Sketsa: Merampok Ribuan Triliun Melalui Transfer Pricing Pajak (I)



Yüklə 95,11 Kb.
səhifə3/3
tarix22.08.2018
ölçüsü95,11 Kb.
#74145
1   2   3

SELASA petang di studio QTV, Citra Graha, Lantai 11, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Pusat.. Sebuah kehormatan bagi saya sebagai pemandu talkshow indie Presstalk, Achsanul Kosasi, Wakil Ketua Komisi XI DPR, berkenan tampil. Sejak sebulan lalu, saya memintanya bergabung membicarakan urusan pajak, jauh sebelum kasus Gayus Tambunan membuncah. Topik kami fokus ke urusan Transfer Pricing (TP); sebuah urusan kewajaran dalam bertransaksi, yang dibuat menjadi sangat tidak wajar untuk menghindari pajak. Premis jernih TP.

TP itu, dilakukan para perusahaan besar, PMA, perusahaan lokal, yang seharusnya wajar menjadi tampak tidak wajar. Saya juga sedang melakukan verifikasi, BUMN pun latah melakukan, lalu jika BUMN melakukan, dikemanakan untung yang “ditipkan” ke perusahaan afioliasi itu?

Siapa yang menikmati, sipa yang makan?

Untuk memudahkan pemahaman TP. Contoh harga gula sekilogram Rp 5.000, tapi oleh sang perusahaan dijual ke perusahan dalam group afiliasi ke luar negeri Rp 2.500, di pembukuan. Perusahaan afiliasi itu umumnya di negara bebas pajak, seperti Mauritius, Cayman Island. Produk gulanya secara riil masuk ke pasaran bebas di harga Rp 5.000. Untung sudah disembunyikan Rp 2.500.

Corak permainan pat-gulipat di TP ini manca ragam. Urusan membebankan biaya di luar negeri dipikul perusahaan lokal Indonesia, misalnya. Untuk contoh ini sudah saya tuliskan pada Sketsa sebelumnya, seperti indikasi dilakukan oleh; PT Toyota Motor Manufaktur Indonesia (TMMI), PT Kraft Indonesia, PT Hyatt Indonesia, di antara ribuan perusahaan kini bersidang banding di Pangadilan Pajak.

“Jujur selama ini kami tidak mengamati soal transfer pricing. Yang kami lihat Rp 600 triliun APBN dari pajak, lalu peningkatan jumlah wajib pajak mencapai sepuluh juta, sebuah prestasi,” ujar Achsanul.

Tranfer pricing (TP) memang cuma istilah. Pengertiannya, sesungguhnyalah urusan kewajaran bertransaksi. Masing-masing perusahaan membuat neracanya rugi. Untung disembunyikan. Biaya diperbesar. Impor harga ditinggikan.

Komponen biaya tak masuk akal, termasuk membebankan royalti hak cipta dalam sebuah angka tambun;. Pada kasus royalti, misalnya, indikasi tajam pada merek Susu Bendera, bangsa harus membayar Rp 100 miliar setahun setidaknya ke luar negeri.



Pada kasus royalti ini, Australia pernah palak kepada kelakuan Toyota. Tercatat archive di google, sebagaimana diingatkan pembaca Sketsa di Kompasiana.com. Modus transfer pricing ini bukan hal baru bagi Toyota. Pada 2004, diberitakan di media Australia kalau Toyota sedang berselisih dengan kantor pajak Australia. Kantor pajak menagih sampai satu miliar dolar Australia. Dan hal yang sama terjadi juga awal 90-an. Lihat: http://www.theage.com.au/articles/2004/06/18/1087245116983.html.

Jika saja Grup Toyota Astra melakukan TP di Indonesia tahun-menahun tambun, bukan isapan jempol jika puluhan bahkan ratusan triliun hak penerimaan negara terindikasi telah mereka hub-balahap-kan. Pembaca Sketsa lain mengatakan, “Jika hal itu memang sudah terjadi, betapa kejamnya, bagaimana negara ini telah memberikan banyak fasilitas dan kemudahan di sektor otomotif. Sebuah penghianatan.”

Bahkan sosok Amin Appa, pembaca Sketsa di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab menuliskan, “Kendati sudah ada AFTA sekalipun anehnya harga mobil tetap saja dua kali lipat di Indonesia dibanding di sini.”

Amin Appa, yang beristerikan sosok wanita Bosnia, lebih lanjut menuturkan:

“Mengingat sumber kemiskinan rakyat Indonesia adalah karena banyaknya uang pajak yang menguap, maka belajarlah ke Bosnia yang baru saja porak poranda akibat perang saudara, “ tulis Amin pula, “Bosnis kini bangkit dan bukan hanya membangun tapi juga telah berhasil membebaskan pembayaran sekolah dan kulliah dari semua tingkatan dan memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi warganya. Sumber dananya hanya mengandalkan pembayaran pajak sebesar 17% bagi pajak penjualan dan produksi.”

“Bosnia tidak punya kekayaan alam seperti Indonesia. Tetapi rakyatnya bisa sejahtera walau belum sampai ke taraf negara-negara maju di Eropa. Bosnia berhasil karena adanya pengawasan dan kesadaran tinggi untuk kesejahteraan bersama.”

Sumber utama pemiskinan Indonesia, memang, saya indikasikan dominant dari pajak yang kabur di TP. Soal volume besarannya yang terindikasi TP pada 2009 mencapai Rp 1.300 triliun, jernih dan jelas perhitungannya.

Bukan isapan jempol.

Mengkalkulasinya gampang saja, jumlah transaksi perdagangan pada 2009 mencapai Rp 2.400 triliun, menurut pejabat di DJP, sebanyak 60% di lingkup masalah TP.

Mengapa TP menjadi-jadi terjadi?

“Jujur, kami alpa mengamati,” kata Achsanul.

Kenyataan di lapangan baru ada seksi TP di DJP pada 2007. Padahal laku TP sudah membumi di negeri ini sejak 20 tahun. Atas dasar inilah saya mengatakan, volume uang yang diributkan di kasus Gayus Tambunan, hanyalah urusan di receh, masalah kulit ari. Di banyak urusan, bangsa ini acap membunyikan urusan remah. Padahal uang negara raib menambun di soal TP.

“Berarti uang pajak untuk APBN selama ini masih berkutat penerimaan dari pajak publik, dari dunia usaha besar-besar itu belum optimal dan atau tak dioptimal oleh sang pengusaha yang telah mendapatkan pasar dan berbagai kemudahan?” ujar Achsanul heran.

Tepat!


Menjadi tidak tepat adalah ada dua hal. Setidaknya, UU perpajakan bermasalah. Pertama UU 28 tahun 2007, pasal 36A; pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Pasal ini telah membuat semangat kerja staf DJP kecut.

“Bener-bener bikin males, sudah capek menghitung, jika salah, kena sanksi lagi,” ujar Sanusi, staf di kantor pusat DJP.

Kedua soal UU 36, 2008, pasal 44, yang membolehkan penggelapan pajak dapat diselesaikan di luar pengadilan, dengan denda maksimum mencapai 400% dari pajak yang digelapkan. UU demikian membuat kejadian macam Gayus Tambunan, menjadi kekuatan para pihak; mulai wajib pajak, konsultan pajak, pengadilan pajak, hakim, kepolisian, dapat bermain.

Wong, edan tenan, boleh nego!

Sudah seharusnya kedua UU itu menjadi topik perhatian. Namun ketika Rabu petang saya lihat di televisi: Komisi XI DPR ketika memnggil Dirjen Pajak, seorang anggota dewan dengan entengnya mengusulkan langkah ou- sourcing SDM pajak. Fakta di lapangan kasus komputerasi, teknologi informasi dan data baase DJP, yang dilakukan tender nya di era Darmin Nasution menjadi Dirjen Pajak, terindikasi kuat bermasalah.

Apatah pula kini semua urusan pajak di out-sourcing?



“Kami untuk mengubah atau menambah satu entri data saja, untuk kepentingan formulir, pihak ketiga yang menjalankan system IT Pajak, menolak,” kata Sanusi, karyawan kantor pusat DJP.

Itu artinya kontrol terhadap data segenap wajib pajak ada di tangan pihak ketiga.

Mak!

Kenyataan ini mitrip pula dengan ap yang terjadi Depertemen Tenaga Karja RI. Siluruha input data base diserahkan kepada pihak ketiga. Sehingga semua data TKI, dimiliki oleh pihak ketiga.



Sekarang urusan data uang penerimaan negara dari pajak, ada pula digenggaman pihak out-sourcing.

Tidaksalah, memang.

