Rifcy Zulficar / 21793



Yüklə 174,11 Kb.
səhifə2/5
tarix27.12.2018
ölçüsü174,11 Kb.
#87026
1   2   3   4   5

Sheila Riezqia
Kembar Buncing/Manak-Salah

 

      Dalam kebudayaan Bali, terdapat istilah Kembar Buncing atau Manak-Salah. Kembar Buncing adalah kondisi dimana sepasang suami istri melahirkan anak kembar putera dan puteri. Disebut juga Manak Salah karena sebagian masyarakat Bali menganggap hal ini sebagai kelahiran yang dilarang dan aib yang mencemari desa dan komunitasnya. Anggapan ini berasal dari mitos bahwa setiap kembar buncing telah melakukan hubungan seksual di dalam kandungan ibunya.



      Kebudayaan ini sedikit banyak melestarikan kekerasan fisik dan non-fisik karena terdapat beberapa ketentuan dan hukuman adat yang diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia bagi keluarga yang mengalaminya.

      Contohnya saja, bila keluarga yang mempunyai anak Kembar Buncing berasal dari rakyat biasa, pasutri dan kedua anaknya harus diungsikan ke pinggir desa, dekat sungai, atau dekat kuburan di dalam pondok darurat selama tiga bulan (sekitar 68 hari) tanpa diperbolehkan keluar. Hal ini dilakukan guna mengembalikan keseimbangan dan kesucian. Selama itu juga mereka hidup di tempat yang tidak sehat, lingkungan yang lembab, dingin di waktu malam dan panas di waktu siang tanpa diperbolehkan pergi berobat ke Puskesmas.

      Hanya bayi yang memiliki ketahanan fisik yang tinggi sajalah yang dapat bertahan dari serangan radang paru-paru atau penyakit infeksi lainnya dalam kondisi seperti itu. Kondisi mengenaskan ini memang sengaja diciptakan agar salah satu atau kedua anak kembar itu mati karena dianggap membawa aib.

      Sedangkan bila keluarga yang mempunyai anak Kembar Buncing berasal dari ”kalangan atas” dan lahir di Puri, kedua anak mereka akan dijaga dengan cermat diharapkan mereka dapat menikah di kemudian hari. Hal ini berdasarkan kepercayaan bahwa kedua anak kembar buncing ini telah membawa pasangan (sebagai suami-istri) sejak lahir ke dunia.

      Menurut budayawan Ketut Sumarta dan tokoh masyarakat adat Buleleng, Made Rimbawa, tradisi perlakuan terhadap Kembar Buncing tersebut sudah ada sejak Bali masih di bawah kerajaan masa silam. Ketika itu, para raja mengharuskan pelaksanaan tradisi tersebut.

      Meski dresta (tradisi adat yang berlaku sejak dulu) ini sudah dihapuskan oleh Pemerintah Bali (dengan Perda DPRD Bali No. 10 Tahun 1951 tentang Penghapusan Sanksi Adat Manak Salah) dan tak lagi tercantum dalam awig-awig (peraturan dan ketentuan) desa adat, sebagian masyakat Bali masih melestarikannya, seperti di Desa Padangbulia, Kabupaten Buleleng. Mereka masih mempertahankan tradisi ini dengan dalih ”Pekayunan Ida Bhatara ring Pura Desa” (kehendak Tuhan sebagai Brahma yang berstana di Pura Desa memang seperti itu, yakni si kembar buncing beserta kedua orang tuanya harus di hukum). Mereka juga beranggapan jika hukuman adat ini tidak dilaksanakan, desa mereka akan mengalami kesialan yang beruntun.

      Contohnya, di tahun 2004, masyarakat desa ini mengucilkan sepasang bayi kembar buncing bersama kedua orang tua mereka, Nengah Tarsa dan Ni Ketut Susun ke sebuah pekuburan, sekitar 10 kilometer selatan Singaraja, kota Kabupaten Buleleng. Bertempat di sebuah pondok sederhana, keluarga tersebut tidak diperkenankan beraktifitas dan mencari nafkah selama 68 hari hingga 17 Juli 2004. Hingga kini, pemerintah dan para budayawan terus melakukan sosialisasi tentang penghapusan tradisi pengucilan Kembar Buncing di desa-desa adat. Diharapkan, di kemudian hari, tradisi ini tidak akan dilaksanakan lagi dan masyarakat akan mempunyai anggapan bahwa setiap kelahiran adalah berkah.  
 
 

Septyanto Galan Prakoso
Hakikat Jihad
    Kekerasan dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yaitu: kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Di antara ketiga bentuk kekerasan tersebut, kekerasan kulturallah yang merupakan bentuk kekerasan yang harus lebih diwaspadai. Hal ini tidak lain berkaitan dengan salah satu ciri kekerasan ini, yaitu: diperbolehkan (dijustifikasi) oleh agama. Ciri tersebut selain sensitif, juga tergolong berbahaya. Karena jika sesuatu telah mendapat justifikasi dari suatu agama, maka halal hukumnya jika umat dari agama tersebut melakukannya, tidak terkecuali kekerasan.

    Dalam hal ini, saya mengambil kasus tentang penyalahgunaan pelaksanaan kata jihad oleh sekelompok umat Islam yang melakukan berbagai macam aksi kekerasan, yang oleh publik lebih digolongkan sebagai terorisme. Mengapa saya sebut hal tersebut sebagai ”penyalahgunaan”? Hal ini tidak lain karena dalam arti yang sejelasnya, jihad adalah *usaha dengan segala daya untuk mencapai kebaikan; usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta, benda, jiwa, dan raga. Jika dianalisa dengan lebih dalam, berarti: usaha dengan tujuan kebaikan yang dilakukan umat Islam sebagai pembelaan diri atas sesuatu yang mengancam keberadaan agama Islam. Sama sekali tidak ada kata kekerasan atau apapun yang menjurus kepada hal tesebut yang tertulis. Namun, mengapa ada ledakan bom di cafe-cafe? Mengapa ada penyerangan terhadap gereja-gereja di berbagai wilayah? Hal ini tidak lain karena kurangnya pemahaman pelaku tidak kekerasan tadi terhadap hakikat jihad itu sendiri. Bukankah masih ada cara lain selain kekerasan? Jihad tidak harus selalu berperang, jihad harta juga dapat dilakukan, selain itu masih banyak cara lainnya. Akan tetapi, adanya justifikasi agama terhadap kekerasan dalam hal ini juga bisa dibenarkan. Karena, jika para pelaku tersebut tidak merasa ada pembenaran terhadap aksi-aksinya, maka mereka tidak akan melakukannya. Lalu, siapa yang membenarkannya? Para pemuka agama yang menjadi panutan para pelaku tersebut bisa jadi salah satunya, selain itu, para pelaku dari berbagai macam tindakan kekerasan yang mengatasnamakan jihad tadi juga dimungkinka hanya meniru berbagai bentuk aksi kekerasan di Timur Tengah yang notabene adalah daerah rawan konflik yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pada intinya dari perspektif apapun, hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Karena selain sangat berlawanan denga prinsip perdamaian, hal tersebut hanya akan menimbulkan kerugian.



Aldilla Dhika Velarasi
Sebuah artikel yang dimuat di website resmi Slemania <www.slemania.or.id> pada 7 April 2006 dan juga pernah dimuat di Harian Kompas Jawah Tengah, 4 April 2006 berjudul “Budaya Jawa dan Kekerasan Sepakbola” sempat membuat saya bertanya, “Apakah memang keduanya saling berhubungan?”

Ternyata dalam artikel itu, Bambang Haryanto, yang juga seorang suporter sekaligus kolumnis ini membahas tulisan Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden yang juga mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda tentang tindak kekerasan suporter sepakbola Indonesia. Menurutnya Indonesia yang mayoritas suku Jawa mempunyai pandangan betapa pentingnya keselarasan sehingga mereka cenderung untuk menghindari konflik. Namun ketika dihadapkan pada sebuah pertandingan sepakbola dengan konflik eksplisit dimana orang mudah merasa dihina, orang Jawa akan cenderung meledak kemarahannya karena ini merupakan reaksi tipikal ketika merasa dipermalukan di depan umum.

Sangat disayangkan karena sulit bagi saya mendapatkan artikel aslinya sehingga otomatis pandangan saya terbentuk hanya dari petikan artikel dari saudara Bambang. Namun dengan keterbatasan itu, saya berusaha objektif untuk menyampaikan bahwa kekerasan sepakbola di Indonesia ini tidak semata-mata karena dipengaruhi budaya Jawa dan ada beberapa alasan yang akan saya sampaikan untuk menguatkannya.

Keselarasan dalam budaya Jawa sebenarnya mempunyai maksud keselarasan jasmani dan rohani dengan menahan segala nafsu jasmani hingga membawa pada keheningan pikiran dan membuatnya memahami hakekat hidup.1 Maka dari itu ketika seseorang benar-benar memahami keselarasan justru kemarahan tidak akan mudah muncul hanya karena menonton pertandingan sepakbola yang menjunjung sprotivitas.

Jika diperhatikan kembali, sebenarnya kekerasan yang banyak terjadi di persepakbolaan Indonesia dilakukan oleh suporter dari berbagai latar belakang etnis sehingga bukan hal yang bijaksana ketika melihatnya dari faktor keselarasan yang diajarkan oleh budaya Jawa. Ada hal lain yang perlu diperhatikan dalam kasus sepakbola di Indonesia yaitu kepemilikan klub oleh daerah sehingga klub-klub sepakbola yang bertanding membawa beban lebih berat berupa nama kota serta pemerintah daerah dan banyaknya APBD yang digunakan, sehingga ada identitas lain yang lebih mampu menaungi dibandingkan etnis. Belum lagi jika dilihat dari tingkatan kehidupan sosial masyarakat yang banyak datang ke arena pertandingan adalah mereka yang berada pada kelas menengah ke bawah, dimana telah banyak masalah hidup yang menghimpit sehingga secara psikologis pun akan membuat mereka mudah terpancing secara emosi dan ketika ada alasan untuk melegalkan aksi anarki maka meledaklah kekerasan tersebut.

Sebagai etnis Jawa sekaligus rakyat Indonesia, saya sangat menyayangkan tulisan Freek Colombijn yang tampaknya tidak melihat segala aspek tersebut, sehingga seolah-olah keselarasan dalam falsafah Jawa tersebut telah membentuk pola kekerasan bahkan dalam dunia sepakbola. Di sinilah saya merasa bahwa budaya Jawa telah digunakan untuk menjustifikasi bahwa kekerasan itu memang dapat dilakukan dan terjadi karena ada aspek yang membuatnya ada yaitu budaya. Dengan kata lain artikel itu sama dengan mengatakan bahwa, kekerasan langsung dalam pertandingan sepakbola di Indonesia ada karena adanya penanaman kekerasan dalam budaya Jawa. 



Furthermore, sport is transcultural; therefore projects based around it are less open to charges of cultural imperialism. Sport actively rather than passively involves participants. It provides a rule-governed, neutral and fun platform for Others to work together to break down barriers and build up trust and mutual respect. It also provides a framework for teaching participants conflict resolution.

Diwya Anindyacitta
RITUAL BERDARAH DI HARI ASYURA 

      Peringatan Hari Asyura pasti tidak asing didengar di telinga pemeluk agama Islam. Hari ini diperingati sebagai hari kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali, dan juga dikenal karena banyak peristiwa-peristiwa penting lainnya terjadi pada hari ini. Hari ini jatuh pada tanggal 10 Muharram sesuai penanggalan Hijriah. Di Indonesia, kaum muslim biasa memperingati hari itu dengan melakukan ibadah puasa. Hanya di beberapa daerah tertentu saja, seperti di Pariaman-Sumatra Barat, hari ini diperingati secara besar-besaran, yaitu dengan membuat tabuik, semacam patung persembahan yang kemudian dilarung ke laut.

      Berbeda dengan yang ada di Indonesia, Hari Asyura diperingati oleh kaum muslim Syiah di India, Afghanistan, Pakistan, Libanon, Irak dan Iran dengan ritual yang ekstrem. Mereka merayakan hari itu dengan cara melukai diri mereka sendiri, dan tak jarang menjadi pertumpahan darah. Di negara-negara itu, Hari Asyura dianggap sebagai hari untuk berduka, mengingat pada hari itu Tragedi Karbala terjadi. Tragedi di mana cucu Nabi dan puluhan pengikutnya dibantai oleh tentara Yazid bin Muawiyah yang berjumlah ribuan orang.

      Tragedi Karbala itu kemudian setiap tahunnya diperingati oleh para lelaki muda Syiah dengan memukuli dada mereka sendiri dengan batu, mencambuk punggung mereka dengan rantai, dan yang paling ekstrem melukai kepala mereka dengan pisau hingga berdarah--tergantung pada tradisi masing-masing negara. Di Libanon, setelah kepala mereka 'dikuliti', mereka memukul-mukul kepala mereka agar darah yang keluar bertambah banyak. Ritual ini dilakukan sembari berkeliling di jalanan lingkungan mereka. Sementara itu para wanitanya membaca Al-Quran dan mendoakan Husein bin Ali. Parahnya ritual semacam ini tak jarang mengikutsertakan anak-anak kecil. Para ekstremis ini mengaku bahwa ritual ini mereka lakukan secara sukarela demi cinta terhadap agama dan untuk menunjukkan pengabdian mereka pada cucu Nabi yang mereka yakini sebagai pemimpin mereka. Para pelaku ritual ini mengaku tidak merasakan sakit saat melakukan prosesi itu--satu hal yang sangat sulit dipercaya melihat begitu banyak darah mengalir di wajah dan tubuh mereka.

      Ritual ini memang sangat kontroversial. Banyak kecaman muncul dari pihak-pihak lain, termasuk dari pemeluk agama Islam sendiri. Bahkan dalam kalangan Syiah sendiri ritual ini menjadi perdebatan, tetapi hal tersebut tak dapat mengendurkan 'semangat' para pemuda Syiah untuk melakukan kekerasan semacam ini. Di Afghanistan ritual ini sempat dilarang, namun pemeluk aliran Syiah tetap melakukannya di ruangan tertutup, dan lama kelamaan ritual ini kembali muncul ke permukaan.

      Dari sini jelas dapat kita lihat betapa ritual yang dilakukan kaum Syiah ini sangat sarat dengan kekerasan. Ritual yang hingga sekarang tetap dilakukan setiap tahun ini jelas melestarikan kekerasan. Hal ini sungguh ironis karena agama Islam dikenal sebagai agama perdamaian dan menolak tindak kekerasan. Kenyataan ini diperparah karena ritual ini dianggap sebagai bagian dari tradisi turun temurun yang dilakukan kaum Syiah sehingga sangat sulit untuk dihapuskan. Dapat dikatakan ritual ini sebagai ritual yang melenceng yang mengatasnamakan agama dan kepercayaan karena nyatanya tidak semua pemeluk agama Islam melakukan ritual ini.



Maria Yeni Wulandari

 

LAST SUPPER YESUS “YANG SAKRAL” versus LAST SUPPER SUHARTO “YANG KORUP” 


Cover Tempo 4-10 Februari 2008 menampilkan gambar Suharto yang diapit oleh keenam anaknya yang diparodikan dengan gambar Yesus bersama 12 muridNya sebelum penyaliban. Hal ini dianggap sangat melukai hati umat Kristiani karena dibalik gambar tersebut ada makna Alkitab. Ormas-ormas Kristiani pun mendatangi kantor Tempo dan minta klarifikasi hal tersebut. Berita Suharto “yang korup” apakah sebanding dengan gambar dari Perjamuan Akhir Yesus “yang

sakral”? inilah yang dianggap kasus pelecehannya. Tempo pun akhirnya minta maaf dan menjelaskan bahwa mereka hanya meminjam sebagian komposisi the last supper. Tempo mlihat bahwa lukisan Leonardo da Vinci ini telah membumi dan muncul dalam berbagai parodi sehingga Tempo merasa mantap untuk menampilkan gambar tersebut, tanpa berpikir akan menuai protes.

      Kita tahu bahwa Indonesia adalah masyarakat yang plural. Agama menjadi isu sensitif di tanah air ini, sehingga agama sangat berpotensi menjadi sumber konflik. Kasus ini bisa juga menimbulkan kekerasan. Karena banyak pihak di Sulawesi Utara, NTT, dan Papua, merasa tidak puas dengan Tempo dan bisa saja mereka bertindak anarkis, apalagi sebagai kaum minoritas, sudah sering dipinggirkan dan sekarang malah dilecehkan dengan gambar tersebut yang menyamakan kepergian Yesus dengan Suharto. Ingat ketika kartun Nabi Muhammad dengan bom di kepala untuk menyentil kaum Islam yang saat itu sedang banyak melakukan aksi bom bunuh diri. Begitu pula dengan sayembara orang terkenal di dunia yang meletakkan Suharto lebih tinggi dari Nabi Muhammad. Pasti ada sesuatu dibalik pembuatan hal-hal seperti itu. Segala hal yang menyentil sentimen agama sangat berpotensi menjadi sumber konflik dan kekerasan. Kalau dibiarkan terus menerus, hal itu akan menjadi sebuah budaya ketika agama dipakai sebagai target pelesetan. Tapi pelesetan gambar Yesus tersebut kurang cerdas karena di sana ada beberapa event yang penuh makna.

      Menanggapi masalah pemuatan parodi gambar Yesus, saya sendiri tidak setuju dengan pelaporan ke polisi tentang masalah gambar tersebut, cukuplah dengan berdialog dengan pihak bersangkutan, meski pelesetan itu memang tidak cerdas, tapi menurut saya itu bukan suatu simbol yang terlalu disucikan oleh umat Kristiani. Umat tidak perlu terlalu membesar-besarkannya, apalagi pihak Tempo sudah meminta maaf. Sebagai umat Kristiani haruslah tetap menanamkan sikap damai yang penuh cinta kasih ketika menghadapi permasalahan seperti itu, karena itulah akar iman Kristiani. Kemudian, jika memang pers ingin membuat parodi-parodi yang lain, perlu dipahami bahwa cara pandang orang timur itu masih kuat, mereka masih memandang makna religiusitasnya, antara yang ilahi dan yang profan, jangan disamakan dengan orang-orang barat yang neo-liberal [adanya parodi last supper versi KFC, McD, Madonna, dll]. Jadi jangan sampai kebebasan pers itu melampaui batas-batas kesakralan sebuah agama. Masalah agama sangat rentan terhadap konflik dan kekerasan yang anarkis di Indonesia. 


 

?
Agama dan Kekerasan 


    Tanpa disadari agama telah menjadi salah satu instrumen yang melestarikan kekerasan. Padahal pada dasarnya inti dari setiap agama yang ada di dunia ini adalah sama, yaitu mengajarkan kasih sayang; saling mencintai, menghormati, dan mengasihi. Tidak ada agama yang mengajarkan untuk berbuat kekerasan, menyakiti sesama makhluk hidup, ataupun melakukan perusakan di muka bumi. Sayangnya pada kehidupan sehari-hari saat ini, umat beragama banyak yang justru saling membenci, saling menyakiti, bahkan melakukan tindakan anarki terhadap umat agama lain.

    'Membela agama dan bangsa dari kesesatan' menjadi salah satu alasan yang paling sering digunakan oleh para pelaku tindakan anarki berbasis agama, yang mayoritas adalah pemeluk suatu agama yang sangat mencintai agamanya. Kekhawatiran mereka sebenarnya bisa diterima, yaitu takut agama mereka dinodai dan takut bangsa mereka terjerumus dalam kesesatan. Tetapi mereka terlalu berlebihan sampai-sampai menggunakan cara kekerasan. Akhirnya mereka justru terlihat sebagai orang-orang yang tidak bisa menerima perbedaan, menganggap kepercayaan lain salah, dan hanya mau mengakui kepercayaan mereka.

    Front Pembela Islam (FPI) bisa diambil sebagai contoh tindak anarki berbasis agama. Kelompok ini merasa bertanggung jawab atas 'kebersihan' agama islam dan negara Indonesia yang mayoritas islam. Belum hilang dari ingatan ketika FPI merusak kantor sebuah majalah pria dewasa karena memuat foto model-model Indonesia yang setengah telanjang. Mereka melempari kantor tersebut dengan batu dan beramai-ramai merusak kantor tersebut. Kejadian lainnya adalah ketika FPI menyerbu sebuah kafe di Jakarta karena dianggap sebagai tempat perbuatan maksiat dan harus dibasmi.

    Contoh lainnya adalah ketika sebuah rumah peribadatan Kong Hu Chu dirusak oleh sekelompok orang karena dituduh telah meresahkan masyarakat. Padahal para penganut Kong Hu Chu tersebut hanya melakukan ibadah bersama dan memasang beberapa atribut agama mereka. Selain itu kasus tindakan anarki juga terjadi di kantor/tempat ibadah Jamaah Ahmadiyah. Tempat itu dirusak sekelompok orang yang tidak beranggung jawab. Padahal seperti yang sudah diketahui bersama, Jamaah Ahmadiyah telah meminta maaf kepada masyarakat dan tetap diijinkan untuk beraktivitas seperti biasa oleh pemerintah.

    Contoh-contoh diatas menunjukkan betapa mudahnya sekelompok orang melakukan tindakan kekerasan hanya karena alasan-alasan sepele. Hanya karena dianggap sesat dan 'kotor', sekelompok orang diserang. Sebaiknya sebagai bangsa yang memiliki slogan 'bhinneka tunggal ika', bangsa ini bisa lebih terbuka menghadapi perbedaan dan tidak menjadikan agama sebagai alasan melakukan tindak kekerasan.

Andika Cahaya utama

Tradisi Mesabetan Api (Perang Api)

Tradisi mesabetan api atau perang api, merupakan tradisi yang biasa dilakukan oleh warga penganut Hindu di Bali sehari sebelum nyepi. Tradisi ini dipercaya mampu mengikis amarah dan dendam sehingga warga lebih siap ketika menyambut Nyepi. Tradisi mesabetan api ini diikuti ratusan pemuda dengan manggunakan daun kelapa kering yang dibakar di tangan yang kemudian disabetkan ke lawan hingga membentuk percikan-percikan api yang betebaran. Ikatan daun kelapa itu diikat menyerupai sapu yang diberi minyak tanah kemudian di bakar.
Tradisi ini diikuti oleh seluruh pemuda di banjar Nagi, Desa Petulu, Ubud. Perang api ini dibagi ke dalam dua kelompok yakni kelompok utara dan selatan. Sebelum melakukan mesabetan api seluruh pemuda dipercikan air tirta atau air suci oleh pendeta hindu setempat. Setelah itu tubuh mereka juga diolesi cairan dari kapur putih yang dipercaya dapat mencegah atau mengurangi cedera akibat lemparan bara api.
Tradisi ini bila dilihat dari akibat yang dihasilkannya, misalnya kemungkinan cedera akibat bara api yang dipukulkan ke permukaan kulit dapat dimasukan ke dalam kategori kekerasan karena menyakiti orang lain. Tak sedikit warga yang kulitnya melepuh terkena bara api. Namun warga tidak marah karena bara api yang mengenai badan dianggap membantu melindungi dari gangguan roh jahat.

Pani Zaristian Vaspintra
Kenapa Permpuan Harus Memakai Anting?
      Bagi saya perempuan dan laki-laki itu sangat berbeda. Secara fisik, tentu perempuan memiliki struktur tubuh yang jelas berbeda dengan laki-laki, anatominya sangat sesuai dengan kelebihannya untuk dapat mengandung seorang bayi, berbeda dengan laki-laki yang yang tentu saja tidak memiliki kemampuan serupa. Secara psikologis, berdasarkan riset, perempuan memiliki perasaan yang lebih halus daripada laki-laki pada umumnya. Karena itu, pada beberapa kasus, perempuan lebih cenderung banyak memainkan perasaan saat menyelesaikan suatu masalah. Serta banyak lagi perbedaan yang dapat dengan mudah kita identifikasi.

      Berdasarkan perbedaan yang sudah sangat jelas itu lah, saya menjadi heran ketika mengamati suatu ritual kebiasaan yang dilakukan di banyak daerah Indonesia atau bahkan dunia. Dimana seorang bayi apabila dia perempuan, maka pada umur balitanya, ia akan dipasangkan secara paksa (tentu saja jika bayi dapat menolak mungkin ia akan berontak!) sebuah anting-anting di bagian daun telinganya. Pada umunya perlakukan khusus semacam itu, bertujuan untuk membedaan jenis kelamin bayi, laki-laki atau kah perempuan, juga untuk membedakan penampilannya saat ia dewasa. Ritual semacam ini masih terjadi, dan terus diikuti oleh banyak masyarakat. Akan sangat aneh jika suatu keluarga tidak melakukan ritual semacam ini ditengah-tengah masyarakat. Jika terjadi, cap aneh akan segera melekat pada keluarga tersebut. Justifikasi semacam ini lah yang saya kira menjadikan ritual ini terus melekat dan dianggap bisa oleh masyarakat.

      Pengamatan saya menunjukkan adanya tindakan yang bersifat memaksa ketika seorang bayi harus dibawa ke puskemas, rumah sakit, atau tempat lainnya hingga kemudian dipaksa untuk mau dilubangi bagian daun telinganya agar dapat menjadi tempat untuk memasang anting-anting. Tindakan semacam ini, menurut saya, termasuk dalam kategori kekerasan kultural. Mengapa? Pertama, saya kira tidak ada alasan yang rasional untuk dapat menerima kegiatan ini sebagai ritual yang jelas tujuannya. Jikalau ditujukan untuk membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, bukan kah bentuk dan anatomi tubuh perempuan dan laki-laki telah sangat berbeda. Tanpa menggunakan anting-anting pun, perempuan akan sangat mudah dan cepat diidentifikasi melalui penglihatan mata manusia. Kedua, tindakan semacam ini, dimana bayi dipaksa diam dan rela untuk dilubangi daun telinganya, adalah tindakan yang sangat menyakitkan bayi. Keadaan bayi yang sangat lemah, kebelumsempurnaan pertumbuhan fisiknya, hingga kemampuannya yang hanya bisa menangis menjadikan tindakan semacam ini sama dengan penganiayaan yang dilakukan orang dewasa dengan anak kecil. Entah kapan ritual ini dimulai, akan tetapi sepajang pengamatan saya, ritual semacam ini masih terus dilakukan oleh banyak masyarakat di berapa negara di dunia, termasuk Indonesia.

Renatha Ayu R

PERANG OBOR

Perang Obor ini dilakukan oleh masyarakat di Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Jepara, Jawa Tengah. Ritual ini secara turun temurun dipercaya sebagai bentuk "sedekah bumi" atau ungkapan rasa syukur warga setempat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa berkat limpahan rezeki hasil panen dan keselamatan. Sebelum perang obor dimulai dilaksanakan beberapa ritual awal seperti penggantian sarung benda pusaka dengan mencucinya dengan air kembang setaman yang nantinya akan digunakan untuk membasuh luka para peserta yang mengikuti perang obor dan penyembelihan kerbau.


Perang Obor selain melibatkan warga setempat yang memang berhak menjadi peserta asalkan memiliki keberanian menghadapi risiko mengalami luka bakar. Sebagai permualaannya tiap peserta diberi obor yang menyala.  Obor ini terbuat dari gulungan pelepah dari daun kelapa kering yang di bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering dengan jumlah banyak. Selanjutnya, obor diikatkan pada sebatang bambu. Lalu, para peserta saling memukul dengan menggunakan obor yang membara ini. Ritual yang lebih mirip pertandingan bela diri ini baru berakhir bila seorang peserta tinggal sendirian atau tak lagi memiliki lawan yang akan dihadapi Mereka percaya hal ini sebagai  simbol memerangi kejahatan dan mengusir penyakit. Dengan demikian, desa mereka bebas dari segala marabahaya.
Menurut saya ritual ini merupakan salah satu jenis kekerasan yang dijustifikasi oleh budaya. Alasannya adalah pertama, walau korban luka bakar bisa disembuhkan atau rela-rela saja melakukannya namun hal ini merupakan tindak kekerasan. Kedua, adanya dukungan kepercayaan. Mereka percaya  bahwa jika hal ini tidak dilakukan maka akan terjadi marabahaya yang luar biasa seperti gagal panen, wabah penyakit berbahaya,  istri kepala desa meninggal (ini memang pernah terjadi dan langsung dikaitkan dengan telatnya pengadaan perang obor) dan  hal buruk lain. Ketiga, Sang pemenang tak akan mendapatkan hadiah tertentu kecuali kebanggaan dan reputasi diri.Keempat, biaya untuk melakukan perang obor sangat besar sehingga seringkali memberatkan warga (walaupun tidak ada protes yang muncul di permukaan).

Yüklə 174,11 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin