Bab I pendahuluan latar Belakang



Yüklə 30,86 Kb.
tarix22.08.2018
ölçüsü30,86 Kb.
#74278

BAB I

PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang

Al-Qur’an dan Hadist adalah referensi utama seorang muslim. Salah satu indicator seorang muslim sejati yaitu sejauh mana seorang muslim bisa aktualisasi nilai-nilai mulia yang terkandung dalam Al-Qur’an sebagai kepribadiannya sehari-hari, hal ini berarti seorang muslim harus bisa memvibrasikan antara nilai-nilai Al-Qur’an dengan aktivitasnya sehari-hari. Al-Qur’an merupakan suatu kitab suci yang sangat luar biasa, Al-Qur’an tidak pernah mengalami “expire date” sebab Allah menjamin kemurnian dan Keaktualan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sumber dari berbagai sumber ilmu, didalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah yang bisa kita petik demi kemaslahatan ummat.

Dewasa ini nilai-nilai penting dari Al-Qur’an seakan-akan dilupakan dengan alasan mengikuti “trend” dinamika ilmu pengetahuan. Hal inilah yang membuat hati saya tergerak untuk mengungkap fenomena ini dan membuktikan bahwa Al-Qur’an sangat bisa menjadi referensi terpercaya dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam keilmuan saya di bidang Administrasi Pendidikan. Al-Qur’an memuat berbagai macam dasar-dasar disiplin ilmu pengetahuan yang ada di era millennium. Bukan hanya itu Al-Qur’an bisa memberikan informasi tentang masa depan manusia jauh sebelum manusia mengetahuinya.

Banyak sekali informasi yang seharusnya bisa digali dari Al-Qur’an demi kemaslahatan ummat. Kitab suci ini adalah kitab suci terindah dengan gaya bahasa begitu mengagumkan. Al-Qur’an mengatur hubungan orang-perorang maupun hubungan orang dengan lingkungan sekitar.

Pengkajian mendalam tentang Bidang keilmuan yang saya tekuni dengan Al-Qur’an merupakan obsesi yang begitu besar bagi saya. Banyak hal yang belum terungkap karena keterbatasan kita sebagai manusia dalam menggali informasi dalam Al-Qur’an. Maka dengan obsesi seperti ini saya akan mencoba menelaah isi kadungan dari Q.S. Al-An’am ayat 70 yang menurut berbagai pihak erat kaitannya dengan bidang yang saya geluti saat ini yaitu Administrasi Pendidikan.



1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini diutamakan untuk memenuhi salah satu tugas dari Program Tutorial UPI 2009, namun perlu disadari bahwa itu hanyalah tujuan yang sangat sempit. Melalui penulisan makalah ini penulis ingin mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkadung dalam Al-Qur’an ke dalam kehidupan dan aktivitas sehari-hari.

Perlu kita akui bahwa nilai-nilai islami yang ada di lingkungan berbangsa dan bernegara sudah sangat mengkhawatirkan bahkan menuju fase kritis, Al-Qur’an harus bisa dijadikan pedoman ummat agar bangsa ini menjadi bangsa yang islami namun bukan berarti bangsa yang ortodok. Pentingnya menggali ilmu Al-Qur’an yang kemudian di imbangi dengan mempelajari disiplin ilmu tertentu memang harus dilakukan agar orang per orang tidak salah jalur dalam penerapan disiplin ilmunya serta semakin memahami betapa agung dan Luar biasanya sang pencipta. makalah ini diharapkan bisa menjadi sedikit pencerahan bagi ummat.

BAB II

KANDUNGAN AYAT
2.1 Ayat dan Terjemahan

Q.S Al-An’am ayat 70




Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quraan itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa'at selain daripada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.”



2.2 Tafsir

Q.S Al-An’am ayat 70 berpesan: Dan tinggalkanlah dalam bentuk apapun sekuat kemampuanmu orang-orang yang memaksakan diri akibat mengikuti hawa nafsu menjadikan agama mereka permainan dan bahan senda-durau karena melahirkan kelengahan, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia karena mereka terpukau dan terpaku dalam gemerlapannya padahal ia hanya sementara.