Tetapi jika pihak DJP, dibuat macam menumpang di mana haknya sendiri seakan ditutup demi perbaikan, menjadi tanya, mengapa negara kemudian dikebiri?

Di pengadilan bagaikan tamu, di urusan teknologi informasi, menjadi penumpangh, di undang-undang dikebiri, bisa Anda bayangkan, kini betapa muaknya sesungguhnya menjadi karyawan DJP.

Kemuakan itu, saya dapat pahami, apalagi kini sejak kasus Gayus Tambunan, sebagaimana diungkap Dirjen pajak di depan Komisi XI DPR Rabu petang, “Staf kami di jalanan lupa mencopot tanda pengenal, lalu diteriaki maling.”

Padahal maling besarnya di ranah dunia usaha.

Di Apa kabar Indonesia malam, lain lagi diperdebatkan, soal kerahasiaan wajib pajak yang harus dilindungi melalui UU 34. Pembicara antara lain Fuad Bawazier, yang di Sketsa sebelumnya saya singgung soal kiprahnya, juga Ichsanodin Noorsy, mantan anggota DPR.

Mereka lupa jika wajib pajak, berani mengugat ke pengadilan, dan pengadilan adalah ranah publik, maka di saat itulah dia juga siap membuka diri. Kudu! Apalagi pasal 50 ayat (1) UU No 14 tahun 2002, jelas mengatakan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi publik

Logikanya, jika berani berperkara, maka berani buka-bukaan ke masyarakat umum. Jika enggan buka-bukaan, bayar pajak dengan benar, hak rakyat jangan ditelap.

Begitulah Sidang Pembaca, sebagaimana pesan yang disampaikan seorang pejabat di Menko Perekonomian kepada saya, Sketsa TP dan DJP ini, jika saya tuliskan dalam lima tahun tak aka nada habisnya.

Karena, memang, esensi soal lari ke mana-mana. Upaya anggota DPR membuat UU melenceng, bak lain angguk lain ilalang. Kepada Achsanul saya tanyakan, apa karena 2/3 anggota DPR pengusaha?

Dan atau yang belum menjadi pengusaha kini juga merangkap jadi pengusaha?

Lain lagi menkeu Sri Mulyani.

Sejak kasus Gayus, Menkeu terindikasi tajam reaktif. Maka segenap staf yang harus memperjuangkan hak negara, hak rakyat di pengadilan pajak, kini menjadi tidak tersedia. Contohanya untuk staf banding semacam Gayus, dibebas-tugaskan tanpa terkecuali. “Sementara persidangan harus berjalan, setiap hari,” ujar Sanusi, staf DJP.

Sampai pada kalimat Sanusi tadi, maka Rabu, 7 April 2010 pagi saya ke pengadilan pajak lagi.

JALANAN di Rabu pagi di menjelang pukul 10.00 tidak terlalu macet. Seperti biasa di Gedung Sutikno Slamet, Depkeu, bak sudah saya tulis di Sketsa terdahulu, tamu harus mendaftar dulu, meninggalkan KTP.

Kali ini, pertanyaan dua gadis penerima tamu lebih rinci. Di samping dua petugas keamanan bersafari hitam mengamati saya.

“Mau ke mana Pak?”

Lantai Sembilan, jawab saya.

“Bapak dari PT apa?”

Modus baru rupanya.

Bertanya asal perusahaan sang tamu.

Apakah jika bukan berkepentingan, bukan peserta sidang pajak tidak boleh naik?

Apa Depertemen Keuangan tidak membaca UU, seorang jelata pun asal rakyat Indonesia boleh masuk ke sana. Gedung itu dibiayai rakyat, mereka digaji rakyat, dan urusan di pengadilan pajak bagi kepentingan rakyat!

Dari pada saya mengaku sebagai Citizen Reporter, anggota Persatuan Pewarta Warga Indonesia, blogger blog-presstalk.com, mantan ketua Umum PWI-Reformasi, akan panjang urusan. Secepat kilat saya sebut saja berasal dari salah satu grup sebuah perusahaan. Asal ingat, asal ucap.

Meeka memberikan tanda pengenal tamu.

Ada saja improvisasi baru, untuk “menghambat” kalangan media masuk ke Pangadilan Pajak.

Di lantai 9 saya amati, kursi tamu masih ada tersisa kosong. Biasanya selalu penuh.. Pintu-pintu ruang sidang, yang persidangannya sedang berjalan memang kini masih terus tampak dibuka. Kenyataan ini jangan sampai hangat-hangat tai ayam. Bila bulan depan ditutup lagi, akan menjadi laku basi.

Hendak naik lift saja kini filter sudah bertambah.



Saya lihat di papan dinding, ada daftar hampir 40 perusahaan bersidang. Mereka di antaranya: PT Bakrie Pasaman Plantation, PT Sinar Mas Air, Halliburton Indonesia, Toshiba Visual Media, dan banyak lainnya.

Di saat duduk mengamati daftar sidang hari itu, seorang wartawan Media Indonesia masuk. Menyandang ransel hitam, ragu-ragu. Saya mendengar pertanyaannya ke seorang di belakang saya. Saya berdiri menghampiri. Saya perkenalan diri.

Wartawan itu mengaku membaca Sketsa saya di milis jurnalisme di Yahoogroups. Saya minta ia yakin saja masuk ke salah satu ruang sidang mengikuti acara persidangan. Ia masuk ke ruang sidang IV. Saya menguping di ruang sidang II. Di ruang sidang dua, saya melihat bukti implementasi kebijakan reaktif Menkeu Sri Mulyani. Wajib pajak ada. Namun wakil petugas banding dari DJP tak ada. Bagaimana mereka bisa datang, wong Menteri-nya telah menon-aktifkan mereka semua?

Seketika geleng-geleng kepala saya.

Saya tak mengerti masalah aturan dan materi persidangan. Namun hakim saya perhatikan di ruang II itu, terus saja melanjutkan persidangan. Agak aneh bagi saya, sidang boleh terus berjalan walaupun petugas dari DJP, wakili negara, mewakili rakyat, bangsa, tiada.

Ketidak terwakilan rakyat itu, negara itu, terindikasi karena kebijakan menon-aktifkan segenap petugas banding pajak di DJB. Tidak berlebihan bila saya katakan, betapa naifnya sang pengambil kebijakan.

Inilah yang saya sebutkan sebagai reaktif tadi itu.

Entah mengapa kerongkongan saya seketika di Pengadilan Pajak itu kering. Saya bergerak ke ruang tengah ke warung yang sekarang kaca-kaca raknya tampak bening, bersih, dibanding pertama saya ke sana. Pada Sketsa I, saya menulis soal minuman berkaleng biru putih, maka di Sketsa ini saya sebut namanya, Pocari. Produsen Pocari kini juga salah satu perusahaan yang proses persidangan TP-nya sedang berjalan.

Kelakuannya sama. Beban biaya, dari segenap penjulan ekspor teindikasi semuanya dibebankan lokal. Sehingga Pocari yang ditenggak orang Singapura, misalnya, disubsidi oleh belulang anak negeri ini: untuk sebuah minuman yang katanya mengandung ion, meniru kandungan ada di buah kelapa. Padahal di bangsa ini di mana nyiur melambai-lambai.

Maka dengan kemasan botol plastik yang pendek dengan harga Rp 7.000, saya pun menghisap, turut menanggak “darah” rakyat sendiri.

Kejam kalimat saya?

Para produsen pengemplang pajak itu apa tidak lebih kejam terhadap bangsa ini? Anda semua dapat menjawab.

Dan jawaban panjang saya, akan bergulir terus di Sketsa ihwal transfer pricing. Dan bengaknya kita berbangsa, selama ini, segenap komponen bangsa seakan tertutup matanya soal TP ini.

Akhirnya, saya pahami pula bahwa kendati di media alternatif tulisan beredar, tampaknya disimak juga oleh pejabat di Depkeu khususnya DJP. Kalian di dalam Departemen janganlah menyalahkan pihak-pihak yang memberikan info, keterangan dan atau data atau masukan kepada saya.

Jaman sudah berganti. Keterbukaan kepada publik bukan basa-basi. Jika banyak media mainstream takut kepentingan iklannya terganggu, karena memberitakan Pocari, misalnya, peluang hilang.

Mereka di DJP kebanyakan orang baik, pekerja serius. Tak perlulah disalahkan mereka, di level staf, berpikirlah demi kepentingan publik. Mending intropeksi diri, baik sebagai Menteri, sebagai Dirjen, lebih-lebih sebagai anggota DPR, termasuk saya sendiri sebagai penulis, saking instrpeksinya, saya jamin berpuluh Sketsa TP ini pasti akan terus saya tuliskan.***

Iwan Piliang. Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com

 Kemarin jam 10:02

Menteri Keuangan Sri Mulyani, Rabu, 14 April ke media di Jakarta, mengatakan telah memecat seluruh Satpam di Pengadilan Pajak. Depkeu memasang CCTV baru. Sebelumnya seluruh staf untuk posisi Banding di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dibebas-tugaskan. Sebagaimana Sketsa V, sebuah sidang kasus pajak, tetap berjalan, kendati pihak terbanding; wakil DJP; wakil negara; wakil rakyat tepatnya; tak hadir di ruangan sidang, persidangan terus melenggang. Esensi kian lari, ibarat jauh panggang dari api: potensi peneriman negara Rp 1.300 triliun dari indikasi Transfer Pricing (TP), pada 2009 tak terurus, pupus. Isu kulit di meng-gayus, remah di men-satpam malah membuncah. Kekayaan dan kesejahteraan bangsa terlanjur menguap di tangan 48 hakim di Pengadilan Pajak (PP) di 17 majelis terindikasi korup; kusut akut. Sudah lebih setahun PP hanya memiliki ketua hanya pejabat sementara. 13.000 perkara masih antri di sana. Ada apa?

PAGI? di kawasan parkir Depkeu, Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1, Jakarta Pusat. Matahari cerah, pagi bergairah. Awal Januari 2010. Sebuah SUV Toyota Land Cruiser Cygnus, keluaran anyar, parkir. Supirnya seorang staf eselon empat di Pangadilan Pajak (PP). Di hari itu ia menyetir Cygnus, di hari lain, sosok mobil buildup-nya Mercedes Benz limited. Ganti-ganti. Masing-masing mendekati Rp 2 miliar.
Sosok pengendara Cygnus itu karyawan Pengadilan Pajak (PP) “cemerlang”. Bagaimana tak ‘kinclong’, gajinya sebagai karyawan eselon empat, setelah remunirasi di Depkeu, paling top cuma Rp 8 juta saja sebulan. Angka itu di bawah gaji Gayus Tambunan, kini dihebohkan. Mobil-mobil mewah bisa menjadi mainan karyawan eselon empat PP.

Wani tenan digawa nang kantor?

Menurut koleganya di PP, rumah staf eselon empat itu, juga lebih dari empat.


“Sosok pemilik mobil mewah itu nyantai saja, karena mengelola dana taktis dari wajib pajak berperkara,” ujar Sutikno, sebut saja begitu, staf di PP itu.

Sutikno buka-bukaan kepada saya setelah lima Sketsa saya meluncur ke publik online khususnya.


Jadi, setelah angka TP tambun-menambun tahun-menahun saya verifikasi bercerabutan dari bangsa ini, amblas di PP - - tepatnya dominan “legal” menguap - - kini cerita meng-gayus lain tersaji pula ke hadapan Anda.

Parah membuncah-buncah?



“Benar Mas!” kata Sutikno pula,”Reformasi birokrasi hanya ada di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai. Tetapi pengadilan pajak, tidak berlaku apa itu reformasi.”

“Bahkan, sudah hal lazim, kalau staf direktorat pajak menghimbau ke wajib pajak: kita teruskan saja urusan ke pengadilan pajak, di sana segalanya lebih mudah baku atur.”

Secara adminsitratif PP berada di bawah Depkeu dan konten hukumnya berada di bawah Mahkamah Agung (MA). Maka boleh dong, saya tulis PP memang tidak diurus dengan baik oleh Menteri Keuangan, juga seakan alpa dikontrol MA.

Kekisruhan di PP bisa berawal sejak masuknya kasus. “Di sekretariat tata usaha pengadilan pajak, kasus sudah diperebutkan. Kasus puluhan triliun, diperebutkan oleh majelis hakim, bukan isu baru,” tutur Sutikno.

Cerita berlanjut.

Begitu peristiwa Gayus Tambunan di awal menghangat, suasana gerah gundah menyesak-pengak di PP. Menurut Sutikno dan diamini oleh dua koleganya, mesin penghancur kertas merek Secure di sekretariat PP bekerja keras. Bahkan penghancur kertas lebih besar di lantai 5 Gedung Sutikno Slamet, Depkeu itu, di mana PP bermarkas, bekerja lebih ekstra banyak melumat berbagai dokumen. Dan anehnya hari ini Kamis, 15 April, pelumat kertas di lantai 5 itu sudah pula dipindah.

Ibarat orang dikejar macan, kertas berita acara persidangan pun ikut terbirit dihancurkan mesin penghancur kertas. “Dokumen mencurigakan dilebur. Suasana memang menjadi tak kondusif,” ujar Sutikno.

Dua rekan Sutikno yang menjadi staf di PP menambahkan. “Pimpinan saya, ada yang langsung membawa tas besar, saya duga uang yang pernah saya lihat di sebuah lemari kecil,” ujar Andri Nuh, bukan nama sebenarnya, kolega Sutikno di PP.

Bila sudah begitu, memang bolehlah siapapun bertanya, di PP telah berkeliaran sosok makhluk berbadan manusia, tetapi sesungguhnya berperilaku “drakula”? Drakula lakunya dalam memenangkan wajib pajak, kendati secara akal sehat pengemplangan pajak terus-terusan di pelupuk mata terjadi.
Maka untuk mengetahui kedrakulaan itu; beginilah konten PP:

PP memiliki 48 hakim. Mereka dominan berasal dari pensiunan pegawai DJP. Beberapa di antaranya pihak swasta berlatar pendididkan hukum, wakil dari Pengurus Kadin Indonesia. Anda tentu mafhum, bahwa Kadin wadah para pengusaha, keberpihakannya ke mana.

Ke-48 hakim itu berada dalam 17 majelis; 15 majelis mengadili pajak dan dua majelis mengadili urusan bea cukai, kepabeanan. Sedangkan satu mejelis terdiri dari satu hakim ketua dan dua hakim pendamping. Wewenang para hakim ini, berada langsung di bawah Mahkamah Agung.

Majelis juga dilengkapi panitera pengganti sebanyak dua orang (eselon tiga) dan pembantu panitera pengganti (PPP) sebanyak empat orang (eselon empat). Di bawah para PPP inilah berderet para pelaksana; mereka umumnya baru berkerja satu dua tahun sebagai tamatan Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN).

Ke-17 majelis itulah bersidang di sepuluh ruangan sidang berukuran ¾ lapangan basket; Sembilan ruang sidang di lantai sembilan dan dua ruang berada di lantai sepuluh. Untuk yang di lantai sepuluh, pengadilan, umumnya, bagi urusan bea cukai.

Perubahan mencolok lain di Pengadilan Pajak (PP), sebelum dan sesudah kasus Gayus:
Sebelum saya menulis Sketsa satu, pintu-pintu ruang sidang tertutup. Kendati UU menabalkan bahwa pengadilan pajak terbnuka untuk umum, namun terlihat jelas, memang ditutup. Keadaan eksklusif itu diciptakan PP. Menurut mereka wajib pajak kerahasiaan juga layak di lindungi.

Akan tetapi hakim PP maupun wajib pajak lupa. Begitu seseorang atau perusahaan berani maju banding ke pengadilan pajak, seketika itu pula, ia berani berjibaku ke ranah publik, membuka diri bagi publik. “Seharusnya demikian, jika tak mau dibuka datanya ke publik, bayar dong pajak dengan benar,” tutur Sutikno.

“Sebelumnya wajib pajak gampang menemui panitera pengganti. Begitu ada kasus Gayus, tidak mudah lagi, bahkan di pintu dipasang tulisan, bukan karyawan dilarang masuk,” ujar Sutikno.
“Bukan suatu yang aneh jika hakim di persidangan malah memarahi atau merendahkan staf dari Ditjen Pajak.”

Sebagaimana saya simak di pengadilan kasus PT Toyota Manufacturing Motor Indonesia (TMMI), seperti saya tulis di Sketsa terdahulu, hakim terlihat menegur pihak DJP, bahkan ketika wajib pajak sebagai pemohon banding menyerahkan saja keputusan ke hakim - - hakim ketuanya pengurus Kadin Indonesia - - staf DJP melongo dibuatnya.

Padahal indikasi transfer pricing (TP) perusahaan itu triliunan.

Indikasi kejahatan melalui ketidakwajaran itu meyembilu belulang. Bayangkan selama ini kelompok usaha perusahaan melimpah ruah kemudahan berusaha; hamparan pasar besar, menikmati keuntungan tambun di rentang panjang, namun terindikasi terus mengemplang.




KETIKA di tol Cipularang dalam perjalanan ke Bandung pada 12 April di saat saya hendak menjadi pembicara untuk urusan Jurnalisme Radio 2.0 dalam seminar diadakan oleh eBI dan ITB, Bandung, di kilometer 73, sebuah Toyota Kijang SGX, di kecepatan lebih 100 km di depan saya, tampak tak dapat menghindari sebuah truk kontainer mendadak mengambil jalur kanan. Toyota Kijang itu menabrak bagian belakang. Truk mempercepat lari. Bagian kiri Kijang terseret. Semua atap terkopek, bagian belakang remuk bagaikan sehelai kertas diremuk.

Untung saja tidak ada penumpang di bagian kiri. Jika saja ada anak atau isteri sosok pria korban yang menyetir, pastilah remuk redam bergedibam. Supir sosok pria setengah baya, saya perhatikan masih bisa bergerak dengan kepala berdarah-darah.

Sudah sejak lama saya bertanya urusan kualitas dan keselamatan mobil-mobil beredar di pasar Indonesia. Bisa Anda bayangkan, jika industrinya terindikasi mengemplang pajak tambun melalui TP, melalui transaki tak wajar, seperti yang sudah saya tuliskan di Sketsa sebelumnya, pasar besar di Indonesia ini seakan manut sak karep industri: Kualitas barang layak dipertanyakan; komponen besi bak kerupuk.

Urusan menjadi alang kepalang. Dan ini, tentu, bukan dominant di domain otomotif saja. Hampir di semua industri, termasuk consumer good, pengemplangan pajak, tahun-menahun, tambun-menambun terjadi, khusus di transfer pricing.

Sosok Amin Appa, pembaca Sketsa V, di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab, berkomentar. Ia menuliskan perihal industri consumer good:

Selama ini rakyat banyak ditipu oleh pemilik pabrik industri besar karena subsidi dan proteksi. Contoh kecil gandum bahan baku mie instant yang banyak di konsumsi rakyat Indonesia. Biji gandumnya dimpor dari AS atau Australia, pemerintah mensubsidi biji gandum impor sekitar US $ 50 dollar per ton - - perusahaan importir biji gandum didominasi kelompok satu konglomerat.

Untuk memenuhi kebutuhan pabrik gandum di Indonesia, biji gandum olahan di Indonesia, bukannya disebarkan memenuhi kebutuhan rakyat banyak, tapi hanya beberapa persen saja dilempar ke pasar untuk kebutuhan kue roti rakyat. Dominan gandum tersebut dimasukkan langsung ke pabrik olahan; bagi kepentingan pembuatan mie instant atau biskuit - - pemiliknya juga konglomerat pengimpor biji gandum.

Akibatnya harga gandum tetap mahal.

Setelah produk jadi tersebut siap santap, produk jadinya bukan bukan dipasarkan murni ke dalam negeri, tetapi sebagian besar malah diekspor. Akibatnya yang timbul:

1. Harga gandum, terigu di Indonesia lebih mahal karena sebagian besar dijadikan bahan baku produk-produk jadi seperti mie instan.

2. Hasil ekspor produk-produk jadi seperti mei instan, pembukaan LC -nya banyak dilakukan di negara tetangga sehingga uang dari hasil penjualan disimpan dan didepositokan di sana, maka yang menikmati kesejahteraan adalah negara tetangga bukan rakyat Indonesia

3. Untuk menjamin kesinambungan produksi, berkolusilah pejabat dengan pengusaha, izin impor biji gandum hanya diberikan kepada beberapa perusahaan dalam satu atap dan untuk mencegah harga gandum dalam negeri jadi murah proteksi dilakukan, pajak impor tinggi.

Saya pernah sempat geleng-geleng kepala ketika bertemu dengan salah seorang sales menager pabrik gandum Persatuan Emirat Arab (PEA) di Dubai International Trade Fair. Sempat sosok itu bercerita bahwa impor gandumnya terhambat masuk di Indonesia karena di kenai UU dumping.

Ketika itu saya bertanya dalam hati mengapa pemerintah RI tidak menginginkan jika produk gandum lain dari luar negeri masuk ke pasaran Indonesia?

Padalah jika hal itu membuka pasar, membuat murahnya harga gandum lokal. Tapi kebijakan, malah sebaliknya mensubsidi impor biji gandum untuk memenuhi kebutuhan pabrik gandum di dalam negeri yang nota bene sebagian besar produknya di ekspor.

Jika gandum di PEA atau di Oman, Qatar, masuk ke pasaran Indonesia melalui pelabuhan Tanjung Priok dan Surabaya, jika tanpa dikenai pajak impor akan jauh lebih murah harganya produksi pabrik Bogosari.

Jadi untuk apa uang rakyat dihambur-hamburkan mensubsidi impor biji gandum jika kita bisa memperoleh gandum dari luar negeri lebih murah dibanding produksi dalam negeri? Apakah tidak lebih bermanfaat kalau subsidi tersebut dicabut dan dialihkan mesubsidi pendidikan atau kesehatan rakyat?

Di Sketsa V, Amin Appa, telah pula mengingatkan betapa harga mobil di Indonesia, dua kali lipat harganya dibandingkan dengan di Abu Dhabi, PEA.


BEGITULAH sidang pembaca!

Kamis pagi, 15 April 2010, saya mengkonfirmasi kepada seorang staf DJP bagian transfer pricing, apakah di kelompok usaha terigu dan produk jadi, juga ada indikasi pengemplangan pajak melalui transfer pricing? Sosok itu mengamini.

Maka, jika semua perusahaan besar menikmati pasar dan segenap kemudahan subsidi dari negeri ini, masih mengatakan di Indonesia high cost economy? Yang membuat cost itu high, adalah diri mereka sendiri, dominan pula menjual produksi ke perusahaan afiliasi dengan harga separuh harga pasar. Itu artinya separuh keuntungan disembunyikan dulu, barang dagangan masuk ke pasaran bebas dengan harga riil pasar.

Di negeri inilah saya verifikasi, bahwa prinsip ekonomi itu secara taat kaedah dilakukan para pengusaha: modal sekecil-kecilnya, untung setambun-tambunnya, jika nol modal, bahkan dimodali bangsa dan rakyat ini, kemudian hisap lagi darahnya dari mengakali pajak.

Undang-Undang pun kompromis, penggelapan pajak boleh diselesaikan di luar pengadilan. Sebagaimana sudah saya ulang-ulang tulis di Sketsa terdahulu.

Di Bandung di saat Seminar Inovasi Radio 2.0, pada 13 April 2010, di mana penemuan aplikasi RISE sebagai konten otomasi radio, telah memungkinkan jurnalisme radio 2.0, di mana perilaku User Create Content (UCC), ke depan alan enajam naik.

Maka di Aula Barat, ITB itu, saya pun menyampaikan ke peserta seminar yang umumnya kalangan radio dari seluruh Indonesia, ihwal komunitas warga Indonesia di Houston dan Amerika Serikat umumnya, mengajak melakukan seminar melalui aplikasi web di Webinar.

Mereka ingin tahu urusan penggelapan pajak, urusan transaksi kewajaran, urusan transfer pricing (TP) menambun. Seminar online dengan saya sebagai pembicara dari Indonesia, peserta kalangan warga Indonesia di AS; merupakan bentuk implimentasi UCC itu. Maka jurnalisme blog atau web 2.0, di dalam rangkaian Sketsa soal pajak ini, menjadi santapan Anda.

Maka ketika seorang pemrakarsa dari Houston, AS, menelpon saya, untuk membincangkan teknis kegiatan yang akan dilakukan, SMS ke mobile phone saya masuk, mengabarkan Pengadilan Pajak dipanggil oleh komisi XI DPR pada Kamis, 15 April 2010, pukul 22.00.

Saya menghubungi Achsanul Qosasi. anggota DPR Ko,isdi XI, yang secara jujur mengatakan berterimakasih telah membukakan TP di saat ia hadir di Presstalk, QTV, talkshow indie yang saya pandu. “Selama ini kami tak paham bahwa transfer pricing itu luar biasa besar,” ujarnya pula, “Berarti uang pajak selama ini, dominan hanya dari publik, bukan dari perusahaan besar-besar itu?”



Sayangnya, ketika saya hendak menghidangkan tulisan ini ke hadapan Anda, saya mendapatkan kabar, pertemuan Komisi XI DPR yang mebawahi keuangan, perbankan, dengan PP ditunda.
Bagi saya, ada atau tiada pertemuan itu, kewajiban citizen reporter membuka kenyataan ini kepada publik sebagaimana adanya menjadi premis utama.***

Iwan Piliang,blog-presstalk.com
Yüklə 95,11 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin