Meski menurut Schuurmans
(1993) tidak diketahui sejak kapan
akasia duri mulai tersebar, diduga
tanaman ini telah diintroduksi
pada awal 1960-an, atau bahkan
sebelumnya. Dari foto yang
diambil pada 1980, belum nampak
gangguan yang berarti. Ekspansi
yang cepat diperkirakan mulai
1983 (Nazif via Schuurmans, 1993).
Hasil pengamatan pada 1981,
akasia duri di savana Bekol tumbuh
berkerapatan 75 batang per hektare
(Makmur via Ridwan, 1988). Pada
1986, kerapatan 3.337 batang per
hektare, sedangkan tahun 1987
kerapatan kumulatif dari berbagai
tingkat pertumbuhan sebesar 5.369
batang setiap hektare (Ridwan,
1988).
Sejumlah faktor melecut penyebar-
an tanaman ini: kondisi alam,
tanah, dan iklim, cocok untuk
pertumbuhan duri (Singh via
Schuurmans, 1993); padang rum-
put yang terbuka; produksi biji yang sangat banyak; tahan api dengan kemampuan beradaptasi di daerah kering.
Selain itu, penyebaran biji juga
terbantu oleh satwa herbivora.
Polong akasia duri yang jatuh ke
lantai hutan dimakan banteng,
kerbau liar dan rusa dan bersama
kotoran satwa tersebut tersebar ke
lokasi lain.
Campur tangan manusia
Akasia duri yang menyebar luas di
Baluran juga mendorong kegiatan
pemberantasan tanaman ini. Ini
juga berarti mengundang campur
tangan manusia di dalam kawasan.
Di samping itu, aktivitas manusia
juga menyebabkan fragmentasi
habitat banteng yang berujung
Beberapa Bentuk Fragmentasi Habitat di Taman Nasional Baluran
No Bentuk Fragmentasi Habitat
Luas
(Hektar)
Lokasi
1 Pemukiman eks Hak Guna Usaha PT. Gunung Kumitir 360 Labuan Merak
2 Translok TNI - AD 57 Pandean.
3 Areal Penggembalaan Liar 3.450 wilayah Karangtekok
4 Pembangunan Waduk Bajulmati 28 Luasan TN Baluran terendam. Di Wonorejo, Batas
kawasan
5 Penggunaan lahan Tanah Gentong 22,33 Karangtekok
32
25
2006
100 - 150
81 - 115
Sebelum 1968
113
2002
Pasokan air dari
1980
312 - 338
1996
1983
Polong atau biji
akasia duri mulai
menjadi pakan
banteng dan
1969 mamalia herbivora
Akasia duri lainnya. Banteng
ditanam di Suaka mulai menjadi
Margasatwa ‘penyebar’ biji akasia
Baluran untuk duri di daerah
sekat bakar. jelajahnya.
1980
Baluran menjadi
Taman Nasional.
Tanaman dari
antah-berantah ini
mulai menunjukkan
tanda-tanda
serbuan.
219 - 267
282 2000
1997
1994 - 1999
Cara pemberantasan
berganti dengan alat
berat (secara mekanik)
dan dipandang cukup
berhasil. Namun cara
ini merombak struktur
dan tekstur tanah yang
berakibat tumbuhnya
rumput musiman,
menggusur rumput
klimaks padang Baluran.
1990 - 1993
Akasia duri
menyebar
dan melumat
padang rumput.
Pemberantasan
mulai dilakukan
dengan sistem
katrol.
33
Kacip dan Talpat
mulai berhenti
www.wikimedia.com
2000 - kini
Teknik pemberantasan
diganti dengan
tebang dan bakar
tonggak. Dianggap
lebih efektif,
dengan syarat ada
pemerliharaan lahan
usai pemberantasan.
pada penciutan dan penurunan
kualitas habitat.
Campur tangan manusia secara
gamblang juga terlihat dari
perburuan liar di Baluran yang
telah berlangsung sejak lama.
Sasaran utamanya banteng dan
satwa mamalia besar lainnya.
Perburuan liar dilakukan dengan
berbagai cara, di antaranya dengan
senjata api, jerat seling (kawat
besi) dan meracuni sumber air.
Para pemburu liar cukup lihai
menghindari petugas, sehingga
pelanggaran ini sering sulit
dipantau.
Pemangsaan
Ajak atau Cuon alpinus berperan
penting sebagai pemangsa
(predator) dalam rantai makanan
melalui hubungan mangsa-
pemangsa. Hanya saja, satwa predator akan menjadi masalah bila peningkatan populasinya tidak seimbang dengan jumlah satwa yang dimangsa.
Indikasi hal itu muncul di Baluran,
walaupun tanpa sensus khusus,
dengan adanya makin seringnya
perjumpaan langsung petugas
dengan ajak yang ditengarai sejak
2001. Dari hasil perjumpaan satwa
ini, pada periode 2004 -2005
dijumpai jumlah ajak antara 2 -
36 ekor. Begitu juga dari laporan ditemukannya beberapa satwa korban serangan ajak.
Ajak sering beraktivitas antara pukul 05.00 - 10.00 dan pukul
15.00 - 18.00. Satwa ini lebih
terkonsentrasi di sisi timur dan utara Baluran, karena di sini dijumpai satwa herbivora sebagai mangsanya, dan relatif lebih aman dari berbagai gangguan.
Dari petunjuk awal itu, perlu
pengamatan dan pengendalian
untuk menjaga keseimbangan
antara satwa mangsa dan pemangsa
34
agar kelestarian satwa liar, terutama
banteng, dapat lebih terjamin.
Memulihkan Banteng
Untuk melestarikan dan melindungi satwa liar yang terancam, diperlukan pemahaman tentang hubungan biologi antara satwa liar tersebut dengan lingkungannya dan status populasinya. Informasi itu dapat berupa sejarah perkembangan habitat dan populasinya.
Berbekal informasi sejarah tersebut,
diharapkan upaya pengelolaan
populasi satwa yang terancam
dapat lebih efektif, serta mengenali
faktor-faktor pembatas yang dapat
mendorong menuju kepunahan.
Selain itu, dengan melihat berbagai
uraian di muka, hal yang mendesak
adalah upaya perbaikan habitat
sebagai penunjang kehidupan
banteng. Air menjadi komponen
habitat yang sangat dibutuhkan
banteng—dan satwaliar lainnya.
Sumber air minum satwa harus
mendapat perhatian dan prioritas
pengelolaan.
Untuk itu, pemenuhan kebutuhan air minum satwa saat musim kemarau mutlak dilakukan. Dengan demikian, perlu segera menelisik secara menyeluruh potensi sumber daya air yang bisa dipakai sebagai penyedia utama maupun alternatif di dalam Taman Nasional.
Kondisi kubangan-kubangan alami
juga perlu diperbaiki, dengan
mencari kembali titik-titik mata air
dan ”menggantikan peran” kerbau
liar dengan mengeruk endapan
lumpur yang menutupi sumber
mata air.
Selanjutnya, juga mencari sumber
air alternatif yang mampu
mendukung ketersediaan air saat musim kemarau. Misalnya, membuat sumur artesis maupun sumur pompa khusus untuk keperluan minum banteng.
Untuk menyediakan ruang yang
sesuai dengan banteng di Taman
Nasional, yaitu di savana Bekol dan
sekitarnya, diperlukan komponen
habitat yang sesuai dengan
perilaku dan kesukaan banteng.
Di antaranya, memulihkan
komponen-komponen habitat yang
diperlukan banteng: air, cover, dan
pakan.
Untuk mengurangi gangguan manusia, perlu pengawasan dan pemantauan terhadap suatu luasan savana tertentu yang benar-benar dijaga secara serius dari aktivitas manusia. Pun, pengamanan dan patroli di dalam kawasan.
Sementara itu, untuk
mengendalikan ajak perlu tindak
lanjut dari upaya sebelumnya
dengan menyisir lokasi-lokasi yang
ditengarai sebagai sarang hewan
pemangsa ini. Jika sarang-sarang
ajak ditemukan, salah satu langkah
yang bisa diambil adalah membuat
satwa ini tidak betah berdiam.
Penutup
Untuk mewujudkan pengelolaan
populasi satwaliar yang lestari
diperlukan berbagai upaya yang
maksimal. Faktor-faktor yang
berpengaruh pada menyusutnya
populasi banteng harus dikelola
dengan baik, agar niat pelestarian
maskot Baluran ini kembali
terwujud.
Dengan beragam penyebab yang
saling terkait, pemulihan banteng
memerlukan skala prioritas dalam
penanganan dan mengantisipasi
faktor-faktor pembatas yang ada.
Pemulihan populasi banteng, yang
berperan sebagai satwa bendera
(flagship species), juga berarti
melestarikan mamalia besar
lainnya.***
Penulis adalah staf pengendali ekosistem
hutan (PEH) Taman Nasional Baluran.
Judul : Situs Keramat Alami-Peran
Budaya dalam Konservasi
Keanekaragaman Hayati
Penyunting : Herwasono Soedjito, Y.
Purwanto dan Endang
Sukara
Halaman : xix + 303
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Khazanah budaya Nusantara belum
menginspirasi konservasi alam zaman modern.
uku Na’vi berjuang menyelamatkan tanah Peran tanah keramat dalam berkontribusi terhadap
keramatnya dari perusahaan yang hendak pelestarian belum lama menjadi perhatian. UNESCO
S
menambang unobtanium, logam paling berharga
mulai melirik situs keramat alami berperan penting
di planet Pandora. Demi unobtanium, perusahaan itu
bertaruh apapun, termasuk hendak meluluh-lantakkan pohon raksasa tempat hidup kaum Na’vi.
Kisah itu berasal dari Avatar, film tersohor yang meraih
penghargaan film terbaik Golden Globe. Avatar bertutur
tentang kemajuan zaman yang menggilas kekeramatan.
Dalam kehidupan nyata, kisah Avatar nyaris terjadi di banyak tempat. Seringkali pembangunan mengorbankan tanah-tanah adat yang dikeramatkan. Bagi masyarakat tradisional ruang memang tak seragam; sebagian untuk kehidupan sehari-hari, sebagian yang lain untuk sesuatu yang suci.
dalam melestarikan keanekaragaman hayati pada 1997.
Sejak itu pula, badan pendidikan, sains dan budaya PBB itu membentuk bagian khusus di bawah program MAB (Man and the Biosphere).
Ekspresi budaya dalam bentuk situs keramat hampir
tersebar di seluruh negeri ini. Jejak-jejaknya masih
bisa dijumpai: mulai dari hutan larangan di daerah
Pasundan, tanah ulen di Kalimantan hingga sasi
di Maluku.
Area sakral alami sejatinya ekspresi pengakuan
masyarakat Nusantara terhadap jagad raya. Alam
mempengaruhi detak kehidupan masyarakat, yang
35
kemudian menerbitkan nilai-nilai
magis yang dianut oleh sebuah kelompok manusia.
Tempat-tempat keramat juga
lazim mewujudkan fungsi-
fungsi pelestarian. Selain untuk
menghormati sesuatu yang
dipandang transeden, kekeramatan
juga mencakup praktik, ruang,
waktu, dan penghormatan atas
segala wujud kehidupan di dalam
sebuah tempat yang bernilai suci.
Leuweung titipan di kawasan
Gunung Halimun, Jawa Barat,
adalah contoh aspek keruangan
situs keramat. Warga kasepuhan
di kawasan Halimun menciptakan
sepenggal hutan yang terlarang.
Dalam praktiknya, di hutan ini tak
diperkenankan adanya eksploitasi
tanpa seizin pemimpin adat.
Beragam larangan diterapkan
dan dipatuhi warga kasepuhan
agar tak sembrono menjamah
hutan titipan ini. Dengan
menyatunya kekeramatan dalam
kehidupan masyarakat, situs
keramat, seperti leuweung titipan
ini, bisa berkontribusi dalam
konservasi alam.
Begitu juga masyarakat Baduy,
Jawa Barat, mengenal dengan apa
yang dalam taman nasional disebut
sebagai zonasi. Salah satunya, yang
sejajar dengan zona inti di taman
nasional, Orang Baduy memiliki
hutan sakral pusaka buana. Selain
untuk kepentingan religi, pusaka
buana bernilai penting dalam
pelestarian keanekargaman hayati.
Di sisi lain, pengetahuan religi
setempat yang memudar juga
membawa dampak mengerikan
bagi alam. Para penganut Marapu,
36
agama mata air dan hutan di Sumba,
meyakini tempat keramat untuk
bersujud adalah hutan-hutan dan
mata air.
Seiring perkembangan, agama
itu tergerus langkah zaman.
Punahnya Marapu ternyata juga diiringi dengan pembabatan hutan. Akibatnya, adat rotu, yang berarti melindungi dan menjaga alam, mulai ditinggalkan.
Padahal adat inilah yang menata
relasi masyarakat dengan sumber
daya alamnya: mengatur pengelola-
an hasil hutan atau rotu omang;
tanaman perdagangan atau rotu
pingi ai; dan pengelolaan ternak dan
padang gembala atau rotu marada.
Meski relasi kekeramatan dan
konservasi begitu kasat mata,
namun ikhtiar pelestarian masih
berjarak dengan situs-situs suci.
Kekayaan artefak kekeramatan
yang menghiasi hampir di seluruh
Nusantara belum diikat-eratkan
pada upaya konservasi modern.
Konservasi modern yang berpijak
pada rasionalitas seharusnya
dipadukan dengan pemahaman
budaya manusia. Indonesia tidak
hanya memiliki keanekaragaman
hayati, namun juga berlimpah
kekayaan spiritualitas budaya.
Dua kutub kebhinekaan itu,
sejatinya, saling melengkapi dan
mempengaruhi.
Masih berpisahnya kedua keaneka-
ragaman itu terlihat dari belum
digunakannya pengetahuan lokal,
yang salah satunya berupa tempat
sakral, sebagai sumber inspirasi
kebijakan dan pengelolaan ka-
wasan konservasi. Padahal, te-
ladan-teladan pengetahuan lokal
Nusantara bisa menjadi gudang
gagasan pelestarian yang murah,
dekat dengan masyarakat, dan
efektif.
Pada tataran wacana memang telah
berkembang tentang pentingnya
pengetahuan lokal untuk di-
pertimbangkan dalam konservasi
alam. Namun, wacana itu juga
sering cepat memudar, secepat
munculnya wacana, dan nyaris tak
berjejak dalam upaya pelestarian.
Baru Langkah Awal
Pustaka ini merupakan buhul
berbagai khazanah tradisi tempat
keramat dari berbagai daerah di
Indonesia. Selain berisi berbagai
hasil penelitian ihwal situs keramat
alami, buku ini juga membentangkan
kembali ikatan erat antara budaya
dan keanekaragaman hayati.
Beragam riset yang telah dilakukan
sejumlah peneliti itu diharapkan
dapat memberikan sentuhan ilmiah
pada pengetahuan lokal yang
ada. Ini merevitalisasi nilai-nilai
budaya yang telah ribuan tahun
berkembang di Nusantara dalam
konteks kehidupan modern.
Dari sini, benturan yang sering
terjadi antara pandangan masyara-
kat lokal dengan wawasan modern
bisa dihindari. Yang hendak di-
raih, tentu saja, kekeramatan bisa
bergandengan tangan dengan kon-
sep modern konservasi kekayaan
hayati.
Mengingat situs keramat alami
telah berkembang selama berabad-
abad, berbagai telaah dalam
pustaka ini baru pijakan awal untuk
mendudukkan pengetahuan lokal
sebagai penyumbang gagasan dalam
konservasi. ***
Dostları ilə paylaş: |