.
-
C. Fungsi
Memahami kandungan hadis nabi.
-
D. Obyek
Redaksi hadis yang kontradiktif yang selevel kemaqbulanya.
-
E. Metode
Ada dua metode yang dapat digunaka yaitu
-
Komparasi bir riwayah
-
Penjelasan Rasul dari hadis tersebut/teks hadis lain.
-
Penjelasan dari sahabat/rawi dari kitab syarah.
-
Lafadz hadis yang menunjukkan waktu ex. Ibtida’; qabliyah; ba’diyyah.
-
Komparasi data historis.[2]
-
F. Cara Mengetahui Nasikh wa Mansukh Hadis
a) Pernyataan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا مُعْرِّفُ بْنُ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلَاثٍ وَأَنَا آمُرُكُمْ بِهِنَّ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِي زِيَارَتِهَا تَذْكِرَةً وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ الْأَشْرِبَةِ أَنْ تَشْرَبُوا إِلَّا فِي ظُرُوفِ الْأَدَمِ فَاشْرَبُوا فِي كُلِّ وِعَاءٍ غَيْرَ أَنْ لَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ أَنْ تَأْكُلُوهَا بَعْدَ ثَلَاثٍ فَكُلُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِهَا فِي أَسْفَارِكُمْ
(ABUDAUD – 3212) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Mu’arrif bin Washilah dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku larang kalian dari tiga hal dan aku perintahkan kalian tiga hal tersebut. Aku telah melarang kalian dari ziarah kubur, sekarang lakukanlah karena di dalamnya terdapat peringatan. Aku telah melarang kalian dari meminum beberapa minuman kecuali jika minuman tersebut berada dalam geriba kulit. Minumlah dari segala bejana, tetapi jangan kalian minum sesuatu yang memabukkan. Dan aku telah melarang kalian dari memakan daging kurban setelah tiga hari, sekarang makan dan nikmatilah dalam perjalanan kalian!”
Dari hadis diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur adalah haram, kemudian memperbolehkan, bahkan dalam riwayat lain nabi menyebutkan sisi positif ziyarah kubur yakni karena di dalam ziyarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena mengingatkan kematian.
b) Media kedua adalah perkataan dan penjelasan dari sahabat,contoh
أخبرنا إسحاق إبراهيم قال أنبأنا إسماعيل وعبد الرزاق قالا حدثنا معمر عن الزهري عن عمر بن عبد العزيز عن إبراهيم بن عبد الله بن قارظ عن أبي هريرةقال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول توضئوا مما مست النار
Hadis diatas mansukh berdasarkan hadis yang juga diriwayatkan al Nasa’i :
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كَانَ آخِرَ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّار
Kedua redaksi hadith menjelaskan tentang makanan yang disentuh api (misal: dipanggang), namun isi dari kedua hadis tersebut bertentangan. Yang pertama menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang makan daging atau makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum melaksanakan ritual salat, sedang hadis yang kedua menerangkan diperbolehkan salat setelah memakan makanan yang disentuh api, disini diketahui bahwa hadis yang kedua memposisikan diri sebagai Nasikh, sedang hadis pertama mansukh.
Cara yang kedua ini menurut ppara ahli ushul harus diwajibkan adanya penjelasan bahwa dalam kronologisnya hadis yang kedua datang setelah hadis yang pertama.
c) Fakta sejarah, seperti hadits yang terdapat dalam kitabnya Imam Tirmidzi :
حدثنا محمد بن رافع النيسابوري ومحمود بن غيلان ويحيى بن موسى قالوا اخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن يحيى بن ابي كثير عن ابراهيم بن عبد الله بن قارظ عن السائب بن يزيد عن رافع بن خديج عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “افطر الحاجم والمحجوم”
Hadits diatas dimansukh oleh hadits berikut yang juga diriwayatkan Imam Tirmidzi :
حدثنا بشر بن هلال البصري حدثنا عبد الوارث بن سعيد حدثنا أيوب عن عكرمة عن بن عباس قال احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم صائم
Kedua hadis ini berbicara tentang bekam, hadits pertama berisi batalnya puasa antara orang yang membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan bahwa bekam tidak membatalkan puasa.
Hadits tentang batalnya puasa antara orang yang berbekam maupun orang yang membekam juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari jalur Shaddad. Imam syafi’i menerangkan bahwa hadits yang diriwayatkan shaddad peristiwanya terjadi pada hari al fath (fathu makkah) pada tahun 8 hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas terjadi pada haji Wada’ yang terjadi beberapa tahun setelah fathu makkah yakni pada tahun 10 hijriyah, maka hadits yang kedua menasakh hadits pertama.
d) Ijma’ ulama’; seperti hadits yang berbunyi :
حدثنا نصر بن عاصم الأنطاكي حدثنا يزيد بن هارون الواسطي حدثنا ابن أبي ذئب عن الحارث بن عبد الرحمن عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه ,قال أبو داود وكذا حديث عمر بن أبي سلمة عن أبيه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم إذا شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه قال أبو داود وكذا حديث سهيل عن أبي صالح عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم إنشربوا الرابعة فاقتلوهم وكذا حديث ابن أبي نعم عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم وكذا حديث عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم والشريد عن النبي صلى الله عليه وسلم وفي حديث الجدلي عن معاوية أن النبي صلى الله عليه وسلم قال فإن عاد في الثالثة أو الرابعة فاقتلوه
”Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia”.
Umar ibnul Khattab menjatuhkan delapan puluh kali dera sebagai hukuman bagi peminum khomr , berdasarkan musyawarah para sahabat, salah satunya yaitu sahabat Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang paling ringan atau rendah adalah delapan puluh kali dera. Umar akhirnya menyetujui pendapat tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan bersama, kemudian dikirimkan ke daaerah-daerah antara lain Syam yang waktu itu penguasanya Khalid dan Abu Ubaidah.
Imam Nawawi mengatakan: ”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”.
Jika keempat hal ini tidak ditemukan ketika terdapat suatu hadis yang kontradiksi maka menurut al Hazimi hal yang dilakukan adalah mentarjih hadis tersebut.[3]
-
G. Syarat-Syarat Nasakh
a) Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat ataudibatasi dengan waktu tertentu.
b) Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).
c) Adanya nasikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
d) Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau yang dihapus itu adalah tertuju pada mereka.
Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :
a) Adanya dua hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
b) Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
c) Harus diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilan ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.[4]
-
H. Kitab Rujukan
a) An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), namun tidak sampai ke tangan kita.
b) Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
c) Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad. Kitab ini terdiri dari tiga jilid kecil, juz yang ketiga bisa ditemukan di dar al kutub al mishriyyah dengan nomor 1587.
d) Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H).
e) An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.[5]
Referensi
http://ats-tsiqah.blogspot.com/2011/11/ilmu-nasikh-wa-mansukh.html diakses
30/04/2013.
Nurun Najwah, Hand Out Ulum Al-Hadis III
http://aam-ezaam.blogspot.com/2012/02/nasikh-mansukh.html diakses tanggal
30/04/2013.
Lidwa pustaka i-software. http://www.lidwapustaka.com
[1] http://ats-tsiqah.blogspot.com/2011/11/ilmu-nasikh-wa-mansukh.html diakses 30/04/2013
[2] Nurun Najwah, Hand Out Ulum Al-Hadis III
[3] http://aam-ezaam.blogspot.com/2012/02/nasikh-mansukh.html
[4] http://ats-tsiqah.blogspot.com/2011/11/ilmu-nasikh-wa-mansukh.html diakses 30/04/2013
[5] http://aam-ezaam.blogspot.com/2012/02/nasikh-mansukh.html
Kesimpulan singkat mengenai tajsim dan tasybih
yang perlu dipahami ialah :
(Dimensi) ruang/tempat, waktu, dan kesadaran adalah makhluk Allah. Allah tidak dibatasi ruang, waktu dan kesadaran makhluk. Bukankah Allah swt. sendiri telah berfirman: Tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya’ (QS Asy-Syuura :11); ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’ (QS Al-An’aam : 103); ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’.( QS Ash-Shaffaat:159) dan ayat-ayat lain yang serupa. Ayat-ayat inilah sebagai dalil yang kuat bahwa Allah swt. tidak bisa disamakan atau disifatkan seperti makhluk-Nya. Nash-nash yang menyatakan sifat atau perbuatan Sang Pencipta tentunya harus dipahami dengan landasan dalil-dalil bahwa ruang, waktu, pikiran, dan kesadaran adalah makhluk Allah, sehingga harus dipahami bahwa Allah swt. bukan makhluk, memahami makna “sifat atau perbuatan Allah” itu tentu dalam pengertian memahami sesuatu yang diluar batas ruang, waktu, dan kesadaran. Jika memahami ayat-ayat shifat itu memakai bahasa majazi/kiasan adalah sesuatu yang dibolehkan dan diajarkan oleh Nabi saw. Hal ini paling baik karena untuk menghidari orang terjerumus dalam mujassimah. Dengan meyakini ayat-ayat itu secara dzohir atau lahirnya ayat tanpa menjelaskan maknanya bahwa Allah swt. bukan seperti makhluk-Nya (tidak terikat waktu, ruang dan lain sebagainya ) orang bisa terjerumus kepada mujassimah.
Lebih mudahnya kami beri contoh, tatkala kita menyebutkan kata ‘Singa’ –yaitu berupa kata tunggal– maka dengan serta merta terbayang di dalam benak kita seekor binatang buas yang hidup dihutan. Makna yang sama pun akan hadir di dalam benak kita manakala kata tersebut disebutkan dalam bentuk tarkibi (susunan kata) yang tidak mengandung qarinah (petunjuk) yang memalingkannya dari makna ifradi (tunggal). Seperti kalimat yang berbunyi, ‘Saya melihat seekor singa sedang memakan mangsanya dihutan”. Kata Singa disini maknanya adalah sama yaitu bingatang buas. Sebaliknya, makna kata singa akan berubah sama sekali apabila di dalam susunan kata (kalimat) kita mengatakan, ‘Saya melihat singa sedang menyetir mobil ’. Maka yang dimaksud dari kata singa yang ada didalam kalimat ini adalah arti kiasan yaitu seorang laki-laki pemberani, bukan berarti binatang buas. Inilah kebiasaan orang Arab didalam memahami perkataan. Manakala seorang penyair berkata; ‘Dia menjadi singa atas saya, namun di medan perang dia tidak lebih hanya seekor burung onta yang lari karena suara terompet perang yang dibunyikan’.
Dari syair ini kita dapat mengetahui bahwa kata singa di atas tidak lain adalah seorang laki-laki yang berpura-pura berani di hadapan orang-orang yang lemah, namun kemudian lari sebagai seorang pengecut tatkala berhadapan dengan musuh dalam peperangan. Orang yang mengerti perkataan ini, tidak mungkin akan menamakannya sebagai orang yang merubah kalimat dengan sesuatu yang keluar dari makna dzahir perkataan.
Begitu juga susunan kata seperti, ‘Negeri ini berada didalam genggaman tangan Raja’. Orang akan memahami yang dimaksud kalimat ini ialah ‘Negeri ini berada dibawah kekuasaan dan kehendak Raja’. Susunan kata ini tetap sesuai atau tetap diucapkan meskipun pada kenyataannya Raja tersebut buntung tangannya. Jadi kata ‘genggaman tangan’ dalam kalimat ini sebagai kata kiasan/majazi yang harus disesuaikan maknanya.
Demikian juga halnya dengan ayat-ayat shifat Allah swt. (wajah-Nya, tangan-Nya, betis, turun, tertawa dan lain sebagainya) baik yang tertulis dalam Alqur’an maupun dalam Hadits, walaupun dhahir tektsnya tetap tertulis di dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi para sahabat dan ulama pakar menerangkan dan mensesuaikan maknanya dengan ke Maha Sucian dan keMaha Agungan-Nya atau diserahkan pe-makna-annya kepada Allah swt., untuk menghindari orang terjerumus dalam mujassimah.
Disini kita juga harus mencermati dan memahami dengan benar perkataan para imam seperti Imam Syafi’i dan para imam lainnya yang selalu dinukil oleh golongan Mujassimah. Apakah para imam itu menghendaki makna seperti golongan Mujassimah terjemahkan? Apakah jika para imam itu tidak melakukan takwil berarti mereka memaknainya seperti yang golongan Mujassimah terjemahkan?! Disinilah letak masalahnya! Para Ulama dalam menyikapi ayat-ayat/hadits-hadits shifat mempunyai beberapa tiga pendapat/aliran:
a). Ada golongan ulama mentafwidh artinya tidak berkomentar apapun, tidak memberikan arti apapun tentangnya. Mereka menyerahkan pe-makna-annya kepada Allah swt.. Artinya para ulama golongan ini tidak mau melibat kan diri dalam menafsirkannya, tafsirnya adalah bacaannya itu! Jadi gologan ulama ini tidak memiliki aliran tapi mereka ini tidak berarti menjadi menta’thil (menafikan) dari pensifatan! Itu hanya khayalan kaum mujassimah dan musyabbihah belaka!
b). Ada golongan ulama yang menakwilkannya, dengan penakwilan tertentu yaitu memberikan penafsiran yang sesuai dengan ke Mahasucian dan ke-Maha-agungan Allah swt., ini dibolehkan.
c). Golongan lainnya lagi mengartikan kata-kata shifat itu dengan arti yang hakiki/sesungguhnya seperti kata: Yanzilu diartikan turun secara hakiki, Yadun diartikan tangan secara hakiki, dhohika diartikan tertawa secara hakiki dan begitu seterusnya, yang semuanya ini tidak lain menjurus kepada tajsim dan tasybih Allah swt. kepada Makhluk-Nya. Karena secara bahasa dhahika itu tertawa, dan tertawa itu artinya jelas dalam kamus-kamus bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Kata yanzilu secara bahasa artinya turun, dan turun itu meniscayakan adanya perpindahan dan perpindahan itu meniscayakan adanya gerak, dan gerak itu adalah konsekuensi dari sifat benda, itu jelas sekali ! Kalau kata yanzilu tanpa perpindahan dan gerak ya namanya bukan yanzilu! Itu berarti memaknai kata itu bukan dengan makna bahasa sesungguhnya! Wallahu a’lam.
Marilah kita baca dibawah ini sebagian isi khotbah Amirul Mukminin Imam Ali Bin Abi Thalib k.w. yang sangat bagus sekali mengenai sifat Allah swt. dari kitab Nahjul Balaqhoh terjemahan O.Hashem, Syarah oleh M.Hashem, Yapi 1990, Khotbah Pertama halaman 108-109 sebagai berikut:
“Segala puji bagi Allah yang nilai-Nya tidak terlukiskan oleh pembicara. Tidak terhitung nikmat-Nya oleh para penghitung. Hak-Nya akan pengabdian tidak akan terpenuhi oleh para pengupaya. Tidak dapat dicapai Dia oleh ketinggian intelek dan tidak pula terselami oleh pemahaman yang bagaimanapun dalamnya. Ia, yang sifat-Nya tiada terbatasi lukisan, pujian yang tepat tidaklah maujud (Maha ada). Sang waktu tidaklah dapat memberi batas, dan tidak kurun yang mengikat-Nya.
Pangkal agama adalah ma’rifat-Nya, dan kesempurnaan ma’rifat-Nya adalah membenarkan-Nya dan kesempurnaan iman kepada keesaan-Nya adalah ikhlas kepada-Nya, dan kesempurnaan ikhlas kepada-Nya, adalah menafikan sifat yang diberikan kepada-Nya, karena setiap sifat membuktikan bahwa ia bukanlah yang disifati dan setiap yang disifati membuktikan bahwa Ia bukanlah sifat.
Dan barangsiapa menyifatkan Allah yang Maha Suci, maka ia telah memberikan pasangan kepada-Nya. Dan barangsiapa memberi pasangan kepada-Nya maka ia telah menggandakan-Nya. Dan barangsiapa mengganda kan-Nya, maka ia telah membagi-bagi-Nya. Dan barangsiapa membagi-Nya, maka ia telah berlaku jahil kepada-Nya. Dan barangsiapa berlaku jahil kepada-Nya berarti ia telah menunjuk-Nya. Dan barangsiapa menunjukkan-Nya, berarti telah memberi batas kepada-Nya.
Dan barangsiapa membatasi-Nya, berarti memberi jumlah kepada-Nya.Dan barangsiapa berkata; ‘Di dalam apa Dia berada’ maka ia telah menyisipkan-Nya, dan barangsiapa berkata; ‘Di atas apa Dia berada’ maka sungguh Ia lepas dari hal tersebut.
Dia maujud, Maha ada, tetapi tidak muncul dari proses kejadian. Ia ada, tetapi tidak dari tiada. Ia bersama segala sesuatu, tapi tidak berdampingan. Dan Ia tidak bersama segala sesuatu, tanpa saling berpisahan. Ia bertindak, tetapi tidak berarti ia bergerak dan menggunakan alat. Ia Maha Melihat tapi tidak tergantung makhluk untuk dilihat. Ia Maha Esa dan tiada sesuatupun yang menemaninya, dan tidak merasa sepi karena ketiadaan”. Wallahu a’lam.
Semoga semua kaum muslimin diberi ampunan dan hidayah dari Allah swt. Amin
AYAT A’MM DAN KHAS
AYAT MUTLAK DAN MUQAYYAD
ABSTRAK
Konteks Syar’iyyah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dua sumber hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’i konteks Al-Qur’an dan Al-Hadits tersebut bisa berupa lafadz umum atau khusus. Lafadz yang umum atau al-‘aam, ketetapan hukumnya harus diartikan kepada semua satuannya secara pasti bila di sana tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai arahan hukumnya apakah pasti (qoth’iy) atau dugaan (dzonny), terdapat perbedaan pendapat ulama, yaitu antara golongan Ulama Jumhur (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanbaliyyah) dan Hanafiyyah. Pembahasan tentang dalil takhsis (yang menghususkan) lafadz ‘am insya Allah akan diuraikan dalam bab Takhsis.
Nash Al-Qur’an dan Al-Hadits juga ada yang berupa lafadz khusus (khosh), maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau memindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khosh ini terdapat lafadz mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Dan ada pula yang muqoyyad yakni lafadz yang yang dilakukan harus sesuai batasan (kaitnya)
KATA KUNCI
Amm : umum
Khas : khusus
Mutlak : tanpa terikat
Muqoyyad : terikat
Qat’I :pasti
Dzanni : dugaan
-
1. LAFADZ AMM DAN KHAS
Menurut para ushul fiqih ayat –ayat hokum bila dilihat dari segi cakupannya dapat dibagi kepada lafadz amm dan khas
Lafadz amm adalah ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencangkup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu (rahmat Syafi’I,2007.193)
Adapun dalam pendapat Al Amidi, seorang ulama’ mendefinisikan lafal amm sebagai berikut :
هوا للفظ الواحد ال علمسلمىن فصاعدامتلقامعا
Artinya : “suatu lafal yang menunjukkan dua hal atau lebih secara bersamaan dengan mutlak “
Dari devinisi diatas hakikat lafadz amm yaitu lafadz yang terdiri dari satu pengertian tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan pengertian setiap lafadz tunggal dapat dipakai untuk setiuap satuan pengertian secara sama dalam penggunaannya (www.C@hya Kehidup@n.htm)
Contoh lafadz amm seperti kata-kata “ Al- insani dalanm firman Alloh :
ان الا نسان لفى خسرالاالذىن امنوا وعملواالصالحات (العصر)
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam keadaan rugi, kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan ama saleh.
Kata-kata Al insani yang artinya manusia dalam ayat ini meliputi dan mencangkup seluruh makhluk yang disebut manusia.(Zaina Abidin.1975.68)
-
Lafadz-lafadz yang menunjukkan umum
ü Lafadz-lafadz, seperti;
كلّ : كل راع مسئول عن رعىتة
Artinya : setiap pemimpin dimintakan pertanggung jawaban tentang yang dipimpinnya
جميع : خلق لكم ما فى الأرض جميعا
Artinya : Alloh menjadikan segala sesuatu yang ada dibumi untuk kamu………….
Penjelasan : siapa saja yang menjadi poemimpin akan dimintai pertanggung jawaban oleh Alloh dan apa saja semua yang ada di bumi dijadikan alloh untuk kepentingan manusia.
ü Lafadz mufrad yang dima’rifatkan dengan Al-Jinsiyyah atau idhafah, berikut masing-masing contohnya :
والسارق والسارقة فاقطعواأيد يهما
Artinya : laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya……………(surat Al maidah)
الزنىة والزانى فا جلدواكلواحدمنهمامائة جلدة (النور)
Artinya : perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera
Penjelasan : semua nyang berzina baik laki-laki atau perempuan maupun lelaki wajib didera dan semua yang mencuri baik laki-laki maupun perempuan wajib dipotong tangannya
ü Isim nakirah sesudah لا انافية (la menidakkan) contoh:
ولاخناح عليكم فيماعرضتم به من خطبة النساء
Artinya: dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita dengan sindiran yang baik…….(surat Al baqoroh 235)
Penjelasan : ahwasanya tidak berdosa eseorang meminang wanita dengan sindiran yang baik
ü Isim istifham seperti ما,.من,اين,متى Firman Alloh:
متى نصرالله الاان نصرا لله قريب
Artinya: bilakah datangnya pertolongan Alloh ingatlah sesungguhnya pertolongan Alloh itu amatlah dekat.(surat Al Baqoroh 214)
Penjelasan : bahwasanya pertolongan Alloh itu bersifat umum kapan saja dapat diberikan (Zainal Abidan,1975. 70)
Terdapat perbedaan pendapat mengenai karakteristik dalalah al-‘am yang tidak mengkhususkan semua satuannya, apakah pasti atau dugaan. Menurut sebagian ulama ushul –di antaranya Syafi’iyyah- dalalah al-’am tersebut menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan, apabila dikhususkan maka sisa satuan al-‘am juga dalalahnya dugaan. Ulama ushul lain, termasuk di dalamnya Hanafiyyah berpendapat bahwa al-‘am yang tidak dikhususkan bersifat pasti sedangkan sisa satuan setelah pengkhususan adalah dzanni (bersifat dugaan).
Melalui pengkajian terhadap nash-nash, al-‘am dibagi menjadi tiga macam;
1) ‘Am yang secara pasti bermaksud keumuman, sebagaimana firman Allah:
وََمَا مِن دَابَّةٍ فِى الأرضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزقُهَا. (هود :٦ )
Artinya: “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi rizkinya”.
2) ‘Am yang secara pasti dimaksudkan sebagai kekhususan. Seperti Firman Allah SWT:
وَلله على الناس حِجُّ البَيتِ. ( ال عمران : ۹۸)
Artinya: “Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah”.
3) ‘Am yang dikhususkan, yaitu al-‘am al-muthlaq yang tidak disertai qorinah yang meniadakan kemungkinan pengkhususannya atau ditiadakan dalalahnya, seperti nash yang di dalamnya terdapat lafadz-lafadz ‘am dan tidak ada qorinah lafadz, akal atau kebiasaan yang bias menentukan kekhususan ataupun keumumannya sehingga keumumannya menjadi khusus sampai ada dalil yang mengkhususkannya, contoh; والمطلقات يتربّصن بأتفسهنّ ثلا ثة قروء “perempuan-perempuan yang dithalaq itu menunggu”. Menurut imam al-Syaukani, al-‘am yang dimaksudkan sebagai kekhususan adalah al-‘am yang ketika diucapkan disertai qorinah yang dapat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-‘am itu ialah khusus bukan umum. (Zainal Abidan,1975. 82
Seperti yang dikemukakan Adib Shalih , lafal khas yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang berbatas.para ulama’ ushulm fiqih sepakat seperti yang disebutkan Abu Zahrah , bahwa lafadz khas dalam nash syara’, menunjukkan kepada pengertiannya yang khas secara qat’I (pasti) dan hokum yang dikandungnya bersifat qat’I selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain contoh lafadz khas:
……فكيفارتهاطعام عشرةمساكين من او سط ما تطعمون اهليكموكسوتهم…….(المائد)
Artinya: …maka kaffarat melanggar sumpah itu , ialah member makan sepuluh orang miskin , yaitu dari makanan yang bisa kamu berikan kepada keluargamu, atau member pakaian kepada mereka
(Qs Al Maidah 89)
Kata asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh , tidak lebih dan tidak pula kurang t. arti sepuluh itu juga sudah pasti tidak ada kemungkinan pengrtian lain. Begitulah ayat khas dalam alqur’an, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain seperti ma’na majazi (metafora). (Satria Effendi, 2005.205 )
-
Perbedaan Pendapat Akibat ke khotian Dilalah Khas
a) Menurut ulama Hanafiah
Lafadz khas tidak memerlukan penjelasan dari hadits , sebab dilalah khas tidak memerlukan penjelasan. Jika ada nash lain yang bertentangan dengan lafadz khas tersebut maka dianggap sebagai nasakh lafadz khas.
b) Menurut jumhur ulama
Bahwasanya lafadz khas itu dilalahnya qath’I namun tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna, sehingga apabila terdapat naskh itu dipandang sabagai penjelasan terhadap lafadz khas itu
Perbedaan itu Contohnya pada masalah ruku’:
واركعوامعاراكعين
Artinya: ruku’lah bersama orang orang ruku’
Ulama’ hanafiah memandang bahwasanya ruku’ dalam sholat itu sebagai lafadz khas untuk suatu perbuatan yang maklum yaitu condong dan bardiri tegak tanpa tuma’ninah
Adapun hadits yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah :
قم فصل لانك لم تصل
Berdirilah dan sholatlah karena engkau belum sholat
Disini ulama’ hanafiah berpendapat bahwa tuma’ninah bukan syarat sahnya sholat , menurut mereka seandainya itu syarat sahnya sholat berarti merupakan penambahan atas lafadz khas AlQuran yang jelas.
Sedangkan menurut jumhur memandang lafadz khas itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka mereka memandang lafadz khas itu sebagai lafadz mujmal. Olah karena itu mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafadz khas yang terdapat dalam Alquran dengan hadits ahad yang merupakan penjelasanya .(Achmad Syaf’I.2007,190)
v Lafadz has berbertuk mutlak tanpa dibatasi qayyid atau syarat
Contoh:
والذين يظهرون من نسائهم ثم يعدون لما قا لوافتحريررقبة من قبل ان يتماسا ذالكمتو عظون به والله بما تعملون خبير
Atinya : orang –orang yang mendzihar istri mereka . kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
v Lafadz khas berbentuk muqqoyyad (dibatasi qayyid)
Contohnya surat Annisa’ 42
ومن قتل مؤمناخطاء فتحرير رقبة مؤمنة
Artinya: barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan seotang hamba sahaya yang beriman .
v Lafadz khas berbentuk amr
Contohnya dalam syurat annisa’ 58
ان الله ياء مروكم ان تؤدواالامنت الى اهلها
Artinya : sesungguhnya Alloh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerinanya
v Lafadz khas yang berbentuk larangan
Contoh surat annahl 90
ان الله ياء مرون با لعدل والاءحسن وايتائ ذئ القربى وينهى عن الفحشاء والمنكروالبغى يعظكم لعلكم تذكرون
Artinya: sesungguhnya Alloh menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan member kepada kaum kerabat dan Alloh melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (www.C@hya Kehidup@n.htm smbr : Juhaya).
2. MUTLAQ DAN MUQAYYAD
-
Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
Lafal Mutlaq
Kata mutlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu. Secara istilah, lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafal mutlak sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya. Dengan kata lain, lafal mutlak adalah lafal yang menunjukkan untuk suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu. Misalnya, rajulun (seorang laki-laki), rijalun, (banyak laki-laki), kitabun (buku).
Contoh lafal mutlaq dalam nash dapat diamati dari lafal raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadilah, 58:3:
-
والذين يظاهرون من نساءهم ثم يعودون لماقالوافتحريررقبةمن قبل ان يتماساذلكم توعظون به والله بماتعملون خبير
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekan seseorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercambur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menjelaskan tentang kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan memerdekannya budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat “maka merdekakanlah seorang budak” Mengingat lafal raqabah (budak) merupakan lafal mutlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat di atas merupakan bentuk nakirah dalam konteks positif.
Contoh lafal mutlaq lain dapat ditemukan pada firman Allah surat Al-Baqarah, 2:234:
-
والذين يتوفون منكم ويذ رون ازواجايتربصن بانفسهن اربعة اشهرا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’ibadah) empat bulan sepuluh hari.
Lafal azwajan (isteri-isteri) dalam ayat ini merupakan lafal mutlaq. Oleh sebab itu, tidak debedakan apakah wanita itu digauli atau belum digauli atau belum digauli oleh suaminya, maka apabila suaminya meninggal iddah wanita tersebut empat bulan sepuluh hari.
Dilihat secara sepintas lafal mutlaq mirip dengan lafal ‘aam, tetapi sebenarnya antara keduanya berbeda. Pada lafal ‘amm keumumannya bersifat syumuliy (melingkupi), sementara keumuman lafal mutlaq bersifat badali (mengingatkan). Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, sementara keumuman yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang menggambarkan untuk setiap satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuliy. Untuk melihat perbedaan antara kedua lafal ini dapat diamati dari firman Allah di bawah ini.
1. Firman Allah dalam surat Hud, 11:6:
-
ومامندابة فى الارض الاعلى الله رزقهاوىعام مستقرهاومستودعهاكل فى كتاب مبين
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Apabila diperhatikan secara seksama dalam ayat ini terdapat lafal ‘amm yang bersifat syuuliy (melingkupi), yaitu kata dabbah. Lafal ini umum karena bentuknya nakirah yang mencakup semua jenis binatang melata. Isyarat keumuman dalam ayat itu (menafikan sesuatu). Apabila lafal ‘amm pada ayat ini ditakhsis, bukan berarti menghapuskan makna-makna lain yang dikandung dari keumuman lafalnya. Makna-makna ini tetap dipandang ada, karena keumuman lafal ‘amm bersifat syumuli.
2. Firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2:67
-
واذقال موسى لقومه ان االله يا مركم ان تذبحوابقرة قالوا اتتخذناهزواقال اعوذ با الله ان اكون من الجاهلين
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina. Mereka menjawab: Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi seorang dari orang-orang yang jahil.
Dari ayat ini deketahui bahwa kata baqarah yang terdapat di dalamnya merupakan lafal mutlaq yang bersifat umum lagi bersifat badaliy. Keumuman lafal mutlaq ini meliputi bermacam-macam afrad. Apabila lafal mutlaq telah ditaqyid, maka afrad-afrad lainnya sebagai cakupan dari lafal mutlaq tersebut, tidak berkaku lagi.
Lafal Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu. Misalnya, ungkapan rajulun Iraki (seorang laki-laki asal Irak), hamba sahaya yang beriman.
Menurut Abu Zahrah pembatasan ini terdiri dari sifat, hal (keadaan), ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya. Pengggunaan sifat sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah surat al-Nisa’, 4:92:
-
ومن قتل مومناخطا فتحريررقبة مومنة
Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.
Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memrintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman. Contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat al-Maidah, 5:89:
لايواخذكم الله باللغوفى ايمانكم ولكن يواخذكم بماعقدتم الايمان فكفارته اطعام عشرة مسا كين من اوسط ما
تطعمون اهليكم اوكسوتهم اوتحريررقبة فمن لم يجدفصيام ثلاثة ايام ذ لك كفارةايمانكم اذاحلفتم واحفظوا ايما
نكم كذالك يبين الله لكم ءاياته لعلكم تشكرون
Allah tidak menghuku kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabka sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau meberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan janganlah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar bisa kamu bersyukur (kepada-Nya).
Ayat ini menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar kaffarat sumpah dengan ada qayyid daam bentuk syarat. Sebab, hal ini baru dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Adapun contoh muqayyad dalam bentuk ghayyah dapat diamati pada firman Allah surat al-Baqarah, 2:187:
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.
Dalam ayat ini terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan dengan batas waktu (ghayah), yaitu di al-lail (malam). Atas dasar ini, terlarang melakukan puasa washal (puasa sepanjang hari).
Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan muqayyad, bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal raqabah yang terdepat dalam surat al-Mujadilah, 58:3 di atas adalah bentuk mutlaq karena tidak diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik mukmin atau bukan mukmin. Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh di atas.
-
Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad
Kaidah lafazh mutlaq dan Muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
a. Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada sauatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
b. Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
c. Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
d. Mutlaq muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya salam.
e. Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
-
Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamlkan kemutlakannya, selama tidak ada dalik yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Yang menjadi persoalan di sini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah:
-
Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membaawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
-
Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
-
Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
-
Hal-Hal yang Diperselisihkan dalam Mutlaq dan Muqayyad
-
Kemutlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (mandu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur Ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hamafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.
Oleh sebab itu, mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahayanya. Sedangkan ulama Hanafiyah tidak mewjibkan membawa lafazh mutlaq pada muqayyad. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
-
Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut Ulama Hanafiyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah, pada kafarat zihar tidak mensyaratkan hamba mukmin. Sebaliknya, menurut jumhur ulama, harus membawa mutlaq kepada muqayyad secara mutlaq. Namun, menurut sebagian ulama Syafi’iyah, mutlaq dibawa pada muqayyad apabila ada illaat hukum yang sama, yakni dengan jalan qiyas. (Al-Amidi, 1968 : 11 : 112)
-
Alasan Masing-masing Golongan
v Alasan Hanafiyah
Merupakan suatu prisip bahwa kita melaksanakan adalah lafazh atas semua hukum yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga lafazh muthlaq tetap pada kemuthlaqannya dan lafazh muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Tiap-tiap nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri. Pembatasan terhadap keluasan makna yang terkandung pada mutlaq tanpa dalil dari lafazh itu sendiri berarti mempersempit yang bukan dari perintah syara’. Berdasarkan pada ini, lafazh muthlaq tidak bisa dibawa pada muqayyad, kecuali apabila terjadi saling menafikan antara dua hukum, yakni sekiranya mengamalkan salah satunya membawa pada tanaqud (saling bertentangan). (Al-Bazdawy, 1307, II:290)
v Alasan Jumhur
Al-Qur’an itu merupakan kesatuan hukum yang utuh dan antara satu ayat dengan ayat lainnya berkaitan, sehingga apabila ada suatu kata dalam Al-Qur’an yang menjelaskan hukum berarti hukum itu sama pada setiap tempat yang terdapat kata itu. (Asy-Syafi’i).
Alasan kedua, muqayyad itu harus menjadi dasar untuk menafikan dan menjelaskan maksud lafazh mutlaq. Sebab mutlaq itu kedudukannya bisa dikatakan sebagai orang dian, yang tidak menyebut qayyi. Di sini ia tidak menunjukkan adanya qayyid, dan tidak pula menolaknya, sedangkan muqayyid sebagai orang yang berbicara, yang menjelaskan adanya taqyid. Di sini tampak jelas adanya kewajiban memakai qayyid ketika adanya dan menolaknya apabila tidak adanya. Sehingga kedudukannya sebagai penafsir. Oleh sebab itu, ia lebih baik dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan maksud mutlaq. (Al-Amidi, 1968, II : 112).(rachmat Syafi’I,2007.212)
KESIMPULAN
Ketetapan hukum Sar’iy yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah kesana diperlukan kemampuan mempuni bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak bisa di pertanggung jawabkan dan diatas diterangkan cara-cara yang digunakan adalah dengam memahami ayat yang ada dalam alqur’an dan haditst.
Bahwasanya kita ketahui dalam penjelasan diatas ada beberapa macam lafaddan dimana dari macam- macam lafadz tadi dapat diartikan menurut macam kriteria lafadz itu, lafadz itu yakni amm, khas, mutlak, dan muqoyyad. Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya pemahaman lafadz diatas adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan.
Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan ini bisa dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan.
Top of Form
Bottom of Form
Dostları ilə paylaş: |