kepala Balai PPA Sumatera Utara.
“Mereka menawarkan damai. Aku
diminta bekerja di PPA dengan
status honorer. Sejak saat itulah,
mulai 1972, kemudian berubah
menjadi taman nasional tahun 1980, hingga sekarang, statusku tetap honorer.”
Dua orang itulah yang membalik
seratus delapan puluh derajat garis
hidup Piyu. L.B. Simanjuntak dan
Ringgit Mulia Bangun adalah dua
nama yang membangkitkan gairah
konservasi pria yang telah dua kali
berumah tangga ini. Pencerahan
itu menerbitkan idealismenya:
manusia membutuhkan hutan,
sehingga hutan harus dijaga dan
dilestarikan.
Penganut Kristen yang taat ini
memendam banyak memori
tentang Leuser. Tanpa disadarinya,
ingatannya menjadi saksi bagi
perjalanan Leuser. Piyu adalah
salah satu saksi yang mengetahui
ihwal perambahan di Langkat,
karena cukup lama bertugas di
Resort Sekoci.
Menurutnya, para perambah atau
penggarap mulai merebak sekitar
tahun 1990. “Namun masih kecil-
kecilan dan bisa dikendalikan,” paparnya.
Bahkan, pada 1995 telah dilakukan pengusiran dan diikuti dengan
reboisasi. Hanya saja, cara
represif yang ditempuh waktu itu, memunculkan rasa dendam para perambah yang merasa sudah mengeluarkan banyak biaya untuk menggarap lahan bukaan.
Rasa kesumat ini masih tersimpan,
sampai akhirnya, pada 1999 -
2000 datanglah para pengungsi
dari Nangroe Aceh Darusalam
yang sedang mencari rasa aman.
Mereka memilih mengungsi ke
Sekoci karena provokasi dari
para perambah yang telah diusir
sebelumnya. Rupanya hal itu
memang telah direncanakan,
dengan niat melegalkan dan
meneruskan aktivitas merambah
dengan ‘meminjam badan’ para
pengungsi.
Pertaruhan jiwa konservasi yang
telah direngkuhnya, membawa
Piyu dalam batas hidup dan
mati. Ketika menjadi anggota tim
rekontruksi batas, maut pernah
sejarak sejengkal dari hidupnya.
Beberapa saat setelah perambah berhasil diusir, Leuser menata ulang tata batas. “Ketika kami
melakukan cek pal batas, tiba-tiba datang massa yang sebagian besar para perambah yang telah diusir,”
kenangnya. “Mereka membawa
parang dan pentungan.”
Piyu bersama sejumlah aparat terkepung. “Kawan-kawan yang
lain, sebagian sudah lari me-
nyelamatkan diri. Massa yang
mengepung bahkan sampai meng-
ancam. Aku sudah pasrah dan
ngeri. Massa sudah gelap mata,”
kenang Piyu.
Beruntung, kesigapan dari personil
Korem mampu mengatasi keadaan
yang mencekam itu. “Setelah
peristiwa itu, aku merasa tidak
tenang,” lanjutnya. Berbagai ancam-
an sudah sering dialami Piyu
dalam bertugas melindungi dan
mengamankan kawasan Leuser.
“Itulah resiko pekerjaan,” ujarnya.
“Apalagi sewaktu aku mau
menjadi saksi persidangan kasus
perambahan, hampir 24 jam
rumahku tak henti digedor orang.
Dari yang mengancam hingga yang
mencoba menyogok. Aku terpaksa
sembunyi, kasihan orang rumah.”
Beragam pengalaman itu justru
memupuk wawasan Piyu tentang
konservasi tumbuh subur. “Aku
sangat tidak setuju dengan adanya
sawit di dalam kawasan, tanaman
ini menganggu tata air,” katanya.
Menurutnya, sawit yang jelas-jelas
berada di dalam kawasan harus
segera dimusnahkan. “Supaya
orang tidak main-main lagi dan coba-coba menanam sawit di dalam kawasan Leuser.”
“Dulu, tanaman sawit itu ditanam
pada saat belum ada pengukuhan.
Jadi belum ada dokumen tentang
batas Taman Nasional. Padahal,
batas patok di lapangan sudah
ada. Itulah pintarnya orang itu,”
lanjutnya.
“Konservasi itu sebenarnya adalah
memanfaatkan seperlunya. Jadi,
seandainya manusia tidak serakah
dan mengambil manfaat dari alam
secara tidak berlebihan, kita nggak
perlu pusing-pusing dengan ilmu
konservasi,” jelas Piyu. Apalagi saat
era otonomi ini, konservasi masih
dianggap sebagai penghambat laju
pembangunan daerah.
“Jadi biarkan saja, percayalah
pada hati, bekerjalah dengan hati,”
pungkas Piyu, sosok sederhana
dengan sebidang kebun sewaan.***
19
Indra Arinal
“Takut salah, ini salah. Kadang malah tidak
berbuat apa-apa, biar tidak salah.”
Erwin Sugandhi
S
elama 29 tahun bekerja di Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Indra
Arinal, kepala Balai Taman Nasional Baluran,
“Nah, selama ini, yang saya rasakan selama tiga dekade ini, ya management by request….”
merasa seperti mereflesikan kembali karirnya, saat
ditanya pendapatnya tentang 30 tahun taman nasional pertama.
“Artinya sama dengan refleksi 29 tahun di PHKA,” tutur Indra, “Ndak pernah loncat ke mana-mana, terus di konservasi.”
Sejak Januari 1981, Indra mulai menjejakkan kakinya di PHKA, dan sejak itu pula dirinya mengikuti irama kerja di bidang konservasi. Dengan pengalaman itu, wajar bila Indra memahami pasang-surut perjalanan taman nasional di Indonesia.
“Saya sering bingung sendiri dengan perkembangan
konservasi… apakah pengelolaan taman nasional itu
management by objective atau management by request,”
paparnya.
20
Tak mengherankan, perkembangan konservasi,
khususnya taman nasional, di Indonesia tak lancar-
lancar amat. “Kadang-kadang berjalan di tempat,
kadang-kadang maju. Sehingga, secara keseluruhan perkembangan yang ada tak semaju sesuai usianya.”
Indra mengenang saat memulai bekerja di PHKA. Dirinya pernah mengeyam pendidikan pengelolaan taman nasional di Ciawi selama 11 bulan. Pada masa ini, Indra diperkenalkan dengan prinsip-prinsip dan kriteria konservasi IUCN yang digembleng oleh pakar dari luar maupun dalam negeri. “Ini sebenarnya request…,” paparnya.
Sepanjang sejarah taman nasional, beragam program
dibentangkan untuk kawasan konservasi. Pernah
pula, ada program ICDP (integrated conservation and
development project). “Semua orang bicara soal itu,”
“Sebenarnya, itu tidak salah,
karena negara pun sekarang
begitu juga, setiap presiden
punya rencana program.”
kenang Indra, “tak hanya itu, semua
sumberdaya diarahkan ke sana.”
Begitu juga program-program lain.
“Saking banyaknya, saya lupa….”
Selama ini, berbagai istilah juga bermunculan: 9 taman nasional
prioritas, disusul taman nasional
model, taman nasional mandiri,
dan kini, ada juga KPHK (Kesatuan
Pengelolaan Hutan Konservasi).
“Itu semua request, entah dari
Departemen Kehutanan maupun
dari luar, entah LSM atau dari luar
negeri….”
Jadi, Indra menuturkan, sementara
fondasi lima taman nasional
pertama belum mantap, disusul 11
taman yang baru. Bisa dibayangkan,
dalam tiga dekade dengan banyak
program pendek-pendek. “Setiap
judul (program-red) paling lama
tiga atau empat tahun.”
Pengelolaan taman nasional
memang didasarkan pada rencana pengelolaan taman nasional atau RPTN. Sayangnya, RPTN itu tak mangkus. “Betul, ada peraturan
bahwa taman nasional dikelola
berdasarkan RPTN. Hanya saja,
semua rencana itu, disadari atau
tidak, tidak sekuat seperti halnya
GBHN dalam sebuah negara.”
Indra memaparkan, RPTN
tidak semantap GBHN untuk
menggiring taman nasional
mencapai tujuan pengelolaaan. Akibatnya, setiap kepala taman
nasional menempuh jalan
sesuai pengalamannya. “Intinya,
pengaruh latar belakang dan
improvisasi kepala balai sangat
tinggi dalam pengelolaan taman
nasional. Pengaruhnya sangat
signifikan dibandingkan dengan
RPTN.”
Sejatinya, pengalaman setiap
kepala balai berpengaruh
terhadap arah pengelolaan taman nasional tidak menjadi persoalan. “Sebenarnya, itu tidak salah, karena negara pun sekarang begitu juga, “lanjut Indra, “setiap presiden punya rencana program.”
Hanya saja, kepala balai tak memiliki jangka waktu yang pasti. “Kalau presiden ada masa periode, sehingga bisa merencanakan, dan pada akhir pemerintahannya bisa dilihat capaiannya.”
Hal itu berbeda dengan kepala
taman nasional. Indra pernah
merasakan mengelola taman
nasional selama tujuh tahun.
Dirinya pernah di Baluran antara
tahun 1988 hingga 1995 sebagai
kepala sub-bagian tata usaha
(KSBTU). “Saat itu, saya punya cita-cita, dan baru tahun ke-5 atau ke-6 bisa terlaksana,” papar Indra, “tapi, kalau hanya 6 bulan, satu
atau dua tahun?”
Banyak bekerja terkait sumber-
daya alam, flora-fauna, Indra
mengatakan, selama ini belum
terpikirkan secara matang ten-
tang pengelolaannya. Ihwal pe-
ngelolaan spesies, misalnya, belum
lama baru ada rencana strategis
badak, gajah, harimau dan
banteng. “Sebelumnya, tidak ada.
Bagaimana penerapannya,” tanya
Indra, “coba lihat anggaran untuk
pengelolaan spesies. Berapa persen
sih dananya?”
Berbekal pengalaman yang
hampir seusia taman nasional pertaman itu, Indra mengajak semua pihak berembuk untuk mencari pengelolaan berlanggam Indonesia, pengelolaan yang tidak dilesakkan dari luar.
“Agar ada bentuk pengelolaan
yang gamblang,” tutur Indra, “oleh
karena itu, jangan diambangkan.
Kecenderungan di bawah jadi
ragu. Takut salah, ini salah. Kadang
malah tidak berbuat apa-apa, biar
tidak salah.”***
21
Lima bentang alam, Leuser, Ujung Kulon, Gede Pangrango, Baluran dan Ujung Kulon, bisa dipandang sebagai perintis sebuah kawasan untuk kebanggaan bangsa yang menghampar di Khatulistiwa: taman nasional.
Sebuah taman yang berada di garis depan bagi bangsa ini dalam menaungi sejarah alam
Nusantara. Di sinilah, tiga dekade silam negeri ini menambatkan sebuah tekad untuk
melestarikan, melindungi sekaligus memanfaatkan kekayaan titipan anak cucu. Menempuh
kurun tiga dekade bukan waktu yang pendek dalam derap zaman yang terus bergerak.
Taman Nasional Gunung Leuser
Seluas sejuta hektar, Leuser hanya diurus oleh 198 personel. Polisi hutan sebagai tenaga utama pengamanan kawasan hanya berjumlah 69 orang.
Pengendali ekosistem hutan (PEH) dan penyuluh, yang
menjadi ujung tombak secara teknis, hanya berjumlah 16
orang. Dari jumlah itu, sebagian disibukkan perkara non-
teknis.
Hampir 70persen pegawai Leuser berumur lebih dari 40
Taman Nasional Ujung Kulon
Letusan Krakatau pada 1883 menimbulkan ombak tsunami setinggi pohon kelapa menyapu bersih tepi barat Pulau Jawa. Beberapa tahun kemudian, tangan alam memulihkan degup kehidupan kawasan yang kini dikenal sebagai Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.
Taman Nasional Ged
Pamornya sebagai kawasan p
pendaki untuk menjelajahi pun
orang mengunjungi Taman Na
pendakian, pendidikan maupun
Banyaknya pengunjung mem
Dengan bantuan para sukarela
menyiangi reja-reja yang dibaw
83.3
tahun dan sedikitnya 35 orang memasuki masa pensiun pada
lima tahun ke depan. Selama 5 tahun terakhir, pegawai baru hanya satu sampai empat orang per tahun.
”Ke depan PEH harus fokus, maksimal 4 tahun harus naik pangkat. Saya kecewa ada tenaga fungsional yang sampai belasan tahun tak naik pangkat. PEH harus laksana pawang yang memberi kasih sayang pada spesies,” terang Harijoko, kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser.
Pengunjung Bukit Lawang, Leuser,
seusai dilanda banjir bandang
(Pengunjung Nusantara maupun
Mancanegara)
3.593 5.446
Pegunjung Gede Pangrango
Mengunjungi Taman ini perlu ongkos besar. Biaya dari
simpang PLTU Labuan ke Kecamatan Sumur, Pandeglang, 77.883
Banten, sebesar Rp25.000. 73.212
Untuk memangkas ongkos carter kapal, mencapai Ujung
Kulon dari Sumur memang pilihan yang masuk akal. Dari
Labuan, carter kapal cepat berpenumpang 8 orang mencapai
Rp3.000.000 per hari, sementara carter kapal nelayan,
berkapasitas 25 orang, dari Sumur bertarif Rp1.700.000
per hari.
Pengunjung Ujung Kulon
3.635 3.197
1.051 2.087
2004 2005 2006
22
2.071
2007 2008 2004
2.368 2.285 2.511
2005 2006 2007 2008 2004 2005 200
Taman Nasional Komodo
e Pangrango
pegunungan menarik ribuan
ncak Gede Pangrango. Ribuan
asional ini, baik untuk rekreasi,
n penelitian.
bawa dampak lain: sampah.
wan, Taman Nasional ini sibuk
wa para pengagumnya.
360
69.937
Taman Nasional Baluran
Saat zaman sedang digulung gelombang pemanasan global, Baluran sebenarnya gudang informasi ihwal cara satwa liar bertahan hidup di tanah kering. “Sayangnya, sampai kini belum ada yang meneliti,” ujar Agus Bambang Haryono, kepala Bagian Tata Usaha Taman Nasional Baluran.
“Banteng-banteng di Baluran juga lebih besar, gempal, dan
tangguh, dibandingkan dengan banteng di Taman Nasional
Alas Purwo,” terang Mahrudin, seorang polisi hutan Baluran.
Pohon-pohon yang bertajuk ringan memudahkan aktivitas
mengamati burung. Sementara di lain tempat seperti mengais
sepotong jarum dalam rimbunan jerami, menemukan merak
dan ayam hutan di Baluran segampang menjumpai ayam di
jalanan kampung.
Pengunjung Baluran
Menapaki waktu dua jam lebih awal ketimbang empat
saudara kembarnya yang lain, Taman Nasional Komodo seperti menjemput masa silam. Di sini, biawak purba, Varanus komodoensis, masih berkesempatan untuk tetap menghiasi Bumi.
Dengan Labuan Bajo sebagai pintu gerbang Pulau Flores,
citra Komodo tergantung pada ibukota Manggarai Barat
itu. Namun kota itu tak mampu menampilkan keelokannya.
Pantai dan lautnya tidak menginspirasi kota itu dalam menata
kawasannya. Kesan kotor dan kumuh terlihat di sudut-
sudut jalan.
Tak hanya itu, ”Bisnis pariwisata pun telah banyak jatuh ke tangan orang asing, seperti hotel, kapal pesiar dan guide master,” tutur Condo Subagyo, pemilik CNDive yang telah bermukim di kota ini sejak 1982.
Jika tidak ada perhatian dari pemerintah setempat, pemodal
67.980
asing akan menguasai gerak laju pariwisata Labuan Bajo
dan Komodo.
Pengunjung Komodo
21.766
17.347
8.747
06 2007 2008 2004
11.281 9.899 10.192
2005 2006 2007
8.946
2008 2004 2005
6.773 8.035
2006 2007 2008
23
Penunjukan Kawasan Hutan
Implikasinya bagi Hutan Konservasi
TN Gede Pangrango
Silang pendapat dari penunjukan
baru kawasan hutan memunculkan
antinomi hukum.
enunjukan kawasan hutan menjadi salah satu
bagian dari proses perubahan fungsi hutan.
I Gusti Nyoman Andila SH, MM
PP No. 68/Tahun 1998, tentang Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian alam (KPA).
P
Undang-Undang No. 41/Tahun 1999, tentang
Kehutanan, Pasal 6, menyebutkan kawasan hutan
mempunyai tiga fungsi pokok: konservasi, lindung dan produksi
Perubahan didasarkan pada kriteria keadaan dan sifat fisik wilayah, topografi, jenis tanah, iklim, pengaturan tata air, serta pertimbangan lainnya. Penunjukan kawasan hutan dapat juga disebabkan adanya revisi dan/atau penyusunan tata ruang wilayah provinsi ataupun kabupaten.
Selain itu, ada juga lahan non-kawasan hutan yang
kemudian menjadi kawasan hutan. Ini, misalnya, lahan
kompensasi dari pinjam-pakai kawasan hutan atau
areal pengganti dalam tukar-menukar kawasan hutan.
Secara operasional, penunjukan diatur dengan
Kepmenhut No. 32/Tahun 2001, tentang Kriteria dan
Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, dan PP No. 44/
Tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan, serta
24
Antinomi Hukum
Dinamika pengelolaan kawasan hutan berakibat pada perubahan status dan fungsi kawasan hutan. Hutan konservasi juga tidak luput dari perubahan yang berdampak pada penambahan areal, atau juga sebaliknya, pengurangan kawasan.
Perubahan status dan fungsi kawasan hutan diteruskan
dengan penunjukan dan penetapan kawasan dan
fungsi hutan secara parsial. Di samping itu, ada pula
penunjukan secara provinsial, baik akibat padu-
serasi TGHK dengan RTRWP ataupun karena review
RTRWP.
Tak jarang penunjukan terjadi pada kawasan hutan
yang telah ditunjuk; bahkan pada kawasan yang telah
ditetapkan secara parsial. Misalnya, penunjukan
semula sebagai fungsi hutan produksi, diganti dengan
penunjukan baru menjadi hutan konservasi, atau
sebaliknya.
Dampaknya, penunjukan justru
membawa kompleksitas dan
implikasi bagi kontrak atau
perjanjian dengan pihak ketiga.
Berbagai izin pemanfaatan kawasan
yang semula telah sah, dengan
adanya perubahan fungsi hutan,
menjadi tidak sah dan dipandang
melanggar hukum. Jika hal ini
yang terjadi, muncullah antinomi
hukum, yaitu satu keputusan
mengandung dua azas yang saling
bertentangan.
Azas pertama, Lex Posteriori
Derogat Legi Priori atau hukum
yang baru menyisihkan yang lama.
Artinya, yang berlaku adalah
penunjukan yang terbaru atau
terakhir. Sebaliknya, di sisi lain
terdapat azas Nullum Delictum,
Nulla Poena Sine Previae Lege
Poenali atau hukum tidak berlaku
surut. Ini berarti perubahan fungsi
tidak menghapus izin sah yang
telah ada sebelumnya.
Menanggapi dilema hukum itu,
dalam penyegaran Biro Hukum dan
Organisasai Sekretariat Jenderal
Departemen Kehutanan, Profesor
Maria Soemardjono menyatakan,
izin-izin pemanfaatan kawasan
hutan yang semula berdasarkan
fungsi hutan adalah sah. Jadi,
penunjukan fungsi hutan yang baru,
berubah menjadi hutan konservasi
misalnya, izin pertama masih tetap
sah sampai jangka waktunya.
Departemen Kehutanan lazim
mengambil langkah-langkah pe-
nyesuaian tanpa merugikan pihak
ketiga. Bila perizinan berada
dalam kawasan konservasi, bisa
dilakukan pendekatan kolaboratif
berdasarkan Peraturan Menteri
No. 19/Menhut-II/2004 tentang
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
Dalam peraturan itu dirumuskan,
untuk efektivitas pengelolaan
kawasan secara bersama dan
sinergis oleh para pihak atas dasar
kesepahaman dan kesepakatan
bersama sesuai peraturan yang
berlaku.
Sebenarnya, kedua azas di atas tidak
akan menimbulkan persoalan, bila
ditafsirkan dalam perspektif yang
benar. Membaca teks hukum hanya
secara tersurat merupakan langkah
keliru. Tafsiran hukum memang
dapat bersifat etimologi ataupun
historis. Artinya, pemahaman
tidak hanya terbatas secara tersurat, melainkan juga secara tersirat, sehingga dapat menciptakan dan menjaga kepastian hukum.
Hutan Konservasi Dalam Penunjukan
Sementara tata batas belum dapat dilakukan, lalu muncul pertanyaan bagaimana posisi kawasan hutan yang baru pada tahap penunjukan, khususnya hutan konservasi?
Menurut Pasal 1 butir 3, UU No. 41/Tahun 1999 bahwa kawasan
hutan adalah wilayah tertentu
yang ditunjuk dan/atau ditetapkan
pemerintah untuk dipertahankan
sebagai hutan tetap. Itu artinya,
kawasan hutan pada tahap
penunjukan adalah sah secara
hukum.
Atas persoalan ini, Menteri
Kehutanan melayangkan surat
kepada Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan
No. S. 426/Menhut-VII/2006
tanggal 12 Juli 2006. Surat itu
menekankan, kawasan hutan pada
tahap penunjukan telah sah dan
telah berlaku dengan sejumlah pertimbangan.
Pertama, sesuai UU No. 41/Tahun 1999, menteri kehutanan telah menunjuk kawasan hutan di seluruh Negara Indonesia yang merupakan tindak lanjut paduserasi antara TGHK dengan RTRWP.
Kedua, meski telah dimulai sejak
1992, sampai saat ini hanya
Kalimantan Tengah dan Riau yang
belum merampungkan paduserasi,
sehingga di kedua provinsi itu
secara legal kawasan hutannya
masih mengacu pada ketentuan
Menteri Kehutanan tentang TGHK.
Ketiga, PP No. 44/Tahun 2004
tentang Perencanaan Kehutanan, Pasal 18 Ayat 2 menjelaskan
penunjukan kawasan hutan wilayah provinsi dilakukan oleh Menteri Kehutanan dengan memperhatikan RTRWP dan/atau padu-serasi.
Keempat, pada hakikatnya,
penunjukan adalah penetapan
awal fungsi suatu wilayah tertentu
sebagai kawasan hutan, yang secara
spasial dituangkan dalam peta
penunjukan dalam skala tertentu,
dilengkapi dengan informasi posisi
geografisnya.
Kelima, berdasarkan pengertian
Pasal 1 butir 3 UU No. 41/Tahun
1999 dapat disimpulkan, meski
belum ditata batas dan ditetapkan,
statusnya tetap sebagai kawasan
hutan. Soalnya, pemerintah akan
menerapkan berbagai kegiatan,
di antaranya penyusunan unit
kesatuan pengelolaan hutan,
pemberian izin pemanfaatan, dan pengelolaan hutan yang berkekuatan hukum tetap.
25
Terakhir, saat ini berkembang
pendapat di kalangan aparat
hukum bahwa kawasan hutan yang
belum ditata batas dan ditetapkan
tidak operasional dan tidak dapat
diterapkan di lapangan, sehingga
tidak bisa digunakan sebagai acuan
dalam upaya penegakan hukum.
Dostları ilə paylaş: |