Boleh jadi perintah penggalan awal ayat ini diduga sebagai perintah meninggalkan mereka dalam segala kondisi. Untuk itu, maka penggalan ayat berikut ini mengingatkan kekeliruan dugaan tersebut dengan menyatakan:

Jangan abaikan mereka sama sekali, ajak dan peringatkanlah mereka dengannya, yakni dengan ayat-ayat al-Qur’an agar seseorang siapapun dia tidak terhalangi dari rahmat Allah atau tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung yang dapat membelanya dan tidak pula ada pemberi syafa’at yang dapat menghindarkannya dari siksa selain Allah. Dan betapapun dia menebus dengan segala macam, dan sebanyak mungkin tebusan, niscaya tidak akan diterima tebusan itu darinya. Hanya mereka itulah, yakni yang melecehkan ayat-ayat Allah – seakan-akan tidak ada selain mereka – orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, atau terhalangi tanpa dapat mengelak dari rahmat Allah disebabkan perbuatan buruk mereka sendiri. Bagi mereka disediakan minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan mereka dahulu ketika hidup di dunia terus-menerus melakukan kekufuran.

Kata agama dalam firman-Nya: menjadikan agama mereka permainan dan kelengahan, dipahami oleh sementara ulama dalam arti kebiasaan hidup mereka dalam arti perhatian dan keseharian mereka adalah permainan. Ada juga yang memahaminya dalam arti kepercayaan dan tata cara mereka berhubungan dengan Tuhan, yakni mereka berpesta pora di hadapan berhala-berhala mereka pada waktu-waktu tertentu, serta bersiul dan bertepuk tangn di hadapan Ka’bah sebagaimana firman-Nya:

Shalat merekadi sekitar Baitullah tidak lain kecuali siulan dan tepukan tangan.” (QS. Al-Anfal[8]: 35)

Penggalan ayat di atas dapat juga dipahami dalam arti keberagaman mereka akibat mengikui hawa nafsu, dipersamakan dengan permainan dan kelengahan. Mereka di ajak untuk mengikuti agama yang benar, yang seharusnya mereka anut, tetapi mereka memutarbalikkannya karena mengikuti hawa nafsu.

Kata tubsala pada mulanya berarti terhalangi. Kata ini biasanya digunakan untuk keterhalangan yang tidak dapat dielakan lagi buruk akibatnya. Dari sini, kata tersebut digunakan dalam arti dijerumuskan dalam siksa, atau penjara atau neraka. Sememntara ulama memilih makna terhalangi, sehingga yang dimaksud adalah terhalangi dari rahmat dan kebajikan. Ayat tersebut secara tegas menyatakan bahwa amal buruk mereka – bukan Allah – yang menjerumuskan dan menghalangi mereka meraih rahmat Allah.

Kata hanya dalam firman-Nya: Hanya mereka itulah, dipahami berdasar susunan redaksi ayat ini yang menggunakan kata ulaa’ika yang menunjuk ke kata alladziina. Keduanya bersifat definit. Redaksi demikian mengahislkan pengkhususan yang diterjemahkan dengan makna hanya. Tentu saja bukan hanya mereka yang dijerumuskan ke dalam siksa, tetapi karena dosa pelecehan terhadap ayat-ayat Allah sedemikian besar, maka seakan-akan hanya mereka yang disiksa. Atau boleh jadi siksa buat mereka adalah siksa tersendiri, sehingga hanya mereka yang mendapatkannya.
2.3 Hadist yang Menunjang

عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ

[حَديثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ وَرَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الْحُجَّة بإسنادٍ صحيحٍ ]

Dari Abu Muhammad Abdillah bin Amr bin ‘Ash radhiallahuanhuma dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa” (Hadits hasan shahih dan kami riwayatkan dari kitab Al Hujjah dengan sanad yang shahih.)

Allah memerintahkan melalui kitab dan lisan RasulNya agar kita menentukan hukum di antara manusia dengan adil. Di samping memperingatkan kita agar tidak mengikuti hawa nafsu dengan cenderung kepada salah seorang yang berselisih secara tidak benar. “Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

Allah memberitahukan bahwa mengikuti hawa nafsu akan menyesatkan seseorang dari jalanNya. “Hai Daud sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu maka ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” Kemudian Allah menjelaskan kesudahan orang-orang yang tersesat dari jalanNya dengan firmanNya “Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan.

Dalam Al Musnad dijelaskan bahwa Anas Radhiallahu ‘Anhu berkata Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “Ada tiga buah perkara yang mem-binasakan dan tiga perkara lain yang menyelamatkan. Adapun yang membi-nasakan yaitu; kikir yang dituruti hawa nafsu yang diikuti dan ‘ujub terhadap diri sendiri. Sedangkan yang menyelamatkan yaitu bertakwa kepada Allah baik dalam keadaan rahasia atau terang-terangan adil ketika marah atau ridha dan berlaku sederhana baik ketika miskin atau kaya.”

Ibnul Qayyim dalam kitabnya Raudhatul Muhibbin menyebutkan “Sesungguhnya orang yang mengikuti hawa nafsunya tidak berhak untuk ditaati tidak boleh menjadi imam dan tidaka boleh diikuti. Allah Ta’ala memecatnya dari imamah serta melarang kita mentaatinya.” Adapun pemecatannya dari imamah adalah berdasarkan firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia” Ibrahim berkata dari keturunanku. Allah berfirman “JanjiKu ini tidak mengenai orang-orang yang zhalim.”

Dalam kitab yang sama Ibnul Qayyim berkata “Sesungguhnya hawa nafsu itu adalah suatu larangan yang dengannya sekeliling neraka Jahannam dikitari. Maka barang siapa terjerumus ke dalam hawa nafsu maka ia terjerumus kedalam api Jahannam.” Disebutkan dalam Shahihain bahwasanya Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang dibenci dan neraka itu dikelilingi dengan berbagai syahwat.



BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Kaitan QS. Al-An’am [6] Ayat 70 dengan Ilmu Administrasi Pendidikan

Berdasarkan uraian tafsir QS. Al-An’am [6] : 70 dan beberapa hadist yang menunjang ada beberapa hal yang bisa kita petik hikmahnya dan kemudian bisa kita aktualisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Implementasi dari ayat-ayat al-Qur’an di atas sebetulnya sangat mirip dengan apa yang terjadi sekarang namun saya tidak akan membahas beberapa ayat tersebut secara luas. Saya akan batasi pembahasannya sesuai dengan bidang keilmuan saya yaitu Administrasi pendidikan yang dikaitkan dengan beberapa esensi dari bebagai mata kuliah yang saya dapatkan. Saya akan mencoba mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam ayat tersebut pada konteks kepemimpinan.

Dalam ilmu administrasi pendidikan, istilah kepemimpinan sudah tidak asing lagi didengar. Setiap lembaga atau organisasi harus mempunyai seorang pemimpin. Dan sudah menjadi kodrat manusia untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi ini. Meski kita itu belum mampu memimpin orang lain dalam suatu organisasi misalnya, minimal kita bisa memimpin untuk diri kita sendiri. Namun yang menjadi pertanyaan seorang pemimpin yang bagaimanakah yang patut dan layak untuk memimpin?

Dalam QS. Al-An’am [6] : 70 dan Hadist, dijelaskan pemimpin yang baik itu harus sesuai dengan kemampuannya serta yang dapat menundukan hawa nafsunya. Karena apabila seorang pemimpin mengambil keputusan sesuai dengan hawa nafsunya, maka akan menyesatkan dirinya sendiri dan orang lain dari jalan Allah SWT.

Untuk itu kita selaku orang Administrasi Pendidikan yang kelak insya Allah akan menjadi pemimpin dimasa depan, harus pandai-pandai menundukan hawa nafsu kita demi kemaslahatan orang banyak.

Begitu besar hikmah dari ayat-ayat Al-Qur’an ini yang bisa saya implementasikan dalam kehidupan nyata, banyak yang bisa saya analogikan dan dijadikan pelajaran, sehingga saya bisa belajar banyak dari ayat-ayat ini.



BAB IV

KESIMPULAN
Ada suatu keterkaitan antara QS. Al-An’am [6] : 70 dengan bidang keilmuan yang sedang saya geluti, ditinjau dari sisi kepemimpinan, dimana sebagai manusia sudah menjadi kodratnya untuk menjadi pemimpin. Pemimpin yang baik itu harus sesuai dengan kemampuannya serta yang dapat menundukan hawa nafsunya. Karena apabila seorang pemimpin mengambil keputusan sesuai dengan hawa nafsunya, maka akan menyesatkan dirinya sendiri dan orang lain dari jalan Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M.Quraish. 2002. Tafsir Al Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an (volume 4). Jakarta: Lentera ilmu.

www.google.com





Yüklə 30,86 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin