Issn 1693-6388 Edisi V, Maret 2010



Yüklə 0,62 Mb.
səhifə1/6
tarix18.01.2018
ölçüsü0,62 Mb.
#38870
  1   2   3   4   5   6


ISSN 1693-6388

Edisi V, Maret 2010


B

ergelayutan di pepohonan nan tinggi, owa jawa,

Hylobates moloch, menjadi penjelajah tajuk-tajuk
hutan yang tersisa di Pulau Jawa. Primata bertungkai
Jutaan manusia di Pulau Jawa telah mendesak owa jawa

ke kawasan hutan yang tersisa dan terpenggal-penggal.

Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan,

Vol IX, No.5 Maret 2010



lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan

beberapa keping belantara di Jawa sisi barat dan bagian tengah Jawa. Owa jawa yang berdiam di Jawa Barat berwarna lebih gelap dibandingkan kerabatnya yang berada di Jawa bagian tengah.


Primata tak berekor ini berwatak arboreal: sebagian besar hidup di atas pohon dan jarang turun ke tanah. Owa jawa menyusuri hutan dengan bergerak dari satu pohon ke pohon. Dengan demikian, kelangsungan hidup satwa ini mensyaratkan hutan yang lebat dan rimbun.

P. Jawa
Sebaran owa jawa


Dihimpun dari segala sumber

pepohonan juga menyediakan sumber pakan owa

jawa. Andaikan pakan melimpah, namun tajuk pohon terputus-putus, satwa ini hanya akan sekarat di lumbung pakannya.


Masa depan yang suram tercermin dari masuknya owa jawa dalam barisan satwa kritis (Critically endangered) dalam Daftar Merah IUCN dan Apendiks I CITES: dilarang untuk didagangkan. Meski jumlah populasi tak pasti, diperkirakan jumlah owa jawa di alam tak lebih dari kisaran 4.000 - 4500 ekor.

SUSUNAN REDAKSI

PENANGGUNG JAWAB

Sekretaris Direktorat Jenderal PHKA


PEMIMPIN REDAKSI

Agus Haryanta

(Kepala Sub Direktorat Informasi Konservasi Alam)
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI

Pam E. Minnigh

(Direktur Eksekutif Pusat Informasi Lingkungan Indonesia - Green
Network)
REDAKTUR PELAKSANA

Kepala Seksi Analisis Data dan Publikasi



Putri Indonesia 2009 Qory Sandioriva (ketiga dari kiri) didampingi Zukhriatul Hafizah, Putri

Indonesia Lingkungan 2009 (terkiri) Isti Ayu Pratiwi, Putri Indonesia Pariwisata 2009 (kedua dari


kiri) mengunjungi Pusat Penyelamatan Satwa - Animal Sanctuary Trust Indonesia Gadog, Bogor.

Andhika Vega Praputra

Kepala Seksi Pengembangan Sistem Informasi
EDITOR

Kasubdit Ditjen PHKA

Agus Prijono (PILI-Green Network)

endung bulan Maret yang
menggelayut di langit

satwa belang berkumis itu. Qory


menambahkan, tak sedikit orang rela

Prancis di Universitas Indonesia.

Dengan begitu, mamalia pemakan

Bisro Sya’bani (Pusat Informasi Konservasi Alam)


KONTRIBUTOR


M

Gadog, Bogor, seakan

mengeluarkan uang banyak untuk

daging itu akan menjalankan

Seluruh staff lingkup Ditjen PHKA pusat dan daerah

ikut merasakan kegelisahan Puteri

Indonesia 2009 Qory Sandioriva.

Qory, sapaan akrabnya, resah melihat kenyataan nasib harimau sumatera, Panthera tigris sumatrae, yang sedang di tubir kepunahan.
Sejak Departemen Kehutanan

menobatkannya sebagai Duta Harimau pada Januari silam, kesibukan Qory kini akrab dengan pelestarian satwa pemangsa itu.


Dara asal Aceh ini berkesempatan
menyambangi empat ekor ha-
rimau sumatera yang sedang
menghuni kandang transit di Pusat
Penyelamatan Satwa - Animal

Sanctuary Trust Indonesia Gadog (PPS - ASTI Gadog). “Kucing besar ini terancam oleh banyak hal. Salah satunya, makin menyempitnya kawasan hutan yang menjadi tempat hidupnya,” tutur Qory.

Demikian pula, maraknya per-
dagangan ilegal juga mengancam

memelihara harimau su-matera. “Tak

hanya dalam keadaan hidup, bahkan,
bagian tubuh ha-rimau hasil awetan
pun banyak diburu para kolektor.”
Peraturan pemerintah memang melarang perburuan, perdagangan, serta kepemilikan satwa ilegal untuk menjaga keberadaan satwa kharismatis ini. “Namun, hukum

masih perlu ditegakkan, agar menimbulkan efek jera,” ujar gadis belia 18 tahun ini.

Selain itu, sisi ekonomi dari
perdagangan ilegal satwa juga
perlu dipertimbangkan. Qory

menghimbau masyarakat untuk menghindari perdagangan ilegal. “Kalau tidak ikut membeli, khan, pasti lama-lama tak ada yang menjual,” tambahnya.


“Seharusnya harimau sumatera bisa
hidup tenang di alam,” ujar gadis
yang masih menempuh studi Sastra

perannya sebagai pemangsa pun-cak

pada rantai makanan untuk menjaga

keseimbangan ekosistem.


“Terkadang kita salah kaprah,

menyayangi dengan cara meme-

liharanya di kandang,” papar

Qory, “dan, memberi makanan

yang menurut kita baik.” Harimau

sumatera seharusnya hidup se-

suai dengan kebiasaannya di alam.

“Jika kita memeliharanya di rumah,

akan membuat harimau sumatera

menderita secara fisik dan psikologis,”

ujar Qory.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai

Duta Harimau, Qory lebih menyasar

kalangan muda. Dirinya akan

menggunakan pendekatan ajakan,

dan memberi teladan bagi generasi

penerus. Menurut Qory, pendekatan

itu lebih baik dibandingkan cara

penegakan hukum. “Pendidikan

konservasi berbasis character building

juga baik.” ***AVP

Mitra kerja Ditjen PHKA

PILI Green-Network


DESAIN

Rifky (PILI-Green Network)


JURNALIS FOTO

Pusat Informasi Konservasi Alam

Pusat Informasi lingkungan Indonesia
FOTO COVER DEPAN:

Karya: Agus Sartono, Erwin Sugandhi, Bisro Sya’bani, Padmaseputra

Purba dan Rifky

Alamat Redaksi

Gedung Pusat Informasi Konservasi Alam

Jl. Raya Pajajaran No. 79

Bogor

Tlp.: +62 251 8357959



Fax: +62 251 8357960

Email: pika@indo.net.id

Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan bekerja

sama dengan Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI-Green Network)

dengan tujuan untuk media komunikasi dan penyebarluasan berbagai

informasi diantara para pengelola kawasan konservasi, praktisi, peneliti,

pemerhati dan berbagai pihak yang terkait dalam upaya konservasi

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

Agus Sartono

Bukan soal Album Lama



U

sia tigapuluh tahun memang belumlah terlalu

tua jika dibandingkan dengan kelahiran


pertama taman nasional di muka Bumi

dan pelestarian inilah yang melecut Indonesia mengikuti angin global tiga dekade lalu.



pada 1887; dan baru pada dekade 1960-an demam

pembentukan taman nasional berhembus di

seluruh dunia.
Namun, jika dikaitkan dengan kemajuan zaman yang terus bergeser, perjalanan tiga dasawarsa telah cukup meninggalkan

banyak jejak untuk merefleksikan

kembali keberadaan taman nasional.
Bagi Indra Arinal, kepala Balai

Taman Nasional Baluran, gerak

lima taman nasional pertama

itu tak sebanding dengan

usianya. “Secara keseluruhan

perkembangan yang ada

tak semaju sesuai usianya,”

terang Indra.


Dari lima menjadi 50 taman

nasional selama tiga dekade

adalah kenaikan yang lumayan.

Itung-itungan kasarnya, setiap

setahun berdiri 3 taman nasional.

Di balik tirai statistik itu, terbeber

kisah pergulatan riuh di setiap

taman nasional.


Mengurai kembali jejak lima taman pertama bukanlah seperti membuka album lama. Ini seperti mendedah kembali niat bangsa ini dalam menyisihkan kekayaan alamnya bagi generasi mendatang.
Nyaris semua taman nasional pertama di Indonesia itu menampilkan gambaran besar tarik ulur antara desakan kepentingan dari luar dengan niat luhur pelestarian di jantung taman nasional.
Dikelola dengan pembagian mintakat, aspek
pemanfaatan di taman nasional bukanlah barang
haram. Hanya saja pemanfaatan sepenggal areal
taman nasional tak bisa sembarangan dan tetap harus
mengindahkan pelestarian. Perkawinan pemanfaatan

Prinsip yang telah terang benderang ini rupanya

tak sepenuhnya bisa dikuyah oleh beragam

kepentingan yang mengepung taman nasional.

Zaman terus beringsut dan prinsip itu memudar.
Sementara itu, dari dalam kawasan, yang

memangku beragam kekayaan hayati,

pengelolaan taman nasional pertama itu

juga tak setentram kedamaian alamnya.

Taman nasional selama ini ternyata

justru menampilkan penggalan-

penggalan ‘mazhab’ pengelolaan.
Dalam bahasa Indra,

pengelolaan taman nasional

lebih banyak pesanan

ketimbang dirancang sesuai

tujuan. Lantaran itu, arah

pengelolaan lebih banyak

dipengaruhi pengalaman

dan improvisasi kepala taman

nasional.
Tak mengherankan hampir

tidak ada pengelolaan yang

mencerminkan tujuan asli taman

nasional di Indonesia. Watak sosial,

budaya dan alam Indonesia yang berbeda dari negeri taman nasional berasal, yakni Amerika Serikat, belumlah mewarnai pengelolaan.
Benar kata Hariyanto C Putra dari Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, yang menyatakan, ”Sekarang ini baru tahap prakondisi.” Jika hal itu yang terjadi, taman nasional tak bisa lagi menjadi ajang kontes ’mazhab’ tata kelolaan.
Sekedar mengingatkan, belum lama berlalu ada gagasan
bernas ihwal taman nasional model, yang kemudian
hendak meraih kemandirian taman. Sayangnya, ide itu
kini tak jelas capiannya. Taman nasional model, dan
kemandirian, hanya berkelebat sejenak, lantas, hilang
ditelan bumi. ***
1



Surat dari Redaksi

ajalah yang sekarang berada

di genggaman para pembaca

Suprayitno Sakera


M

adalah edisi pertama Maret 2010.

Laporan Utama


Momentum tiga dekade taman nasional

pertama, yang diresmikan pada 6 Maret

1980, mendorong kami untuk menyajikan

liputan lima taman pertama. Selama

peliputan, kami menjumpai banyak

narasumber di Leuser, Ujungkulon, Gede

Pangrango, Baluran dan Komodo. Di sela-

sela kunjungan itu, kami juga mencoba

‘berpromosi’ keberadaan Majalah

Konservasi Alam ini. Harapan terbesar

kami, tak lain dan tak bukan, adalah

partisipasi para staf taman nasional

manapun untuk memperkaya materi

yang kami kelola. Kami meyakini, mereka

yang berada di garis depan pelestarian

sebenarnya banyak memendam

kekayaan pengetahuan dan pelajaran.

Majalah ini bisa menjadi wahana untuk

mengalirkan arus pengetahuan ke

khalayak yang lebih luas.
Selamat membaca.
Sumbangan Artikel

Redaksi Konservasi Alam menerima

sumbangan artikel dari para pembaca, baik

akademisi, peneliti, praktisi, pegiat lembaga

swadaya masyarakat (LSM) maupun staf

Departemen Kehutanan, yang berkaitan

dengan perlindungan hutan dan konservasi

alam.
Artikel ditulis dengan aksara Times New Roman

berukuran 12 sepanjang 2000 sampai 3000

kata. Berikut ini tata laksana penulisan artikel:

- Artikel yang bersifat ilmiah ditulis maksimal

3000 kata, sudah termasuk daftar pustaka.

Dalam keadaan tertentu, terutama untuk

menghemat jumlah halaman, daftar

pustaka akan disimpan di meja redaksi,

- Artikel populer maksimal 1500 kata,

termasuk daftar pustaka,

- Setiap artikel dilengkapi nama dan

identitas, jika tak keberatan juga nomer

telepon. Artikel juga bisa dilampiri foto-

foto yang berhubungan dengan isi tulisan,

- Artikel digital bisa dikirim ke:

pika@indo.net.id
Redaksi berhak menyunting tulisan yang

akan dimuat tanpa merubah isi yang hendak

disampaikan.

Tiga Dekade Silam

Tigapuluh tahun yang lalu, bumi Nusantara menyaksikan lahirnya lima taman nasional pertama di Indonesia.
Cerlang Redup Etalase Alam

Gerbang wisata bagi khalayak ramai terbuka di taman nasional. Menjejak usia tiga dasawarsa, sebagian gerbang kokoh berdiri, yang lain rapuh.


Lima Kisah dalam Tiga Dekade

Tigapuluh tahun bisa jadi waktu yang tepat untuk mendedah ulang satu perjalanan, satu riwayat, untuk menatap masa depan.

Satu Hati untuk Leuser

“Kerja di bidang konservasi adalah pengabdian, harus pakai hati.”


Pengelolaan Tanpa Langgam

“Takut salah, ini salah. Kadang malah tidak berbuat apa-apa, biar tidak


salah.”

Merah-Hitam Para Perintis

Lima bentang alam, Leuser, Ujung Kulon, Gede Pangrango, Baluran dan Ujung Kulon, bisa dipandang sebagai perintis sebuah kawasan untuk kebanggaan bangsa yang menghampar di Khatulistiwa.
Sudut Pandang

Penunjukan Kawasan Hutan, Implikasinya Bagi Hutan Konservasi

Silang pendapat dari penunjukan baru kawasan hutan memunculkan antinomi hukum.
Flora dan Fauna

Pisang-Pisang Liar Gunung Salak

Kekayaan flora yang masih jarang dilirik. Gunung Salak rumah terakhir pisang asli Indonesia, Musa salaccensis Zoll.
Riset

Pemulihan Banteng di Baluran

Populasi banteng terus menyusut. Ikhtiar pelestariannya diarahkan pada pengelolaan habitat.
Resensi Buku

Menyatukan Dua Kebhinekaan

Khazanah budaya Nusantara belum menginspirasi konservasi alam zaman modern.




T

igapuluh tahun yang lalu, bumi Nusantara

menyaksikan lahirnya lima taman nasional


pertama di Indonesia. Inilah lima taman yang

Berdirinya taman nasional menjadi tanda semakin

tebalnya tekad negeri ini untuk mengayomi lumbung
alam yang berisi jutaan taru dan tumbuhan unik. Dengan

dideklarasikan pada 6 Maret 1980: Leuser membentang

di belantara tropis Bukit Barisan Sumatera; Ujung Kulon dan Baluran mengapit Pulau Jawa di sisi barat dan timur, diselingi Gede Pangrango; dan, Komodo berdiri tegak di ujung tertimur Tanah Air.


Lima taman sulung itu laksana mercusuar yang menyinari tanah-tanah Nusantara yang lain untuk mengikuti jejak rintisan itu; lantas, 11 taman nasional baru menyusul lahir pada 1982. Dan, kini telah berbiak menjadi 50 taman nasional.

demikian, keberadaan taman untuk kepentingan dan

kebanggaan nasional itu menuntut secuil ruang batin
bangsa ini untuk tetap menyimpan komitmennya bagi
pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan kawasan
konservasi.
Usai menjejaki bentang waktu 30 tahun, adakah

komitmen itu lapuk dan kian uzur seiring kelebat


zaman? Sebelum menengok satu per satu taman-taman
pertama di Indonesia, berikut ini disajikan sejarah yang
terentang sebelum lahirnya lima taman sulung itu.
Erwin Sugandhi

3


Agus Sartono

Alam yang teduh dan sejuk tersimpan di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten,

menyokong salah satu satwa paling kritis di dunia: badak jawa, Rhinoceros sondaicus.


MESKI TAMAN NASIONAL pertama di dunia telah berdiri

sejak 1887, perkembangan di tingkat global baru

dimulai pada 1962. Benih taman nasional tersemai lewat Kongres Taman Nasional Sedunia Pertama 1962, di San Diego, Amerika Serikat, yang lantas disusul Kongres Kedua di Taman Nasional Yellowstone, juga di Amerika Serikat, tahun 1972.


International Union for Conservation of Nature and Natural Resources atau IUCN membidani kedua Kongres itu. Indonesia baru mengikuti Kongres yang kedua, dengan mengirim Otto Soemarwoto, Walman Sinaga dan Rudi Tarumingkeng.
Effendy A. Sumardja mengisahkan kembali sepenggal cerita itu di Kantor Pusat Informasi Konservasi Alam (PIKA), Bogor. Ditemani camilan kecil nan renyah dan kopi hangat, Effendy menuturkan kembali proses terbentuknya taman nasional di Indonesia. Merunut kembali riwayat taman nasional, seperti memutar ulang kehidupan Effendy.
SUATU WAKTU PADA 1976, Effendy yang sedang studi di
Universitas Michigan, AS, kedatangan tamu Herman
Haeruman yang melalang buana untuk menjajaki
terbentuknya kementerian negara lingkungan hidup di
Indonesia—Dua tahun berselang, Kementerian Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
(MN-PPLH) didirikan, Emil Salim menjabat menteri
4
dan salah satu asisten menteri dipegang Herman

Haeruman.


“Pak Herman mencari pengalaman dari negara-negara lain,” kenang Effendy.
“Pak Herman berpesan: ‘Effendy, kalau bisa kamu belajar
di sini untuk membuat taman nasional di Indonesia.
Nanti ketika you pulang, saya akan kasih dana untuk
perencanaan dan harus jadi,’” ujar Effendy menuturkan
kembali pesan Herman yang saat itu bekerja di Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional  (Bappenas).

Pesan itu melecutnya mendalami hal-ihwal taman nasional. Effendy memaparkan, kebetulan pembimbingnya waktu itu adalah Sekretaris Jenderal IUCN, Doktor Kenton R. Miller. Ketika rampung kuliah tahun 1977, Effendy pulang ke Tanah Air dan bekerja di WWF. “Menariknya, ketika IUCN mengadakan suatu pertemuan, saya pasti diundang.”


Salah satunya, pada 1979 Effendy diundang pada

pertemuan Commission on National Parks and Protected Areas (CNPPA, komisi taman nasional

dan kawasan lindung IUCN) di Australia. “Dalam pertemuan itu, Komisi ini bingung,” papar Effendy, “karena tidak ada respon ketika ada tawaran untuk menjadi penyelenggara Kongres Taman Nasional Sedunia yang ketiga.”




Satu-satunya negara yang me-

nawarkan diri sebagai tuan rumah


adalah Filipina, yang pada saat
itu di bawah kepemimpinan
Ferdinand Marcos. Sayangnya,
”Filipina sedang gonjang-ganjing,”
ujar Effendy. “Akhirnya, Kenton R.
Miller menawari saya, ‘Bisa nggak
Indonesia jadi tuan rumah?’”
Effendy lantas menanyakan

kesediaan menjadi tuan rumah kepada Direktur Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) Lukito

Daryadi, dan diteruskan kepada Direktur Jenderal Kehutanan saat itu, Soedjarwo.

“Pak Djarwo setuju, mengingat peserta kongres direncanakan hanya 400-500 orang,” papar Effendy. Hal ini mengingat Indonesia pernah menggelar World Forestry Conggres ke-8, yang pesertanya mencapai 2000-an orang pada  1978.

Singkat cerita, Indonesia mengada-
kan persiapan untuk Kongres
Taman Nasional ke-3 yang
diselenggarakan di Bali, 11 - 22

Oktober 1982. “Inilah Kongres

Taman Nasional Sedunia yang
pertama kali diselenggarakan di
negara sedang berkembang,” papar
Effendy. Dua kongres sebelumnya
diselenggarakan di Amerika, yang
konsepnya sama sekali berbeda
dengan keadaan di Indonesia.
“Dalam Kongres di Bali, pada

Effendy A. Sumardja

intinya lebih menekankan pada

masyarakat,” kata Effendy.


Wakil Presiden Adam Malik
waktu itu membuka Kongres
yang dihadiri oleh para pengelola,
perencana taman nasional,

serta para pakar dari 68 negara.

“Kesiapan Indonesia menjadi tuan
rumah Kongres ini, menunjukkan
komitmen pemerintah terhadap
lingkungan dan bisa dipandang
sebagai bentuk tanggung jawab
dalam melestarikan kekayaan alam
Indonesia,” ucap Adam Malik saat
acara pembukaan.
“Hampir di setiap sesi, selalu
dipadati peserta,” ujar Agus Sartono,
staf Pusat Informasi Konservasi
Alam (PIKA), salah satu saksi mata
Kongres di Bali itu. “Begitu juga,
antusiasme peserta cukup tinggi
untuk mengunjungi sejumlah
kawasan calon taman nasional.”
Di sela-sela Kongres, tanggal
14 Oktober, Menteri Pertanian
Republik Indonesia Soedarsono
Hadisapoetro memang memanfaat-
kan momentum internasional
itu untuk mendeklarasikan 11

kawasan suaka alam sebagai calon taman nasional atau kawasan pelestarian  alam.


SEBELAS CALON taman nasional
tersebut menyusul lima kawasan
suaka alam yang terlahir lebih dulu

sebagai taman nasional pada tahun

1980. Pada tanggal 6 Maret 1980,
Menteri Soedarsono Hadisapoetro
menabalkan Gunung Leuser,
Ujung Kulon, Gede Pangrango,
Baluran dan Komodo menjadi
taman nasional. Pada masa awal
kelahirannya, lima taman nasional
sulung itu berada di bawah
pengelolaan Direktorat PPA,

Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian.

Peresmian lima taman nasional
pertama tiga puluh tahun yang
lalu, sekaligus untuk menyambut
peluncuran dokumen Strategi
Konservasi Dunia (World

Conservation Strategy). “Pada

1980 itu, ada inisiatif peluncuran
World Conservation Strategy
yang disusun oleh sekitar 700

pakar dunia,” kenang Effendy, “di mana peluncuran buku tersebut berlangsung di 30 negara, salah

satunya Indonesia.”
Tak main-main, peresmian lima
taman nasional itu didukung
empat menteri: Menteri Pertanian
Soedarsono Hadisapoetro; Menteri
Riset dan Teknologi B.J. Habibie;
Menteri Pengawasan Pembangunan
dan Lingkungan Hidup Emil
Salim; dan Menteri Penerangan Ali
Moertopo.
“Deklarasi berlangsung di Departe-
men Penerangan. Saat itu, siapa

Rifky


5

Agus Sartono

Selain badak jawa, Ujung Kulon juga menjadi rumah bagi kawanan banteng, Bos javanicus, di tepi barat Jawa.

yang tak kenal Ali Moertopo,”

imbuh Effendy.
Namun, sebelum peresmian
itu, jauh-jauh hari Departemen
Pertanian telah bekerja keras untuk
menyiapkan kawasan yang akan
menjadi taman nasional. Kurun
waktu antara 1974 - 1978, Food and
Agriculture Organization-United
Nations Development Programme
(FAO-UNDP) Nature Conservation
and Wildlife Management Project,
memberi bantuan untuk mencari


Yüklə 0,62 Mb.

Dostları ilə paylaş:
  1   2   3   4   5   6




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin